Wound
Heart
Starring : OC’s Jihyo — iKON’s Yunhyeong | Rate : PG |
Genre : Comfort | Length : Ficlet (958 words) | Written by Vaehyunee | Poster art by Alkindi | ©2016
===============
♫You watch me bleed until I can't breathe
I'm shaking, falling onto my knees
And now that I'm without your kisses
I'll be needing stitches
Tripping over myself,
Aching, begging you to come help
And now that I'm without your kisses
I'll be needing stitches♪
I'm shaking, falling onto my knees
And now that I'm without your kisses
I'll be needing stitches
Tripping over myself,
Aching, begging you to come help
And now that I'm without your kisses
I'll be needing stitches♪
===============
Perasaan yang dahulu hanya sebuah khayalan tak bermakna
yang akan terhapus ketika sadar kembali. Kini aku dapat merasakannya. Suka yang
berubah menjadi lebih menyenangkan melebihi hadiah sejuta dollar. Sesuatu hal
yang mampu mengubah gaya hidup. Segala aktivitas yang biasanya membosankan
berbalik menjadi hal yang paling menyenangkan. Aku selalu menunggunya datang.
Aku tahu betapa malasnya untuk bangun pagi tatkala
tiada satu pun motivasi. Jangankan menginjakkan kaki di ‘sekolah’,
memikirkannya saja sudah membuat mood
menjadi down. Namun nyatanya ada satu
hal yang membuat hal itu berubah. Setiap pagi, tanpa adanya campur tangan orang
tua yang membangunkan, mata ini selalu terbuka dan selalu terasa segar. Tanpa
dipaksa, kakiku akan berjalan riang mempersiapkan diri untuk ke sekolah dengan
kicauan ria khas orang yang bersemangat.
Adalah cinta.
Kata yang selalu kudambakan selama ini. Akhirnya dapat
juga kurasakan betapa manisnya kata itu. Betapa bahagia dan bermaknanya tatkala
mengenal kata cinta yang sesungguhnya. Aku rasa, aku telah jatuh terlampau
dalam pada kemanisan cinta tanpa mampu memikirkan hal lain. Termasuk kata
‘perpisahan’.
“Yunhyeong,” suaraku tertahan memanggil nama pemuda
yang berdiri memunggungiku. Rambut blonde kecokelatannya membuat mataku perih
hingga berkaca-kaca dan merah.
Semilir angin dapat kurasakan membelai wajahku lembut,
namun tak dapat membuatku nyaman dengan sapuan itu. Siulan udara yang
menerbangkan anak rambut hitam legam hingga berantakan pun tak ku hiraukan sama
sekali.
“Maaf, Jihyo,” ujar pemuda yang masih setia
membelakangiku. Suaranya terdengar mulus, datar, tanpa nada sedikitpun. Ada apa
dengannya? Mengapa tiba-tiba berubah dingin seperti salju di Antartika?
Likuid bening menembus pelupuk mataku. Bergulir
melewati wajahku yang sudah pucat. Semuanya sia-sia. Aku terisak dalam tangis
memalukan ini. Aku menangis!
“Yunhyeong, aku—“
“Mianhae,”
Yunhyeong menyerobot jatah kalimatku. Ia meminta maaf padaku. Ya, memang benar,
dia meminta maaf padaku, tetapi tanpa rasa menyesal sedikitpun. Bagaimana bisa
dia bersikap seperti ini?!
Air mata semakin deras membanjiri wajahku. Seberapa keras
aku menahan supaya mereka tak tumpah, semua itu sia-sia. Seberapa kuat aku
menggingit bibir bawahku, percuma saja, suara sesenggukan akan tetap terdengar.
Sesegera mungkin aku mengusap wajah, menghapus air mata, tetapi air itu akan
muncul lagi, lagi, dan lagi. Aku lelah.
Yunhyeong melaju meninggalkanku. Langkah santai dengan
kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Dia bersikap seolah-olah dia itu
keren dan sama sekali tak bersalah.
Suaraku tercekat. Aku tak lagi dapat memanggil namanya.
Hanya suara tangis yang dapat keluar. Hanya air mata yang dapat melukiskan
betapa sakitnya perasaanku saat ini. Hanya tanah yang tahu betapa lemas dan
bergetarnya kedua tumpuanku. Hanya angin yang dapat merasakan kedinginan dan
kehampaan hati ini.
Hatiku menjerit.
Sebuah jerit kesakitan.
Aku sudah pernah merasakan luka, tapi tiada yang
membekas hingga seperti ini. Kata-kata Yunhyeong membuatku terpotong oleh
sayatan pisau yang dalam. Nadi ini berdetak sangat lemah. Dadaku sesak. Aku
butuh seseorang untuk menarikku dari kesesakkan ini. Aku butuh seseorang untuk
memberikan udara dan kehidupan. Akan tetapi seseorang itu malah pergi
meninggalkanku.
Aku sendirian.
Kini aku bertumpu pada lutut dalam kelemasan. Seluruh
ragaku roboh. Luruh bersama tanah. Semua telah hancur seperti kepingan kaca
yang tajam. Aku menangis, tapi siapa yang peduli? Kala hati dan ragaku serapuh
ini, engkau malah tetap berjalan pergi tanpa berbalik ataupun menoleh. Di mana
hati nuranimu?
Suara tangis kembali berpendar dalam untaian udara yang
kasat mata. Tak inginkah engkau berbalik dan menemuiku lagi? Tidak, aku rasa
tidak. Kau hanya berhenti dan mematung. Hanyut dalam pikiranmu sendiri. Aku di
sini, sangat rapuh tanpa oksigenku.
Kau.
Yunhyeong.
Kau berbalik dan memandangku seolah aku kasta rendahan.
Mengapa kau berubah? Mengapa kau seperti ini padaku? Kau hanya diam
memperhatikanku yang tengah berdarah-darah. Terluka. Hati ini tertusuk jutaan
jarum tajam yang membuat nyeri dan ngilu, tidakkah kau tahu?
“Jihyo!”
Seruan itu menyeruak ke dalam gendang telingaku. Aku
mendengarnya. Namun sama sekali tak berniat untuk tahu siapa gerangan.
Tiba-tiba sebuah tangan mendarat di pundakku dan satu tangan menggenggam
tanganku hangat. Namun kehangatan itu tak sama seperti yang kau berikan padaku.
Satu-satunya penghangatku di kala musim dingin tiba hanya kau. Tiada yang lain.
“Gwaenchanha?”
Suara itu kembali menyiratkan nada khawatir, namun aku
tetap setia memandangmu yang masih terpaku dalam posisi dinginmu. Dia—yang entah siapa—membantu tubuhku untuk
berdiri. Akan tetapi tak ada yang bisa membuat tenagaku kembali, kecuali
dirimu. Seberapa kuatnya orang ini, aku hanya bisa bangkit dengan uluran
tanganmu saja.
“Penghianat.”
Suara tegas Yunhyeong menyeruak di telingaku. Seakan
angin telah membawa suara itu kepadaku. Sepersekian detik berikutnya, kau
kembali berbalik dan bergerak lebih jauh meninggalkanku. Oh, ada apa?
Hatiku kembali merintih. Kengeluan ini, kapan ujungnya?
Tanganku terulur berupaya meraih tubuh Yunhyeong. Tanpa
sadar aku telah berlari mengejarnya. Namun mengapa Yunhyeong enggan berhenti
dan menjelaskan semuanya padaku? Aku berlari. Sebuah batu kecil hampir
membuatku terjatuh. Berkali-kali aku tersandung. Hampir roboh. Aku kehilangan
keseimbangan. Aku seperti tersesat. Aku seperi orang bodoh!
“Yunhyeong!” seruku parau.
Tubuh Yunhyeong berbalik seolah enggan dan langsung memberikanku
tatapan penuh emosi, “Kubilang kita PUTUS,” tegasnya sekali lagi. penuh
penekanan di setiap kata, terutama kata terakhir. Kata yang enggan kudengar
dari mulutnya.
Tubuhku membeku. Seketika lututku bergetar hebat. Aku
jatuh berlutut tepat di hadapan Yunhyeong. Tidakkah kau kasihan padaku? Mengapa
harus mengakhiri hubungan manis kita? Kau, hanya kau satu-satunya harapan
hidupku.
Aku seperti terseret dalam lubang kegelapan yang
tiba-tiba terbakar api. Panas. Sakit. Semua rasa menyakitkan itu membakar
tubuhku. Mengurung ragaku dalam selimut api. Aku hangus. Aku menjadi debu. Aku
tak bisa bernapas. Aku sekarat. Namun kau tetap tak mempedulikanku.
Kumohon,
kembalilah. Aku sangat mencintaimu.
0 Response to "Wound Heart"
Post a Comment