OMG’s Arin and NCT’s Yuta
| G | Slice of life | Ficlet
Vxiebell,2016
Vxiebell,2016
Kuhela
napas dalam-dalam sembari memainkan jemari di gelas yang kupegang. Malam ini terpaksa
aku harus datang di acara penyambutan siswa baru yang digelar di kafe dekat sekolah.
Perintahnya wajib, makanya aku datang meski enggan. Jikalau aku nekat tak
datang, pasti senior akan mencariku dan langsung menegur atau mungkin
memarahiku. Aku kan tidak mau dicap sebagai siswa pembangkang yang keras
kepala.
Sekali lagi
kuhela napas yang terkesan putus asa. Melihat sekelilingku, rasanya aku memang
ditakdirkan sendirian, tanpa teman. Semua yang datang terlihat sangat menikmati
acara. Segala macam sorakan memantul ke dinding-dinding, suara dentingan gelas
terdengar di mana-mana, serta dentuman musik yang menggebu-gebu membuat setiap
orang menari, kecuali aku.
Aku hanya
mengamati mereka tanpa ada keinginan untuk bergabung sama sekali. Perasaan iri
dan terasingkan seketika menerjang hatiku. Mereka semua bersenang-senang, tapi
aku malah hanya duduk sendirian di meja ini.
Apa aku
pulang saja, ya?
Kuteguk
vanilla latte yang mengisi gelasku. Lantas aku memilih bangkit sambil menenteng
tas selempangku. Baru mengambil dua langkah tungkaiku memilih berhenti ketika
ada seseorang yang membekukan tubuh ini. Di tengah keramaian orang-orang yang
sedang berhura-hura, hadir sesosok pemuda yang kukenal. Dia juga sedang
menatapku dalam diam.
Sejenak aku
merasa sedang bermimpi. Namun ketika orang itu mulai melangkah mendekatiku, aku
tahu ini nyata. Apalagi ketika ia berhenti tepat di depanku dan mengeluarkan
suaranya.
“Arin?”
“Iya?”
jawabku canggung.
“Apa
kabar?”
“Baik, Kak
Yuta sendiri?”
Pemuda di
hadapanku ini mengangguk-anggukan kepalanya sebelum menjawab, “Sama.”
“Ooh, Kak
Yuta juga sekolah di sini?” tanyaku kikuk. Setahuku kafe ini sudah disewa selama
empat jam oleh sekolahku. Jadi, kalau Kak Yuta berada di sini, seharusnya ia
termasuk siswa yang menjadi kakak kelasku.
“Uhm-hm.”
Aku hanya
membalasnya dengan senyuman dan mata yang tak bisa berpaling ke manapun.
Walaupun waktu bergulir hingga empat tahun lamanya, sosok yang berdiri di depan
mataku ini tak banyak berubah. Ia masih tetap sama seperti dulu. Nakamoto Yuta
yang jarang tersenyum. Aku tahu betul, di balik wajahnya yang terlihat cuek dan
jutek itu, tersembunyi sifatnya yang ramah dan suka bercanda. Hanya saja,
banyak orang yang melihat Kak Yuta dari sisi luarnya. Maka dari itu, banyak
sekali yang sirik padanya ketika SMP dulu. Bilang Kak Yuta sombonglah, soklah,
yah.. pokoknya yang buruk-buruklah.
“Kamu mau
pulang?”
“Iya, Kak.”
“Kebetulan
aku juga mau keluar.”
“Ya?”
ujarku menuntut supaya Kak Yuta mengulangi kalimatnya. Sebab suaranya
terkalahkan dengan musik yang diputar.
“Ayo pergi
bersama.”
“Ooh,
baiklah.”
Kami
berjalan melewati setiap orang yang tengah menikmati pesta malam ini dengan
saling canggung, terutama aku. Sudah sekian
lama aku bertanya-tanya bagaimana kabar kak Yuta dan sekarang aku sudah
mendapatkan jawabannya. Aku merasa amat senang karena bisa melihat wajahnya
lagi. terakhir kali aku bertemu dengannya ketika kelulusan SMP, satu tahun
lalu. Itupun hanya beberapa menit.
“Pulang
naik apa?”
“Taksi,
Kak.”
“Kamu tau?
Seharusnya perempuan nggak boleh pergi sendirian ketika malam begini.”
Aku tertawa
canggung sebagai tanggapan.
“Minta saja
supaya orang tuamu menjemput.”
Aku
menggeleng kecil. “Aku harus belajar mandiri, Kak.”
“Oh, gitu,” katanya sambil mengangguk-angguk.
“Iya.”
Kami
berhenti tepat di depan pintu masuk kafe.
“Sudah
telfon taksi?”
“Oh, iya.”
Lantas kukeluarkan ponsel dari dalam tas selempang biruku dan segera mengorder taksi.
“Kakak bisa
pulang duluan,” ujarku mempersilahkan.
“Aku di
sini dulu aja.”
Aku hanya
diam mendengarnya berkata begitu. Tapi sungguh, dalam perutku serasa ada jutaan
kupu-kupu yang terbang bahagia mengepakkan sayap-sayap indah mereka.
Keheningan
merajai atmosfer di antara kita berdua. Sampai akhirnya kuputuskan untuk
memulai percakapan dengannya.
“Kak Yuta
tetap sama seperti dulu.”
“Sama
gimana?”
“Tetap..
senyumnya mahal, hehe.”
Kak Yuta
tertawa. Baru kali ini ia menunjukkan sederet giginya yang rapi sejak pertemuan
beberapa menit yang lalu.
“Padahal
Kak Yuta lebih ganteng kalau senyum, loh.”
Lantas ia
menutup rapat-rapat bibirnya. “Senyum ini nggak kutunjukkan ke sembarang orang, tau.”
“Berarti
aku bukan ‘sembarang orang’ dong?”
“Hahaha,
kamu ngarep, ya?”
“Eggak kok.
Kan Kak Yuta sendiri yang bilang gitu.”
“Kamu
ini..” ujarnya seraya mengusap puncak kepalaku beberapa kali. Yang tentu saja
membuatku kaget dan merasakan semacam kebahagiaan hingga membuatku ingin
tersenyum. Susah payah aku harus menahan bibirku supaya tak membuat kurva itu,
tapi gagal.
Jadi
begini, ya, rasanya ketika diusap oleh orang yang disuka? Selama ini aku selalu
memikirkan bagaimana rasanya dan sekarang aku sudah tahu berkat Kak Yuta.
Tin..
Aku menoleh
dan melihat taksiku sudah berhenti di tepi jalan. Aku pun memberi kode pada
sopir taksi itu untuk menunggu sebentar supaya aku bisa pamitan pada Kak Yuta.
“Kak, aku
pulang dulu, ya.”
“Iya, iya.
Hati-hati.”
“Hm,”
gumamku sambil mengangguk.
Lalu
tungkaiku mulai menjauhi kak Yuta dan menuju taksi itu terparkir, namun suara Kak
Yuta menahanku.
“Rin,”
panggilnya.
Aku menoleh
padanya.
“Kamu kok
gendutan sih?”
“Eh?” Wajar
aku kaget. Namun segera kututupi dengan tawaku yang kuusahakan supaya tidak
terdengar kikuk dan canggung. “Oh, iya, Kak. Ini lagi proses diet kok,” jawabku
yang padahal dusta belaka. Diet apanya? Bahkan baru dua hari diet saja, aku
sudah menyerah.
“Ooh..
diet?” Tersirat nada tak percaya dari ucapannya.
Aku
terkekeh, “Hehehe, iya, Kak.”
“Ya sudah,
hati-hati, Rin,” ujarnya sambil melambaikan tangan.
Aku
mengangguk. “Duluan, Kak,” kataku sambil membalas melambai padanya.
“Jalan,
Pak.” Aku menutup pintu taksi sembari melirik kak Yuta yang masih berdiri di
tempat semula. Dia juga melihatku seolah sedang memastikan kalau aku akan
pulang dengan taksi ini. Aku pun memilih untuk menatap wajahnya dan mengulas
senyum, tapi Kak Yuta hanya diam
memandangiku. Ya, begitulah kak Yuta. Ia tak selalu membalas senyum orang lain.
Setelah
agak jauh, aku mendengus sebal seraya membanting punggung di header bangku. “Apa-apaan Kak Yuta tadi?
Setelah membuatku merasa ‘cinta empat tahunku’ terbalas, ia langsung melemparku
ke dasar jurang dengan kata gendut?”
“Ya, benar
sekali, Kak Yuta memang tak pernah mengerti perasaan orang lain.”
—FIN
0 Response to "His Limited Smile and..?"
Post a Comment