Aku percaya, suatu hari nanti kau akan kembali.
Itsume memandang langit yang kian memudar dari tahta
perkasanya yang berwarna cerah. Semburat keemasan bagaikan gaya tiga dimensi
yang tampak nyata melapisi sisi-sisi bentuknya. Untuk sejenak Itsume menurunkan
kelopak mata. Mengisi warna hitam pada retina. Menghentikan sel kerucutnya
bekerja.
Sepoi-sepoi angin membelai lembut permukaan wajah
Itsume yang agak tirus, mengejar anak rambut yang berlari menghindar. Perlahan
udara keluar dari paru-parunya kemudian terhembus bersama kekecewaan yang
mengendap di dasar hati.
“Selalu ada hari esok yang menantimu, Baekhyun,” bisiknya
pada dedaunan yang menari riuh.
Sebulir likuid jatuh di pipi kiri Itsume. Kata orang, namida[1]
yang jatuh dari mata bagian kiri berarti menandakan tentang sebuah kesedihan.
Itsume tertawa miris seraya mengusap wajahnya.
-FLASHBACK
ON-
Ilalang menari mengikuti arah gerak dua manusia yang
tengah bergembira. Rela meski beberapa kali harus diinjak atau dihempas oleh
tangan-tangan lentik yang lembut.
“Baekhyun,” panggil seorang gadis seraya menahan
kakinya untuk melangkah lagi. Seragam SMUnya pun ikut terhempas pada tubuhnya
yang langsing kemudian tenang meski sempat tertiup angin sebentar.
Hal itu membuat langkah seorang pemuda turut berhenti
lantas menatap iris gelap lawan bicaranya, “Ya? Nazedeshou ka[2],
Itsume chan[3]?”
“Apakah akan baik-baik saja jika kamu di sini
bersamaku?”
Pemuda itu tersenyum getir—merasa agak ragu— lalu
menggenggam kedua tangan Itsume, “Daijoubu[4].
Kamu tidak perlu khawatir tentang apapun.”
“Benar begitu?”
Baekhyun mengangguk mencoba meyakinkan, namun tetap
dipandang sebelah mata oleh gadis dihadapannya, “Apa maksudmu bilang begitu?
Kamu tidak mempercayaiku?”
Itsume menggeleng cepat, “Aku tidak mengatakan itu kok.
Hanya saja... aku mengkhawatirkanmu, Baekhyun.”
Pemuda itu tertawa kecil, “Aku senang kalau ternyata kamu
memperhatikanku, tetapi jangan pernah meremehkanku,” katanya sembari mengacak
puncak kepala Itsume.
Itsume mengangguk meski masih merasa ragu.
“Oh? Kamu belum yakin denganku?”
“Sejujurnya memang begitu, “ sahut Itsume dengan bibir
yang dimonyongkan.
“Oh ayolah... percayalah padaku, Nona Itsume,” ujar
Baekhyun dengan nada menggoda. Sepersekian detik berikutnya ia sudah mencubit
kedua sisi wajah Itsume.
“Aaaa! Baekhyun kun! Hentikan!” erangnya seraya
melayangkan kepalan tangan di lengan pemuda itu.
“Ah! Hey!”
“Huh? Nazedeshou
ka? Daijoubu ka[5]?”
tanya itsume yang langsung panik setengah mati ketika Baekhyun meringis
kesakitan.
Itsume mencoba mencari tahu, tetapi Baekhyun
terus-terusan mengelak. Hingga pada akhirnya upaya Itsume pun membuahkan hasil.
Ia mampu menarik lengan Baekhyun dan menyingkap lengan kemeja pemuda berwajah puppy tersebut.
Seketika itu iris bening Itsume mengembang sempurna.
Sebelah tangannya membekap mulut, bahkan kakinya terperintahkan untuk mundur
beberapa langkah.
“B-Baekhyun.. kenapa? Apa yang—”
“Tidak apa-apa itsume. Watashi wa daijōbudesu yo[6].”
“Apanya yang baik-baik saja huh?! Lihat lenganmu itu!
Katakan apa yang terjadi! Katakan!” suara Itsume meninggi hingga mampu didengar
lapisan langit yang lain.
“Dengar, ini semua hanya—”
“Apa karena aku?”
“Sudah kubilang—”
“Jadi memang benar karena aku?”
“Itsume, semua ini tidak lebih menyakitkan daripada aku
harus kehilangan dirimu. Aku tidak apa-apa.”
Sebulir namida
lolos dari pelupuk mata Itsume. Saraf reseptornya dengan cepat terhubung dengan
afektor hingga merangsang kaki-kakinya bergerak mundur tatkala Baekhyun mencoba
mendekat.
“Jangan dekati aku!”
Baekhyun menghela napas berat, “Bahkan jika setiap hari
aku harus menerima berbagai makian serta pukulan dan sungut api dari ayahku,
aku tak peduli. Selama hal itu masih bisa mempertemukanku denganmu, aku merasa
bahagia.”
Itsume menggeleng lemah, “Aku tak sanggup bila harus
melihat luka itu. Mungkin memang lebih baik bila kita tak bersama.”
“Tidak, Itsume, hal itu tidak benar.”
Baekhyun berjalan selangkah mendekati Itsume dan ketika
gadis itu akan beranjak, dengan cepat ia menahan lengan Itsume.
“Itsume, aku mohon jangan seperti ini. Kau membuatku
lebih sakit. Itu sama saja dengan memperdalam luka di tubuhku.”
“Baekhyun,” jeda sejenak, “jika salah satu di antara
kita terluka karena bersama maka akan lebih baik jika cinta itu dimusnahkan,”
lanjutnya yang sudah meloloskan berbagai bulir likuid.
Baekhyun menggeleng, “Jika memang cinta, aku akan memilih
bertahan dan terluka demi kita. Untuk bersama dan selamanya. Karena aku adalah
milikmu, dan begitulah sebaliknya.”
Itsume menitikkan air matanya terharu. Hingga tak dapat
menahan untuk menyambar tubuh Baekhyun, mendekapnya erat.
-FLASHBACK
OFF-
Itsume memainkan ayunan yang sedari tadi menjadi wadah
kerinduannya, mengenang seseorang yang spesial di hidupnya. Yang ternyata
memilih kembali ke negara asalnya –Korea— daripada menetap di Jepang hanya
sekedar untuk hidup bersamanya. Tetapi entahlah, sampai detik ini Itsume belum
tahu kabar Baekhyun, pun alasan mengapa lelaki itu meninggalkannya tanpa kabar.
Hanya saja dua hari sebelum kosongnya rumah Baekhyun,
lelaki itu pernah berkata, “Itsumo
watashitachi no tame ni ashita wa nai yō ni ikimasu. Ashita. Watashi o
shinjite.[7]”
Itsume mengulum senyum tragis, “Ya, pasti ada. Hari itu
entah kapan. Watashi wa matte okou[8],
Baekhyun-san.”
Itsume bangkit dari ayunan. Berjalan pergi dari bukit
yang dulu sering ia datangi bersama Baekhyun. Pemuda kan koku kara kimashita[9].
Itsuka...[10]
ashita.[11]
—fin
0 Response to "あした | Ashita "
Post a Comment