Hilarious With Sugar


Putih bersih menyelimuti dinding bata yang merah. Kini semua ruangan telah didominasi oleh warna suci. Sekaligus sebagai penanda mengenai bukanya lembaran baru dalam suatu buku. Kini biarlah sang penulis yang berkenan mengisi perhalaman berisi kisah-kisah segar.

.
.

Suga membuka pintu jati, menapak permadani bermotif geometris yang amat menarik perhatian hati lain. Ia menyela kedua dinding pembatas.

“Hillary, seharusnya kamu sudah berkemas sejak tadi,” omelnya frustasi sembari mengemasi baju-baju dari dalam lemari untuk dimasukkan ke dalam koper berukuran sedang.

Gadis yang tadinya tengah tengkurap, kini terduduk bersandar dinding. Masih dengan kelopak yang sulit dibuka, ia mengeluarkan suara parau, “Memangnya untuk apa berkemas, sih?”

Suga mendesah, “Betapa sulitnya hidupku berada dalam satu atap dengan adik pelupa yang selalu membuat kacau. Seandainya Tuhan mendengar doaku, aku sangat tidak menginginkannya.”

“Oppa.. kenapa selalu bilang begitu, sih? Yang namanya takdir kan nggak bisa dibantah. Kalo udah ditakdirin punya adek kayak aku, yaudahlah, terima aja kalik. Bosen tiap hari dengerin omelan kakak terus,” mendengar jawaban adiknya, Suga hanya mampu mengelus dada.

“Kak, Mama jadi datang nggak sih? Semalem aku kirim pesan buat mama, tapi kayaknya belum di read sampe sekarang deh soalnya nggak dibales. Kecewa banget, deh, sumpah.”

Kedua alis Suga saling bertaut, “Kan kita yang mau nyusul Mama Hil, kamu nih pelupa akut tau nggak sih?” balas Suga sewot.

“Loh? Kakak belum dikabarin sama Om Suho? Kan penerbangannya dibatalin. Katanya sih karena Mama pengen pulang kampung, suntuk hidup di Amerika dan ninggalin kita terus. Kakak belum denger?”

Dan dengan tampang polosnya Suga menggeleng. Padahal saat-saat seperti inilah yang dinanti-nanti olehnya. Ingin sekali rasanya menapak tanah Amerika. Selama ini Suga hanya bisa memimpikannya.

Gadis berambut ikal itu menyingkirkan selimut yang membalut kakinya, lantas berjalan menghampiri Suga seraya mengelus bahunya, “Jangan kecewa, ya, Kak, lain kali kan kita bisa kesana.”

**

Supaya wajah Suga tak lagi tertekuk, akhirnya Hillary memilih untuk memasak pagi ini. Karna sebetulnya jadwal mengurus rumah hari ini dipegang oleh Suga. Tetapi melihat dia yang menjadi loyo, alhasil Hillary pun turun tangan. Dari membersihkan rumah sampai memasak ia lakoni demi kakaknya yang sedang galau.

Kini Hillary masih disibukkan dengan peralatan dapur. Katanya sih ingin membuat masakan spesial tapi sejak tadi belum juga matang. Lama-lama Suga bosan juga hanya duduk mengamati adiknya yang sibuk. Tetapi kala ia hendak membantu, Hillary menolaknya dan menyuruhnya duduk.

Suga memperhatikan wajah Hillary yang nampak bersinar diterpa mentari. Sebenarnya bukan hanya sekali ini saja Suga melihat adiknya bersinar seperti ini. Tetapi entah mengapa setiap melihat Hillary seperti ini selalu membuat Suga kesulitan mengontrol emosi.

Ia tahu betul mengenai statusnya bersama Hillary adalah sepasang kakak adik dalam satu keluarga. Namun semakin Suga mencoba untuk mengenyahkan perasaan aneh itu semakin ingin pula ia memiliki Hillary sebagai seorang kekasih.

Bergegas Suga menggelengkan kepala, “Apa kau sudah gila, hah?”

“Oppa, kenapa bicara sendiri?” tanya Hillary. Matanya terpusat menatap kakaknya yang sehabis melamun, ia pun bergidik ngeri kalau-kalau kakaknya sudah gila.

“Siapa yang ngomong sendiri? Aku itu ngomong sama kamu dari tadi, tapi malah masih sibuk aja sama masakan itu. Dikira aku nggak bosan apa,” gerutu Suga berharap adiknya ini percaya tentang kebohongan yang ia buat.

“Oh, ya? Coba bikin aku percaya,” ledek Hillary yang dibalas dengan gerutuan Suga.

**

Hillary segera menuju pintu saat terdengar suara bel yang dibunyikan.  Dan betapa bahagianya ketika seseorang yang berdiri di depan pintu adalah sang ibu yang telah dua tahun tinggal di Amerika. Tentu saja hal pertama yang terlintas di otak Hillary adalah memeluk ibunya.

“Eh, Mama udah datang? Kok nggak bilang Suga aja sih Ma, kan bisa dijemput,” Suga yang baru tampak pun turut memeluk ibunya.

“Enggaklah. Masa iya sih Mama tega membiarkan anak Mama yang ganteng ini jadi sopir?” candanya sambil mengelus bahu sang putra.

“Biar aku aja yang bawain koper Mama, ya,” kata Hillary namun koper yang telah berada di tangannya segera diambil alih oleh Suga, “Kenapa Kak?”

“Kamu ini cewek, biar aku aja yang bawa kopernya.”

“Enggak usah. Hillary bisa kok, emangnya semua cewek itu lemah? Hal itu nggak berlaku buat Hillary, ngerti? Siniin biar aku aja,” namun Suga tak menyerahkannya.

“Yaudah, terserah,” ujar Hillary malas. Ia berjalan masuk ke dalam rumah namun baru dua langkah kakinya tersandung oleh kaki meja. Memaksanya terhuyung hampir membentur lantai. Akan tetapi beruntung betul ia, karna kakaknya dengan sigap menangkap tubuhnya.

Sepersekian detik Hillary berada dalam pelukan Suga. Saling bersirobok dalam pandangan yang dalam. Juga.. saling merasakan sesuatu yang aneh yang menggebu dalam dada masing-masing. Seolah ada lem yang merekatkan kedua tubuh mereka. Seolah ada magnet yang menarik kuat sehingga mereka mendekat.

Hyosean selaku ibu mereka, yang tahu betul tentang pandangan mereka yang ganjil, bergegas mendekati keduanya dan memisahkan. Sejujurnya ia tahu betul jikalau Hillary dan Suga bersaudara jadi tak mungkin ada perasaan aneh yang menggelayuti hati mereka. Namun tetap saja ia harus waspada. Bagaimana kalau mereka saling mencintai dan berakhir bunuh diri karena pertentangan sang ibu seperti di film?

“Suga, bawa koper Mama ke kamar, ya. Hillary, ayo biar Mama mengobati kakimu,” titahnya, tersirat kecemasan dalam wajah awet mudanya.

**

Semakin lama tinggal di rumah ini, Hyosean merasakan sesuatu yang semakin ganjil baginya. Sejak awal ia datang, tentang Hillary yang jatuh dan dibantu oleh Suga. Lalu kala makan malam di hari kedua, Suga memberikan porsi lauknya untuk Hillary sambil mengusap puncak kepala adiknya, namun Hyosean mampu melihat tatapan Suga yang berbeda. Hyosean juga melihat kekhawatiran Suga pada Hillary yang sangat tinggi, yang tak ingin gadis itu terluka sedikitpun.

Memikirkan sikap Suga pada Hillary membuat kepalanya pusing. Tetapi jikalau dilihat dari sisi Hillary, tampaknya semua berjalan baik-baik saja. Hillary terlihat bertingkah selayaknya seorang adik. Terkadang ia akan merengek manja, mengumpat kakaknya, marah dan mengabaikan kakaknya, juga Hillary tak pernah memberi tatapan ganjil kecuali pada hari pertama Hyosean menginjak kaki di rumah ini.

“Ya sudahlah, mereka ini satu keluarga, kalaupun saling suka dan saling cinta, semua itu hanya sebatas kakak-adik.”

Hyosean membaringkan diri di kasur. Ketika matanya memandang langit-langit kamar, ia kembali terpikir oleh kelakuan kedua anaknya. Tapi, ya, sudahlah.

Hari Minggu selalu menjadi hari keluarga. Hyosean menaruh nampan di meja kemudian duduk di samping Hillary sambil mengusap rambutnya yang sudah panjang. Sedangkan Suga masih sibuk mempersiapkan daging untuk acara barbekyu pagi ini.

“Nah, sekarang siapa yang akan memasak?”

“Jangan pura-pura lupa, sekarang kan Oppa yang dapat bagian mengurus rumah!”

“Hey, gimana kalau kita berdua aja yang masak? Biar lebih seru Hil.”

“No no no no no!” tolak Hillary. Suga pun hanya bsia pasrah dan mulai memasak sarapan pagi dengan menu daging segar.

“Ma, kenapa sih nama dia Suga?” tanya Hillary sambil menunjuk kakaknya yang sedang sibuk memberi bumbu di atas daging.

“Hm.. kenapa ya?” sahut Hyosean seraya menampilkan wajah sedang berfikir, “Karena dia memiliki kulit seputih gula. Dan tentu saja karena dia sangat manis seperti gula. Suga diambil dari kata bahasa inggris, sugar.”

Hillary hanya mengangguk-anggukkan kepala, “Terus kalau Hillary?”

“Karena Mama yakin suatu hari kamu akan menjadi anak yang selalu ceria, gembira, dan bahagia. Sama seperti kakakmu, Mama mengambil namamu dari kata bahasa inggris, Hilarious. Indah kan?”

Hillary menyambar tubuh ibunya sambil membisikkan, “Aku sayang Mama.”


—Sebenernya ini belum selesai. Tunggu aja kelanjutannya.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Hilarious With Sugar"

Post a Comment