Ini tuh kisah 29 hari yang bener-bener nggak bisa dilupain.
Wendy. Dengan nama itu orang-orang memanggilku. Aku
anak pertama dari dua bersaudara. Yang artinya aku mempunyai satu adik dan
tidak mempunyai kakak. Adikku laki-laki berumur enam tahun. Ah, tunggu. Bukan
ini bagian terpentingnya. Oke, akan ku ulangi.
Aku Wendy. Son Wendy lebih lengkapnya. Banyak orang
bilang aku ini gadis yang cantik. Aku berasal dari keluarga berada, tapi aku
gadis tak bahagia. Kau tahu? Sejak orang tuaku bercerai, aku harus tinggal
bersama appaku yang super sibuk dan hampir saja melupakan nama anak gadisnya
ini. Oke, sebenarnya tidak separah itu.
Sedangkan adikku? Ya, kau tahu. Aku iri dengannya!
Tapi, bukan itu bagian terburuknya. Setelah aku meninggalkan rumah dan sekolah
lamaku di Seoul lalu pindah menetap di Jakarta,
hidupku semakin berantakan. Aku tersesat di sebuah tempat bernama
sekolah yang lebih tampak seperti bangunan antah-berantah. Di sinilah Aku
sekarang. SMA Baek-Ho.
RV’s
Wendy and EXO’s Sehun | School life | PG | Oneshot |
Auxcirbe Artwork | Original story by Desty RA | Remake by Beelivechan[Beta-read]
“Pak, bener ini tempatnya?” tanyaku sesampainya di
sebuah perkampungan kumuh pelosok kota Jakarta.
“Nggatau, Non. Tapi alamatnya bener, kok. Ini alamat
yang pak Ilhoon kasih ke saya,” jawab Pak Kyujong, supir pribadiku. Buru-buru
aku meraih ponsel di sampingku dan menyentuh option call di nomor Appa.
“Ya, tapi ini aneh. Masa ada sekolah elit yang letaknya
di kampung gini. Liat aja, bahkan mobil juga ngga bisa masuk karena gang
sempit,” gerutuku sambil menunggu panggilanku terjawab. Kemudian sampai
berkali-kali, tapi tak di jawab juga. Aku kesal dan menyerah, berhenti untuk
menelepon.
***
“Appa, sih, pake nyuruh-nyuruh pak Ilhoon segala.
Lagian, kok bisa sampe salah, sih? Baek-Ho sama Chan-Ho kan beda jauh,” omelku
di meja makan setelah mendengar penjelasan Appa pagi itu.
“Appa juga baru tau kejadian ini tadi malem. Waktu itu
Appa sibuk. Jadi, Appa nyuruh pak Ilhoon daftarin kamu di Chan-Ho. SMA elit
dekat sini. Tapi Appa belum sempat ngecek.”
“Ah! Terus sekarang gimana? Masa Wendy harus sekolah di
tempat sekumuh itu?” tanyaku penuh penekanan.
“Yaudah kamu berangkat dulu hari ini. Untuk beberapa
minggu ke depan Appa sibuk. Besok lusa juga harus terbang ke Korea lagi. Jadi
kita bisa ngurus kepindahan sekolahmu bulan depan,” tukas Appa seraya
membenarkan letak dasi.
“Hah? Satu bulan?” aku memasang ekspresi tak suka, dan
Appa menyadari itu.
“Ya, bisa aja, Sayang, Appa nyuruh orang lagi buat urus
kepindahanmu besok lusa. Kalo anak kesayangan Appa pengennya gitu.” Appa
tersenyum lembut sembari mengusap puncak kepalaku. Namun aku hanya diam.
Lagi-lagi nyuruh orang. Yaudah, deh, biarin aku tahan
sekolah di tempat kumuh itu selama sebulan. Yang penting kali ini harus Appa
sendiri yang turun tangan, batinku.
“Oke, Wendy bakal nunggu satu bulan, ya. Tapi Appa
harus janji kalo Appa yang bakal urus kepindahan Wendy,” tukasku sambil menatap
tajam ke arah Appa.
“Iya, Sayang. Yaudah, sekarang Appa mau berangkat. Tuh,
pak Kyujong juga udah nunggu kamu di depan,” ujar Appa.
***
Hari pertama aku datang ke sekolah. Aku harus turun
dari mobil tepat di depan gang dan berjalan kaki sekitar 200 meter. Bayangkan!
Aku tidak pernah melakukan ini sebelumnya. Apalagi di sepanjang gang banyak
orang yang menatapku aneh.
Hey! Apa kalian tidak pernah melihat orang cantik?
batinku. Tetapi tidak kuucapkan. Ya, hemat tenaga!
Fiuh!
Aku menghela napas lega. Akhirnya aku sudah sampai di
depan gerbang sekolah.
“Ini sekolah?” desisku sambil mengernyitkan dahi. Aku
melihat sebuah bangunan tidak terlalu besar berlantai satu dengan cat tembok
berwarna hijau. Warna hijau yang menurutku 'ngga niat banget jadi warna'.
Maksudku seperti hijau pucat yang dan terlihat sangat kusam. Belum lagi coretan
tangan-tangan jahil di beberapa sisi tembok. Tampak juga satu tiang bendera
dengan bendera kebangsaan Korea Selatan berkibar di ujungnya.
“SMA BAEK-HO”
Dalam hati aku membaca sebuah tulisan berukuran cukup
besar yang terpampang di papan dan terpaku di dua buah tiang kayu tepat di
salah satu sisi pagar. Aku melangkah memasuki gerbang sekolah yang tampak sudah
karatan. Parah! Tak ada pos satpam di 'sekolah' ini. Yang ada hanya semacam
bangku panjang dengan seng memanjang sebagai atapnya. Juga pohon mangga yang
menjulang tepat di atasnya.
***
“Hai. Nama saya Wendy. Saya pindahan dari SMA di Seoul.
Terima kasih,” kataku di depan beberapa murid di kelas setelah salah satu guru
baruku mempersilakanku memperkenalkan diri.
“Baik, Wendy. Silakan duduk di bangku yang masih
kosong,” kata Yoona songsaengnim. Banyak bangku kosong di kelas itu. Yang ku
lihat hanya ada kira-kira 20 anak di dalam ruangan.
Ini banyak yang ngga berangkat atau memang segini
muridnya? Batinku heran. Aku menebar pandangan ke segala arah. Semua penghuni
kelas menatapku dengan tatapan aneh. Beberapa berbisik sambil melihat ke
arahku. Tanpa berdiri lebih lama, aku melangkah menuju salah satu meja dengan
dua bangku yang masih kosong dan duduk di salah satu bangkunya. Semua penghuni
kelas menatap seolah aku telah melakukan kesalahan.
***
'Teng-teng-teng'
Bel manual berbunyi tanda istirahat.
Yaampun, masih ada yaa sekolah yang pake bel model
ginian, batinku.
Setelah guru berjalan keluar kelas, suasana yang
tadinya sunyi berubah 180 derajat menjadi ekstra gaduh. Apalagi cowok-cowoknya.
Beberapa anak di kelas menghampiriku untuk berkenalan. Aku menyambut baik.
“Hey, anak baru!” seru salah satu cowok yang tiba-tiba
muncul di depanku.
“Ya?”
“Ini meja Bos. Lo bisa kali pindah dari sini. Itu
banyak bangku kosong,” katanya dengan nada santai.
Apa katanya? Bos?
“Oke. Besok aku pindah,” jawabku singkat, tak mau cari
masalah.
Bel pulang telah berbunyi. Semua murid cowok telah
meninggalkan kelas. Aku hampir saja selesai mengemasi barang-barangku yang
masih berserakan di meja.
Brakk!!
Tiba-tiba muncul empat cewek dengan dandanan super
norak secara tidak sopan. Salah satu dari mereka menggebrak pintu kelasku tanpa
rasa malu. Segelintir murid yang masih berada di dalam kelas sontak menatap ke
arahku secara kompak dan mengisyaratkan semacam lo dalam bahaya!
Tuk-tuk-tuk.
Suara sepatu terdengar jelas mendekat ke arahku. Aku
melihatnya sekilas.
Ish, sepatu KW murahan, batinku.
Aku melihat keempat cewek yang berjalan mendekat ke
arahku. Satu di antaranya berada paling depan. Tiga yang lain mengikuti di
belakangnya. Tatanan rambut, tas, sepatu—bahkan aku malas mendeskripsikannya.
Intinya mereka terlihat sangat norak.
“Ohh.. jadi ini murid barunya.” kata salah satu di
antara mereka. Sinetron banget! Aku bisa menebak kalau dia adalah ketua gengnya.
“Iya,” jawabku singkat. Aku tersenyum paksa,
memalingkan wajah lalu bangkit berdiri berniat untuk pulang saja.
“Heh! Kalo diajak ngomong itu yang bener! Lo ngga tau
siapa kita?” bentaknya. Aku tak menjawab. Malas. “Oh, ya, lupa. Lo kan murid
baru,” lanjutnya.
Nah loh. Tuh pinter, batinku.
“Kita punya peraturan disini,” sambungnya lagi kemudian
sikunya mendarat di salah satu pinggang temannya. Memberi tanda supaya temannya
itu melanjutkan kalimatnya.
“Pertama. Semua cewek Baek-Ho ngga boleh ada yang lebih
cantik dari Seolji, dan gengnya,” kata salah satu yang lain.
“Kedua. Seolji selalu benar,” ujar yang lainnya lagi.
“Ketiga. Kalo Seolji salah, lihat peraturan kedua,”
lanjutnya.
Seolji? Oh, pasti ketua gengnya nih, batinku.
“Kampungan,” desisku lirih, tapi sepertinya terdengar
oleh mereka.
'Brakk!'
“Apa lo bilang?” Tanya cewek yang ku tebak sebagai
ketua geng sambil menggebrak meja dan menatap tajam ke arahku. Aku sama sekali
tak terkesiap, justru membalas tatapannya.
“Heh! Lo itu anak baru tapi belagu, ya! Kalo lo mau
aman di sini, ngga usah macem-macem!” bentaknya. Aku mulai naik darah. Walaupun
aku tak akan lama sekolah di tempat ini, tapi aku tak suka diancam-ancam. Hey!
Siapa dia? Bahkan aku bisa membeli sekolah ini! Aku terkekeh kecil.
“Heh!” Balasku tak kalah dengan suara yang ku
tinggikan. “Kamu itu siapa? Kamu kira ini sinetron dengan gaya sok cantik
ala-ala geng penguasa sekolah bisa seenaknya menindas murid baru? Asal kamu
tau, ya! Aku ngga suka diancam-ancam,” lanjutku. Kurasa kalimatku membuat ketua
geng mereka meradang. Dia mendekat selangkah ke arahku seperti mau menerkamku.
“Oke. Aku ngga mau buang-buang waktu disini,” ujarku
yang sudah semakin malas menghadapi cabe-cabean semacam mereka.
Hampir saja ketua geng melayangkan tangannya ke arahku
dan sepertinya berniat untuk menjambakku, tapi seseorang berteriak dari arah
luar.
“Ada guru BP!!” sontak empat cewek norak itu buru-buru
meninggalkan kelas dengan tatapan sinis ke arahku.
“Kamu berani juga sama mereka,” tegur seorang murid
cewek yang tadi berteriak sambil berjalan ke arahku. Cewek dengan wajah manis,
dan berkaca-mata. Aku tersenyum.
“Tadi beneran ada guru BP?” tanyaku.
“Ngga ada. Aku sengaja aja nakutin mereka.”
“Ohh.. thanks anyway.”
“Oh, ya, namaku Jiyeon,” katanya sambil mengulurkan
tangan ke arahku.
“Aku Wendy.”
“Kita sekelas. Aku duduk di samping mejamu. Kalo mau,
kamu duduk aja di sebelahku. Kosong kok.” Katanya seraya tersenyum ramah. Nah,
ini nih yang aku suka, daripada keempat cabe-cabean tadi.
***
Dari rumah aku memutuskan untuk membawa sepeda lipatku
dan ku taruh di bagasi mobil. Ide bagus, bukan? Jadi, aku tak perlu berjalan
kaki sepanjang gang.
Plak!
Hampir saja lemparan kulit pisang mengenai kepalaku
kalau aku sedikit saja lebih cepat. Ku rem sepedaku dan kulirik kulit pisang
tadi yang ternyata mendarat tepat di pinggir pohon.
“Ck.. ck.. ck..” Aku berdecak.
Udik. Buang sampah sembarangan, batinku. Tiba-tiba ku
lihat pemandangan menarik dari kejauhan. Yang suaranya masih bisa ku dengar.
“Woy!” seorang cowok bersama dua yang lain menghampiri
cowok pembuang kulit pisang yang hampir mengenaiku tadi.
“Lo ngga punya otak? Tong sampah gede, deket pula, tapi
lo malah lempar-lempar sembarangan!” bentak cowok itu sambil memegangi kerah si
pelaku.
“Ma-maaf Bos,” jawab si pelaku terbata yang terlihat
sangat ketakutan.
“Lo cari sampah tadi dan buang ke tempatnya! Kalo ngga,
lo mati,” ancam cowok itu kemudian berlalu bersama kedua anteknya. Keduanya,
sepertinya aku pernah bertemu mereka.
***
Jadilah hari itu aku pindah tempat duduk. Tak masalah.
Lagipula, sekitar 28 hari lagi aku pindah.
Suasana kelas yang tadinya sempat gaduh mendadak sunyi
setelah tiga cowok memasuki kelas. Entah siapa mereka. Dan satu menit kemudian
seorang guru pria memasuki kelas. Beliau mengajar Matematika. Ya, hanya itu yang ku tahu. Dwimanikku tertarik
ke arah samping kiri. Di situlah kemarin aku duduk sebelum akhirnya aku duduk
di sini.
“Dia Sehun. Tapi banyak orang manggil dia Bos. Satu
kata yang bisa mewakili semuanya—sadis,” bisik Jiyeon kepadaku seolah tau apa
yang ingin aku tahu.
“Ohh.. sadis? Maksudmu?” tanyaku. Aku masih belum
mengerti. Detik selanjutnya ketika aku ingin melihat ke arahnya, tak sengaja
mata kita bertumbukan. Sial! Aku tertangkap basah sedang memperhatikannya.
“Terakhir, sih, Sehun habis botakin rambut cowok kelas
sebelah. Kira-kira seminggu sebelum kamu masuk sini. Alasannya sih ngga jelas.
Yang jelas, sebelumnya dia dengan sengaja nendang tong sampah sampei isinya
berserakan, dan dengan santainya cowok itu malah pergi gitu aja, terus
pagi-paginya udah botak.” jelas Jiyeon. Aku mengamati penjelasannya yang
setengah berbisik.
“Dan, oh, dia juga bikin peraturan lain. Ngga boleh ada
yang berisik kalo ada guru nerangin pelajaran di depan. Terakhir ada yang
ngelanggar, Seomi dan Yuju. Mereka habis dibentaknya sepulang sekolah. Gimana
ada yang berani ngelanggar peraturan lagi?” lanjutnya.
Aku semakin tidak mengerti jalan pikiran cowok itu.
Cowok yang kalau ku lihat-lihat tidak jelek juga. Malah bisa dikategorikan tampan.
Matanya, hidungnya, bentuk rahangnya, bibirnya, rambutnya. Semuanya terlihat
dalam porsi yang tepat. Aku menghela napas perlahan dan mengalihkan pandanganku
lagi ke arah Jiyeon.
“Tapi memang ada benernya, sih. Bahkan kalo
dipikir-pikir larangannya itu demi kebaikan bersama. Ya, ngga, sih?” Jiyeon
mengangguk dan membenarkan statementku.
***
Aku semakin tidak mengerti. Satu-satunya cara untuk
tahu, ya, dengan mencari tahu. Jadi, sepertinya hari itu aku harus menemuinya
dan bertanya semuanya. Aku tak suka banyak basa-basi!
“Hei, kamu,” panggilku datar pada seseorang yang
berjalan di dekatku. Ya, seperti biasa cowok itu bersama kedua antek-anteknya.
Aku buru-buru memarkirkan sepeda di bawah pohon dan menghampirinya. Sehun
menatapku heran lalu hampir saja melangkah pergi sebelum aku menghalangi
jalannya.
“Aku mau ngomong sama kamu.”
“Heh, Anak Baru. Mau apa sih lo?” kata seseorang yang
akhir-akhir ini kutahu dia bernama Chanyeol. Anteknya Sehun. Kalau yang
satunya, Kai. Sama. Tapi dia lebih pasif dan lebih hanya ikut-ikut saja. Aku
menatap Chanyeol tajam.
“Aku ngga ada urusan sama kamu,” jawabku ketus.
Kemudian mengalihkan lagi pandanganku ke arah Sehun. Kenapa dia terkekeh
melihatku? Aku menelan ludah. Semoga aku tidak mengambil langkah yang salah.
***
“Mau ngomong apa?” tanyanya dengan nada normal. Aku
membenarkan posisi dudukku di bangku panjang dekat gerbang sekolah.
“Aku liat kamu waktu itu. Waktu kamu bentak-bentak
cowok yang buang sampah sembarangan.”
“Trus?”
“Ya, aku pengen tau aja. Kenapa kamu pake cara kasar
buat menegakkan kebenaran?” lanjutku.
“Kamu orang pertama yang berani tanya.”
Hey! Itu bukan jawaban dari pertanyaanku! Lalu Aku
memutuskan untuk bangkit dari dudukku dan melangkah menuju tempat di mana
sepedaku terparkir. Dengan malas menebar pandanganku ke arah antek-antek Sehun
yang sedari tadi berada tak jauh dari kami. Apa-apaan coba? Kurang kerjaan
sekali mereka.
***
Ulangan matematika mendadak! Mati. Aku belum sempat
belajar tadi malam.
Alhasil sepulang sekolah tadi saat hasil ulangan
dibagikan, aku terpaksa mengikhlaskan nilaiku yang biasanya 90 ke atas menjadi
82. Sebenarnya tidak begitu menjadi masalah. Toh, aku masih berada di atas
rata-rata. Masalahnya, aku masih tidak
percaya siapa yang berhasil meraih nilai tertinggi. Sehun! Yang memakai baju
saja tidak pernah rapi, kasar, tukang pukul, sok berkuasa kayak ketua geng
berandalan. Coba bayangkan? Apa pantas orang seperti itu mendapat nilai 'almost
perfect' dan tertinggi bahkan seantero sekolah ini. Kalau si Kyungsoo yang
keliatannya culun+kutu buku sih aku bakal lebih gampang percaya! Lha ini? Sehun
?
***
“Kamu anak baru disini, jadi mungkin kaget. Kalo aku
sih udah biasa. Otaknya memang encer. Dari kelas satu nilainya selalu di
puncak. Aku juga heran,” respon Jiyeon setelah mendengar
kalimat-penyangkalan-kenyataanku yang membabi buta.
“Tapi tetep aja. Aneh gitu,” cangkalku lagi. Jiyeon
hanya terkekeh kecil.
“Heh!” panggil seorang cewek yang menghampiriku.
Seolji. Kali ini dia sendirian.
“Mau dia apa lagi sih? Heran deh,” desisku. Aku bangkit
dari bangku cokelat yang kududuki.
“Lo bener-bener ngga tau diri, ya?” sungutnya
tiba-tiba.
“Apa lagi? Aku ngga pernah cari gara-gara apapun sama
kamu. Mau kamu apa, sih?” tantangku. Jiyeon berbisik dan menyuruhku tidak usah
cari masalah. Enak saja! Dia duluan kok yang cari masalah.
“Maksud lo apa deketin Sehun? Mau sok kecantikan?
Tampang aja pas-pasan. Gue liat lo waktu di gerbang!” sungutnya lagi dengan
nada tinggi.
Hah? Pedekate'in Sehun? Sakit nih orang, batinku.
“Heh! Asal kamu tau, ya. Aku ngga takut sama kamu.
Dan.. oh, apa? Deketin Sehun? Sama sekali engga!” jawabku. Dia makin membara
begitu pula denganku.
“Ngga usah ngeles! Gue liat semuanya. Dasar kecentilan!
Siapa sih lo? Lo ngga tau gue? Anak kepala sekolah di sekolah ini. Jadi, kalo
lo macem-macem..” katanya. Buru-buru aku menyela.
“Apa? Lo mau apa? Baru anak kepsek sekolah jelek aja
belagu! Aku bahkan bisa beli sekolah ini! Kamu bisa ngandelin apa lagi? Asal
kamu tau aja. Aku sekolah di sini itu terpaksa! Lagian punya bapak jadi kepsek
sekolah kayak gini aja dibanggain. Sekolah antah-berantah. Isinya, ya, orang
berandalan macam kamu,” jawabku refleks. Mulutku memang terlalu jujur dan mudah
tersulut. Dia duluan yang mulai!
“Lo! Apa lo bilang?” nadanya mulai lebih rendah.
“Kamu ngga denger? Aku bisa aja beli sekolah jelek ini!
Jadi ngga usah belagu! Dan, oh, ya. Jangan sok cantik juga. Itu barang-barang
yang kamu pake juga KW semua, kan? Kampungan. Nih liat! Ini baru yang asli!”
kataku sambil menyodorkannya tas branded yang aku beli di Singapore.
Pipinya tiba-tiba memerah menahan malu. Dan aku menarik
tangan Jiyeon. Mengajak Jiyeon meninggalkan cewek itu sendirian di sana.
Kantin, sepulang sekolah.
***
“Kamu liat ngga tadi gimana ekspresinya?” tanyaku
kepada Jiyeon yang saat ini berjalan beriringan denganku di jalan koridor
sekolah menuju ke halaman kosong samping sekolah yang digunakan sebagai lahan
parkir sepeda. Aku melirik ke arah Jiyeon yang masih menunduk—entah kenapa.
“Kenapa, Wen?” tanyaku, tapi lagi-lagi dia tak
merespon.
“Eh-hm, Wendy, aku harus buru-buru. Aku duluan, ya.”
katanya, bahkan sorot matanya tak menatap ke arahku. Kemudian berlari pergi.
Aneh.
***
Aku yang melanjutkan langkah ke area parkir dikejutkan
oleh sesuatu setelah sampai di sana. Sehun! Sedang apa dia disana? Nangkring di
atas sepedaku sembarangan.
“Eh, Bos. Yang ditunggu dateng juga,” kata Chanyeol.
Samar-samar kudengar dari kejauhan.
“Lo semua boleh pergi sekarang,” tukas Sehun. Aku yang
sekarang mendekatkan langkahku ke arah mereka mencoba tidak terlihat gugup.
***
“Maksud kamu apa, ngajak aku ke tempat ini?” tanyaku
setelah sampai di tempat yang aku sendiri tidak tahu tempat apa. Yang jelas,
kita sekarang berada di lantai paling atas sebuah bangunan yang sepertinya
tidak lagi terpakai. Bangunan yang tidak jauh dari sekolah.
“Aku mau jawab pertanyaanmu kemarin.” Aku masih belum
paham.
“Tapi kenapa harus di sini?” tanyaku lagi. Dia masih
terlihat santai. Menuntunku mendekat ke arah jendela yang berukuran cukup besar
tanpa kaca.
“Kamu mau apa? Kamu ngga pengen bunuh aku pake cara
dorong aku dari sini kan?” jawabku spontan. Dia malah terkekeh kecil sambil
menebar pandangan keluar jendela.
“Aku ngga sekonyol itu,” katanya. Aku menghela napas
lega.
“Kamu bisa liat alasanku dari atas sini. Coba kamu liat
keluar,” katanya lagi. Aku menautkan kedua alisku dan masih mengamatinya.
“Dari sini kita bisa liat dua dunia yang berbeda.
Mereka yang berjuang cuma untuk bertahan hidup setiap harinya, dan mereka yang
hidup serba berkecukupan. Di sini aku ngga akan bahas dua-duanya,” ujarnya
masih menebar pandangan keluar jendela.
Aku pun mulai mengikuti jejaknya. Tampak sebuah
perumahan kumuh di dekat sebuah sungai yang penuh dengan sampah. Di sisi sungai
yang lain tampak beberapa gedung pencakar langit, dan perumahan elit. Aku semakin
tidak paham.
Apa hubungannya ini dengan pertanyaanku kemarin?
“Aku hanya akan membahas golongan yang pertama. Di mana
mereka melakukan segala cara untuk bertahan hidup setiap harinya. Walaupun
beberapa berusaha keras untuk mendapat kehidupan yang lebih layak. Ya, salah satunya aku,” jelasnya panjang. Aku
masih mengamati mimik wajahnya yang teduh dan setiap kata yang keluar dari
bibir itu.
“Sayangnya, beberapa dari mereka ngga tau diri. Mereka
tau sewaktu-waktu sungai di dekat pemukiman bisa meluap karna sampah-sampah
yang menyumbat. Tapi mereka malah buang sampah sembarangan. Apa itu namanya tau
diri? Udah tau hidup mereka udah susah, kesannya malah pengen nambahin beban di
hidupnya sendiri dengan kejadian yang mungkin bisa kejadian itu. Atau bahkan setiap
musim hujan, pemukiman itu udah jadi langganan banjir. Dan aku tau rasanya
sengsara di dalamnya, karna aku bagian dari mereka.” katanya.
“Jadi karna itu kamu selalu naik darah kalo liat orang
buang sampah sembarangan?” tanyaku. Aku mulai mendekati garis pikirannya.
Sehun tersenyum.
“Tapi ngga harus pake kekerasan juga kan?” tanyaku
lagi.
“Udah. Aku udah pernah dengan cara baik-baik. Tapi apa
hasilnya? Omonganku cuma dianggap angin lalu! Sama sekali ngga didenger. Dan
Aku tau rasanya saat kita berniat baik, capek-capek ngomong dengan baik-baik
tapi ngga di denger.”
“Oh.. itu alasan kenapa kamu memarahi murid yang ngga
ndengerin pas guru lagi ngejelasin pelajaran di depan kelas?” tebakku.
“Ternyata kamu tau banyak tentang peraturan yang aku
buat,” katanya masih menatap ke arahku. Aku tertegun. Tiba-tiba aku mengagumi
jalan pikirannya. Walaupun aku masih tidak setuju dia menggunakan kekerasan.
“Tapi aku masih ngga setuju kamu pake kekerasan,”
tukasku dengan nada mantap. Dia terdiam.
“Tadi aku liat Jiyeon lari sambil nangis waktu pulang,”
katanya tiba-tiba.
Jiyeon?
“Jiyeon aneh. Tiba-tiba aja lari. Aku juga nggatau
kenapa.”
“Aku liat waktu kamu adu mulut sama Seolji di kantin.
Coba inget-inget. Sejak itu kan sikap Jiyeon berubah?” katanya.
Aku berpikir.
“Hmm, iya sih..” jawabku.
“Jiyeon itu sama kayak aku. Dia bukan anak orang kaya.
Baek-Ho adalah satu-satunya sekolah di sini yang mau nerima golongan kami. Jadi
ngga heran kalo dia tersinggung sama kalimatmu ke Seolji tadi siang.”
Tubuhku seketika melemas menyadari kesalahanku. Aku
menyakiti hati satu-satunya temanku di sekolah.
***
Aku berangkat lebih awal. Aku melangkah masuk ke dalam
kelas yang ternyata sudah ada Jiyeon terduduk di bangkunya sedang sibuk menulis
sesuatu. Sangat serius. Bahkan sampai dia tak menyadari langkahku.
“Wen?” sapaku.
“Eh, Wendy.” Buru-buru dia membereskan
lembaran-lembaran kertas di meja. Seperti tak mau aku melihatnya, tapi dia
gagal. Aku berhasil membacanya.
“Kamu yang nulis semua ini? Gila. Ini bagus banget.
Tulisan tangan kamu juga rapi banget kayak ketikan. Apa ini cerpen?” tanyaku.
“Aku suka nulis, dan ini novel keduaku,” jawabnya.
“Hah? Kamu nulis sebanyak ini? Kenapa ngga di ke—”
kalimatku terputus. Hampir saja aku berkata 'kenapa ngga di ketik aja? Jaman
sekarang kan udah ada alat bantu yang canggih' Tapi Aku sadar. Itu akan
melukainya sekali lagi.
“Wen?” Dia menatapku.
“Aku minta maaf, ya? Soal kemarin. Aku bener-bener ngga
bermaksud,” kataku dengan manatapnya tulus. Aku benar-benar menyesal.
“Iya. Nggapapa. Lagian kamu bener, kok. Aku aja yang
ngga sadar diri. Aku ngga marah kok. Sungguh.” Aku menghela napas lega. Jiyeon
benar-benar gadis yang baik.
“Makasih yaa. Ohya Wen, aku boleh kan pinjem karyamu
buat dibawa pulang trus dibaca?” tanyaku. Dia mengangguk dan melempar senyum.
***
Aku tidak tahu kenapa akhir-akhir ini aku merasa banyak
berubah. Ya, jalan pikiranku berubah.
Aku tidak lagi menganggap sekolah ini sebagai sekolah antah-berantah tempat
berkumpulnya orang-orang kampungan. Aku justru merasa aku banyak belajar dari
mereka. Dari Sehun, Jiyeon, dan masih
banyak lagi orang dengan kejadian yang membuatku sadar kalau aku sangat
beruntung. Aku sangat bahagia di atas semua ketidak-bersyukur-anku selama ini.
Tapi saat aku mulai kerasan di sekolah ini. Aku teringat satu hal. Waktuku
disana hanya 29 hari. Ya, 29 hari yang
berlalu sangat cepat itu telah benar-benar selesai. Dan itu berarti hari ini
aku harus pindah. Aku harus meninggalkan dua orang yang akan sangat ku rindukan
di sana. Tapi aku janji, suatu saat
nanti kita akan bertemu lagi. Ah! Sampai lupa. 4 bulan lagi Ujian Nasional. Dan
artinya 4 bulan lagi aku akan meninggalkan masa putih abu-abu.
***
Menyebalkan. Hari ini aku harus memakai topi caping
yang dihias menggunaan daun-daun kering. Aku tampak seperti orang gila.
Ya, inilah tujuan para senior di kampus
baruku. Universitas Negeri yang terkemuka di tempat tinggalku. Hey! Aku sedang
menjalani ospek! Jadi walaupun Aku merasa sengsara, tetap saja ada sesuatu yang berdesir. Aku
bahagia bisa menjadi bagian dari Universitas ini.
“Hey bebek!” kata seorang dari arah belakangku. Aku
terkesiap sambil berdiri dan membenarkan papan nama bertuliskan 'BEBEK' yang ku
kenakan. Bahkan gunting yang sedang ku pakai untuk menggunting rumput saat itu
ku jatuhkan begitu saja.
Duh. Apalagi sih kesalahanku, Kak Senior? batinku. Aku
tak berani untuk menengok ke arah belakang.
Puk!
Seseorang menepuk pundakku dan berdeham pelan. Ku
beranikan diri memutar badan ke arah sumber suara. Namun dalam posisi menunduk.
“Iya, kak? Saya minta maaf.” Aku bahkan meminta maaf
sebelum tahu apa kesalahanku. Ketika mendongakkan kepala, aku mendapati seorang
cowok mengenakan atribut yang sama sepertiku. Hanya saja dia mengenakan papan
nama bertuliskan KEBO. Aku terperangah melihat sosok itu. Sehun! Ya, benar. Dia
Sehun .
“Sehun!” teriakku kegirangan. Sampai-sampai refleks
memeluknya selama—mungkin tiga detik. Lalu aku jatuh salting.
“Kamu.. di sini juga?” kataku setengah terbata.
“Iya, Wen. Pengajuan beasiswaku diterima disini. Dulu
Aku pernah bilang kan? Aku bakal kejar mimpiku. Dan ini sebuah langkah awal.”
Aku berdecak kagum.
Kita terlalu asyik mengobrol sampai-sampai tak
menyadari beberapa senior memperhatikan kita. Alhasil kita langsung salah
tingkah melihat tatapan mata mereka yang seperti harimau ingin menerkam
mangsanya. Kita buru-buru melanjutkan tugas memotong rumput yang sempat
tertahan.
***
Aku teramat bersyukur dengan hidupku sekarang. Hidup
yang sama seperti dulu. Tapi kini dengan mata hati dan pikiranku yang telah
terbuka. Aku bukan gadis tak bahagia. Aku mempunyai Appa yang meskipun sibuk
tapi sangat mencintaiku. Juga mama dan adik yang menjadi bagian
hidupku—walaupun kini berjauhan setidaknya kami masih berhubungan via telepon.
Aku merasa lengkap. Dan, oh, lalu
tentang sekolah yang pernah ku singgahi selama 29 hari. Takdir atau
kebetulankah aku terdampar di tempat itu? Tempat yang dulu sering ku sebut
antah-berantah itu justru melengkapi tujuh warna dalam pelangi hidupku yang
tadinya mungkin hanya berjumlah empat warna saja. Sehun . Aku bahagia dia sudah
membuat satu langkah mendekat ke impiannya untuk menjadi sukses. Dan Jiyeon.
Suatu kehormatan bisa menjadi pembaca pertama karyanya yang kini telah
diterbitkan oleh penerbit besar lalu bahkan menjadi salah satu novel Best Seller.
Ku dengar karya keduanya juga akan diterbitkan lagi. Senyumku lagi-lagi
mengembang. Aku juga harus membuat langkah besar mendekat ke arah impianku. Ya,
sekarang giliranku.
THE END
0 Response to "29 Days with Us"
Post a Comment