Jar of Our Hearts



NCT’s Winwin and OC’s Airysh | PG | Slice of life-romance
Stilinski@PosterChannel | Deevae,2016


Siang ini udara agak tak bersahabat. Udaranya sunguh panas. Bahkan di luar sana, tanaman layu karena matahari menyengat mereka tak tanggung-tanggung. Kulit akan benar-benar terbakar kalau saja keluar rumah, apalagi kaki yang tak memakai alas. Dengan ganas, aspal akan membakar telapak kakimu.

Sedangkan sejak sepulang dari jalan-jalan, aku hanya duduk di ruang tamu sambil bermalas-malasan. Tiduran telentang di lantai yang dingin, atau guling-guling tak jelas di karpet. Hari ini sungguh panas dan.. membosankan.

Aku menghela napas kasar sambil bangkit berdiri. Baru ingat kalau masih ada tugas kuliah yang harus kuselesaikan. Aku pun masuk ke kamar dan menyalakan laptop kesayanganku, Labee namanya. Sebelum mengerjakana tugas, aku masuk ke area dapur dan mengambil berbagai macam cemilan kesukaanku di rak atas. Tak lupa, aku juga mengambil mug dan minuman rasa jeruk sebotolnya. Kalau sudah begini, barulah aku siap bertarung dengan tugas kuliah.

Oh, sungguh terasa menjengkelkan ketika baru saja duduk dan siap mengerjakan, tetapi tiba-tiba bel di pintu depan berbunyi. Aku sudah mengomel sampai mengeluarkan sumpah-serapahku yang kejam sebelum bergerak sedikitpun. Tapi ketika kubuka pintu dan mendapati Winwin yang berdiri di depanku sekarang, seketika aku ingin memeluknya.

“Kenapa kau baru datang sih?” tanyaku sambil mempersilahkannya masuk.

“Hehe, maaf deh. Habisnya anak-anak ngadain acara, ya.. mau nggak mau aku harus datang dong. Kamu lagi sibuk?”

Aku menggeleng sambil mendudukkan diri di samping Winwin. “Acara apa sampai kamu nggak bilang ke aku?” tanyaku penuh penekanan.

“Aku kan udah bilang sama kamu, Rysh. Barusan kamu denger apa coba?”

“Tapi kamu lapornya pas acara itu udah selesai, Win. Aku kira kamu pergi ke luar kota lagi karena ada something yang harus diurus. Bahkan aku juga berpikiran tentang orangtua kamu yang mungkin lagi sakit. Kamu nggak tau betapa khawatirnya aku sama kamu? Dari kemarin aku nunggu kabar dari kamu, tau!” cerocosku dan diakhiri dengan mencubit pipi Winwin gemas.

“Kalau kamu khawatir sama aku, kenapa kamu nggak hubungin aku aja, Rysh?” ujarnya sambil menahan tanganku yang mecubit pipinya kemudian menggenggam tanganku.

“Jadi, aku yang harus hubungi kamu duluan, iya?”

Winwin tak menyahut. Dia tetap membungkam bibirnya sambil menatapku. Bahkan aku tak bisa membaca matanya. Aku tidak tahu apa yang sedang dipikirkannya. Garis-garis wajahnya juga membentuk ekspresi datar yang sempurna.

“Harusnya kan cowok yang mulai duluan, Win. Kenapa sih kamu nggak pernah peka? Aku tuh nungguin kamu dari kemarin. Tapi apa? Ngabarin aku aja, enggak. Bahkan aku sempat mikir kalau kamu punya gebetan baru.”

Sekarang aku bisa melihat tatapan jenaka di matanya yang indah.

“Kamu cemburu?”

“Siapa? Aku?”

Uhm-hm.”

Aku menghela napas. Sampai kapan aku harus meladeni sikap Winwin yang tak pernah peka ini? Tanganku yang masih digenggam olehnya segera kutarik. Aku mengubah posisi dudukku. Yang semula berhadapan dengan Winwin, menjadi berhadapan dengan kursi lainnya. Aku merasa sedikit jengkel dengan sikap Winwin yang akhir-akhir ini jarang menghubungiku. Entah alasan sibuk, acara keluarga, acara kampus, atau apapun itu.. memangnya sebegitu sibuknya sampai tak bisa menghubungiku? Yah, walaupun (kadang) aku juga tak terlalu suka berada di dekatnya, tapi kalau dia jarang berada di dekatku seperti ini.. pikiran negatif selalu menyelimuti otakku.

“Rysh,” panggilnya. Namun aku langsung bangkit dan memilih meninggalkannya tanpa pamitan. Kedua tungkaiku melangkah menuju kamar dan tubuhku langsung meminta berbaring di kasur tanpa sempat menutup pintu.

Winwin itu sungguh menyebalkan, batinku. Setelah berguling-guling tak jelas di atas tempat tidur, aku beralih ke laptopku yang menyala. Mengingat niatku yang tertunda tadi, aku pun mengerjakan tugas kuliahku saja. Mencoba sama sekali tak memikirkan Winwin.

Tok.. tok.. tok..

Aku melirik sekilas. Dan dapat kulihat Winwin tengah berdiri di ambang pintu sambil mengetuk pintuku beberapa kali. Aku yang masih bad mood karena dia pun memilih mengabaikannya dan tetap fokus pada tugasku.

Winwin itu terlalu lunak! erangku dalam hati ketika tak mendengar suara ketukan pintu lagi. Baru diabaikan begitu saja, dia sudah menyerah. Aku mendengus sebal. Kutolehkan kepalaku untuk mengecek pintu. Bahkan dia sudah tidak berdiri di sana? Aku memutar kepala cepat dan lanjut mengetik sambil sesekali mencomot cemilan.

Tak berapa lama kemudian, aku berhenti. “Apa Winwin sudah pulang?” gumamku pelan.

Aku pun memilih bangkit dan melompat dari tempat tidur menuju pintu kamar. Aku melongok ke sana-sini, tapi tak melihat tanda-tanda Winwin. Aku bernapas kecewa. “Jadi, dia udah pulang?”

Kulangkahkan kedua tungkaiku menuju dapur. “Padahal aku berharap dia masih di sini,” sesalku sambil membuka kulkas dan meneguk air dingin. Setelah itu, aku kembali menuju kamar.

Ketika jemariku memutar knop dan mendorong pintu..

“BWAA!!”

“Astaga-naga!” jeritku kaget sampai-sampai tubuhku terlonjak ke belakang. Jantungku seolah dipompa lebih cepat, makanya kuelus-elus dadaku untuk menenangkannya.

“HAHAHAHA...”

Aku melirik sosok itu sinis. Kadang Winwin seperti anak kecil yang bodoh. Lalu melewatinya begitu saja.

“Eh, Rysh!” Winwin berlari kecil menghampiriku yang duduk di tempat tidur sambil memangku laptop. “Jangan marah dong,” ujarnya.

Aku tak menyahutinya. Jemariku sibuk mengetik kata-perkata di Ms.Word, sedangkan mulutku sibuk mendiktenya.

“Kamu tega nyuekin aku?”

Aku masih tak menjawabnya.

“Kenapa sih, Rysh?”

Aku mendengus kesal seraya memutar kepala untuk menatap matanya. “Lebih baik kamu pikirin aja tuh, apa yang bikin aku bête!”

Winwin tak lagi bersuara. Dari ekor mataku, aku bisa melihat sosoknya memilih duduk di karpet sambil memorak-porandakan buku-buku yang sudah kutata rapi di rak. Aku menahan kata-kata kasarku yang menggantung di tenggorokan. Untuk kali ini, kubiarkan Winwin melakukan itu. Lagipula, aku sedang malas berdebat. Nanti kalau dia sudah merasa bosan, pasti dia akan pergi sendiri.

Kalimat-kalimat sudah tersusun rapi di Ms. Word. Tinggal menambahkan sedikit kalimat lagi, laporanku hampir selesai. Tapi rasanya sulit sekali menyusun kata-kata yang cocok apalagi Winwin yang terus-menerus membuat suara bising yang aneh.

Ketika kutolehkan kepala, ternyata Winwin sedang memainkan koleksi imitation toys ku: Koboi Woody, Barbie & Ken, Naruto, barbie-zombie, mobil-mobilan.. bahkan pesawat yang kutaruh di lemari kaca sebagai pajangan juga dimainkannya. Ya Tuhan.. kadang Winwin memang bersikap kekanak-kanakan seperti masa-kecilnya-kurang-bahagia. Aku menggeleng-gelengkan kepala. Sungguh kutak bisa memakluminya kali ini.

Aku pun menghampirinya dan langsung merebut benda yang ada di tangannya. Hingga membuat Winwin menengadahkan kepala dan menatapku seolah aku ini adalah ibu tiri yang tak mengizinkannya bermain.

“Kenapa kau melihatku seperti itu?” tanyaku sedikit meninggikansuara.

“Aku hanya mencari kesibukan, kenapa kau malah menggangguku?”

Aku sungguh tak percaya Winwin mengatakan ini!

“Kenapa kau tidak pulang saja, heh? Aku tak bisa menyelesaikan tugasku gara-gara kamu, Win.” Aku mendengus.

“Aku kan tak menganggumu.”

Heol, kau itu membuat suara-suara aneh tau!”

Winwin bangkit berdiri. “Ya sudah, aku akan diam. Selesaikanlah tugasmu itu,” ujarnya lalu duduk di kursi meja belajarku.

Aku hanya meliriknya sinis lalu kembali fokus pada lapopku. Tapi baru saja aku mulai mengetik, sebuah pesawat kertas meluncur mulus di udara dan mengenai wajahku. Aku menahan geram dan dengan cepat menoleh ke Winwin. Dia malah cekikikan nggak jelas lalu menjulurkan lidahnya seolah mengejekku.

“Winnn!” seruku.

“Habisnya kamu nyuekin aku sih. Susah tau cari kesibukan lain, padahal kamu ada di dekatku. Harusnya kita ngobrol berdua.”

“Udah ngomongnya?” tanyaku ketus.

Winwin mengangguk-angguk sambil menggigit bibir bawahnya. Duh, kalau kayak gini, dia malah membuatku gemas.

“Keluar yuk, Rysh!”

“Nggak mau,” jawabku ketus.

“Kenapa?”

Aku mengunci bibir rapat-rapat. Padahal kan dia tau sendiri kalau aku lagi bête. Ngapain pake acara tanya segala sih?

“Jangan-jangan..” Winwin berdiri dan mendekatiku. Duh, kenapa perasaanku jadi nggak enak gini, ya? Winwin semakin mendekat.. membuat napasku tertahan karena takut.

Keobeorin aicheoreom honjadoen namucheoreom oerowo jichin nugungaui sesangeul bwa

Aku menoleh cepat dan langsung menyambar ponselku yang berdering. Kemudian aku mengangkat telepon itu. Huft, untunglah Kun—teman sekelasku—menelepon. Jadi, aku bisa sedikit lega. Setelah percakapan singkat kami berlangsung, Kun langsung mematikan sambungan.

“Siapa yang menelepon?”

Aku menoleh perlahan. “Kun.”

“Kenapa dia meneleponmu segala?”

“Dia hanya bertanya tentang tugas Prof. Song,” kataku seadanya.

“Kenapa harus kamu?”

Huh?”

Winwin melangkah dan berhenti tepat di depanku. Lalu dia sedikit menunduk hingga mata kami saling bersitatap dalam jarak yang sangat dekat, bahkan aku bisa merasakan deru napasnya yang menyentuh kulitku.

“Rysh, apa kamu dekat dengan Kun?”


Tubuhku sudah benar-benar membeku di tempat. Aku tak bisa bergerak sedikitpun, seakan tubuhku menjadi patung. Bahkan mulutku rasanya sulit dibuka dan lidahku sangat kelu. Aku pun hanya bisa diam. Hanya mataku yang masih bisa bergerak mengamati wajah Winwin.

Wajah Winwin semakin mendekat. Refleks aku memejamkan mata. Dan dapat kurasakan sesuatu yang basah menyentuh dahiku dengan sangat lembut. Kemudian aku membuka mata setelah kurasakan benda itu tak menempel di dahiku lagi.

Aku melihat Winwin tersenyum manis dan sebelah tangannya mengusap puncak kepalaku. “Maaf karena aku tak menghubungimu selama dua hari terakhir ini,” ujarnya lalu mengecup pipi kananku.

“Maaf karena membuatmu kesal dan bête.” Lalu mengecup pipi kiriku.

“Maaf karena membuatmu khawatir.” Lalu mengecup hidungku singkat.

“Tapi kamu harus tau kalau selama dua hari itu..  aku juga menunggu kabar darimu,” ucapnya lalu mengecup bibirku.

Aku hanya bisa menutup mata setiap Winwin menciumku.

“Rysh, bukan cuma cowok yang harus memulai duluan. Dan bukan hanya cewek yang boleh menunggu. Entah itu aku ataupun kamu, kalau ada yang merasa khawatir atau rindu, kita nggak perlu menunggu satu sama lain untuk mengutarakannya. Kalau rindu, tinggal bilang rindu. Kalau khawatir, tinggal bilang khawatir.”

“Kalau seandainya aku nggak pernah bilang kangen ke kamu, apa kamu juga nggak akan pernah bilang kangen ke aku?

“Kita nggak perlu gengsi, Rysh.”

“Kamu tau? Temenku ada yang berantem sampai putus karena gengsi. Mereka salah paham karena gengsi mau bilang sayang, rindu, dan khawatir.”

“Dan aku nggak mau hal itu terjadi sama kita, Rysh.”

“Buat apa sih kamu gengsi.. nggak mau ngehubungin aku duluan padahal kamu khawatir, hm?”

Aku menunduk, merasa bersalah. “Maaf, Win.”

Winwin mengangkat daguku supaya kami saling bersitatap lagi. Kemudian dia tersenyum manis padaku sambil menggerakkan dua jemarinya di sudut-sudut bibirku dan membentuk sebuah lengkungan ke atas. Aku pun menghidupkan lengkungan itu menjadi sebuah senyuman.

“Oh iya, tadi kita di kamar mau ngapain, ya?” tanya Winwin tiba-tiba. Yang sukses membuat jantungku berdegup kencang. Apa yang harus kulakukan sekarang?!!

Winwin terkekeh melihatku. Pasti dia merasa lucu karena melihat wajahku yang kebingungan ini. “Kamu mikirin apa?” tanyanya sambil mendorong dahiku dengan jari telunjuknya.

“Emangnya aku mikir apa?!” tanyaku nyolot.

“Mana kutahu. Kan kamu yang punya otak, kok nanya aku?”

Aku membuang muka menghadap jendela. Memangnya apa yang aku pikirin?!

“Kamu nggak mikir kotor kan, Rysh?” tanya Winwin yang terdengar seperti menuntut sebuah jawaban ‘tidak’.

Sontak aku menoleh cepat. “Memangnya kamu pikir aku ini cewek apaan?!”

“Astaga, Rysh.. ternyata pikiran kamu.. hah, ternyata kamu itu Cewek Mesum, ya?!” ujar Winwin tak percaya.

“Siapa? Aku? Aku?”

“Aku bener-bener nggak nyangka.. bahkan aku nggak punya pikiran itu.”

“Win.. aku nggak mikirin itu,” kataku mencoba meyakinkan Winwin. Walaupun sebenarnya tadi aku memang memikirikan hal itu. Heol, wajar dong kalau aku mikirin itu.. sebab kita lagi ada di kamar dan tadi Winwin mendekatiku seperti itu.

Ck..Ck.. Ck..” Winwin berdecak lidah sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Lain kali, aku nggak mau masuk kamar kamu lagi, Rysh. Dan jangan pernah biarin cowok lain masuk ke sini, ngerti?!”

“Emangnya aku cewek apaan coba?! Tanpa kamu suruh pun aku nggak akan ngiznin siapapun masuk kamarku, apalagi cowok.”

“Terus aku? Kamu anggap aku apa?”

“Kan tadi kamu sendiri yang masuk, Win!”

“Kenapa kamu nggak nyuruh aku keluar, Rysh?”

“Aku udah nyuruh kamu pulang! Tapi kamu nggak mau kan?” belaku.

“Harusnya kamu maksa dong! Mana boleh kamu nggak tegas gitu, hah?”

“Kok malah nyalahin aku terus sih? Tau’ah, aku bête!” ujarku seraya melipat lengan di depan dada dan membuang muka.

“Pokoknya aku nggak mau sampe kamu bawa temen ke rumah! Apalagi cowok! Apalagi kalo rame-rame!”

Aku meliriknya sinis.

“Atau aku nginep di rumah kamu terus aja, ya? Supaya aku bisa jagain kamu, Rysh.”

Refleks aku menoleh dan langsung memelototi Winwin. “Nggak boleh! Emang kamu pikir aku ngga harus waspada sama kamu apa? Bahkan kamu itu lebih menakutkan dari temen-temen cowok aku!” ujarku ketus.


—FIN


Halohaa~ telat banget nih, kalau baru suka NCT :”
Btw, ff ini muncul begitu aja sehabis nonton NCT Life in Seoul.
When Kun describe about Winwin to his-self.
He’s said “Winwin cute but.. he is stupid.”
Demi apa aku ngukuk, trus aku mulai nyari about Winwin di Nenek Moyang dan aku nemu foto-fotonya yang demi apa minta dikarungin trus kubawa pulang :”v
Btw, sorry bcs title sama isinya nggak nyambung :”D

Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :

0 Response to "Jar of Our Hearts"

Post a Comment