
Aku tahu ini tidak berdarah tetapi kenapa terasa sakit?
EXO’s
Chanyeol and OC’s Leina Jeanne | Sad
| PG | Ficlet | Tiwii Jung Artwork | Deev,2015
.
Paragraf
setelah titik (.) vertikal berjumlah dua sebagai penjeda antara dua waktu yang
berbeda.
Pemuda jangkung itu membanting pintu lantas berlari
kencang; mengabaikan segala omelan ibunya yang bergema di dalam langit-langit
rumah. Lengkungan lebar terulas di bibirnya. Dwinetranya menatap jalanan di
depannya, namun pikirannya terus melayang-layang; menerka-nerka apa yang akan
dikatakan gadis itu padanya nanti. Dan tanpa disadari, ia mulai mengembangkan
senyum di bibir.
.
.
Langkah Chanyeol terburu-buru sampai tak menyadari
telah menginjak sebuah kerikil dan membuatnya hampir saja tergelincir. Segera ia
menyeimbangkan tubuh lagi. Sebelah tangannya menghapus peluh yang menetes dari
setiap inci wajahnya.
Sejujurnya Chanyeol sangat benci dengan hal ini.
Berlari, merupakan salah satu hal yang paling tak ia sukai. Tetapi kali ini ia
harus melepaskan rasa benci itu dari benaknya. Chanyeol harus melawan segala
rasa tidak sukanya.
Hujan deras yang mengguyur ibu kota sama sekali tak ia
hiraukan. Pemuda cilik itu hanya fokus pada jalan raya yang ia lalui menuju
halte bus. Chanyeol memperlebar langkahnya, tinggal beberapa meter lagi ia akan
mencapai tujuannya.
Napas Chanyeol tersengal ketika alas kakinya telah
berhasil mencapai lantai halte dan tepat saat itu sebuah bus berwarna biru
berhenti. Segerombolan manusia turun ketika pintunya terbuka, kedua iris gelapnya
bergerak liar mencari-cari.
Seorang gadis turun dari bus. Kedua lubang telinganya
tersumpal oleh earphone putih serta
bibirnya bersenandung mengikuti alunan musik yang mengalun dari ponselnya.
Bibir Chanyeol mengembang ketika melihat gadis yang ia
cari. Lantas ia berteriak, “Leina Noona!”
Gadis itu menoleh tepat ketika Chanyeol memanggil
namanya. Keberuntungan yang bagus. Jadi, Chanyeol tak perlu menghampirinya dan
menepuk lengannya. Gadis itu melihat Chanyeol yang sedang melambai padanya. Lantas
ia mengulas senyum simpul. Ia berjalan mendekati Chanyeol seraya melepas earphone dari kedua telinganya.
“Apa yang kamu lakukan di sini, huh? Bajumu basah kuyup, pasti kamu habis main hujan-hujanan, ya?”
Chanyeol meringis.
“Astaga, bagaimana kalau nanti kamu sakit, hm? Lihat, bahkan tubuhmu menggigil dan
bibirmu membiru.”
“Aku tidak apa-apa, Noona.”
Gadis itu menggeleng, “Setelah ini kamu harus mandi
dengan air panas dan minum minuman hangat serta lekas tidur supaya besok tidak
terkena flu.”
Chanyeol hanya diam menatap gadis yang beranjak duduk.
Dalam hatinya ia mengulum senyum. Terlampau bahagia atas perhatian yang
diberikan gadis itu.
“Menyebalkan sekali! Kenapa hujan harus datang saat
ini? Aku harus segera pulang, kalau tidak aku akan melewatkan acara TV
favoritku,” dengusnya kesal.
Chanyeol tersenyum, inilah
saatnya menjadi pahlawan. Lantas mengambil sesuatu dari dalam tas
ranselnya: sebuah payung, “Kita bisa pulang sekarang Noona, aku membawa payung.”
Gadis itu membelalak dengan binar bahagia, “Kamu memang
malaikatku,” serunya seraya mengusap puncak kepala Chanyeol lalu mencubit kedua pipi Chanyeol gemas.
.
.
Lampu lalu lintas itu berganti warna menjadi hijau.
Chanyeol menahan langkahnya yang sudah kelewat sabar. Senyum di bibirnya masih
belum hilang sejak keluar dari rumah. Detik-detik yang terlewatkan dengan Leina
benar-benar memenuhi isi otaknya, dan membuatnya selalu mengulum senyum ketika
mengingat semuanya.
.
.
Chanyeol berjalan beriringan dengan Leina—gadis yang ia sukai diam-diam. Sepanjang
perjalanan gadis itu selalu menceritakan hal-hal mengenai acara TV kesukaannya
yang padahal sama sekali tak dimengerti Chanyeol, tetapi Chanyeol tetap
memperhatikan semuanya.
Langkah Chanyeol ikut berhenti ketika tiba-tiba Leina
menghentikan langkahnya. Gadis itu menatap Chanyeol yang lebih pendek darinya,
“Astaga, pakaianmu basah Chan, kenapa tidak bilang kalau tidak kebagian payung?
Kemarilah.” Leina menarik tubuh Chanyeol: merangkulnya.
Refleks Chanyeol langsung memegang dadanya yang
berdebar-debar, namun tetap mencoba bersikap biasa. Chanyeol mengangkat
wajahnya—memandang wajah sempurna milik Leina, “Leina Noona,” panggilnya.
“Apa?”
“Apa Noona
sudah mempunyai pacar?”
“Eiy, untuk
apa kamu menanyakan hal itu padaku eoh?
Memangnya apa yang akan kamu lakukan ketika aku memiliki kekasih? Dan apa yang
akan kamu lakukan kalau aku belum memilikinya?”
Chanyeol memalingkan muka. Susah payah ia menelan
saliva sebelum akhirnya memilih untuk memandang wajah Leina lagi, “Tipe lelaki
seperti apa yang Noona suka?”
“Eng…” Leina
nampak sedang berpikir, “yang jelas bukan seperti kamu,” katanya sembari menoel
hidung Chanyeol.
“Kenapa? Memangnya aku tidak tampan bagi Noona?”
Leina menggeleng, “Bukan itu. Hanya saja kau masih
terlalu muda untukku. Mana mungkin aku bisa pacaran dengan lelaki berusia
delapan tahun sedangkan aku sudah berumur
enam belas tahun?”
“Kalau begitu, apakah Noona mau menungguku sampai aku berusia tujuh belas tahun?”
Leina terhenyak, namun segera kembali bersikap biasa. Anak kecil selalu suka bicara sembarangan,
batinnya. “Eng.. aku tidak tahu.
Lagipula tujuh belas tahun masih terlalu muda untukku.”
“Kalau begitu, Noona…
ayo berjanjilah padaku! Sepuluh tahun lagi aku akan datang kepadamu dan
menyatakan perasaanku, apa Noona akan
menerimaku?”
“HA?” pekik Leina, “Aish, kamu ini! Pikirkan hal itu
nanti saja, ok?” katanya seraya mengusap-usap rambut Chanyeol.
.
.
Noona,
aku sudah delapan belas tahun sekarang, kalimat itu terus keluar
dari hati Chanyeol.
Pagi ini, ketika Chanyeol membuka mata, ia menyadari
satu hal yang selama ini ia harapkan datang lebih cepat. Usia delapan belas
tahun. Dan sekarang ia akan menemui gadis yang sejak dulu ia suka, Aleina
Jeanne—gadis bule yang tinggal di samping rumahnya.
Chanyeol telah menginjakkan kaki di area tempat kerja
Leina: restoran keluarga Leina. Ia bergegas menemui Tuan Joe yang kebetulan
sedang akan keluar dan langsung menanyakan keberadaan gadis yang ia cari. Tapi
mungkin nasib buruk sedang didapat Chanyeol pagi ini karena Leina sedang tidak
ada di restoran.
Langkah Chanyeol lunglai meninggalkan restoran dan
berjalan asal hingga tiba di sebuah taman kota dengan pepohonan rindang yang
menyejukkan. Atensi Chanyeol tertuju
pada seorang gadis yang sedang duduk di salah satu bangku taman bersama seorang
lelaki. Ia mengenali gadis itu. Bibirnya merekahkan seulas senyum bahagia,
hendak berlari menghampiri gadis itu.
Tetapi langkahnya terhenti. Tubuhnya mematung. Seluruh
energinya luruh menyatu tanah. Dwinetra yang semula berbinar meredup seketika.
Semua itu terjadi tepat ketika lelaki yang bersama Leina menempetkan bibir
diatas bibir Leina. Sakit. Terlalu perih.
Telapak tangan Chanyeol menyentuh dada. Rasanya detak
jantung tak lagi ada, terlalu lemah. Aku
tahu ini tidak berdarah tetapi kenapa terasa sakit?
Chanyeol memutar tubuhnya, berniat meninggalkan taman
kota dengan segala pilu. Kesialan pada delapan belas tahun yang selama ini ia
harapkan akan menjadi keberuntungan.
THE END
0 Response to "18 Bad Luck"
Post a Comment