Aku ingin merasakan kasih sayang seorang ibu, Kak.
iKON’s Jinhwan featuring OC’s Jihyo | PG | Family-ship, sad | Oneshot | Vaehyunee,©2016
.
I
just own the plot, not the cast.
Thanks,
Widya for the cute and amazing
poster art.
.
Seandainya aku boleh memilih, aku lebih pilih tak usah
terlahir di dunia bila jadinya begini. Aku, seorang anak yang menyebabkan ibuku
meninggal—bahkan saat aku belum pernah melihatnya sekalipun. Karena itu, ayah
selalu memperlakukanku selayaknya penjahat—lebih tepatnya pembunuh. Ayah selalu
memberikan mata merah ketika menatapku, namun menyorotkan kehangatan saat
memandang kakakku. Ayah tak pernah bisa berbahasa layaknya seorang ayah ke
padaku, tapi bisa melakukannya ketika bersama kakakku. Meskipun aku ingin marah
dan meminta keadilan dari ayah, toh, aku bisa apa? Aku hanya anak kecil berusia
delapan tahun yang tak mengerti kenapa ayah selalu menyalahkanku atas kematian
ibu.
Hari-hariku selalu terisi dengan makian ayah,
bagaimanapun keadaannya. Ayah juga tak pernah membiarkanku merasa bahagia.
Selepas dari sekolah, seharusnya aku bisa istirahat seperti kakakku. Entah itu
menonton televisi atau bermain game.
Akan tetapi, aku selalu tak diperbolehkan ayah untuk melakukannya. Ayah selalu
menyuruhku untuk belajar, mencuci piring, menyiapkan makan sendiri, bahkan
terkadang menyuruhku membersihkan rumah.
Sering sekali aku ingin menolak dan membentak ayah,
namun aku tak pernah bisa melakukannya. Saat mendapat perintah, selalu saja
kukerjakan meskipun kadang aku suka mengomel ketika mengerjakannya. Itu wajar,
kan? Aku masih delapan tahun, ingat?
“Hey, biar Kakak bantu,” ujar Jinhwan—kakak laki-lakiku
satu-satunya. Aku hanya bisa menatapnya ketika ia mengambil alih piring beling
yang tadi kupegang. Sampai ia membilasnya dengan air dan menaruhnya di rak
piring, aku masih saja termengu memperhatikannya.
“Bantu aku, Jihyo!” suruhnya sembari membilas satu
piring lainnya.
“I-iya, Kak!” jawabku tergagap. Segera kuambil piring
yang masih terbalut busa lainnya lalu aku membiarkan air menghilangkan sisa
busanya. Namun, kakakku tiba-tiba mencoreng pipi kananku dengan busa, sontak
aku terkejut hingga membulatkan mataku.
“Hahaha..” Kak Jinhwan tertawa sambil menunjuk-nunjuk
wajahku. Aku mendelik menatapnya. Aku kesal, namun juga merasa lucu. Aku suka
sekali saat melihat kakakku sedang tertawa, rasanya sejuk. Melihat mata
sipitnya yang semakin menyipit, tawa renyahnya yang sedikit cempreng, dan
rambut ikalnya yang bergoyang-goyang diterpa angin.
“Jangan lakukan itu, Kak!” ujarku.
“Kenapa?”
“Karena..” Aku belum sempat menyelesaikan kalimatku
ketika Kak Jinhwan kembali mencoreng wajahku dengan busa. Ia tertawa saat aku
menatapnya lalu malah mengulanginya lagi hingga beberapa bagian wajahku terpoles
busa.
“Aku akan membalasmu, Kak!” kataku sambil mengambil
busa banyak-banyak lalu mengarahkannya pada wajah kak Jinhwan, namun ia malah
menghindar sehingga aku harus mengejarnya.
“Jangan lakukan itu, Ji! Hey! Sudah!” teriak kak
Jinhwan saat ia sudah terpojok di tembok dapur. Dengan begitu, aku merasa sudah
menang sehingga akupun menertawainya serta mengejeknya. “Ji! Sudah!” kak
Jinhwan terus mengelak. Ia menepis tanganku beberapa kali, namun aku tetap
ingin memojokkannya karena ini menyenangkan.
“Lihat pembalasanku, ya, Kak!” kataku sambil
melayangkan tangan yang penuh busa.
“Jihyooo!!” erang kak Jinhwan sambil sedikit mendorong
tubuhku dan menepis tanganku. Tubuhku terhuyung ke belakang bersamaan dengan
genggamanku pada piring putih yang terlepas. Aku jatuh membentur lantai sampai
punggungku menimbulkan bunyi ‘krek’ dan
di saat itu pula piring itu menghantam lantai hingga terdengar suara ‘prang’. Aku menutup kedua telinga saat
piring itu memecahkan diri menjadi banyak kepingan tajam.
“Ji..” gumam kak Jinhwan yang terdengar oleh
pendengaranku. Ia menatapku sendu, pasti ia tahu apa yang setelah ini akan
terjadi denganku. Aku hanya diam dan balas menatapnya.
Tak butuh waktu lama, suara hentakan kaki yang kuat
terdengar oleh dwirunguku. Aku tahu betul siapa pemiliknya. Dan sekarang aku
merasa takut. Aku memandang kak Jinhwan sedih, aku harus bagaimana, Kak?
“JIHYO!! KAMU INI APA-APAAN, HAH?” bentak ayah sambil
menarik sebelah telingaku. Aku pun ikut bangkit saat ayah menariknya. “Aku tak
menyuruhmu untuk memecahkan piring! Tapi kenapa kau melakukannya?!”
Aku hanya menundukkan kepala sangat dalam. Mendengar
suara ayah membuat mataku perih hingga berkaca-kaca, bahkan sampai buliran air
bergantung di pelupuk mataku. Tapi aku tak boleh menangis. Kak Jinhwan pernah
berkata padaku, Jihyo, jangan pernah
menangis di depan ayah. Menangislah di depanku, maka kakak akan memelukmu.
Ayah melepas tangannya dari telingaku yang sudah
meninggalkan bekas merah. Dengan secuil keberanian, aku sedikit mengangkat
kepala dan melihat apa yang sedang dilakukan ayah. Hatiku sakit sekali rasanya.
Aku ingin menjerit atas ketidak adilan ini.
“Jinhwan, kau tidak apa-apa kan?” tanya ayah dengan
nada lembut, yang belum pernah sekalipun terucap untukku. Ayah mengelus puncak
kepala kak Jinhwan. “Jinhwan, Ayah sangat menyayangimu lebih dari apapun.
Tolong jangan pernah membuat ayah khawatir, ya?”
Aku menangis. Akhirnya aku membiarkan air mataku lolos.
Aku selalu tak bisa menahan rasa iriku mengenai hal ini. Aku tak bisa menahan
supaya aku tak menangis saat melihat seorang ayah yang begitu meluapkan rasa
kasihnya pada anak yang amat dicintainya. Aku hanya bisa menahan keinginanku
untuk mendapatkan semua perlakuan itu. Jangan
pernah bermimpi, Ji! Kau hanya pembunuh! Ayah tak akan pernah menyayangimu.
“Bereskan pecahan ini, Ji! Aku tak mau melihat sekecil
apapun yang tersisa di lantai! Bila aku melihat masih ada pecahan saat aku
kembali, jangan harap kau akan mendapatkan makan malam! Ayo, Jinhwan, kau pasti
sudah sangat lapar.”
“Iya, Yah,” lirihku masih dengan posisi menunduk sambil
menghapus sisa air mata yang menggenang.
“Ayah duluan aja, Jinhwan mau ambil minum dulu,” kata
kak Jinhwan yang memilih melepas rengkuhan ayah dari bahunya.
“Jangan terlalu lama, Sayang. Nanti makan malamnya keburu dingin.”
Kak Jinhwan mengangguk. Setelah ayah sudah tak lagi
nampak di dapur, kak Jinhwan menghampiriku. Ia mengusap punggungku beberapa
kali, tapi aku memilih diam.
“Maafin Kakak, Ji.”
“Kakak nggak salah kok.”
“Biar Kakak aja yang beresin, kamu duduk di sana dulu,
ya?” kata kak Jinhwan sambil memberi isyarat supaya aku duduk di kursi di dekat
wastafel.
“Tapi Kak.. nanti kalau ayah datang...?” Aku menatap
mata kak Jinhwan lalu ia tersenyum padaku. Senyum seorang malaikat.
“Nggak akan, Ji.”
“Tapi Kak..” Aku benar-benar takut bila tiba-tiba ayah
akan datang dan tahu bukan aku yang membereskannya, makanya aku mencari-cari
alasan lain supaya kak Jinhwan tak membersihkan pecahan itu. Tapi kak Jinhwan
enggan mendengarkanku.
“Aku kakakmu, Ji. Seharusnya aku yang melakukan semua
hal yang kamu lakuin, bukan kamu, tapi aku. Duduk sana!” Akhirnya aku
mengangguk. Aku hanya duduk menyaksikan kak Jinhwan yang membereskan
pecahan-pecahan piring sialan itu.
Aku mengamati setiap pergerakan kak Jinhwan yang
memungutinya. Aku tersenyum tipis, pasti
enak, ya, punya ayah dan ibu yang seperti kak Jinhwan. Terlalu lama
mengkhayal membuatku tak sadar kak Jinhwan sudah selesai dan kini berdiri di
hadapanku.
“Hey, jangan melamun!” tegur kak Jinhwan sambil
mencolek daguku. Aku hanya meliriknya sekilas lalu asik mengayunkan kakiku yang
menggantung.
“Dasar anak kecil, bahkan kakimu nggak sampe nyentuh lantai.
Ini kan kursi pendek,” kata—atau ledekan—kak Jinhwan. Aku hanya tersenyum
kecut mendengarnya. Gini-gini aku juga punya perasaan kalik.
“Makan, yuk!” kata kak Jinhwan lagi, tapi aku hanya
mengangkat kepala—memandangnya, apa aku
boleh makan sama ayah?
“Tenang aja, Ji. Ayah pasti udah nggak marah sama
kamu,” kata kak Jinhwan seraya mengusap puncak kepalaku—sama seperti yang sering ayah lakukan padanya.
“Kak,” panggilku.
“Hm?”
“Pasti enak, ya, punya ayah dan ibu yang wataknya sama
kayak Kakak, penyayang.” Aku diam sejenak. “Kak, gimana sih rasanya punya ibu?
Kakak pernah main sama ibu? Ibu kita itu penyayang nggak sih, Kak? Atau sama
kayak ayah?”
Kak Jinhwan tersenyum tipis padaku lalu mencubit kedua
pipiku seolah-olah gemas sambil berucap, “Tentu aja ibu kita baik dan
penyayang. Buktinya, Kakak sayang banget sama kamu. Jadi, kakak sama ibu punya
kesamaan karena kita satu gen.”
Aku mengernyit. “Gen?”
“Iya, gen.
Yang jadi penentu sifat dari ayah dan ibu ke anaknya.”
“Jihyo nggak ngerti,” ucapku polos.
“Sebagai contoh lainnya: rambut ibu cokelat ikal, dan
Kakak juga punya rambut cokelat ikal, berarti Kakak anak dari ibu, gitu singkatnya.
Kita juga punya hidung dan pembawaan yang sama.”
“Ooh. Kalau kakak punya rambut ikal dan ibu juga,
berarti kan kakak anaknya ibu. Berarti aku anaknya ayah dong? Rambut kita kan
sama, hitam lurus. Tapi Jihyo nggak mau sama kayak ayah. Jihyo mau kayak Kakak,
penyayang. Jihyo nggak mau jadi jahat.”
“Nggak gitu juga, Ji. Udahlah, kita makan malam dulu,
yuk!” ajak kak Jinhwan sambil menarik lenganku, namun aku menahan langkahku
hingga membuat kakak menoleh dan memandangku—kenapa?
“Kak, Jihyo juga mau ketemu ibu. Jihyo pengen ngerasain
apa yang Kakak rasain. Jihyo pengen bisa main sama ibu. Jihyo pengen bahagia,
Kak.”
Setelah mengucapkan kalimat itu, kakak membalikkan
badannya 100% menjadi menghadap padaku. Aku bisa melihat wajahnya yang berubah.
Bahkan aku juga bisa mendengarnya menghela napas. Lalu kakak meraih kedua
tanganku dan menggenggamnya erat. Kakak juga menyelami mata karamelku sangat
dalam.
“Kakak juga mau hal itu terjadi, Ji. Kakak pun
merasakan hal yang sama seperti kamu. Kakak rindu kehadiran ibu, tapi.. bagi
kakak, kamu jauh lebih berharga sekarang, dari apapun itu. Kakak sayang sama
kamu, Ji. Kakak mohon, bertahanlah sampai titik di mana kamu benar-benar udah
nggak kuat menghadapi ayah. Kakak akan selalu di sini buat kamu. Kalau kakak
udah jadi orang dewasa nantinya, kakak janji, kakak akan melindungimu, kakak
akan membuatmu bahagia, bagaimanapun caranya. Kakak janji!”
Lalu kak Jinhwan memelukku erat. “Kakak janji.”
—fin
0 Response to "I'm Promise, Ji"
Post a Comment