Persahabatan berada diatas segalanya. Adalah sebuah jalinan
antar manusia yang saling mengasihi, saling menguatkan, dan saling berbagi
cerita. Namun terkadang sesuatu hal dapat merobek ikatan tersebut. Entah itu
masalah ekonomi, fisik, psikis, ataupun cinta.
Kai merangkul Sehun penuh bahagianya. Hari ini mungkin
mereka akan melakukan hal yang menyenangkan lagi, itupun kalau penjaga sekolah
tak memergoki mereka. Sehun menoleh pada Kai seraya tersenyum nakal. Sedetik
berikutnya mereka sudah berlarian keluar gerbang sambil bersorak ria.
“Hei! Kalian lagi!” seru satpam sekolah sembari berusaha
mengejar, namun tak bisa semudah itu untuk menangkap dua pemuda jangkung yang
pandai bermain-main itu. Dan berakhirlah ia sendiri yang kelelahan dan
menyerah.
“Hm, payah sekali satpam sekolah kita ini ya? Apakah kita
harus melaporkannya pada kepala sekolah supaya dia diganti?” sombong Kai yang
masih mampu berdiri tegak.
“Kau gila hah? Hal itu juga akan berdampak pada kita!”
“Benarkah? Mungkin memang harus seperti itu kan supaya
adil?” tutur Kai sambil berkacak pinggang serta memandang remeh satpam tua itu.
Sehun tersenyum miring, “Ayo!” yang langsung ditanggapi Kai.
Mereka berdua berlari di tengah jalan raya sambil menyorak mengenai kebebasan.
*
Ketika seseorang melanggar aturan, tentu pasti ada hukuman.
Ruang BK setidaknya lebih baik daripada ruang Kepala Sekolah. Tempat dimana dua
manusia yang sehabis membolos berada.
“Tidakkah kalian mengerti? Orangtua kalian sangat berperan
dalam pembangunan sekolah, jadi mengapa kalian harus kabur dari sekolah dan
menikmati fasilitas lain yang jelas-jelas sudah dimiliki sekolah?” guru wanita
itu mendesah, “aku bisa gila.”
Sehun meluruskan kaki diatas meja, melipat lengan di
belakang kepala sambil bersender, “Terkadang kita membutuhkan kebebasan lebih.
Berada di sekolah ini.. rasanya sulit bernapas.”
“Turunkan kakimu!”
“Tidak mau.”
“Kau anak nakal! Akan kuhubungi Ayahmu,” ancam Guru Yeon
sambil merogoh saku untuk mendapatkan ponselnya.
Kai berdeham, “Mencari ini?” sambil memutar sebuah ponsel di
udara dengan jemarinya.
“Ka-kau.. kembalikan ponselku!”
“Kalau kukembalikan, pasti kau akan menghubungi Ayah Sehun
kan? Maka, akan kusimpan sementara, okay?”
kata Kai tanpa sedikitpun rasa takut. Ia menyikut lengan Sehun dan berhasil keluar
ruangan BK tanpa mendapat hukuman apapun.
“Terima kasih, ternyata berteman denganmu ada untungnya
buatku, setidaknya karna kau pintar.”
“Hei, lupakan saja toh kita kan sahabat,” Kai mendekatkan
bibirnya di daun telinga Sehun, “dan terima kasih juga. Karena Ayahmu kaya, aku
bisa membeli banyak hal yang kuinginkan.”
*
Diantara terpaan cahya mentari yang menyilaukan mata, Sehun
bersama sahabat setianya tengah duduk di salah satu bangku kantin. Keduanya
asik melahap porsi makanan masing-masing, tetapi tak jarang juga akan mencomot
milik satu sama lain, kemudian tertawa lepas.
Kai menyenggol lengan lelaki berkulit pucat di sampingnya,
“Dia. Kau melihatnya kan?” katanya sambil menunjuk keberadaan salah seorang
gadis.
“Oh Rael?”
“Kau juga tahu namanya? Hahaha, sudah kuduga. Dia sangat
cantik, melebihi segalanya.”
Sehun menatap teman kulit tannya jijik. Sejenak ia memandang wajah gadis itu. memang bersinar
dan manis, tetapi ia tak tertarik—untuk
saat ini.
*
“Sehun!” panggil Kai sengaja, membuat seorang pria berjas
merapikan pakaiannya.
“Aku akan menemuimu lagi nanti, jika ada waktu.”
Sehun hanya diam mematung tanpa bersua sediktpun. Ia menyeka
ujung bibir kemudian mendecih. Selalu hanya darah dan kekerasan yang terjadi
bila sosok ayah berada di dekatnya. Sehun tertawa sarkastik menatap kepergian
ayahnya yang mengendarai mobil mewah.
“Gwaenchanha?”
tatap tajam Sehun menghunus iris Kai sebelum melengang, “YA! SEHUN, KAU..” ujarnya tertahan. Untuk saat ini sangat mustahil
mengajak bicara seseorang yang tengah tersakiti hati dan fisiknya.
“Kai soenbae,” pemuda
berkulit pucat itu menoleh. Ekspresi wajahnya seakan bertanya, ada apa menemuiku, “emm.. ini,”
lanjutnya seraya mengulurkan sekotak kado.
“Hari ini aku tidak ulang tahun, jadi untuk apa kau
memberikannya padaku?”
Gadis itu nampak agak terkejut mendengarnya, “Sebenarnya
kotak ini.. kotak ini bukan kado. Tapi.. aku ingin meminta bantuan soenbae,” jeda sejenak, “tolong..
berikan ini pada Sehun soenbae.”
*
Awan mendung menggantung di langit ibu kota, angin berhembus
kencang membawa beberapa sampah kertas berterbangan. Sebentar lagi hujan, batin Kai. Laki-laki itu menengok ke arah
jendela, mencari kesegaran. Dimana anak
itu? pikirnya gelisah sembari sesekali membolak-balik kotak berwarna merah
hati. Beberapa tetes air mulai menempel di jendela, hujan telah berderai.
Dibawah naungan titik-titik bening, tubuh langsing Kai
menembus angin yang cukup kuat berhembus. Meski terselip perasaan sebal, ia
harus menemukan anak itu. Tujuan pertamanya adalah ruang tari sekolah, biasanya
Sehun akan menari untuk meluapkan kemarahannya, tetapi kali ini ruangan itu
kosong. Ayunan kaki Kai beralih ke lapangan basket. Menggunakan penglihatan
minim karena hujan deras, Kai masih belum menemukan keberadaan Sehun disana. Ia
hampir putus asa, tetapi rasa khawatirnya melebihi itu. Kai berlari mengitar
halaman sekolah, melewati lapangan sepak bola. Iris gelapnya bergerak liar
mencari, namun tetap tidak ada.
“AARRGHH!”
Kai terpaku, ia seperti mengenal suara itu. Atensi matanya
beralih memandang atap gedung sekolah. Hatinya bergejolak. Bergegas ia
langkahkan kaki memasuki sekolah, menaiki banyak anak tangga. Rasa letih
menggerogoti raga Kai setelah menapak lantai tiga, butuh satu lantai lagi
sebelum mencapai atap.
Dengan napas ngos-ngosan, Kai menggebrak pintu besi yang
berderik nyaring. Ia berlari sekuat tenaga dengan energi yang tersisa.
“SEHUN!” serunya disela-sela napas yang memburu. Lelaki
berambut pirang itu berbalik, memberikan tatapan putus asa.
“Aku hanya ingin memberikan ini,” kata Kai sambil melangkah
mendekati Sehun, “Dari Oh Rael,” seketika bola mata Sehun mengembang sempurna,
“Aku sudah tahu semuanya.”
Sehun menampilkan smirk,
“Baguslah kalau begitu. Jadi aku tak perlu lagi menyembunyikannya darimu,”
tangan kiri Kai mengepal geram menahan emosi, “selama ini aku sudah lelah
bersandiwara di depanmu,” menghela napas bebas, “Sekarang aku bisa merasakan
aroma—“
Belum usai Sehun berucap namun Kai sudah menghentikannya
dengan tinju. Dan bukannya merasa bersalah, Sehun justru tertawa. Hal ini
membuat Kai semakin geram. Sahabat yang selama ini ia prioritaskan ternyata
menusuk dari belakang, bagaimana bisa Kai membuka kesabarannya?
Kai kembali melayangkan tinju di wajah bagian kiri Sehun,
kemudian bergantian dengan wajah kanannya. Belum merasa puas, Kai memukul dada
serta perut Sehun hingga ia memuntahkan cairan merah kental; darah. Jalinan persahabatan telah mencapai garis
finish, batin Kai sebelum meninggalkan Sehun yang semakin membuatnya naik
pitam.
*
Sudah berjalan dua minggu setelah kejadian di atap sekolah.
Kedua siswa yang biasanya selalu bersama melakukan apapun, kini tak lagi saling
bercakap bahkan menyapa pun tidak pernah. Sehun terlihat bahagia dengan pacar
barunya; Rael. Sedangkan Kai seperti gelandangan; luntang-luntung tanpa tahu
hal yang pantas dikerjakan.
Seandainya kau meminta
maaf padaku kala itu, pasti aku bisa menahan emosi dan tak pernah memukulmu,
Hun. Jika saja kau tak membuat hatiku bertambah retak, kita pasti masih bersama,
batin Kai galau. Tetapi sedetik kemudian ia menampilkan smirk, kau memang tak pernah memakai otakmu.
Berbanding terbalik dengan Sehun yang nampak bahagia, Kai
sungguh merasa separuh jiwanya telah menghilang. Tiada siswa yang bisa
memahaminya, tidak ada siswa yang mau ikut membolos dengannya, bahkan tak ada
dari mereka yang peduli.
Kai menghela napas berat, “Jujur aku merindukanmu, kawanku.”
“Aku juga,” refleks suara itu membuat kepala Kai tertoleh ke
belakang, “Jadi apa yang harus kita lakukan setelah ini hah?”
Kai mengernyit, “Sedang apa kau disini?” katanya datar.
“Eiyy, bukankah kau merindukanku? Aku mendengarmu beberapa
kali menyebut namaku, jadi aku langsung teleportasi kesini untuk menemuimu,”
jawab Sehun, mengambil posisi di samping Kai yang tengah duduk di atap sekolah.
Kai mendecih, “Seharusnya kau bersama Rael sekarang kan?”
sindirnya.
Lengkung miring menghias bibir Sehun, “Kau cemburu? Ha?”
ledeknya kemudian menatap Kai lebih lekat, “benar kau cemburu hah? Hahahaha..
ternyata cowok hitam sepertimu juga bisa cemburu ya?”
“Apa katamu? Hitam? Kau sendiri apa hah? Mayat hidup? Sudah
sana kembali ke kuburanmu!” balas Kai tersinggung.
“Hei hei hei, aku kan cuma bercanda,” kata Sehun, tawanya
perlahan menghilang. Dua detik hanya dipenuhi keheningan. Pemuda pucat itu
berdeham, “Aku.. sebenarnya kami tak pernah berpacaran. Sore itu.. aku hanya
terlalu tertekan,” kata Sehun melepas rasa canggung, kemudian merangkul Kai.
Diam-diam Kai mengukir senyum di antara kulit eksotisnya,
tiga detik berikutnya ia menghindar dari rangkulan Sehun, memberi jarak antar
keduanya, “YA! Jangan dekat-dekat
aku! Bila ada yang melihat bisa-bisa mereka berfikiran jika aku penyuka sesama
jenis.”
Sehun mengangkat sebelah alis, namun segera mengerti candaan
Kai barusan. Audio tawa keduanya saling berhimpitan mengisi udara. Menghabiskan
waktu sebelum pulang di atap sekolah sembari bercanda.
Kai mengejar Sehun yang terus menghindarinya, menggelitiki
tubuh kurus Sehun bila berhasil menangkapnya. Kemudian tertawa membahana.
Saling menindih dan memukul, sedikit dibumbui dengan umpatan kesal, lalu
tertawa lepas lagi.
—fin
0 Response to "We Are Friends"
Post a Comment