EXO’s
Kai and OC’s You | Sad | Ficlet | PG-13
| DL Project Artwork | Deev,2015
Lagi-lagi untuk kesekian lamanya, langkahku tak ada
yang menjajari. Tak ada yang mau beriringan dengan sepatu-sepatu kumal milikku.
Tidak ada yang sudi, mungkin.
Haruskah aku menangis?
Kedua bola mataku menatap pada sumber kehidupan. Di atas
langit, yang bersinar terang. Matahari masih tersenyum kepadaku, selalu
memberitahukan bahwa dunia ini tak seburuk yang aku pikirkan.
Aku tersenyum, haruskah aku mempercayainya?
Aku melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan
tangan kiri, “Aku bisa terlambat ke sekolah,” gumamku tanpa minat.
Tungkaiku kembali terayun. Berjalan setelah beberapa
detik menerawang langit hanya untuk melihat cahaya mentari.
“Astaga!”
“Eh? Hm, maaf.”
Seorang laki-laki yang mengenakan jaket abu-abu lengkap
dengan topi yang menutup sebagian wajah atasnya. Sepertinya terlalu tergesa
hingga menabrakku. Itu bukan masalah besar dan aku akan melupakannya. Toh, dia
juga tidak peduli dan langsung berlari meninggalkanku. Sendirian.
***
Dengan sekali sentakan mereka menjatuhkan tubuhku,
membuatku hanya bertumpu dengan lutut di hadapan Min Young. Namun yang bisa
kulakukan hanya diam dan menunduk. Tidak ada perlawanan apapun.
Min Young melipat lengan di depan dada seraya memutari
tubuhku dengan gerak angkuhnya. Detik berikutnya Chae Rim dan Hae Na sudah
melempari kepalaku dengan beberapa butir telur. Lalu mengguyur tepung dan
berakhir dengan minyak ikan belut. Bau yang sangat tak sedap.
Tanganku mengepal geram. Tapi aku bisa apa?
“Nah, Min Young kue ulang tahunmu sudah siap hahaha...”
Tawa itu menggelegar. Merasuki gendang pendengaranku.
Mengusik hatiku hingga ke akar-akarnya.
Eomma,
aku harus apa?
Eomma,
apa aku mati saja?
Apa aku harus menyusul eomma?
Eomma…
Setetes air bening melewati wajahku. Menetes di atas
permukaan kulit tanganku. Dingin. Begitu pun seterusnya.
***
Kenapa harus ada istilah ‘bullying’?
Kenapa harus ada orang yang menyakiti orang lain?
Kenapa harus ada orang kuat dan orang lemah?
Kenapa harus ada perbedaan?
Kenapa harus ada kesendirian?
Aku menampung air dari keran wastafel kemudian
membasuhnya di wajahku. Sejenak pantulan di dalam cermin itu kuamati.
Aku nampak amat menyedihkan, iya kan?
Langkahku keluar dari toilet dan melalui koridor menuju
kelas. Tak mengherankan lagi jika mereka menatapku jijik.
Aku sudah terbiasa.
Ya, terlalu terbiasa.
Aku tetap melangkah meski setiap siswa di koridor
menatapku rendah. Membisikkan kata-kata yang tak mengenakkan hati lalu tertawa
saat melihatku.
Aku tak peduli,
atau mencoba tak peduli.
Aku bisa apa?
Suara pintu kelas yang kudorong menggema dalam lorong.
Kakiku melangkah masuk dan segera memberi hormat pada Leeteuk songsaengnim.
“Bau busuk apa ini?” seru Ha In sambil menutup
hidungnya.
Aku hanya mampu menunduk dan menggapai bangku tempat ku
duduk secepat mungkin.
Aku menghela napas.
“Apa sangat bau?” tanyaku pada Yeon Ji.
Dia memberikan tatap mata tajam serta sinis, “Duduklah sejauh
kau bisa. Aku tak mau tertular bau busukmu itu.”
Aku menelan ludah.
“Hm, baiklah. Aku mengerti,” jawabku seraya menarik
meja dan kursi menjauhi Yeon Ji.
Aku tak apa.
Aku baik-baik saja.
***
Aku duduk di sudut kantin. Menikmati makan siang seorang
diri. Hanya aku tanpa satu pun orang peduli.
Aku menghela napas berat dan mulai memainkan sumpitku.
Namun sebuah nampan yang baru saja mendarat di atas meja begitu mengejutkanku.
Membuatku menoleh pada pemiliknya.
“Kau.. siapa?”
Lelaki itu tersenyum.
“Makanya jangan terlambat masuk kelas,” sahutnya masih
dengan senyum melekat di bibir, “Annyeong,
Kai imnida. Kau siapa?”
Kelopak mataku tak berkedip.
Ini pertama kalinya.
Pertama kalinya ada orang yang sudi berbagi denganku.
Apa dia malaikat yang Tuhan berikan?
“Hei, kenapa melamun?”
“Ehm? Maafkan aku,” ujarku sambil sedikit menundukkan
kepala.
Pemuda itu tertawa lagi.
Tawa itu…
baru kali pertama aku melihat ketulusan di dalamnya.
“Jangan terlalu formal, kita kan teman sebaya.”
“Oh, ya, tentu saja.”
“Oh! Lihat itu!”
“A-pa?”
“Ternyata senyummu manis juga,” katanya seraya menunjuk
wajahku.
Aku tersipu, untuk kali pertama.
“Ingin ku beritahu sesuatu yang menarik?”
“Eng—”
“Baiklah...”
Dia begitu hangat.
Bahkan dia sangat baik padaku.
Ketika dia tertawa…
Ya, tertawa seperti ini.
Rasanya aku ingin hanyut dalam tawanya meski lelucon
yang ia lontarkan sebenarnya tak lucu sama sekali.
Aku ingin tawanya. Lagi dan lagi.
Seperti candu.
Aku ingin melihatnya.
Selama apapun.
—fin
0 Response to "Your Effected Laugh"
Post a Comment