*
Tell me is this where I give it all up?
Cause the writing's on the wall
*
Kemanapun sepatu itu melangkah, semua akan berakhir pada satu titik dimana hal itu dimulai. Perasaan abstrak yang berkecamuk liar menimbulkan denting perkusi dalam dadanya tak henti-henti bermusik. Kejadian diluar nalar yang hanya dapat dirasakan oleh hati.
Joshua memasukkan kedua tangannya dalam saku celana jins, memandang sebuah dinding yang sudah usang dipenuhi coretan nakal anak muda vandalisme. Rambut cokelat blondenya tersapu oleh angin, samar sebuah lengkung bibir terpatri hiasi gerak matanya yang meredup mengikuti arah semut yang berjalan di sekitarnya.
*
How do I life?
How do I breathe?
*
Joshua tak lagi menghirup napas, pun menghelanya. Tubuhnya diam mematung tak goyah sedikitpun meski diterpa udara berbentuk angin kecil. Atensi bathinnya tertuju pada sebuah peristiwa yang menyita seluruh minatnya untuk hidup diatas tanah bumi ini.
“Joshua!”
“Ayo kejar aku!”
“Dasar payah!”
“Kemarilah Lemah!”
“Look! Look at—”
Joshua mengusap rambutnya bersamaan dengan helaan napas berat. Jalanan panjang disebelah kanannya memiliki sesuatu yang buruk sepanjang umur ia memijak tanah bumi. Aspal abu pekat itulah yang menjadi pembaringan terakhir gadis yang dicintainya.
“Jo.. Joshuaa..”
“Joooo…”
“Help.. don’t leave me..”
Tekanan bathin dalam jangka waktu yang tak bisa ditentukan oleh siapapun bahkan psikiater sekalipun. Hell! Bawa Joshua kesana sekarang untuk menebus dosanya. Itu tak cukup, belum bisa memenuhi segala rasa bersalahnya.
“Joshua..”
“Take my hand..”
“Ugh!”
“My.. help.. you..”
Alas kaki Joshua tergerak mundur, selangkah demi selangkah. Bayangan itu tak pernah berhenti menghantuinya. Bahkan untuk sekarang ia bisa melihatnya dengan jelas.
Sebuah tangan berdarah-darah, mengambang di udara meminta pertolongan. Raga yang berderai air merah enggan menutup sumber mata airnya.
Sedetik.
Dua detik.
Lima detik.
Joshua tetap mematung, membeku seribu gerak.
“Joo..”
Joshua tetap memilih menjadi seorang pengecut.
“AARGGHH!” erangnya frustasi berlebih.
Rautnya yang semula kalem berubah menjadi seratus delapan puluh derajad. Amarah yang melapisi hatinya. Kecelakaan itu memukul kejiwaannya. Truk berwarna kuning yang menghabisi nyawa gadisnya. Sorot lampu kuning yang menjadi cahaya terakhir gadis yang dicintai Joshua.
Semua ini karena siapa?
Karena dirinya sendiri.
Kau seorang pengecut, Jo.
Bahkan ketika seribu manusia berusaha menolongnya.
Kau diam mematung dan hanya menatapnya.
Bodoh.
Isn’t the destiny?
-fin
A/N : Eh btw tau gak sih cerita ini absurd bangat :”) Gatau lah gelap :v
yang penting nulis gatau hasilnya kek gimana lol maapkeun daku :”)
Review ya teman!
Bonus foto Jojo, hati-hati mimisan :v hati-hati jatuh cinta sama suami gue :v
0 Response to "Writings on the Wall"
Post a Comment