Twelve Love


2 yang tidak akan menjadi 2 jika hanya ada 1 seorang

Susah memang menjadi seorang pilihan Tuhan untuk dipercaya sebagai makhluknya yang dapat mengemban amanah dan diberi ketampanan serta kecerdasan. Sekiranya begitu pemikiran Kihyun terhadap dirinya sendiri. Kihyun, bocah yang setiap kali checking wajahnya kala bertemu cermin, harus pandai-pandai menempatkan diri dan bersikap seadanya kepada para kaum hawa yang selalu mengerubutinya di manapun ia berada. Kadang dia sendiri heran, bernapas saja membuat semua gadis-gadis menjerit histeris saat melihatnya. Sebenarnya itu pemikiran dia sendiri, sih. Tetapi memang benar adanya.

Hal sepele seperti “dikelilingi gadis-gadis” lah yang sering memicu pertengkarannya dengan Elaine. Sebenarnya Elaine bukan tipe orang yang terlalu peduli—sebelas dua belas dengan Kihyun, tapi dalam penglihatannya Kihyun terlalu santai dan kesannya malah menanggapi gadis-gadis kecentilan itu. Tidak salah kan, jika kau cemburu saat kekasihmu didekati oleh banyak lawan jenisnya?

Seperti makan siang hari ini misalnya, sungguh Elaine benar-benar ingin memukul kepala Kihyun saat melihat dia duduk di antara banyak siswi-siswi yang hanya sekedar cari perhatian. Fyi, Kihyun jadi lebih populer semenjak ia meraih medali emas olimpiade nasional matematika beberapa pekan lalu. Well, kau tau kan, jika seseorang dianugerahi wajah tampan, otak yang cerdas pula, hey man, siapa yang tidak tertarik?

Mata keduanya bertemu saat Elaine hendak mengambil langkah meninggalkan kantin. Kihyun ingin mengejar, tapi sungguh tarikan di sekelilingnya lebih kuat. Ia merutuki dirinya sendiri yang lebih memilih ke kantin duluan tadi ketimbang menunggu Elaine mengembalikan buku ke perpustakaan.


Monsta X’s Kihyun and OC’s Elaine Kim | Romance | Oneshot | G | Original story by Siskarikapra


Kihyun tahu bahwa Elaine marah. Pasalnya gadis itu terus mengabaikan panggilan darinya. Beberapa kali Kihyun menimpuknya dengan kertas kecil yang telah diremas, tapi dia tidak menoleh sedikitpun. Ayolah, ini pelajaran sejarah, Elaine sama sekali tak ingin mengganggu konsentrasinya memperhatikan guru yang tengah menerangkan soal Dinasti Joseon. Tidak seperti Kihyun yang tak ada minat sedikitpun pada mata pelajaran ini. Biasanya dia terbang ke dreamland saat pelajaran ini sedang berlangsung.

Tidak patah semangat, Kihyun terus mengganggu gadis yang duduk persis di depannya. Tak mempan dengan timpukan kertas kecil, kali ini ia melempar penghapus yang ukurannya cukup membuat kucing mati tersedak jika menelannya.

Sialnya Elaine berteriak saat gurunya sedang bicara.

“Jadi, Yi Seong-gye adalah seorang….”

“IDIOT!” Elaine menoleh ke belakang ke arah manusia sialan yang sayangnya adalah kekasihnya.

Bisa kau bayangkan keadaan saat itu? Saat semua pasang mata menatapnya tak terkecuali wajah sang guru yang telah memamerkan kemarahan yang luar biasa. Elaine Kim, malang sekali nasibnya.

Sepertinya hukuman membersihkan seluruh toilet perempuan di sekolah belumlah cukup untuk Elaine. Dia juga harus menulis permintaan maaf serta berjanji tidak akan mengulangi hal bodoh seperti itu. Belum lagi tugas tambahan membuat essay untuk memperbaiki nilai sikapnya. God, lengkap sudah penderitaannya.

Sumpah mati Kihyun tidak tau harus berbuat apa. Membayangkan Elaine mengamuk akibat ulahnya membuat dirinya sendiri bergidik ngeri.

Apa yang harus aku lakukan? Kalimat itu memantul ribuan kali di benak Kihyun kala hari sudah mulai gelap dan Elaine belum selesai menjalani hukumannya. Hingga detik ini ia masih berdiri di gerbang utama sekolah menunggu Elaine keluar. Tapi apa daya, nampaknya hingga bintang mendominasi langit pun Elaine belum tentu akan selesai. Kihyun putuskan untuk masuk kembali menyusuri koridor dan mengecek setiap kamar mandi wanita. Apa dia bodoh? Ya, begitulah. Demi Elaine, pikirnya.

Kihyun menaiki anak tangga mengetahui Elaine tak ada di seluruh kamar mandi perempuan di lantai satu. Di ujung lorong lantai dua, ia melihat lampu kamar mandi yang baru saja menyala, pasti Elaine di sana.

Benar saja, dengan hanya melongok sedikit ke dalam, penglihatannya menangkap seorang gadis yang tengah membersihkan cermin wastafel. Tanpa ada rasa canggung sedikitpun Kihyun melangkah, membawa seluruh tubuhnya masuk. Dengan catatan masuk ke dalam kamar mandi perempuan. Ya, perempuan.

Elaine justru bertambah kesal kala melihat pantulan bayangan Kihyun di cermin yang sedang ia bersihkan. Seolah tak ada hal yang terjadi, tak sedikitpun Elaine mempedulikan kenampakan di belakangnya.

“Kita cocok ya, El.”

Bodoh. Sempat-sempatnya Kihyun mengeluarkan kalimat-kalimat tidak masuk akal seperti itu. Elaine menghentikan kegiatannya sejenak. Menatap tajam lewat cermin di hadapannya lalu kembali melanjutkan hukuman yang harus cepat ia selesaikan karena ingin sekali enyah dari orang di dekatnya ini.

“Coba kau lihat ke cermin. Aku tampan, kau cantik. Kita benar-benar serasi.”

Untuk saat ini Elaine sama sekali tak ingin mendengarkan kata-kata yang sering dipakai dalam roman picisan seperti yang baru saja keluar dari mulut Kihyun. Cukup, Elaine tidak tahan.

“Bisa diam tidak? Telingaku bisa infeksi,” kesal Elaine

Kihyun malah tersenyum, bukannya tersinggung ataupun marah. Ini yang membuat dia jatuh hati pada seorang Elaine Kim. Gadis langka yang tidak suka dirayu, tak mempan dengan kata-kata manis dan sejenisnya, di mana lagi bisa ia dapatkan?

“Keluar!” seru Elaine pelan, tapi dingin.

Kihyun malah bersiul sambil bersender di dinding.

“Kau tuli, ya?” Kali ini suaranya meninggi.

Kihyun mengangguk kecil. “Baik. Aku keluar. Jika sudah selesai, cepat turun. Aku menunggu di bawah.”

“Pulang saja. Tidak usah menungguku. Aku bisa pulang sendiri.” Tanpa menatap lawan bicaranya Elaine berucap lantas keluar begitu saja menuju kamar mandi selanjutnya yang harus ia bersihkan.

Ini benar-benar gawat. Tingkat emosinya sudah mencapai batas maksimal dan Kihyun tak menemukan cara mengembalikan keadaan seperti biasa. Mengantarnya pulang saja tidak cukup, harus ada hal lain yang bisa membuat perasaan Elaine membaik. Tapi apa? Kihyun tidak tahu.

Hari berangsur gelap, tapi Elaine belum juga keluar. Sangsi, Kihyun kembali merajut langkah masuk, namun saat hendak berbalik, Elaine berjalan keluar dari gerbang tanpa menghiraukan eksistensinya. Kihyun mensejajarkan langkahnya dengan Elaine sembari sedikit berbasa-basi.

“Kau pasti lelah.”

“Bukan urusanmu.”

“Mau aku gendong?”

“Tidak.”

“Kau marah, ya?”

“Apa pedulimu?”

“Aku kan pacarmu.”

“Tidak ada hubungannya.”

Terus saja demikian sampai mereka tiba di halte. Kihyun memang tipe orang yang apatis dan tidak suka mengulur permasalahan, tapi lain hal dengan yang seperti ini.

Sudah lumayan larut untuk anak sekolah seperti mereka menunggu bus di halte seperti ini. Udara juga mulai tak bersahabat. Kihyun berdiri satu langkah di belakang Elaine. Memperhatikan gadis itu menggosokkan kedua telapak tangannya kedinginan. Tanpa permisi ia meraih tangan Elaine dan menggenggamnya. Elaine mematung sejenak, memperhatikan jemari mereka yang saling bertautan kemudian sedikit mendongak melihat wajah Kihyun yang biasa-biasa saja. Elaine tahu, pasti ini aksi menebus kesalahan versi Kihyun.

Ah, kuno sekali. Tidak mempan padaku, Yoo Kihyun.

Segera ia melepas tangannya lalu melipat kedua lengan di depan dada. Kihyun nampak ingin protes, tapi ia tahan. Selang beberapa menit bus yang dinanti datang. Tapi Elaine sengaja tidak naik. Dahi Kihyun membentuk lipatan-lipatan kecil, bingung.

Sebelum meminta penjelasan, Elaine angkat suara duluan.

“Bisa kau tinggalkan aku?”

“Kau gila? Ini sudah malam!”

“Lebih gila lagi jika aku berteriak minta tolong sekarang dan menuduhmu lelaki mesum yang ingin menjadikan aku sebagai korban.”

“Astaga Elaine Kim!”

“Oh, ya ampun Yoo Kihyun, kau ingin aku melakukannya sekarang?”

“TO…!”

Kihyun menyekap mulut gadis sinting di hadapannya lalu mengangguk paham.

“Setidaknya izinkan aku menunggumu mendapat bus dan naik ke dalamnya.”

Deal.”

Elaine sesekali menoleh ke belakang selepas turun dari bus. Aneh, ia merasa ada yang mengikuti. Tetapi hasilnya nihil ketika ia berbalik badan dan berusaha agar indera penglihatannya menangkap sesuatu yang dapat dikategorikan sebagai penguntit. Ia menambah laju tungkainya agar lekas sampai ke rumah. Demi Tuhan Elaine bersumpah bahwa memang benar ada yang mengikutinya. Ia berlari kecil hingga sampai ke rumah. Saat membuka gerbang, matanya masih meneliti sekitar dan hasilnya nol besar.

TWELVE LOVE

“Ya Tuhan, bagaimana aku menyelesaikan semua ini?!!” teriak Elaine frustasi di depan wastafel toilet.

Lusa pelajaran sejarah kembali mengisi kelasnya dan essay serta surat perjanjiannya belum selesai. Bagaimana bisa ia membuat surat perjanjian? Ini pertama kalinya dalam sejarah seorang murid teladan seperti Elaine Kim mendapat hukuman dan membuat surat perjanjian. Ia bergegas keluar toilet karena bel masuk telah berbunyi.

Seseorang berbalik arah melihat Elaine keluar dari toilet. Sejurus kemudian mengikutinya dari belakang.

Saat ini jam pelajaran olahraga, tapi Elaine tak melihat adanya tanda-tanda kehadiran seorang Yoo Kihyun. Mungkinkah ia menghindar dari teriakan-teriakan siswi saat ia bertanding basket? Jika iya, over PD sekali dia, pikir Elaine.

Selepas istirahat, pelajaran matematika. Kihyun bersikap seperti biasanya dan tak acuh sama sekali dengan Elaine. Apa dia balik marah terhadap Elaine pasal kejadian di halte kemarin? Tidak penting juga menurut Elaine. Jadi dia hanya berusaha menepis hal-hal yang tidak perlu dalam benaknya dan berkonsentrasi pada materi yang sedang dipelajari.

Bel pergantian pelajaran berbunyi, berarti waktu pulang sebentar lagi dan bersiap dengan pelajaran Bahasa Inggris yang biasanya setengah rakyat kelas tertidur pulas. Kihyun bangkit dari kursinya semenit setelah guru matematika meninggalkan ruang kelas. Entah dia kemana, Elaine sebenarnya penasaran dan ingin bertanya. Tetapi posisinya di sini belum berbaikan, Kihyun juga tidak meminta maaf, jadi Elaine gengsi.

Benar saja terkaan Elaine. Kihyun tidak kembali ke kelas hingga bel pulang terdengar. Tapi tak lama setelah para siswa meninggalkan kelas dan bergegas pulang, Kihyun datang dan mengambil tasnya. Elaine berdiri lalu berjalan menyusul yang lain. Instingnya mengatakan bahwa Kihyun mengikutinya dari belakang. Well, it’s true.

TWELVE LOVE

Elaine merutuki dirinya sendiri yang dengan bodohnya meninggalkan essay dan surat perjanjiannya di dapur pagi ini. Ia terburu-buru saat mengenakan sepatu hingga lupa mengambil beberapa lembar kertas yang ia tinggal di meja makan. Padahal itu hasil kerja kerasnya begadang semalaman. Beberapa menit lagi guru sejarah masuk dan sialnya pelajaran pertama. Tak ada waktu untuk mengelak, Elaine pasrah.

Jantungnya serasa berhenti ketika sapaan selamat pagi serta raut wajah guru sejarahnya berubah lebih ramah saat menatap wajahnya.

Matilah kau, Elaine Kim.

Dengan modal nekat Elaine berjalan ke depan mendekati gurunya untuk memberikan penjelasan atas kesalahannya—lagi.

“Maaf Ssaem, essayku..”

“Ah, tidak masalah Elaine. Walau kurang satu halaman itu adalah sebuah essay yang sangat sempurna.”

“Ehh—?”

“Berterimakasihlah pada Yoo Kihyun yang mengantarkan essaymu padaku. Ia bilang essaymu terjatuh di gerbang sekolah, lalu ia mangambilnya dan memberikan langsung padaku.”

“Benarkah itu, Ssaem?”

Gurunya hanya mengangguk dengan mimik wajah yang gembira bukan main. Elaine menoleh menatap Kihyun. Yang ditatap malah membuang muka sambil tersenyum geli. Hatinya mencelos, Elaine tak lagi mengerti harus berucap apa.

“Haruskah aku sering menghukummu untuk membuat essay semacam itu?” ledek gurunya. Elaine hanya tersenyum sembari permisi kembali ke tempat duduknya, dibarengi dengan kekehan sang guru lalu memulai kelas hari ini.

Terimakasih, Hyun. Bibirnya membuat sebuah gestur singkat saat berbalik ke belakang berpura mengambil sesuatu dari tasnya. Kihyun hanya mengangguk diselingi dengan tertawa kecil.

TWELVE LOVE
               
“Jadi kau memaafkanku?” goda Kihyun

“Kau bahkan tidak meminta maaf, lalu untuk apa aku memaafkanmu?” ucap Elaine santai kemudian menyesap mocca latte kesukaannya.

Baru saja Kihyun ingin berbicara, tapi Elaine mendahuluinya.

“Aku tau kau tidak suka minta maaf, Hyun.”

Kihyun terkekeh, “Apa sih, yang tidak untuk Elaine Kim? Jadi, maafkan aku atas perlakuan bodoh waktu itu.”

Dirasakannya sesuatu mencelus ke jari manis di tangan kirinya. Sebuah cincin bertuliskan angka romawi yang mewakili 12. Kihyun tersenyum sambil menunduk. Elaine menatapnya meminta penjelasan.

“Kau lupa, ya?” tanya Kihyun.

Dahi Elaine berkerut, otaknya masih berpikir.

“Selamat ulang tahun, Nona Kim.”

Elaine menutup kedua wajahnya menghindari rona kemerahan yang menjalar di setiap permukaan wajahnya. Kihyun terkikik geli melihat gadis keras kepala di hadapannya bertingkah demikian.

“Jangan begitu, aku suka melihat wajahmu tersipu, itu sangat lucu kau tau, El?” Tangan besarnya meraih kedua tangan Elaine lalu memaksa melepaskannya dari wajahnya yang memerah bak tomat segar.

“Bodoh,” ucap Elaine sembari menahan tawa.

Keduanya tenggelam dalam candaan konyol hingga Elaine penasaran kenapa angka 12 yang menghiasi kenampakan depan cincin pemberian Kihyun.

“Hyun,”

“Hmm?”

“Kenapa 12? Romawi?”

“Kau ingin tau?”

“Kalau tidak, untuk apa aku bertanya?”

“Baiklah, baiklah. Jangan salahkan aku kalau kau tidak mengerti. Olimpus memiliki 12 dewa dan dewi. Memiliki kekuatan tersendiri dan saling berhubungan. 12, satu dan dua. Satu kesatuan antara dua orang, kau dan aku. 2 yang tidak akan menjadi 2 jika hanya ada 1 seorang. Aku ingin kita menjadi 12. Paham tidak?”

“Kau cinta sekali terhadap matematika ya, Hyun?”

“Aku sudah bilang, benar kan. Sesuai perkiraanku. Pasti kau tidak mengerti.”

TAKKK!!

“Tentu saja aku mengerti! Tapi itu sungguh Hyun, kau terlalu over, kau tau?”

“Tapi kau suka, kan?”

“…..”


-FIN-

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Twelve Love"

Post a Comment