EXO’s
Do Kyungsoo and OC’s Han Yeon Rin |
Comfort | G | Oneshot | Cha13 Artwork | Deev,2015
You’ll never walk alone.
Tatap mata dari seorang anak perempuan itu tak lepas
dari gerak-gerik anak-anak sebayanya yang tengah berlarian di jalanan. Iris
gelapnya tenggelam dalam keputus asaan. Hanya dari balik kaca jendela ia bisa
melihat anak-anak seusianya bergembira. Sedangkan ia?
Perlahan gerak bola matanya turun untuk melihat keadaan
kakinya. Sudah tidak ada harapan lagi, pikirnya putus asa.
Kedua tangannya bergerak memutar roda disamping
kanan-kirinya. Mengubah arah kemana kursi rodanya akan bergerak. Melihat orang
lain bahagia di luar sana, membuat hatinya teriris.
“Yeonrin,” Lirih seorang wanita paruh baya yang berdiri
di depan pintu putri semata wayangnya.
Mata sayunya mengedip sekali, mempertandakan ia
menunggu kalimat selanjutnya yang akan diucapkan sang ibu.
“Kita pergi keluar ya, eomma ingin mengajakmu ke suatu
tempat.”
Han Yeon Rin -nama anak perempuan dengan kursi rodanya-
memutar bola mata malas, “Aku tidak mau!” Ketusnya.
“Aku tahu eomma akan membawaku ke rumah sakit, aku
tidak mau!” Lanjutnya, membatalkan suara Nyonya Han yang sudah tergantung di
tenggorokannya.
“Yeonrin, kali ini saja, eomma mohon. Kita harus check
up, demi kebaikanmu.”
Mata Yeonrin memanas, menyisakan warna merah yang
samar, “Aku tidak mau eomma! Lagipula untuk apa aku pergi ke dokter kalau
kakiku sudah tidak bisa disembuhkan? Aku tidak mau kesana! Aku tidak mau keluar
kamar!”
Tangan Yeonrin meraih daun pintu lantas membantingnya
hingga menimbulkan suara debuman keras, dan menyisakan sisa-sisa gema dalam
hembus udara.
Yeonrin menutup mulutnya kuat-kuat, mencoba meredam
suara tangisnya. Gadis berusia lima belas tahun itu membiarkan air matanya
mengalir deras, menciptakan anak sungai dengan berjuta mata air.
Yeonrin terisak, tangannya dengan kasar menghapus sisa
air mata di wajahnya. Suara sesenggukan kian terdengar, membuatnya semakin menggigit
bibir bawah kuat-kuat.
Ya, sudah sejak satu tahun yang lalu Yeonrin divonis
oleh dokter bahwa ia tak bisa berjalan lagi. Catat, tak bisa berjalan. Kakinya
lumpuh total akibat kecelakaan pesawat termenyedihkan di tahun itu. Beruntung
ia merupakan salah satu penumpang yang selamat. Sedangkan ayahnya yang saat itu
berada dalam satu pesawat tewas mengenaskan, hingga saat ini jasadnya belum
juga ditemukan.
Pesawat yang mereka tumpangi jatuh ke dalam samudra.
Ayahnya mati-matian menyelamatkankan Yeonrin dengan meletakkan tubuh anak itu
diatas awak pesawat yang sudah hampir hancur. Namun tak lama kemudian badan
pesawat lainnya jatuh dari langit menimpa perairan, membuat ombak dan
menghanyutkan sang ayah dan anak itu. Hingga kini, tak ada kabar apakah tubuh
Tuan Han habis dimangsa hiu atau hanyut hingga kemana.
Sedangkan anak gadis itu berhasil ditemukan oleh Tim
penyelamat dua hari setelahnya, dengan keadaan yang amat mengenaskan. Yeonrin
segera dilarikan ke rumah sakit. Kondisinya kritis namun semakin membaik ke
hari demi hari. Tapi kabar buruknya adalah kedua kakinya lumpuh permanen.
Mungkin karena benturan keras dengan badan pesawat, atau penyebab lainnya,
karna sampai kini Yeonrin tak tahu penyebab aslinya.
“Hiks.. Aku tidak mau hidup seperti ini! Lebih baik aku
mati bersama appa daripada harus cacat!” Serunya meraung-raung dengan tetes
kristal semakin deras.
Kedua tangan Yeonrin memukul-mukul kakinya bergantian
kanan dan kiri. Meski setahun sudah berlalu tapi hingga kini Yeonrin masih tak
bisa menerima kenyataan. Ia masih belum siap.
Kenapa harus aku yang tertimpa kesialan ini?! Aku benci
semua orang! Hatinya meraung penuh amarah, emosi, dan kekesalan tiada tara.
YOU AREN’T ALONE
Nyonya Han sejak tadi masih berdiri didepan kamar
putrinya. Tanpa disadari tetes air bening mengalir melewati kedua pipinya.
Ia mendengarnya. Mendengar semua jerit tangis putrinya.
Semua keluhnya atas kecelakaan yang menimpanya. Jujur saja, Nyonya Han sedih
sekali ketika mendengar anak gadisnya berteriak frustasi seperti saat ini.
“Eonni.”
Sesegera mungkin Nyonya Han menghapus jejak air mata di
wajahnya.
“Apa Yeonrin menangis lagi?”
Nyonya Han memutar tubuhnya 180 derajat, menghadap
sosok wanita yang lebih muda darinya, “Iya Min, Yeonrin tak pernah bisa
mensyukuri keadaannya yang sekarang ini. Dia masih belum bisa menerima keadaan
kakinya.”
“Aku mengerti eonn, tapi—”
BRUK
Minji dan Hanrae saling bersitatap tegang, detik
berikutnya langsung membuka pintu kamar Yeonrin. Betapa terkejutnya sepasang
kakak beradik yang tersuguhkan dengan tubuh Yeonrin yang tersungkur di lantai
serta kursi roda yang menibaninya.
Minji menyingkirkan kursi roda, sedangkan Hanrae segera
mengangkat tubuh putrinya dan mendudukkannya diatas kursi roda. Wajah kedua wanita
itu tampak amat khawatir.
“Gwaenchanha, Yeon?” Tanya Minji khawatir akan kondisi
keponakannya.
Anak perempuan itu masih sesenggukan.
Minji menyetarakan tubuhnya dengan Yeonrin. Ia menatap
nanar kondisi keponakannya yang kian hari makin memburuk. Tapi ia berusaha tak
memperjelas kekhawatirannya. Minji tersenyum.
“Kau butuh istirahat Yeon.” Tutur Minji sembari
menyibakkan rambut Yeonrin dan menyelipkan di belakang telinga.
“Kau harus lebih hati-hati! Jangan buat eomma
khawatir!” Tegas Hanrae dengan nada agak tinggi.
Yeonrin mengangguk lemah. Ibu dan Bibinya melenggang
keluar kamar setelah membaringkannya diatas tempat tidur.
YOU AREN’T ALONE
Cahaya mentari membelah serabut awan yang menggumpal.
Memberi sejuta kehidupan bagi umat manusia serta penghuni alam seutuhnya.
Dengan latar biru cerah sebagai penanda keceriaan dalam hidup semuanya.
Burung kenari berkicau nyaring setelah hinggap di salah
satu dahan pohon. Mengepakkan sayap dalam detik berikutnya untuk mancari tempat
singgah yang lebih nyaman.
Dibawah pohon besar, duduklah seorang anak gadis dengan
kursi rodanya. Ia baru saja selesai check up. Namun ibunya -Nyonya Hanrae-
meminta pada Yeonrin untuk menunggunya sebentar, ia hendak membicarakan sesuatu
dengan dokter. Tapi Yeonrin bukanlah seseorang yang suka menunggu, akhirnya ia
memilih untuk berjalan-jalan disekitar taman.
DUG
Mata Yeonrin menatap tajam seorang anak laki-laki yang
menyenggol kursi rodanya hingga menyebabkan tubuhnya hampir terjatuh dari kursi
roda.
“Punya mata atau tidak?! Kau buta ya!” Umpatnya kesal.
“Ma-af. Aku tidak tahu. Sekali lagi maaf.”
Yeonrin menatap penampilan anak itu dari ujung rambut
hingga ujung kakinya. Juga memperhatikannya ketika meraba-raba angin mencari
tempat yang bisa diduduki, dan akhirnya ia duduk di bangku yang bersebelahan dengan
kursi roda Yeonrin.
Dia... memang buta?
“Aku Kyungsoo, aku memang buta, maaf.”
Yeonrin menelan ludah, “Maaf, aku merasa tidak enak
padamu.”
“Haha.. tidak masalah. Kau...?”
“Aku Yeonrin. Han Yeon Rin,”
“Orang baru disini?”
“Hmm.. Tidak juga. Hari ini aku hanya datang untuk
check up.”
“Kau sakit apa, Yeon?”
Yeonrin bingung menjawabnya, ia hanya bergumam tak
jelas dan sesekali memukul kursi rodanya.
“Kakimu kenapa?”
“Ah tidak, tidak apa-apa. Aku disini untuk check up
kesehatan, aku tidak sakit apa-apa.” Dustanya.
“Yeonrin! Lekas gerakkan kursi rodamu kemari atau eomma
yang akan kesana!”
Mulut Yeonrin terbuka kecil, rencana berbohong yang ia
rancang ternyata tak berjalan mulus.
“Y-ya eomma! Tunggulah sebentar!”
Anak laki-laki itu tertawa kecil, “Kau tak akan mampu
menyembunyikan kebenaran Yeonrin. Cepat atau lambat akan terungkap, dan akan
lebih baik jika kau mengatakannya dari awal.”
“Mian, aku hanya takut kau akan menjauhiku seperti
teman-temanku yang ada di sekolah.” Sesalnya dengan wajah tertunduk dalam.
Tangan Kyungsoo meraba udara sebelum akhirnya menyentuh
bahu Yeonrin, “Aku tidak bisa melihat, ingat?”
Yeonrin mengangguk, meski anggukannya tak akan bisa
dilihat oleh Kyungsoo.
“Nah, lekaslah pulang, eommamu sudah menunggu kan?”
Kyungsoo menepuk bahu Yeonrin pelan.
“Aku duluan ya, sampai jumpa lain kali Kyungsoo.”
Laki-laki itu mengangguk, seirama dengan gerak roda
yang diputar memindahkan kursi. Nyonya Han mengelus rambut anaknya lembut,
mengiringinya berjalan di koridor meninggalkan laki-laki yang masih duduk di
taman.
YOU AREN’T ALONE
Yeonrin memutar kursi rodanya secepat yang ia mampu.
Menebar kebahagiaan disetiap jengkal wajahnya. Hatinya berdebar-debar karna tak
lagi dapat menyimpan rasa girangnya untuk bertemu seseorang.
Roda itu berhenti berputar ketika sudah sampai di zona
taman rumah sakit. Mata Yeonrin bergerak liar mencari orang itu.
Sentuhan pelan berhasil mengagetkan Yeonrin. Ia menatap
seorang anak laki-laki yang berdiri dibelakang kursi rodanya. Senyumnya
mengembang ketika menyadari anak itu adalah Kyungsoo, yang sejak tadi ia cari.
Yeonrin mengerutkan keningnya, “Kau membawa biola?”
Tanyanya ragu.
Kyungsoo tersenyum manis seperti biasanya, “Mau ikut
menghibur pasien lain?”
“Maksudmu.. kita?”
Kyungsoo mengangguk, tangannya mulai menarik kursi roda
Yeonrin dan merubah arah haluan.
Wajah Yeonrin tampak panik, “Kita mau kemana?”
“Menghibur salah satu pasien disini. Kau mau kan?”
Yeonrin tampak menimbang-nimbang, “Mm.. Baiklah, tapi..
Memangnya kita bisa? Dengan keadaan yang seperti ini, dan kau akan memainkan
biola?”
“Kekurangan bukanlah penghambat niat baik kita,”
Tuturnya lembut.
“Dimana ruangannya?”
YOU AREN’T ALONE
Sorot mata penghuni, tidak, bukan penghuni tapi
pengunjung lebih tepatnya, mereka menatap kedua orang yang tengah beriringan
dengan kekurangannya masing-masing.
Ia menatap kagum pada dua anak yang sedang melewatinya,
tanpa sadar senyumnya terkembang.
Salah satu dari mereka cacat, memaksanya harus
menggunakan kursi roda. Dan satunya lagi tak bisa melihat, namun dengan wajah
gembira ia mendorong kursi roda temannya.
YOU AREN’T ALONE
Yeonrin membuka knop pintu, Kyungsoo mendorong kursi
rodanya memasuki salah satu kamar rawat di rumah sakit ini. Senyum Yeonrin
tersungging ketika melihat sosok anak yang jauh lebih muda darinya sedang duduk
di ranjang.
“Hai,” Sapa Yeonrin mencoba akrab dengan anak perempuan
itu.
“Kau sudah datang rupanya, mau menghibur Minsoul lagi
kan?” Tegur seorang suster yang baru saja masuk.
“Aku boleh melakukannya kan eonn?”
“Boleh, dan siapa temanmu ini?” Suster itu menatap
Yeonrin asing.
“Aku Yeonrin, suster.”
“Minsoul sudah menunggu sejak tadi, jadi kau bisa
menghiburnya sekarang.”
Sekilas Yeonrin menatap anak perempuan yang tampak
kurus kering diatas ranjang, “Dia sakit apa sus?”
Suster itu hanya menggeleng dengan senyum tipis.
Ya, aku tahu semua orang pasti akan menyembunyikan
faktanya.
“Hai Minsoul, aku membawa seorang teman bersamaku. Dia
akan menyanyi saat aku bermain biola.”
Hah?! Aku menyanyi?!
“Tapi Kyung, aku tak bisa bernyanyi!”
“Kau bisa. Jangan katakan tidak bisa sebelum kau
mencobanya.”
Yeonrin hanya menuruti kata-kata Kyungsoo. Ia bernyanyi
diiringi gesek biola Kyungsoo. Walaupun tak terlalu bagus, tapi berhasil
menghibur Kim Minsoul, anak perempuan yang baru diketahui Yeonrin mengidap
Kanker sejak balita. Yeonrin tak bertanya banyak tentang anak itu, karna ia
sendiri tak sanggup menampung pilu orang lain.
Kini, keduanya tengah duduk ditengah taman menikmati
arah angin yang meniup rambut mereka.
“Kau suka bermain biola sejak kapan?”
“Sejak aku masih bisa melihat, lebih tepatnya saat aku
berumur 7 tahun. Namun tiga tahun lalu, aku kecelakaan dan mengalami kebutaan.
Aku sangat sedih ketika itu.”
Yeonrin mengangguk, ternyata nasib anak itu sama
dengannya.
“Dan kau suka apa?”
“Melukis.”
“Daebak! Dari dulu aku ingin punya teman pandai
melukis, dan aku ingin sekali dilukis olehnya. Dan sekarang aku punya Kau.”
Yeonrin menatap kosong langit biru dihadapannya, “Itu
dulu Kyung, sekarang aku sudah tidak suka melukis lagi.”
“Kenapa?”
Yeonrin menghela nafasnya, meredam sedikit
kekecewaannya, “Aku benci setiap kali orang-orang menilai fisikku yang tidak
sempurna. Apalagi saat setelah aku kecelakaan pesawat, ada lomba melukis yang
harus kuhadiri. Susah payah aku menggerakkan kursi roda sialan ini diantara
tatap mata menjengkelkan dari orang-orang. Aku tidak suka pandangan itu! Mereka
meremehkanku!”
“Lalu kau menang?”
Yeonrin menoleh menatap Kyungsoo, “Tidak, bahkan aku
tidak mau mengikutinya. Aku katakan pada eomma untuk membawaku pulang saja
daripada harus mendapat olok-olok semua orang disana. Aku malu dengan kondisiku
yang tak sempurna, aku cacat, aku lemah, tak bisa melakukan apa-apa dengan
baik.”
“Justru kau salah Yeon, kau punya kelebihan diatas
kelemahanmu saat ini. Bayangkan ketika kau menenangkan lomba itu, pasti semua
orang akan terheran-heran. Mereka akan salut dan berempati padamu.”
“Tapi mereka menyebalkan! Rasanya aku ingin mengambil
mata mereka dan akan aku pindahkan pada orang yang lebih membutuhkan.”
Yeonrin merutuki dirinya, bisa-bisanya ia mengatakan
hal seperti itu didepan Kyungsoo yang buta.
“Aku tidak mau dengar, pokoknya aku ingin melihat
lukisanmu suatu saat nanti ketika aku bisa melihat.”
Yeonrin menatap Kyungsoo yang terlihat sungguh-sungguh.
Raut wajah seperti itulah yang membuat hatinya tergerak. Ucapan Kyungsoo
terngiang dalam otaknya.
YOU AREN’T ALONE
Yeonrin menatap sebuah kotak besar dibawah tempat
tidurnya, disanalah semua barang yang berhubungan dengan melukis ia tinggalkan.
Aku tidak mau dengar, pokoknya aku ingin melihat
lukisanmu suatu saat nanti ketika aku bisa melihat.
Yeonrin mendesah, suara Kyungsoo terngiang jelas meski
sudah tiga hari terlewatkan.
Ia memutar kursi roda, menarik knop pintu, dan menuju
kamar ibunya. Namun Nyonya Han tak ada disana.
“Yeonrin!”
Anak gadis itu memutar kepalanya, tampak sosok Bibinya
yang terlihat bahagia berlari menghampirinya.
“Kau harus dengar sesuatu Yeon,” Jeda sejenak, “Bibi
sudah mendaftarkanmu untuk ikut berpartisipasi pada lomba melukis tingkat
nasional, semua anak dari penjuru negara kita akan datang ke Seoul untuk mengikutinya.”
Yeonrin membelalak tak percaya dengan ucapan Bibinya,
kenapa? Kenapa harus seperti ini?
“Kau akan ikut kan sayang?” Nyonya Han nampak keluar
dari dapur menghampiri kedua anggota keluarganya.
“Eomma, aku tidak suka melukis lagi!”
Hanrae dan Minji menatap Yeonrin yang dengan cepat
masuk dalam kamarnya.
“Yeonrin kenapa eonn?” Tanya Minji.
“Sejak kecelakaan Yeonrin sudah tidak suka melukis
lagi. Anak itu memendam semua impiannya dalam-dalam. Aku sudah mencoba untuk
meyakinkan Yeonrin bahwa kekurangan fisik bukanlah apa-apa untuk menggapai
impian, tapi dia enggan mendengar.”
YOU AREN’T ALONE
YEONRIN POV
“Yeonrin, ini Bibi, ada yang harus kita bicarakan.”
Aku mendengar suara Minji Bibi yang sejak tadi
membujukku untuk keluar kamar. Tapi aku tak menggubrisnya sama sekali.
Kepalaku semakin berkecamuk ketika Bibi datang dengan
kabar sudah mendaftarkanku. Ini sangat tiba-tiba dan memdadak, aku belum siap.
Bahkan Bibi belum meminta pendapatku lebih dulu.
Otakku makin tertusuk ketika mengingat Kyungsoo yang
memintaku untuk melukis lagi. Aku tidak bisa, ini sangat berat. Aku sudah tak mampu
melihat sorot merendahkan yang ditujukan padaku seperti beberapa waktu lalu.
Aku menarik knop pintu perlahan dan membiarkan Bibi
masuk ke dalam kamarku yang berantakan. Bibi duduk di tepi ranjangku, menatapku
seperti sedang mengharapkan sesuatu.
“Bibi tahu, kecelakaan setahun lalu sangat memukulmu
kan? Tapi kau harus bangkit dan menggapai impianmu, kau ingin menjadi pelukis
terkenal kan?”
“Itu sudah sangat lama. Sekarang yang aku inginkan
hanya fisik yang lengkap. Bukan lagi seorang pelukis terkenal.”
“Lalu bagaimana dengan Kyungsoo, kau tak melihatnya?”
Aku mengerutkan kening. Aku tak tahu dengan jalan
pikiran Bibi. Kenapa bisa-bisanya Bibi menyangkut pautkan Kyungsoo dalam
pembicaraan kita?
“Dia buta, Yeon. Tapi semangatnya masih berkobar. Meski
sulit untuk memainkan biola dengan keadaan tak bisa melihat, tapi buktinya dia
bisa bermain dengan baik. Kau tak malu padanya?”
Darimana Bibi tahu kalau Kyungsoo pandai memainkan
biola?
“Dulu saat Hyemi sakit, Kyungsoo datang menghiburnya.”
Hyemi? Astaga Tuhan! Aku menutup mulutku tak percaya.
Aku mengingatnya, aku ingat saat Hyemi -sepupuku- dirawat di rumah sakit itu.
Saat itu seorang anak laki-laki mendatangi kamar rawat Hyemi dan disambut
hangat olehnya. Dulu aku belum cacat seperti ini dan saat itu aku sempat
mengejek Kyungsoo.
Aku bilang padanya bahwa ia sok jago memainkan biola
padahal sangat buruk ditelingaku. Tapi Kyungsoo masih tersenyum kala itu,
memberi kesan hangat padaku. Tapi tetap saja aku memakinya habis-habisan, dan
akhirnya dilerai oleh Hyemi.
Aku menitikkan air mata. Mengingat dahulu kala ternyata
aku adalah anak yang jahat. Aku juga menangis karena mengingat Hyemi yang sudah
meninggal dua tahun lalu, karna operasi pencakokan ginjalnya gagal.
“Kalau kau memang tidak ingin mengikutinya, baiklah, Bibi
tidak akan memaksa.” Ujar Minji Bibi sembari keluar kamarku.
YOU AREN’T ALONE
Ramai riuhnya tempat perlombaan semakin sesak dipadati
orangtua dan pembimbing. Hanrae dan Minji mengamati Yeonrin yang masih sibuk
dengan kanvasnya. Waktu perlombaan hampir habis, tersisa tiga puluh menit lagi.
Yeonrin menggores kuas sesuai keinginannya untuk
mempercantik lukisan yang dibuat olehnya. Di atas kanvas itu terlukis seorang
anak dengan kursi roda duduk di bawah pohon bersama seorang laki-laki yang
memegang tongkat sedang menatap langit yang kian memudar.
Yeonrin mengumpulkan hasil lukisannya pada juri setelah
waktu benar-benar habis. Ia sangat tegang untuk mendengar hasilnya nanti.
“Bibi, Kyungsoo sudah operasi kan?” Tanya Yeonrin
memastikan kalau bibinya tak berbohong.
“Sudah, dokter Junghwa mengabari Bibi beberapa jam lalu
kalau operasi dilakukan hari ini.”
Yeonrin tersenyum bahagia. Ia memang sudah membuat
perjanjian dengan bibinya. Yeonrin akan ikut lomba jika Kyungsoo dipindahkan ke
rumah sakit tempat kerja bibinya supaya mendapat pengobatan yang lebih baik.
Dan tak lama setelah dipindahkan, ternyata datanglah mata yang siap didonorkan.
Kini Yeonrin dan semua orang yang berpartisipasi dalam
lomba dibuat ketar-ketir dengan pengumumannya.
“Juara tiga dipegang oleh Jung Hee Ra...”
Suara tepuk tangan sangat riuh menyambut seorang anak
perempuan yang menaiki panggung.”
“Juara dua diraih oleh Park Seung Ri...”
“Dan juara pertamanya dicapai oleh.... Han Yeon Rin...”
Semua orang bertepuk tangan. Yeonrin memandang Bibi dan
eommanya bergantian sebelum naik keatas panggung. Ia sangat senang hari ini.
YOU AREN’T ALONE
YEONRIN POV
Hari ini akan menjadi hari paling bersejarah dalam
hidupku. Untuk pertama kalinya setelah kakiku lumpuh, aku memenangkan juara
satu lomba melukis seKorea Selatan. Ditambah lagi hari ini Kyungsoo akan bisa
melihatku. Aku mengayun tanganku lebih cepat, sudah tak sabar untuk menemui
Kyungsoo.
Minji Bibi dan eomma berlarian di belakangku, meski lelah
namun hal itu tak bisa menahan kebahagiaan hari ini.
Aku berada di depan ruang operasi Kyungsoo, kata Bibi
sebentar lagi dokter akan keluar karena waktu operasi akan berakhir -menurut
perkiraan Bibi-.
Benar saja, aku melihat dokter Junghwa -salah satu
dokter terbaik di rumah sakit ini- keluar dari balik pintu. Ia menatapku
terkejut namun segera menghampiri Bibi.
Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan, karena volume
suara mereka sangat pelan. Tapi aku tahu satu hal, pasti ada yang tidak beres.
Aku bisa melihat raut kesedihan bercampur dengan rasa bingung menguasai wajah Bibi.
Sebenarnya ada apa?
Tampaknya jawabannya sudah ada di depan mata. Aku
melihat bangsal keluar dari ruangan operasi. Seseorang yang ada diatas bangsal
itu tertutup selimut hingga bagian wajahnya namun menampakkan bagian telapak
kaki.
Hatiku tertohok. Mataku memanas seketika saat Bibi
berlari untuk membuka selimut yang menutupi wajah pasien itu. Kyungsoo ada disana.
“Kyungsoo, Kyungsoo-ya.. Ada apa Kyungsoo? Bangunlah!”
Teriakku histeris.
Eomma mendekap tubuhku erat, air matanya tumpah
membasahi pakaianku.
“Sudahlah Yeonrin, hentikan.” Lirihnya.
Tapi aku tak rela! Sama sekali tak rela, kenapa
Kyungsoo harus gagal dalam operasi? Kenapa semua ini harus terjadi?! Aku
menangis histeris dalam dekapan eomma.
YOU AREN’T ALONE
Daun kuning itu putus dari dahannya, terbang di udara,
sebelum jatuh menimpa gundukan tanah yang masih baru. Anak perempuan itu masih
saja menangisi kepergian seorang anak laki-laki buta. Yeonrin sesenggukan
mengingat momen-momen terakhirnya bersama Kyungsoo.
Suasana pemakaman sudah sepi sejak setengah jam lalu,
hanya tersisa anak lumpuh yang meratapi nasibnya dikemudian hari ditemani
ibunya.
“Ayo pulang Nak, tak baik terlalu lama hanyut dalam
kesedihan. Eomma yakin Kyungsoo akan bahagia disana. Berhentilah menangis.”
Yeonrin masih sesenggukan. Ia menatap makam Kyungsoo
sebelum ia pergi. Tangannya menggenggam erat amplop putih. Hari ini, untuk
pertama kalinya Yeonrin bertemu dengan orangtua Kyungsoo. Mereka memberinya
sepucuk surat.
Jemarinya perlahan membuka amplop itu, mengeluarkan
secarik kertas dari dalamnya.
Hai
Yeon, temanku yang sangat cantik
Yeonrin tertawa getir ketika membaca kalimat pertama.
Bagaimana mungkin Kyungsoo bisa menuliskan kata 'cantik' bahkan ia belum pernah
melihat wajah Yeonrin.
Aku
sangat berterima kasih padamu. Aku tahu siapa orang yang mengusulkan supaya aku
dipindah ke rumah sakit yang lebih mapan, itu kau kan? Akhirnya aku akan bisa
melihat lagi. Donor mata itu akan menjadi awal hidup baru. Aku harap operasinya
berjalan lancar, supaya aku bisa melihat wajah bahagiamu. Aku dengar dari Minji
ahjumma kalau kau melakukan ini semua hanya demi aku. Haha, aku tak menyangka
kau sangat peduli padaku.
Yeon,
aku tidak tahu hasil operasinya nanti seperti apa. Apakah berhasil atau gagal,
tapi aku berharap yang terbaik saja. Terima kasih banyak ya atas semua yang kau
berikan padaku. Aku senang bisa mengenalmu dalam hidup yang singkat.
Jangan
lupa berjuang demi cita-citamu ya! Jadilah pelukis terkenal dan aku akan
bahagia ketika melihatmu bisa mencapainya. Dan ingat satu hal, kau tak pernah
sendiri dalam hidup ini. Hwaiting!
Salam
sayang,
Do
Kyungsoo
Yeonrin menitikkan air matanya membuat bekas di kertas
putih dengan serentetan tulisan tangan yang amburadul. Yeonrin memakluminya
karena ia tahu Kyungsoo tak bisa melihat dan pastinya secarik kertas itu pernah
menjadi saksi bisu kerja keras Kyungsoo.
Namun Yeonrin masih menyayangkan kegagalan hari itu.
Seharusnya saat itu akan menjadi hari yang paling membahagiakan. Tapi takdir
berkata lain. Padahal Yeonrin sangat ingin menunjukkan hasil lukisannya pada
Kyungsoo, tapi ternyata operasinya gagal.
Benar, tidak ada yang tahu bagaimana takdir seseorang.
Tidak ada yang tahu berapa umur hidup seseorang. Maka lakukanlah sesuatu yang
berharga untuk hari ini, karna esok belum tentu kita masih bernafas.
Untukmu, sahabatku, kau mengajarkanku sebuah makna atas
nama perjuangan. Aku akan bekerja keras tanpa putus asa untuk meraih impianku.
Dan kau, lihatlah hasilnya nanti, namamu akan terpampang sebagai obyek karyaku.
Yeonrin menatap langit biru bersih tanpa serabut awan.
Mengukir janji dan berusaha untuk menepatinya.
THE END
0 Response to "You Aren't Alone"
Post a Comment