We Are Friends



EXO's Kai x Sehun | Genre : Friendship | Rate : PG | Length : Oneshot (1.342 words) | Written by Deev ©2015 

Persahabatan berada diatas segalanya. Adalah sebuah jalinan antar manusia yang saling mengasihi, saling menguatkan, dan saling berbagi cerita. Namun terkadang sesuatu hal dapat merobek ikatan tersebut. Entah itu masalah ekonomi, fisik, psikis, ataupun cinta.

Kai merangkul Sehun penuh bahagianya. Hari ini mungkin mereka akan melakukan hal yang menyenangkan lagi, itupun kalau penjaga sekolah tak memergoki mereka. Sehun menoleh pada Kai seraya tersenyum nakal. Sedetik berikutnya mereka sudah berlarian keluar gerbang sambil bersorak ria.

“Hei! Kalian lagi!” seru satpam sekolah sembari berusaha mengejar, namun tak bisa semudah itu untuk menangkap dua pemuda jangkung yang pandai bermain-main itu. Dan berakhirlah ia sendiri yang kelelahan dan menyerah.

“Hm, payah sekali satpam sekolah kita ini ya? Apakah kita harus melaporkannya pada kepala sekolah supaya dia diganti?” sombong Kai yang masih mampu berdiri tegak.

“Kau gila hah? Hal itu juga akan berdampak pada kita!”

“Benarkah? Mungkin memang harus seperti itu kan supaya adil?” tutur Kai sambil berkacak pinggang serta memandang remeh satpam tua itu.

Sehun tersenyum miring, “Ayo!” yang langsung ditanggapi Kai. Mereka berdua berlari di tengah jalan raya sambil menyorak mengenai kebebasan.

*

Ketika seseorang melanggar aturan, tentu pasti ada hukuman. Ruang BK setidaknya lebih baik daripada ruang Kepala Sekolah. Tempat dimana dua manusia yang sehabis membolos berada.

“Tidakkah kalian mengerti? Orangtua kalian sangat berperan dalam pembangunan sekolah, jadi mengapa kalian harus kabur dari sekolah dan menikmati fasilitas lain yang jelas-jelas sudah dimiliki sekolah?” guru wanita itu mendesah, “aku bisa gila.”

Sehun meluruskan kaki diatas meja, melipat lengan di belakang kepala sambil bersender, “Terkadang kita membutuhkan kebebasan lebih. Berada di sekolah ini.. rasanya sulit bernapas.”

“Turunkan kakimu!”

“Tidak mau.”

“Kau anak nakal! Akan kuhubungi Ayahmu,” ancam Guru Yeon sambil merogoh saku untuk mendapatkan ponselnya.

Kai berdeham, “Mencari ini?” sambil memutar sebuah ponsel di udara dengan jemarinya.

“Ka-kau.. kembalikan ponselku!”

“Kalau kukembalikan, pasti kau akan menghubungi Ayah Sehun kan? Maka, akan kusimpan sementara, okay?” kata Kai tanpa sedikitpun rasa takut. Ia menyikut lengan Sehun dan berhasil keluar ruangan BK tanpa mendapat hukuman apapun.

“Terima kasih, ternyata berteman denganmu ada untungnya buatku, setidaknya karna kau pintar.”

“Hei, lupakan saja toh kita kan sahabat,” Kai mendekatkan bibirnya di daun telinga Sehun, “dan terima kasih juga. Karena Ayahmu kaya, aku bisa membeli banyak hal yang kuinginkan.”

*

Diantara terpaan cahya mentari yang menyilaukan mata, Sehun bersama sahabat setianya tengah duduk di salah satu bangku kantin. Keduanya asik melahap porsi makanan masing-masing, tetapi tak jarang juga akan mencomot milik satu sama lain, kemudian tertawa lepas.

Kai menyenggol lengan lelaki berkulit pucat di sampingnya, “Dia. Kau melihatnya kan?” katanya sambil menunjuk keberadaan salah seorang gadis.

“Oh Rael?”

“Kau juga tahu namanya? Hahaha, sudah kuduga. Dia sangat cantik, melebihi segalanya.”

Sehun menatap teman kulit tannya jijik. Sejenak ia memandang wajah gadis itu. memang bersinar dan manis, tetapi ia tak tertarik—untuk saat ini.

*

“Sehun!” panggil Kai sengaja, membuat seorang pria berjas merapikan pakaiannya.

“Aku akan menemuimu lagi nanti, jika ada waktu.”

Sehun hanya diam mematung tanpa bersua sediktpun. Ia menyeka ujung bibir kemudian mendecih. Selalu hanya darah dan kekerasan yang terjadi bila sosok ayah berada di dekatnya. Sehun tertawa sarkastik menatap kepergian ayahnya yang mengendarai mobil mewah.

Gwaenchanha?” tatap tajam Sehun menghunus iris Kai sebelum melengang, “YA! SEHUN, KAU..” ujarnya tertahan. Untuk saat ini sangat mustahil mengajak bicara seseorang yang tengah tersakiti hati dan fisiknya.

“Kai soenbae,” pemuda berkulit pucat itu menoleh. Ekspresi wajahnya seakan bertanya, ada apa menemuiku, “emm.. ini,” lanjutnya seraya mengulurkan sekotak kado.

“Hari ini aku tidak ulang tahun, jadi untuk apa kau memberikannya padaku?”

Gadis itu nampak agak terkejut mendengarnya, “Sebenarnya kotak ini.. kotak ini bukan kado. Tapi.. aku ingin meminta bantuan soenbae,” jeda sejenak, “tolong.. berikan ini pada Sehun soenbae.”

*

Awan mendung menggantung di langit ibu kota, angin berhembus kencang membawa beberapa sampah kertas berterbangan. Sebentar lagi hujan, batin Kai. Laki-laki itu menengok ke arah jendela, mencari kesegaran. Dimana anak itu? pikirnya gelisah sembari sesekali membolak-balik kotak berwarna merah hati. Beberapa tetes air mulai menempel di jendela, hujan telah berderai.

Dibawah naungan titik-titik bening, tubuh langsing Kai menembus angin yang cukup kuat berhembus. Meski terselip perasaan sebal, ia harus menemukan anak itu. Tujuan pertamanya adalah ruang tari sekolah, biasanya Sehun akan menari untuk meluapkan kemarahannya, tetapi kali ini ruangan itu kosong. Ayunan kaki Kai beralih ke lapangan basket. Menggunakan penglihatan minim karena hujan deras, Kai masih belum menemukan keberadaan Sehun disana. Ia hampir putus asa, tetapi rasa khawatirnya melebihi itu. Kai berlari mengitar halaman sekolah, melewati lapangan sepak bola. Iris gelapnya bergerak liar mencari, namun tetap tidak ada.

“AARRGHH!”

Kai terpaku, ia seperti mengenal suara itu. Atensi matanya beralih memandang atap gedung sekolah. Hatinya bergejolak. Bergegas ia langkahkan kaki memasuki sekolah, menaiki banyak anak tangga. Rasa letih menggerogoti raga Kai setelah menapak lantai tiga, butuh satu lantai lagi sebelum mencapai atap.
Dengan napas ngos-ngosan, Kai menggebrak pintu besi yang berderik nyaring. Ia berlari sekuat tenaga dengan energi yang tersisa.

“SEHUN!” serunya disela-sela napas yang memburu. Lelaki berambut pirang itu berbalik, memberikan tatapan putus asa.

“Aku hanya ingin memberikan ini,” kata Kai sambil melangkah mendekati Sehun, “Dari Oh Rael,” seketika bola mata Sehun mengembang sempurna, “Aku sudah tahu semuanya.”

Sehun menampilkan smirk, “Baguslah kalau begitu. Jadi aku tak perlu lagi menyembunyikannya darimu,” tangan kiri Kai mengepal geram menahan emosi, “selama ini aku sudah lelah bersandiwara di depanmu,” menghela napas bebas, “Sekarang aku bisa merasakan aroma—“

Belum usai Sehun berucap namun Kai sudah menghentikannya dengan tinju. Dan bukannya merasa bersalah, Sehun justru tertawa. Hal ini membuat Kai semakin geram. Sahabat yang selama ini ia prioritaskan ternyata menusuk dari belakang, bagaimana bisa Kai membuka kesabarannya?

Kai kembali melayangkan tinju di wajah bagian kiri Sehun, kemudian bergantian dengan wajah kanannya. Belum merasa puas, Kai memukul dada serta perut Sehun hingga ia memuntahkan cairan merah kental; darah. Jalinan persahabatan telah mencapai garis finish, batin Kai sebelum meninggalkan Sehun yang semakin membuatnya naik pitam.

*

Sudah berjalan dua minggu setelah kejadian di atap sekolah. Kedua siswa yang biasanya selalu bersama melakukan apapun, kini tak lagi saling bercakap bahkan menyapa pun tidak pernah. Sehun terlihat bahagia dengan pacar barunya; Rael. Sedangkan Kai seperti gelandangan; luntang-luntung tanpa tahu hal yang pantas dikerjakan.

Seandainya kau meminta maaf padaku kala itu, pasti aku bisa menahan emosi dan tak pernah memukulmu, Hun. Jika saja kau tak membuat hatiku bertambah retak, kita pasti masih bersama, batin Kai galau. Tetapi sedetik kemudian ia menampilkan smirk, kau memang tak pernah memakai otakmu.

Berbanding terbalik dengan Sehun yang nampak bahagia, Kai sungguh merasa separuh jiwanya telah menghilang. Tiada siswa yang bisa memahaminya, tidak ada siswa yang mau ikut membolos dengannya, bahkan tak ada dari mereka yang peduli.

Kai menghela napas berat, “Jujur aku merindukanmu, kawanku.”

“Aku juga,” refleks suara itu membuat kepala Kai tertoleh ke belakang, “Jadi apa yang harus kita lakukan setelah ini hah?”

Kai mengernyit, “Sedang apa kau disini?” katanya datar.

“Eiyy, bukankah kau merindukanku? Aku mendengarmu beberapa kali menyebut namaku, jadi aku langsung teleportasi kesini untuk menemuimu,” jawab Sehun, mengambil posisi di samping Kai yang tengah duduk di atap sekolah.

Kai mendecih, “Seharusnya kau bersama Rael sekarang kan?” sindirnya.

Lengkung miring menghias bibir Sehun, “Kau cemburu? Ha?” ledeknya kemudian menatap Kai lebih lekat, “benar kau cemburu hah? Hahahaha.. ternyata cowok hitam sepertimu juga bisa cemburu ya?”

“Apa katamu? Hitam? Kau sendiri apa hah? Mayat hidup? Sudah sana kembali ke kuburanmu!” balas Kai tersinggung.

“Hei hei hei, aku kan cuma bercanda,” kata Sehun, tawanya perlahan menghilang. Dua detik hanya dipenuhi keheningan. Pemuda pucat itu berdeham, “Aku.. sebenarnya kami tak pernah berpacaran. Sore itu.. aku hanya terlalu tertekan,” kata Sehun melepas rasa canggung, kemudian merangkul Kai.

Diam-diam Kai mengukir senyum di antara kulit eksotisnya, tiga detik berikutnya ia menghindar dari rangkulan Sehun, memberi jarak antar keduanya, “YA! Jangan dekat-dekat aku! Bila ada yang melihat bisa-bisa mereka berfikiran jika aku penyuka sesama jenis.”

Sehun mengangkat sebelah alis, namun segera mengerti candaan Kai barusan. Audio tawa keduanya saling berhimpitan mengisi udara. Menghabiskan waktu sebelum pulang di atap sekolah sembari bercanda.

Kai mengejar Sehun yang terus menghindarinya, menggelitiki tubuh kurus Sehun bila berhasil menangkapnya. Kemudian tertawa membahana. Saling menindih dan memukul, sedikit dibumbui dengan umpatan kesal, lalu tertawa lepas lagi.


—fin

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "We Are Friends"

Post a Comment