OMG’s
Arin
and NCT’s Yuta | G | Slice of life | Ficlet
Vxiebell,2016
Vxiebell,2016
Seharusnya
aku merasa bahagia setengah mati karena berada di dalam rumah ini. Aku bisa
melihat wajah Kak Yuta kapanpun kumau. Aku bisa tahu apa saja yang sering Kak Yuta
lakukan ketika berada di rumah. Aku menjadi tahu bagaimana sikap Kak Yuta pada
orangtuanya. Semua yang selama ini aku khayalkan akhirnya bisa kulihat sendiri.
Bagaimana Kak Yuta yang patuh pada orang tuanya, bangun pagi dan membantu
mereka, melihat wajahnya yang baru bangun tidur. Tapi, hingga detik ini aku tak
bisa membiarkan perasaan senang dan bahagia itu merekah di hatiku.
Kenapa?
Karena, setiap melihat wajah Kak Yuta, aku selalu
merasa menyesal.
“Sedang apa?” Suara Kak Yuta menyeruak di gendang
telingaku. Sekon berikutnya bisa kurasakan hempasan tubuhnya ketika memilih
duduk di sofa hijau yang sama denganku.
“Belajar,” jawabku seadanya.
“Belajar yang rajin, ya, Rin.”
Aku hanya membiarkan suaranya melewati telingaku dan
enggan membalasnya. Bolpoin di tanganku mulai menari lagi di atas buku tebal
yang sedang ku pegang. Aku ingin segera menyelesaikan tugas ini, namun rasanya
otakku benar-benar tak bisa berfungsi lagi. Di mana kemampuanku yang dulu? Yang
bisa fokus dan tak akan membiarkan sesuatu apapun mengganggu pekerjaanku.
“Besok.. mau jalan-jalan?”
“Aku harus belajar, Kak. Ujian sudah semakin dekat.”
“Benar, tapi kau juga perlu piknik supaya tidak stres,
Rin. Ayah mengajak kita—”
“Kak, aku harus belajar,” potongku cepat.
“Ya, baiklah.” Kak Yuta mengekspresikan kekecewaannya
dengan cukup jelas di garis wajahnya. Lantas ia menghempaskan punggung ke header sofa sambil meneguk teh yang
mengisi mugnya.
Piknik? Itu artinya kita akan naik mobil. Sayangnya,
aku punya trauma dengan mobil baru-baru ini. peristiwa yang membuatku sampai
sekarang merasa ketakutan, menyesal, dan kecewa.
Kenapa harus Kak Yuta?
Seandainya saja kecelakaan mobil itu bukan karena orang
tua Kak Yuta...
Selalu saja ada penyesalan yang membuat kepalaku sakit,
hatiku ngilu, dan.. membuatku tak bisa hidup dengan tenang. Kecelakaan malam
itu, saat di mana dua mobil saling bertubrukan di depan mataku.. menyebabkan
orang tuaku meninggal.. membuatku terjebak di rumah ini.. memperumit kisah
hidup ini...
Aku menutup buku. Malam ini, lagi-lagi aku tak bisa
mengerjakan satu soalpun.
“Sudah selesai?” tanya Kak Yuta. Sebulan terakhir ini, dia memang bersikap layaknya seorang kakak padaku. Yang membuatku merasa tak nyaman.
Aku mengangguk. “Sudah, Kak.”
Kak Yuta banyak berubah. Sejak sebulan lalu, dia sudah
tak lagi pelit senyum padaku. Dia selalu tersenyum setiap hari. Menyambut
pagiku dengan senyuman, ketika sarapan, saat menonton TV, sampai hendak ke
kamar pun ia akan tersenyum padaku.
“Kalau gitu, gosok gigimu dan lekas tidur.”
“Aku ke kamar dulu, Kak.”
“Aku antar sampai ke kamar,” ucapnya dan kubalas dengan
anggukan kepala.
Kami berjalan beriringan tanpa ada yang berbicara sama
sekali. Dua pasang kaki berhenti tepat di depan pintu kamarku.
“Aku masuk dulu.”
“Semoga mimpi indah, Rin.”
“Kakak juga.”
“Maaf. Aku tahu, hingga detik ini kamu masih belum bisa
menerima kematian kedua orang tuamu. Seandainya aku bisa menggantikan mereka,
aku pasti melakukannya. Apapun akan kulakukan asal kau bahagia.”
Bibirku tertarik ke atas, membuat sebuah senyuman
hambar. “Jangan bicara begitu. Maaf kalau selama ini aku hanya bisa menyusahkan
keluargamu. Bukan hanya aku saja yang masih syok, Paman dan Bibi pasti
merasakan hal yang sama. Aku juga yakin, Kak Yuta pun merasa begitu.”
Dengan tegas, Kak Yuta menggeleng. “Aku hanya
menyesal.”
“Tidak perlu merasa begitu, Kak. Seiring berjalannya
waktu, aku pasti akan baik-baik saja.”
Kak Yuta mengangguk. “Masuklah dan istirahat.”
Bibirku mengembang sebelum berbalik. Baru saja aku akan
membuka pintu dan melengang, tapi suara Kak Yuta kembali terdengar di
telingaku.
“Rin, menurutmu bagaimana hubungan kita—”
.
.
.
.
“—kalau
ayah tak memasukkanmu ke dalam daftar keluarga?”
—FIN
0 Response to "[Not Real] Sister"
Post a Comment