My biggest mistake. Can I turn back the clock?
Kim Jinhwan merangkul
seorang gadis berambut cokelat nan menjuntai hingga punggung yang sedang asik
menikmati ice cream. Suatu kegemaran
yang mampu melupakan seluruh dunia. Hanya dengan sebuah benda dingin itu, semua
hal bisa dilupakan oleh Soohee. Termasuk melupakan kekasihnya sendiri.
Secara tiba-tiba ada
seseorang yang berpakaian serba hitam sedang berlarian tak jelas menyenggol
bahu gadis itu. Alhasil ice cream
yang tadinya berada dalam genggamannya, seketika tumpah ke jalan.
“Astaga, ice cream ku!” pekik Soohee.
“Sudahlah, Soohee. Itu
kan hanya ice cream. Kenapa kau harus
bereaksi berlebihan seperti ini?”
“Tapi ice cream itu baru saja kita beli. Aku
belum selesai untuk menghabiskannya, tapi kenapa orang itu harus menjatuhkan ice cream malang ku?”
Jinhwan tertawa kecil.
“Reaksimu saat kehilangan sebuah ice cream
saja sudah seperti ini. Bagaimana kalau kau kehilangan aku, ya? Aah, sungguh
tak bisa ku bayangkan betapa sedihnya dirimu.”
Park Soohee menatap
pemuda di hadapannya dengan bibir mengerucut. “Jangan harap aku akan bereaksi
lebih, ya! Kalaupun aku akan kehilangan dirimu, aku tidak akan bereaksi
berlebihan seperti aku kehilangan ice
cream yang lezat.”
“Jadi begitu, ya? Hm,
baiklah, aku akan pergi,” ujar Jinhwan kecewa lalu berjalan meninggalkan
Soohee. Baru beberapa langkah, namun gadis itu sudah menyebut namanya.
“Jinhwan..” rengek
Soohee
“Ada apa?” sahut
Jinhwan. Ia masih berjalan, mencoba mengabaikan erangan gadisnya yang terdengar
kekanak-kanakan.
“Kau tega meninggalkan
ku sendiri? Apa kau tidak takut jika ada orang yang akan menculikku?”
“Untuk apa aku takut?
Bahkan kau menganggap ice cream lebih
berharga dariku.” Jinhwan menghentikan langkahnya. “Dengar, ya, Soohee. Bagiku
kau tidak lebih dari ice cream. Kau
tidak lebih berharga daripada makanan ringan yang sangat kau gemari yang
bernama ice cream. Aku tidak tahu
kenapa kau sangat suka ice cream.
Padahal benda itu sangat dingin.”
Jinhwan berbalik
bermaksud ingin menceramahi Soohee, namun..
“Soohee? Kau di mana?”
Aku menarik semua ucapan kasar ku mengenai
dirimu. Sesungguhnya kau sangat berharga bagiku. Lebih berharga dari apapun.
Andai aku bisa memiliki satu hal di dunia ini, yang aku mau hanyalah dirimu.
Jinhwan menyesap kopi
hangat yang dihidangkan dengan gelas kertas. Ia menghembuskan napas berat
hingga menimbulkan asap-asap di udara yang keluar dari hidungnya. Suhu malam
ini sangat parah. Hingga memaksa untuk memakai pakaian berlapis-lapis dan satu
mantel hangat.
Jinhwan menghentikan
langkahnya ketika melihat lampu lalu lintas sudah beralih warna menjadi hijau.
Membuat kendaraan-kendaraan yang sempat terhenti beberapa detik untuk segera
melajukan kembali alat transportasinya.
Soohee. Di mana aku bisa menemukanmu?
Setelah lampu itu
sudah beralih menjadi merah lagi, Jinhwan melangkah tanpa minat melewati zebra
cross. Sesegera mungkin berjalan menuju suatu tempat.
Jinhwan berhenti di
depan pagar besi berwarna hitam yang sudah berkarat. Sejenak ia memandang
sebuah jendela yang lampunya tak dihidupkan. Gelap. Kamar itu milik Soohee.
Dulu, biasanya Soohee akan menyembulkan kepala sambil melambaikan tangan pada
Jinhwan. Gadis itu akan tersenyum cerah melebihi matahari yang tengah bersinar
terang. Namun, kini Jinhwan hanya dapat melihat jendela yang tertutup rapat
tanpa penerangan.
Soohee-ya, kau di mana? Apa kau tak
merindukanku dan keluargamu?
Jinhwan menolehkan
kepala saat terdengar suara berderik. Pagar besi hitam itu terbuka dari dalam
dan menampakkan seorang wanita paruh baya tampak bersiap untuk keluar.
“Tuan Kim? Sedang apa
di sini?” tanya wanita itu yang baru menyadari kehadiran Jinhwan.
“Tidak perlu
memanggilku seperti itu, Nyonya Park. Apakah Soojin ada di rumah?”
Wanita itu tersenyum
kecut. “Dia sedang menangis di dalam. Mungkin kau bisa menenangkannya. Aku akan
keluar untuk membeli sesuatu. Tolong jaga dia!”
Jinhwan mengangguk. Ia
megulas senyum tipis sebelum kemudian masuk ke dalam.
“Kau sedang apa?”
Teguran itu tidak
membuat Soojin berhenti menangis walaupun hanya sedetik. Gadis itu menutupi
wajahnya dengan bantal yang mungkin sudah basah dipenuhi air mata. Jinhwan
duduk disamping gadis itu. Menggerakkan tangannya yang lembut untuk menenangkan
Soojin.
“Oppa, apa kau sudah mendapat kabar tentang Soohee eonni ?”
“Maafkan aku, Soojin,
tapi aku dan polisi masih belum bisa menemukan kakakmu. Aku pun tidak tahu
motif apa yang digunakan oleh penculik itu. Sebenarnya apa yang dia inginkan?”
“Lalu bagaimana? Ini
sudah lebih dari empat bulan. Tapi kenapa kakakku belum ditemukan? Kalau
pencarian kalian sangat lambat seperti siput, mungkin saja penculik itu sudah menyakiti
Eonni. Mungkin juga, dia sudah membunuh
Eonni. Aku tidak ingin hal itu
terjadi!”
Soojin kembali
menangis.
“Tenanglah, Soojin. Aku akan mengerahkan
seluruh tenagaku untuk mencari Soohee. Aku juga tidak ingin kehilangan dia
seperti ini. Bahkan aku belum menyampaikan permintaan maafku padanya. Aku tidak
menyangka kalau ia benar-benar diculik.”
“Kau tega meninggalkan ku sendiri? Apa kau
tidak takut jika ada orang yang akan menculikku?”
Sepenggal kalimat yang
diucapkan Soohee kembali menghantui Jinhwan. Setelah diingat-ingat lagi, saat
itu nada bicara Soohee memang aneh. Jinhwan memang merasakan suara Soohee
seperti orang ketakutan, tetapi ia tak memedulikan hal itu. Ketika itu hati
Jinhwan kecewa dengan jawaban Soohee yang lebih memprioritaskan ice creamnya daripada kekasihnya.
Jinhwan juga hanya ingin mengetes Soohee, apakah gadis itu akan mengejarnya
atau tidak. Jinhwan hanya ingin memberi sedikit pelajaran untuk Soohee. Akan
tetapi.. Soohee-ya, kenapa kau
benar-benar menghilang dari pandanganku?
Lagi-lagi perasaan
bersalah itu memukul Jinhwan. Seandainya saat itu Jinhwan lebih cepat berbalik,
pasti semuanya tidak mungkin berakhir seperti ini. Seandainya Jinhwan tidak
meninggalkan Soohee sendiri, pasti sekarang gadis itu masih ada disampingnya. Seandainya.
—fin
0 Response to "Turn Back The Clock"
Post a Comment