A absurd story by aldkalds with cast(s) Yuta, Taeil, Ten [NCT] and Nattaya [OC]
genre comedy-romance in chapter. Credit poster: Wafer Crush @ Poster Channel
genre comedy-romance in chapter. Credit poster: Wafer Crush @ Poster Channel
Summary:
Yuta hampir mati karena diputusin
Nattaya. Taeil sekarat karena harus mengurus Yuta. Ini kesempatan Ten untuk
mendapatkan pujaan hatinya. Nattaya? Hanya Tuhan dan dia yang tahu bagaimana
perasaannya.
.
.
Yuta
diputusin Nattaya.
Adalah
kalimat jahanam yang membuat sesosok Yuta menjadi uring-uringan hingga mogok
makan selama dua hari. Bayangkan! Nakamoto Yuta yang suka naik gunung, pernah
tersesat di beberapa hutan ketika pendakian dan sampai harus survive, dan sekarang ia masih hidup,
tapi bisa gila hanya gara-gara satu kalimat yang diutarakan gadis pembangkang
yang kini telah menjadi mantannya. Oh tidak, Yuta enggan menyebutnya mantan,
tepatnya, ia belum bisa menerima kenyataan pahit itu.
Taeil yang
notabene telah menjadi sohib Yuta sejak kecil—sejak mereka belum bisa pakai popok sendiri—hanyut dalam perasaan
ngenes yang amat menyiksa. Ia tak habis pikir, betapa lemahnya si Yuta itu.
Bisa-bisanya ia galau hanya karena seorang cewek.
Pemuda
berambut cokelat yang tengah terkapar dan sekarat di atas ranjang Taeil tak
sedikitpun menyadari betapa si empu ingin menyumpah-serapahinya. Namun, pemuda
Moon itu mencoba menahan diri, memberi dispensasi sebab Yuta telah menemaninya
sejak kecil ketika orangtuanya saja acuh tak acuh pada anak satu-satunya ini.
“Yut,
mending lo balikan aja deh sama Natt,” usul Taeil yang super ngawur itu
langsung dapat tatapan menusuk dari sahabatnya.
“Lo pikir
segampang itu apa?”
“Gue capek
liat muka kusut lo, dan omong-omong kapan lo mau ninggalin apartemen kesayangan
gue ini? Udah dua hari lo tiduran di kasur gue dan terpaksa gue yang baik hati
ini, ngalah dan tidur di sofa. Yang demi apapun bikin leher gue tengeng!”
“Gue nggak
nyangka, Natt bisa mutusin gue kayak gini. Padahal gue sayang banget sama dia,
cinta mati, bro.”
“Gimana dia
nggak minta putus kalo lo aja hampir mukul dia, tengah malem pula. Itu namanya
KDHP, Kekerasan Dalam Hubungan Pacaran. Bisa dituntut lo sama kakak-kakaknya Natt
yang.. you know-lah gimana reaksi
mereka kalau seandainya tau gimana peristiwa itu.”
Ucapan
Taeil justru membuat Yuta kembali terbanting ke dalam jurang kegelapan yang dipenuhi
kalajengking yang tak segan-segan menyengatnya. Ekspresi Yuta kembali sendu dan
membuat Taeil trenyuh. Seandainya ia niat, sudah sejak lama ia mengatai Yuta
sebagai Pengemis Cinta kalau dia bukan saja kawannya.
Akhirnya
Moon muak dan meninggalkan seonggok daging tak bernyawa di dalam apatemen yang
sunyi. Kalau bisa senang-senang, kenapa harus mengurus bayi putus cinta seperti
Yuta? Tentu saja, Taeil akan mengambil kesempatan pergi bersama temannya yang
bisa membuat kegembiraan.
Disebut
seonggok daging tak bernyawa, sama sekali tak membuat perubahan ekspresi yang
tertera di wajah memelas pemuda berdarah Jepang yang masih saja berbaring
telentang. Seandainya malam itu, ia tak emosi, pasti semuanya tak akan serunyam
ini. Bagaimana mungkin ia bisa kalah dengan egonya sendiri? Yuta menghela napas
pasrah.
(flashback on)
Malam
Minggu, Yuta mengunjungi rumah kekasih tercintanya. Seperti biasa, ia masuk dan
mengobrol sebentar dengan kakak tertua Nattaya, Eren namanya. Seorang cowok
yang sudah bergelut di dunia kerja yang sangat peduli dengan adik bungsunya.
Eren tak pernah membiarkan adiknya terluka sedikitpun, baik fisik maupun batin.
Makanya, Yuta harus baik-baik sama Nattaya kalau nggak mau kena tonjokan dari
abangnya yang satu ini.
“Malem ini
kita mau ke mana, Yut?” tanya Nattaya sambil memasang sabuk pengaman. Yuta tak
langsung menjawab, ia hanya diam dan langsung tancap gas. Sama sekali tak
peduli dengan omelan gadis bersurai hitam ikal itu. Bahkan gadis itu sempat
memaki dan menyumpah-serapahinya, namun sekali lagi Yuta tak peduli.
Lima belas
menit kemudian, mobil sedan silver itu telah terparkir di sebuah taman dengan
pencahayaan remang-remang. Yuta memberi isyarat bahwa mereka telah tiba di
tujuan dengan selamat, tapi tidak bagi Nattaya.
Ini bencana
besar! Saking ngebutnya urakan, Nattaya sampai nahan muntah. Ingin sekali ia
memuntahkannya di jok mobil atau kalau perlu di muka Yuta sekalian biar tu anak
kapok, tapi gadis itu enggan mengambil resiko. Alhasil, ia hanya bisa duduk diam
seraya mengamati lingkungan taman lewat kaca depan. Kalau nekat keluar
sekarang, pasti Natt akan terhuyung dan jatuh.
“Ayo
keluar,” ujar Yuta lagi, mirip dengan perintah yang harus segera dipatuhi.
Awalnya Natt
diam, tapi akhirnya mengaku juga pada pacarnya. “Aku pusing, Yut, duduk di sini
aja.”
Yuta
tertegun. Tampaknya aksi kebut-kebutannya terlalu berlebihan. “Sini aku bantu
keluar, kita cari udara seger dulu biar kamu nggak tambah pusing.”
Natt pun
mengangguk dan segera mengulurkan tangannya tatkala Yuta telah membukakan
pintu. Dengan cepat cowok Jepang itu meraih pinggang Natt dan memepetkan ke
tubuhnya lalu menutup pintu lagi.
“Kamu kuat
jalan?”
“Kuat kok,”
ujar Natt lirih.
Ini sama
sekali tak seperti dugaan Yuta. Natt yang keras kepala, pembangkang, dan suka
nyari ribut sama orang lain, bisa-bisanya teler
Cuma gara-gara aksi kebut-kebutan yang dilakukan Yuta. Ah! Perasaan bersalah
menjadi hinggap di benaknya.
Yuta
mendudukkan sang pacar di salah satu bangku taman yang diterpa cahaya remang-remang
lampu kekuningan. Kemudian langsung menangkup wajah tirus Natt dan mengecup
dahinya.
“Udah
mendingan?”
Natt hanya
tersenyum. Yang membuat Yuta bertambah merasa bersalah.
“Oiya, tadi
katanya ada yang mau kamu omongin sama aku? Kenapa nggak ngomong dari tadi aja
sih? Kenapa harus di sini?”
Seketika
Yuta menjadi ingat niat awalnya mengajak Natt ke tempat seperti ini.
“Kamu inget
hari di mana kamu muncak? Terus kita ketemu di sana.”
“Em..
inget, kenapa?”
“Sebelumnya,
kamu nekat banget pengen muncak bareng aku kan? Tapi aku nggak ngizinin. Terus,
hari itu aku liat kamu di sana, gimana kamu bisa sampe? Padahal naik gunung itu
butuh latian fisik yang kuat..”
“Kamu
ngeremehin aku, Yut? Ah, payah banget kamu! Nggak semua cewek tu lemah.”
“Iya, tau.
Tapi kan..”
“Eh,
bentar-bentar, ada telepon masuk nih. Aku angkat dulu, ya.” Nattaya tersenyum
dan agak menjauh untuk menerima telepon. Entah apa yang tengah dibicarakan
gadis itu dengan orang di seberang, yang jelas Yuta bisa melihat ada raut keceriaan
yang terpancar di muka gadisnya. Yang membuat ia merasa iri dan cemburu.
“Udah?”
sambut Yuta begitu Natt kembali ke sisinya. Gadis itu mengangguk. “Dari siapa?”
“Temen.
Oiya, temen aku ini yang ngebantuin aku muncak hari itu. Kalau nggak ada dia,
pasti aku nggak bakalan bisa sampe puncak. Soalnya waktu di tengah jalan aku
sempet capek banget, dan akhirnya jatuh, tapi untungnya ada dia yang nolongin.
Walaupun agak nggak enak juga, tapi ya syukurlah dia mau nggendong aku sampe ke
pos selanjutnya. Kebetulan waktu itu jaraknya nggak terlalu jauh, hehe.”
Jantung
Yuta berhenti berkontraksi. Apa? Digendong? Dan pasti dia.. seorang cowok kan? Mendadak
atmosfer menjadi amat memanas. Hati kecilnya berteriak. Nggak seharusnya hal
itu terjadi. Natt adalah miliknya. Nggak ada seorangpun yang boleh menyentuh
miliknya. Amarah menjadi memuncak di ubun-ubun. Yuta menahan emosi setengah
mati, namun Natt malah melanjutkan cerita yang dianggapnya menarik itu. Oke,
Yuta muak.
“Cukup, Natt!
Siniin hape kamu!”
“Nggak mau!
Buat apa?”
“Siniin!
Pokoknya aku nggak mau kamu berhubungan lagi sama cowok itu.”
Natt
mempertahankan ponselnya, berkebalikan dengan Yuta yang berusaha keras
merebutnya. Beberapa saat, mereka saling tarik-menarik ponsel, hingga benda
persegi panjang itu terlempar dan mengeluarkan organ dalamnya.
“Yuta! Kamu
tu apa-apaan sih?!” bentak Nattaya kesal seraya memungut HPnya yang nyaris
kehilangan nyawa.
Emosi
pemuda berambut cokelat itu belum bisa diatur, ia masih marah. Alhasil, ia
melangkah cepat dan menarik tangan Nattaya, membuat HP itu kembali terlempar ke
tanah. Tatapan matanya membara menuntut sebuah pernyataan.
“Kamu lebih
pilih dia?”
“Dia?” Nattaya
belum menyadari pokok permasalahan ini.
“Jangan sok
bodoh!” bentak Yuta. Matanya memerah, geliginya bergemelutuk menahan kekesalan.
Tenggorokan
Nattaya tercekat setelah ia menyadari akar permasalahannya. “Ah, karena Ten?
Aku sama dia Cuma temenan, Yut. Dulu sewaktu aku tinggal di Bangkok, aku sempat
satu sekolah dengannya. Kami Cuma sebatas teman, kamu nggak perlu bereaksi
kayak gini.”
Yuta
memejamkan matanya sembari menghembuskan napas perlahan. Kemudian membuka
kelopak matanya lagi, dan menatap Nattaya. Mengambil satu langkah lebih dekat
dengan gadis itu.
“Enak
banget, ya, kamu ngomongnya? Kamu Cuma belum pernah ngerasain posisi aku aja.
Setelah kamu tahu, kamu nggak akan bisa lebih santai daripada aku.”
Nattaya
bergidik ketika Yuta menampilkan wajah yang baginya sangat menyeramkan. Seumur
hidup, baru kali ini Nattaya melihat ekspresi Yuta yang semengerikan ini. Ia
melangkah mundur, selangkah demi selangkah. Namun Yuta menyentakkan
genggamannya yang belum lepas dari lengan Nattaya yang mulai memerah.
Nattaya
kaget. Ketakutan menguasai dirinya untuk sejenak. Kemudian ia memejamkan mata
sepersekian detik sebelum membalas tatapan mata Yuta yang menusuk.
“Ok,
terserah kamu mau bilang apa, berpikiran macem apa, tapi yang perlu kamu tau,
aku bener-bener nggak punya rasa apapun sama Ten.”
“Kamu tau,
bukan itu maksudku.”
Nattaya
mengangkat alis. “So, what?”
Yuta diam.
Memberi waktu bagi Nattaya untuk berpikir.
“Ahh,
Sewaktu Ten nggendong aku? Bener
kan?” tebak Nattaya sembari tersenyum menantang. Merasa muak dengan sikap Yuta
yang kekanak-kanakan. “Aku jatuh, kakiku sakit, mana bisa aku jalan? Ten udah
seperti kakakku. Kamu jangan berpikiran aneh-aneh, Yut.”
Yuta
menggeleng. “Tapi kamu nggak tau gimana perasaan dia ke kamu kan?”
Nattaya
sudah tak bisa memperpanjang kesabarannya. Ia mendengus. “Ok, trus kenapa kalau
seandainya dia punya perasaan sama aku? Kenapa? Aku harus ngejauhin dia, gitu?
Aku harus lupain dia, dan hapus namanya dari hidupku? Gitu, mau kamu?”
“Aku sama
Ten udah kayak kakak-adik, Yut!” sentak Nattaya yang membuat tangan Yuta
melayang di udara.
Hampir.
Hampir
menampar wajah mulus gadis itu.
Nattaya
yang sempat memejamkan mata, kini kembali membukanya. Ia mendecih. “Cih. Jadi, sebatas ini kepercayaan kamu sama
aku? Atau jangan-jangan selama ini kamu nggak pernah percaya sama aku,
sekalipun?”
Yuta
menurunkan tangannya. Memandang Nattaya dengan rasa bersalah. Ia ingin bicara,
namun sulit sekali.
“Ok, lebih
baik mulai sekarang kita akhiri hubungan ini. KITA SELESAI!” ujar Nattaya tegas
seraya menarik lengannya dari genggaman Yuta. Meskipun hatinya pun tercabik,
tak mungkin ia menarik kalimat itu. Ia sudah berucap, maka itulah akhir
semuanya. Nattaya memandang wajah Yuta terakhir kalinya sebelum berbalik dan
melangkah pergi. Menyetop taksi dan hilang dari pandangan Yuta.
Yuta yang
masih mematung. Membeku seperti es.
(flashback ends)
Yuta meraih ponselnya. Membuka
galeri dan menilik kembali gambar-gambar tentang dirinya dan sang (mantan)
kekasih.
Bagaimana kabarnya?
Apa dia merindukanku?
Apa dia juga memikirkanku?
Apakah dia menyesali keputusannya
malam itu?
.tbc
0 Response to "[1.Yuta-Taeil-Ten] Just Move On!"
Post a Comment