Siang
ini udara agak tak bersahabat. Udaranya sunguh panas. Bahkan di luar sana,
tanaman layu karena matahari menyengat mereka tak tanggung-tanggung. Kulit akan
benar-benar terbakar kalau saja keluar rumah, apalagi kaki yang tak memakai
alas. Dengan ganas, aspal akan membakar telapak kakimu.
Sedangkan
sejak sepulang dari jalan-jalan, aku hanya duduk di ruang tamu sambil
bermalas-malasan. Tiduran telentang di lantai yang dingin, atau guling-guling
tak jelas di karpet. Hari ini sungguh panas dan.. membosankan.
Aku
menghela napas kasar sambil bangkit berdiri. Baru ingat kalau masih ada tugas
kuliah yang harus kuselesaikan. Aku pun masuk ke kamar dan menyalakan laptop
kesayanganku, Labee namanya. Sebelum mengerjakana tugas, aku masuk ke area
dapur dan mengambil berbagai macam cemilan kesukaanku di rak atas. Tak lupa,
aku juga mengambil mug dan minuman
rasa jeruk sebotolnya. Kalau sudah begini, barulah aku siap bertarung dengan
tugas kuliah.
Oh, sungguh
terasa menjengkelkan ketika baru saja duduk dan siap mengerjakan, tetapi
tiba-tiba bel di pintu depan berbunyi. Aku sudah mengomel sampai mengeluarkan
sumpah-serapahku yang kejam sebelum bergerak sedikitpun. Tapi ketika kubuka
pintu dan mendapati Winwin yang berdiri di depanku sekarang, seketika aku ingin
memeluknya.
“Kenapa kau
baru datang sih?” tanyaku sambil mempersilahkannya masuk.
“Hehe, maaf
deh. Habisnya anak-anak ngadain acara, ya.. mau nggak mau aku harus datang
dong. Kamu lagi sibuk?”
Aku
menggeleng sambil mendudukkan diri di samping Winwin. “Acara apa sampai kamu
nggak bilang ke aku?” tanyaku penuh penekanan.
“Aku kan
udah bilang sama kamu, Rysh. Barusan kamu denger apa coba?”
“Tapi kamu
lapornya pas acara itu udah selesai, Win. Aku kira kamu pergi ke luar kota lagi
karena ada something yang harus
diurus. Bahkan aku juga berpikiran tentang orangtua kamu yang mungkin lagi
sakit. Kamu nggak tau betapa khawatirnya aku sama kamu? Dari kemarin aku nunggu
kabar dari kamu, tau!” cerocosku dan diakhiri dengan mencubit pipi Winwin
gemas.
“Kalau kamu
khawatir sama aku, kenapa kamu nggak hubungin aku aja, Rysh?” ujarnya sambil
menahan tanganku yang mecubit pipinya kemudian menggenggam tanganku.
“Jadi, aku
yang harus hubungi kamu duluan, iya?”
Winwin tak
menyahut. Dia tetap membungkam bibirnya sambil menatapku. Bahkan aku tak bisa
membaca matanya. Aku tidak tahu apa yang sedang dipikirkannya. Garis-garis
wajahnya juga membentuk ekspresi datar yang sempurna.
“Harusnya
kan cowok yang mulai duluan, Win. Kenapa sih kamu nggak pernah peka? Aku tuh
nungguin kamu dari kemarin. Tapi apa? Ngabarin aku aja, enggak. Bahkan aku
sempat mikir kalau kamu punya gebetan baru.”
Sekarang
aku bisa melihat tatapan jenaka di matanya yang indah.
“Kamu
cemburu?”
“Siapa?
Aku?”
“Uhm-hm.”
Aku
menghela napas. Sampai kapan aku harus meladeni sikap Winwin yang tak pernah
peka ini? Tanganku yang masih digenggam olehnya segera kutarik. Aku mengubah
posisi dudukku. Yang semula berhadapan dengan Winwin, menjadi berhadapan dengan
kursi lainnya. Aku merasa sedikit jengkel dengan sikap Winwin yang akhir-akhir
ini jarang menghubungiku. Entah alasan sibuk, acara keluarga, acara kampus,
atau apapun itu.. memangnya sebegitu sibuknya sampai tak bisa menghubungiku?
Yah, walaupun (kadang) aku juga tak terlalu suka berada di dekatnya, tapi kalau
dia jarang berada di dekatku seperti ini.. pikiran negatif selalu menyelimuti
otakku.
“Rysh,”
panggilnya. Namun aku langsung bangkit dan memilih meninggalkannya tanpa
pamitan. Kedua tungkaiku melangkah menuju kamar dan tubuhku langsung meminta
berbaring di kasur tanpa sempat menutup pintu.
Winwin itu
sungguh menyebalkan, batinku. Setelah berguling-guling tak jelas di atas tempat
tidur, aku beralih ke laptopku yang menyala. Mengingat niatku yang tertunda
tadi, aku pun mengerjakan tugas kuliahku saja. Mencoba sama sekali tak
memikirkan Winwin.
Tok.. tok.. tok..
Aku melirik
sekilas. Dan dapat kulihat Winwin tengah berdiri di ambang pintu sambil
mengetuk pintuku beberapa kali. Aku yang masih bad mood karena dia pun memilih mengabaikannya dan tetap fokus pada
tugasku.
Winwin itu terlalu lunak! erangku dalam hati ketika tak
mendengar suara ketukan pintu lagi. Baru diabaikan begitu saja, dia sudah
menyerah. Aku mendengus sebal. Kutolehkan kepalaku untuk mengecek pintu. Bahkan
dia sudah tidak berdiri di sana? Aku memutar kepala cepat dan lanjut mengetik
sambil sesekali mencomot cemilan.
Tak berapa
lama kemudian, aku berhenti. “Apa Winwin sudah pulang?” gumamku pelan.
Aku pun
memilih bangkit dan melompat dari tempat tidur menuju pintu kamar. Aku melongok
ke sana-sini, tapi tak melihat tanda-tanda Winwin. Aku bernapas kecewa. “Jadi,
dia udah pulang?”
Kulangkahkan
kedua tungkaiku menuju dapur. “Padahal aku berharap dia masih di sini,” sesalku
sambil membuka kulkas dan meneguk air dingin. Setelah itu, aku kembali menuju
kamar.
Ketika
jemariku memutar knop dan mendorong pintu..
“BWAA!!”
“Astaga-naga!”
jeritku kaget sampai-sampai tubuhku terlonjak ke belakang. Jantungku seolah
dipompa lebih cepat, makanya kuelus-elus dadaku untuk menenangkannya.
“HAHAHAHA...”
Aku melirik
sosok itu sinis. Kadang Winwin seperti
anak kecil yang bodoh. Lalu melewatinya begitu saja.
“Eh, Rysh!”
Winwin berlari kecil menghampiriku yang duduk di tempat tidur sambil memangku
laptop. “Jangan marah dong,” ujarnya.
Aku tak
menyahutinya. Jemariku sibuk mengetik kata-perkata di Ms.Word, sedangkan mulutku sibuk mendiktenya.
“Kamu tega
nyuekin aku?”
Aku masih
tak menjawabnya.
“Kenapa
sih, Rysh?”
Aku
mendengus kesal seraya memutar kepala untuk menatap matanya. “Lebih baik kamu
pikirin aja tuh, apa yang bikin aku bête!”
Winwin tak
lagi bersuara. Dari ekor mataku, aku bisa melihat sosoknya memilih duduk di
karpet sambil memorak-porandakan buku-buku yang sudah kutata rapi di rak. Aku
menahan kata-kata kasarku yang menggantung di tenggorokan. Untuk kali ini, kubiarkan
Winwin melakukan itu. Lagipula, aku sedang malas berdebat. Nanti kalau dia
sudah merasa bosan, pasti dia akan pergi sendiri.
Kalimat-kalimat
sudah tersusun rapi di Ms. Word.
Tinggal menambahkan sedikit kalimat lagi, laporanku hampir selesai. Tapi
rasanya sulit sekali menyusun kata-kata yang cocok apalagi Winwin yang
terus-menerus membuat suara bising yang aneh.
Ketika
kutolehkan kepala, ternyata Winwin sedang memainkan koleksi imitation toys ku: Koboi Woody, Barbie
& Ken, Naruto, barbie-zombie, mobil-mobilan.. bahkan pesawat yang kutaruh
di lemari kaca sebagai pajangan juga dimainkannya. Ya Tuhan.. kadang Winwin memang bersikap kekanak-kanakan seperti
masa-kecilnya-kurang-bahagia. Aku menggeleng-gelengkan kepala. Sungguh
kutak bisa memakluminya kali ini.
Aku pun
menghampirinya dan langsung merebut benda yang ada di tangannya. Hingga membuat
Winwin menengadahkan kepala dan menatapku seolah aku ini adalah ibu tiri yang
tak mengizinkannya bermain.
“Kenapa kau
melihatku seperti itu?” tanyaku sedikit meninggikansuara.
“Aku hanya
mencari kesibukan, kenapa kau malah menggangguku?”
Aku sungguh
tak percaya Winwin mengatakan ini!
“Kenapa kau
tidak pulang saja, heh? Aku tak bisa
menyelesaikan tugasku gara-gara kamu, Win.” Aku mendengus.
“Aku kan tak menganggumu.”
“Heol, kau itu membuat suara-suara aneh
tau!”
Winwin
bangkit berdiri. “Ya sudah, aku akan diam. Selesaikanlah tugasmu itu,” ujarnya
lalu duduk di kursi meja belajarku.
Aku hanya
meliriknya sinis lalu kembali fokus pada lapopku. Tapi baru saja aku mulai
mengetik, sebuah pesawat kertas meluncur mulus di udara dan mengenai wajahku.
Aku menahan geram dan dengan cepat menoleh ke Winwin. Dia malah cekikikan nggak
jelas lalu menjulurkan lidahnya seolah mengejekku.
“Winnn!”
seruku.
“Habisnya
kamu nyuekin aku sih. Susah tau cari kesibukan lain, padahal kamu ada di
dekatku. Harusnya kita ngobrol berdua.”
“Udah
ngomongnya?” tanyaku ketus.
Winwin mengangguk-angguk
sambil menggigit bibir bawahnya. Duh, kalau kayak gini, dia malah membuatku
gemas.
“Keluar
yuk, Rysh!”
“Nggak
mau,” jawabku ketus.
“Kenapa?”
Aku
mengunci bibir rapat-rapat. Padahal kan dia tau sendiri kalau aku lagi bête.
Ngapain pake acara tanya segala sih?
“Jangan-jangan..”
Winwin berdiri dan mendekatiku. Duh, kenapa perasaanku jadi nggak enak gini,
ya? Winwin semakin mendekat.. membuat napasku tertahan karena takut.
Keobeorin aicheoreom honjadoen namucheoreom
oerowo jichin nugungaui sesangeul bwa♫
Aku menoleh
cepat dan langsung menyambar ponselku yang berdering. Kemudian aku mengangkat
telepon itu. Huft, untunglah Kun—teman sekelasku—menelepon. Jadi, aku
bisa sedikit lega. Setelah percakapan singkat kami berlangsung, Kun langsung
mematikan sambungan.
“Siapa yang
menelepon?”
Aku menoleh
perlahan. “Kun.”
“Kenapa dia
meneleponmu segala?”
“Dia hanya
bertanya tentang tugas Prof. Song,” kataku seadanya.
“Kenapa
harus kamu?”
“Huh?”
Winwin melangkah
dan berhenti tepat di depanku. Lalu dia sedikit menunduk hingga mata kami
saling bersitatap dalam jarak yang sangat dekat, bahkan aku bisa merasakan deru
napasnya yang menyentuh kulitku.
“Rysh, apa
kamu dekat dengan Kun?”
Tubuhku
sudah benar-benar membeku di tempat. Aku tak bisa bergerak sedikitpun, seakan
tubuhku menjadi patung. Bahkan mulutku rasanya sulit dibuka dan lidahku sangat
kelu. Aku pun hanya bisa diam. Hanya mataku yang masih bisa bergerak mengamati
wajah Winwin.
Wajah
Winwin semakin mendekat. Refleks aku memejamkan mata. Dan dapat kurasakan
sesuatu yang basah menyentuh dahiku dengan sangat lembut. Kemudian aku membuka
mata setelah kurasakan benda itu tak menempel di dahiku lagi.
Aku melihat
Winwin tersenyum manis dan sebelah tangannya mengusap puncak kepalaku. “Maaf
karena aku tak menghubungimu selama dua hari terakhir ini,” ujarnya lalu
mengecup pipi kananku.
“Maaf
karena membuatmu kesal dan bête.” Lalu mengecup pipi kiriku.
“Maaf
karena membuatmu khawatir.” Lalu mengecup hidungku singkat.
“Tapi kamu
harus tau kalau selama dua hari itu..
aku juga menunggu kabar darimu,” ucapnya lalu mengecup bibirku.
Aku hanya
bisa menutup mata setiap Winwin menciumku.
“Rysh,
bukan cuma cowok yang harus memulai duluan. Dan bukan hanya cewek yang boleh
menunggu. Entah itu aku ataupun kamu, kalau ada yang merasa khawatir atau
rindu, kita nggak perlu menunggu satu sama lain untuk mengutarakannya. Kalau
rindu, tinggal bilang rindu. Kalau khawatir, tinggal bilang khawatir.”
“Kalau
seandainya aku nggak pernah bilang kangen ke kamu, apa kamu juga nggak akan
pernah bilang kangen ke aku?
“Kita nggak
perlu gengsi, Rysh.”
“Kamu tau?
Temenku ada yang berantem sampai putus karena gengsi. Mereka salah paham karena
gengsi mau bilang sayang, rindu, dan khawatir.”
“Dan aku
nggak mau hal itu terjadi sama kita, Rysh.”
“Buat apa
sih kamu gengsi.. nggak mau ngehubungin aku duluan padahal kamu khawatir, hm?”
Aku
menunduk, merasa bersalah. “Maaf, Win.”
Winwin
mengangkat daguku supaya kami saling bersitatap lagi. Kemudian dia tersenyum
manis padaku sambil menggerakkan dua jemarinya di sudut-sudut bibirku dan
membentuk sebuah lengkungan ke atas. Aku pun menghidupkan lengkungan itu
menjadi sebuah senyuman.
“Oh iya,
tadi kita di kamar mau ngapain, ya?” tanya Winwin tiba-tiba. Yang sukses
membuat jantungku berdegup kencang. Apa
yang harus kulakukan sekarang?!!
Winwin
terkekeh melihatku. Pasti dia merasa lucu karena melihat wajahku yang
kebingungan ini. “Kamu mikirin apa?” tanyanya sambil mendorong dahiku dengan
jari telunjuknya.
“Emangnya
aku mikir apa?!” tanyaku nyolot.
“Mana
kutahu. Kan kamu yang punya otak, kok nanya aku?”
Aku
membuang muka menghadap jendela. Memangnya apa yang aku pikirin?!
“Kamu nggak
mikir kotor kan, Rysh?” tanya Winwin yang terdengar seperti menuntut sebuah
jawaban ‘tidak’.
Sontak aku
menoleh cepat. “Memangnya kamu pikir aku ini cewek apaan?!”
“Astaga, Rysh..
ternyata pikiran kamu.. hah, ternyata
kamu itu Cewek Mesum, ya?!” ujar Winwin tak percaya.
“Siapa?
Aku? Aku?”
“Aku
bener-bener nggak nyangka.. bahkan aku nggak punya pikiran itu.”
“Win.. aku
nggak mikirin itu,” kataku mencoba meyakinkan Winwin. Walaupun sebenarnya tadi
aku memang memikirikan hal itu. Heol,
wajar dong kalau aku mikirin itu.. sebab kita lagi ada di kamar dan tadi Winwin
mendekatiku seperti itu.
“Ck..Ck..
Ck..” Winwin berdecak lidah sambil
menggeleng-gelengkan kepala. “Lain kali, aku nggak mau masuk kamar kamu lagi, Rysh.
Dan jangan pernah biarin cowok lain masuk ke sini, ngerti?!”
“Emangnya
aku cewek apaan coba?! Tanpa kamu suruh pun aku nggak akan ngiznin siapapun
masuk kamarku, apalagi cowok.”
“Terus aku?
Kamu anggap aku apa?”
“Kan tadi
kamu sendiri yang masuk, Win!”
“Kenapa
kamu nggak nyuruh aku keluar, Rysh?”
“Aku udah
nyuruh kamu pulang! Tapi kamu nggak mau kan?” belaku.
“Harusnya
kamu maksa dong! Mana boleh kamu nggak tegas gitu, hah?”
“Kok malah
nyalahin aku terus sih? Tau’ah, aku bête!” ujarku seraya melipat lengan di
depan dada dan membuang muka.
“Pokoknya
aku nggak mau sampe kamu bawa temen ke rumah! Apalagi cowok! Apalagi kalo
rame-rame!”
Aku
meliriknya sinis.
“Atau aku
nginep di rumah kamu terus aja, ya? Supaya aku bisa jagain kamu, Rysh.”
Refleks aku
menoleh dan langsung memelototi Winwin. “Nggak boleh! Emang kamu pikir aku ngga
harus waspada sama kamu apa? Bahkan kamu itu lebih menakutkan dari temen-temen
cowok aku!” ujarku ketus.
—FIN
Halohaa~ telat banget
nih, kalau baru suka NCT :”
Btw, ff ini muncul begitu aja sehabis nonton NCT Life in Seoul.
When Kun describe about Winwin to his-self.
He’s said “Winwin cute but.. he is stupid.”
Demi apa aku ngukuk, trus aku mulai nyari about Winwin di Nenek Moyang dan aku nemu foto-fotonya yang demi apa minta dikarungin trus kubawa pulang :”v
Btw, sorry bcs title sama isinya nggak nyambung :”D
Btw, ff ini muncul begitu aja sehabis nonton NCT Life in Seoul.
When Kun describe about Winwin to his-self.
He’s said “Winwin cute but.. he is stupid.”
Demi apa aku ngukuk, trus aku mulai nyari about Winwin di Nenek Moyang dan aku nemu foto-fotonya yang demi apa minta dikarungin trus kubawa pulang :”v
Btw, sorry bcs title sama isinya nggak nyambung :”D
0 Response to "Jar of Our Hearts"
Post a Comment