That Time - 00:00


Natal? Mungkin adalah momen terhebat yang ditunggu-tunggu oleh kaum kristiani. Dengan berbahagia menyambut hari lahir Yesus. Saling berbagi kasih dan memberi kado. Menghabiskan waktu bersama sampai lupa batas. Namun semua itu tak pernah terjadi dalam kehidupanku. Hidup Oh Rael.

Mengingat tentang tragedi tanggal 25 Desember; kematian. Hingga detik ini aku tak pernah menyambut hari itu dengan suka cita layaknya orang biasa. Akibatnya aku selalu sendirian sehari penuh, benar, tidak ada seorang pun yang peduli—atau mungkin akulah yang mencoba menghindar.

Umurku memang tak lagi muda tetapi perilaku kekanak-kanakan ini tak bisa hilang begitu saja. karena setiap aku melihat kalender dan teringat bahwa hari ini adalah tanggal 25 Desember, yang terngiang dalam kepalaku adalah bagaimana sadisnya seorang ayah tega melukai anggota keluarganya, menyiksa hingga tewas. Naas sekali bagi salah seorang anaknya yang tanpa sengaja dan tanpa ada keinginan menyaksikan segala bentuk penyiksaan pada seluruh anggota keluarga. Tetapi suatu keberuntungan tersendiri baginya karena mampu lari dari pencabut nyawa yang tinggal semeter lagi melakukan tugasnya.

“Hei, sedang apa disini?”

“Hm? Oh Kau.”

“Hanya itu? Aku kira kamu bakal senang dan langsung memelukku, ternyata persepsiku salah ya? Hehe.. setidaknya ada seseorang yang menemanimu tahu,” katanya sembari menarik kursi dan bersantai di hadapanku.


EXO’s LayOC’s Rael | PG | Romance | Ficlet | Chealsy,2015


Aku mendengus, “Siapa juga yang akan melakukan itu di depan khalayak ramai? Hmm.. mungkin kalau tempat ini sepi... aku juga nggak akan melakukan hal itu sih haha,” ternyata lawakanku tak bisa membuat tawanya keluar. Aku berdeham, “Kerjaan kamu udah selesai?”

Pria yang meneguk segelas wine itu menggelengkan kepala, kemudian menatapku sekilas dan beralih memandang langit lewat kaca transparan, “Belum selesai sih, tapi nggak enak juga kalau harus ngehabisin natal di kantor. Paling enggak aku bisa menghabiskan sisa waktu bersama orang yang aku suka.”

“Ya sudah sana lakukan, aku mau pulang.”

“Kamu emang nggak pernah peka ya?” Aku mengulum senyum ketika mendengarnya, sebenarnya bukan nggak peka tapi pura-pura. Posisiku masih sama; membelakangi pria berjas itu—menunggu kalimat selanjutnya.

 “Ikut aku,” tegasnya seraya menggait lenganku—menyeret meninggalkan restoran.

“Mau kemana?”

*

Dan disinilah akhirnya. Aku bersama pria berlesung pipi duduk di barisan paling depan untuk menyaksikan paduan suara yang tak henti melantunkan bait bertema natal.

“Lay.”

Sialnya panggilanku tak dihiraukan olehnya. Ia sibuk menikmati penampilan dari sekerumunan anak-anak yang demi apapun aku membencinya. Trauma saat aku masih kecil berdampat terlalu besar di kehidupan dewasaku; membenci hari natal, membenci kado, membenci lagu natal, membenci anak-anak.

Aku bangkit dari duduk, hendak melarikan diri tetapi tangan Lay sudah bertengger di bahuku dan memaksaku untuk kembali duduk.

“What the—“

“Nikmatin aja dulu, toh sebentar lagi juga selesai.”

*

Setelah menikmati pertunjukan anak-anak bernyanyi, Lay langsung menggandeng tanganku dan berakhirlah di sebuah taman bermain yang dibuka khusus pada hari natal. Yang membuatku tak percaya; Lay membuatku duduk di komedi putar.

“Lay, kamu gila?”

“Enggaklah, aku masih waras untuk mencintai kamu.”

Aku mendecih sebal, cuma itu yang bisa aku lakuin apalagi ketika kami dikelilingi anak-anak, nggak mungkin kan kalau aku maki-maki dia? Dan ternyata ujianku nggak sampai disitu aja. Lay tanpa meminta persetujuanku membawa kami ke wahana roller coaster, padahal aku anti banget sama permainan itu. Setelah naik itu, Lay membuatku berakhir di wahana biang lala. I’m afraid about it. Anti banget sama yang namanya ke-ting-gi-an.

*

“Rael, tunggu sebentar.”

“Sekarang apa lagi hah? Kamu mau bikin aku menderita kayak apa lagi sih Lay? Kamu kira aku bahagia sama hal kayak gini? Kamu pikir aku bakal senang, jingkrak-jingkrak terus meluk kamu? Gitu hah? Enggak Lay! Aku nggak suka semua ini. Aku nggak suka hari NATAL! Bahkan aku benci. Dan kamu bikin kebencianku mengenai hari natal menular ke kamu! Kamu bikin aku—“

Lay meletakkan kedua tangannya di pundakku, memberi tatap teduh. Yang tak kupungkiri mampu membuat emosiku sedikit berkurang.

“Dengerin aku El, nggak semua hal menyakitkan di masa lalu bakal terulang di masa depan. Nggak akan terjadi karena kamu bisa mengatasinya, karna kamu bisa menjadikannya sebagai pembelajaran. Cukup sebatas pelajaran. Nggak sepantesnya kamu berperilaku kayak gini hanya karena kenangan buruk di masa lalu,” katanya panjang lebar—semakin memberi tatap teduh.

“Kamu pasti bisa. Aku yakin itu. Jadi mulai sekarang kamu harus berubah. Mulai detik ini, hilangin semua kenangan buruk itu. Yang perlu diinget cuma sebatas kenangan manisnya aja, ok?”

Aku mengalihkan pandangan, tetapi Lay mengangkat daguku—membuat kita kembali bersitatap, “Lihat aku El. Begitupun kalau kamu butuh tenaga. Seandainya kamu butuh penyemangat, datanglah padaku. Dengan sukarela aku akan membagi semuanya. Percaya El.”

“Lepas!”

“El! Kamu mau kemana?”

Setelah dua langkah meninggalkan Lay dengan mata berair, aku membalik tubuh hingga kami dapat saling melihat. Perlahan aku menarik napas, mengisi udara serta kekuatan.

“Kamu pikir aku nggak tau? Iya? Kamu pikir aku nggak tahu tentang PERNIKAHAN KAMU? PERNIKAHAN YANG AKAN DISELENGGARAKAN AKHIR TAHUN BERSAMA.. Mi Hwa?” dan disinilah titik dimana aku tak lagi mampu membendung tangis. Seseorang yang aku cintai yang juga balas mencintaiku akan menikah dengan wanita lain.

Sorot mata Lay meredup bahkan tubuhnya goyah sejenak kemudian memilih bertumpu pada salah satu tiang di sampingnya. Pria itu diam beberapa detik. Hingga denting jam berhenti tepat di angka duabelas.

“Kamu.. tahu dari mana.. Oh Rael?”


—fin


A/N : halo gua kambek tanpa dimintaa'-' haha :| komennyaa yaa ^^ btw kali ini ffnya tambah gaje akut yak/? iya emangg :g pls jgn timpuk gua ;)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "That Time - 00:00"

Post a Comment