2 yang tidak akan menjadi 2 jika hanya ada 1 seorang
Susah
memang menjadi seorang pilihan Tuhan untuk dipercaya sebagai makhluknya yang
dapat mengemban amanah dan diberi ketampanan serta kecerdasan. Sekiranya begitu
pemikiran Kihyun terhadap dirinya sendiri. Kihyun, bocah yang setiap kali checking wajahnya kala bertemu cermin,
harus pandai-pandai menempatkan diri dan bersikap seadanya kepada para kaum
hawa yang selalu mengerubutinya di manapun ia berada. Kadang dia sendiri heran,
bernapas saja membuat semua gadis-gadis menjerit histeris saat melihatnya. Sebenarnya
itu pemikiran dia sendiri, sih. Tetapi memang benar adanya.
Hal
sepele seperti “dikelilingi gadis-gadis”
lah yang sering memicu pertengkarannya dengan Elaine. Sebenarnya Elaine bukan
tipe orang yang terlalu peduli—sebelas
dua belas dengan Kihyun, tapi dalam penglihatannya Kihyun terlalu santai
dan kesannya malah menanggapi gadis-gadis kecentilan itu. Tidak salah kan, jika
kau cemburu saat kekasihmu didekati oleh banyak lawan jenisnya?
Seperti
makan siang hari ini misalnya, sungguh Elaine benar-benar ingin memukul kepala Kihyun
saat melihat dia duduk di antara banyak siswi-siswi yang hanya sekedar cari
perhatian. Fyi, Kihyun jadi lebih
populer semenjak ia meraih medali emas olimpiade nasional matematika beberapa
pekan lalu. Well, kau tau kan, jika
seseorang dianugerahi wajah tampan, otak yang cerdas pula, hey man, siapa yang tidak tertarik?
Mata
keduanya bertemu saat Elaine hendak mengambil langkah meninggalkan kantin. Kihyun
ingin mengejar, tapi sungguh tarikan di sekelilingnya lebih kuat. Ia merutuki
dirinya sendiri yang lebih memilih ke kantin duluan tadi ketimbang menunggu Elaine
mengembalikan buku ke perpustakaan.
Monsta X’s Kihyun and OC’s Elaine Kim | Romance | Oneshot | G | Original story by
Siskarikapra
Kihyun
tahu bahwa Elaine marah. Pasalnya gadis itu terus mengabaikan panggilan
darinya. Beberapa kali Kihyun menimpuknya dengan kertas kecil yang telah
diremas, tapi dia tidak menoleh sedikitpun. Ayolah, ini pelajaran sejarah, Elaine
sama sekali tak ingin mengganggu konsentrasinya memperhatikan guru yang tengah
menerangkan soal Dinasti Joseon. Tidak seperti Kihyun yang tak ada minat
sedikitpun pada mata pelajaran ini. Biasanya dia terbang ke dreamland saat pelajaran ini sedang
berlangsung.
Tidak
patah semangat, Kihyun terus mengganggu gadis yang duduk persis di depannya.
Tak mempan dengan timpukan kertas kecil, kali ini ia melempar penghapus yang
ukurannya cukup membuat kucing mati tersedak jika menelannya.
Sialnya
Elaine berteriak saat gurunya sedang bicara.
“Jadi,
Yi Seong-gye adalah seorang….”
“IDIOT!”
Elaine menoleh ke belakang ke arah manusia sialan yang sayangnya adalah
kekasihnya.
Bisa
kau bayangkan keadaan saat itu? Saat semua pasang mata menatapnya tak
terkecuali wajah sang guru yang telah memamerkan kemarahan yang luar biasa. Elaine
Kim, malang sekali nasibnya.
Sepertinya
hukuman membersihkan seluruh toilet perempuan di sekolah belumlah cukup untuk Elaine.
Dia juga harus menulis permintaan maaf serta berjanji tidak akan mengulangi hal
bodoh seperti itu. Belum lagi tugas tambahan membuat essay untuk memperbaiki nilai sikapnya. God, lengkap sudah penderitaannya.
Sumpah
mati Kihyun tidak tau harus berbuat apa. Membayangkan Elaine mengamuk akibat
ulahnya membuat dirinya sendiri bergidik ngeri.
Apa yang harus aku lakukan? Kalimat itu memantul ribuan kali di
benak Kihyun kala hari sudah mulai gelap dan Elaine belum selesai menjalani
hukumannya. Hingga detik ini ia masih berdiri di gerbang utama sekolah menunggu
Elaine keluar. Tapi apa daya, nampaknya hingga bintang mendominasi langit pun Elaine
belum tentu akan selesai. Kihyun putuskan untuk masuk kembali menyusuri koridor
dan mengecek setiap kamar mandi wanita. Apa dia bodoh? Ya, begitulah. Demi Elaine, pikirnya.
Kihyun
menaiki anak tangga mengetahui Elaine tak ada di seluruh kamar mandi perempuan
di lantai satu. Di ujung lorong lantai dua, ia melihat lampu kamar mandi yang
baru saja menyala, pasti Elaine di sana.
Benar
saja, dengan hanya melongok sedikit ke dalam, penglihatannya menangkap seorang
gadis yang tengah membersihkan cermin wastafel. Tanpa ada rasa canggung
sedikitpun Kihyun melangkah, membawa seluruh tubuhnya masuk. Dengan catatan
masuk ke dalam kamar mandi perempuan. Ya, perempuan.
Elaine
justru bertambah kesal kala melihat pantulan bayangan Kihyun di cermin yang
sedang ia bersihkan. Seolah tak ada hal yang terjadi, tak sedikitpun Elaine mempedulikan
kenampakan di belakangnya.
“Kita
cocok ya, El.”
Bodoh.
Sempat-sempatnya Kihyun mengeluarkan kalimat-kalimat tidak masuk akal seperti
itu. Elaine menghentikan kegiatannya sejenak. Menatap tajam lewat cermin di
hadapannya lalu kembali melanjutkan hukuman yang harus cepat ia selesaikan
karena ingin sekali enyah dari orang di dekatnya ini.
“Coba
kau lihat ke cermin. Aku tampan, kau cantik. Kita benar-benar serasi.”
Untuk
saat ini Elaine sama sekali tak ingin mendengarkan kata-kata yang sering
dipakai dalam roman picisan seperti yang baru saja keluar dari mulut Kihyun.
Cukup, Elaine tidak tahan.
“Bisa
diam tidak? Telingaku bisa infeksi,” kesal Elaine
Kihyun
malah tersenyum, bukannya tersinggung ataupun marah. Ini yang membuat dia jatuh
hati pada seorang Elaine Kim. Gadis langka yang tidak suka dirayu, tak mempan
dengan kata-kata manis dan sejenisnya, di mana lagi bisa ia dapatkan?
“Keluar!”
seru Elaine pelan, tapi dingin.
Kihyun
malah bersiul sambil bersender di dinding.
“Kau
tuli, ya?” Kali ini suaranya meninggi.
Kihyun
mengangguk kecil. “Baik. Aku keluar. Jika sudah selesai, cepat turun. Aku
menunggu di bawah.”
“Pulang
saja. Tidak usah menungguku. Aku bisa pulang sendiri.” Tanpa menatap lawan
bicaranya Elaine berucap lantas keluar begitu saja menuju kamar mandi
selanjutnya yang harus ia bersihkan.
Ini
benar-benar gawat. Tingkat emosinya sudah mencapai batas maksimal dan Kihyun
tak menemukan cara mengembalikan keadaan seperti biasa. Mengantarnya pulang
saja tidak cukup, harus ada hal lain yang bisa membuat perasaan Elaine membaik.
Tapi apa? Kihyun tidak tahu.
Hari
berangsur gelap, tapi Elaine belum juga keluar. Sangsi, Kihyun kembali merajut
langkah masuk, namun saat hendak berbalik, Elaine berjalan keluar dari gerbang
tanpa menghiraukan eksistensinya. Kihyun mensejajarkan langkahnya dengan Elaine
sembari sedikit berbasa-basi.
“Kau
pasti lelah.”
“Bukan
urusanmu.”
“Mau
aku gendong?”
“Tidak.”
“Kau
marah, ya?”
“Apa
pedulimu?”
“Aku
kan pacarmu.”
“Tidak
ada hubungannya.”
Terus
saja demikian sampai mereka tiba di halte. Kihyun memang tipe orang yang apatis
dan tidak suka mengulur permasalahan, tapi lain hal dengan yang seperti ini.
Sudah
lumayan larut untuk anak sekolah seperti mereka menunggu bus di halte seperti
ini. Udara juga mulai tak bersahabat. Kihyun berdiri satu langkah di belakang Elaine.
Memperhatikan gadis itu menggosokkan kedua telapak tangannya kedinginan. Tanpa
permisi ia meraih tangan Elaine dan menggenggamnya. Elaine mematung sejenak,
memperhatikan jemari mereka yang saling bertautan kemudian sedikit mendongak
melihat wajah Kihyun yang biasa-biasa saja. Elaine tahu, pasti ini aksi menebus
kesalahan versi Kihyun.
Ah, kuno sekali. Tidak mempan
padaku, Yoo Kihyun.
Segera
ia melepas tangannya lalu melipat kedua lengan di depan dada. Kihyun nampak
ingin protes, tapi ia tahan. Selang beberapa menit bus yang dinanti datang.
Tapi Elaine sengaja tidak naik. Dahi Kihyun membentuk lipatan-lipatan kecil,
bingung.
Sebelum
meminta penjelasan, Elaine angkat suara duluan.
“Bisa
kau tinggalkan aku?”
“Kau
gila? Ini sudah malam!”
“Lebih
gila lagi jika aku berteriak minta tolong sekarang dan menuduhmu lelaki mesum
yang ingin menjadikan aku sebagai korban.”
“Astaga
Elaine Kim!”
“Oh,
ya ampun Yoo Kihyun, kau ingin aku melakukannya sekarang?”
“TO…!”
Kihyun
menyekap mulut gadis sinting di hadapannya lalu mengangguk paham.
“Setidaknya
izinkan aku menunggumu mendapat bus dan naik ke dalamnya.”
“Deal.”
Elaine
sesekali menoleh ke belakang selepas turun dari bus. Aneh, ia merasa ada yang
mengikuti. Tetapi hasilnya nihil ketika ia berbalik badan dan berusaha agar
indera penglihatannya menangkap sesuatu yang dapat dikategorikan sebagai
penguntit. Ia menambah laju tungkainya agar lekas sampai ke rumah. Demi Tuhan Elaine
bersumpah bahwa memang benar ada yang mengikutinya. Ia berlari kecil hingga
sampai ke rumah. Saat membuka gerbang, matanya masih meneliti sekitar dan
hasilnya nol besar.
TWELVE LOVE
“Ya
Tuhan, bagaimana aku menyelesaikan semua ini?!!” teriak Elaine frustasi di
depan wastafel toilet.
Lusa
pelajaran sejarah kembali mengisi kelasnya dan essay serta surat perjanjiannya belum selesai. Bagaimana bisa ia
membuat surat perjanjian? Ini pertama kalinya dalam sejarah seorang murid
teladan seperti Elaine Kim mendapat hukuman dan membuat surat perjanjian. Ia
bergegas keluar toilet karena bel masuk telah berbunyi.
Seseorang
berbalik arah melihat Elaine keluar dari toilet. Sejurus kemudian mengikutinya
dari belakang.
Saat
ini jam pelajaran olahraga, tapi Elaine tak melihat adanya tanda-tanda
kehadiran seorang Yoo Kihyun. Mungkinkah ia menghindar dari teriakan-teriakan
siswi saat ia bertanding basket? Jika iya, over
PD sekali dia, pikir Elaine.
Selepas
istirahat, pelajaran matematika. Kihyun bersikap seperti biasanya dan tak acuh
sama sekali dengan Elaine. Apa dia balik marah terhadap Elaine pasal kejadian
di halte kemarin? Tidak penting juga menurut Elaine. Jadi dia hanya berusaha
menepis hal-hal yang tidak perlu dalam benaknya dan berkonsentrasi pada materi
yang sedang dipelajari.
Bel
pergantian pelajaran berbunyi, berarti waktu pulang sebentar lagi dan bersiap
dengan pelajaran Bahasa Inggris yang biasanya setengah rakyat kelas tertidur
pulas. Kihyun bangkit dari kursinya semenit setelah guru matematika
meninggalkan ruang kelas. Entah dia kemana, Elaine sebenarnya penasaran dan
ingin bertanya. Tetapi posisinya di sini belum berbaikan, Kihyun juga tidak
meminta maaf, jadi Elaine gengsi.
Benar
saja terkaan Elaine. Kihyun tidak kembali ke kelas hingga bel pulang terdengar.
Tapi tak lama setelah para siswa meninggalkan kelas dan bergegas pulang, Kihyun
datang dan mengambil tasnya. Elaine berdiri lalu berjalan menyusul yang lain.
Instingnya mengatakan bahwa Kihyun mengikutinya dari belakang. Well, it’s true.
TWELVE LOVE
Elaine
merutuki dirinya sendiri yang dengan bodohnya meninggalkan essay dan surat perjanjiannya di dapur pagi ini. Ia terburu-buru
saat mengenakan sepatu hingga lupa mengambil beberapa lembar kertas yang ia
tinggal di meja makan. Padahal itu hasil kerja kerasnya begadang semalaman.
Beberapa menit lagi guru sejarah masuk dan sialnya pelajaran pertama. Tak ada
waktu untuk mengelak, Elaine pasrah.
Jantungnya
serasa berhenti ketika sapaan selamat pagi serta raut wajah guru sejarahnya
berubah lebih ramah saat menatap wajahnya.
Matilah kau, Elaine Kim.
Dengan
modal nekat Elaine berjalan ke depan mendekati gurunya untuk memberikan penjelasan
atas kesalahannya—lagi.
“Maaf
Ssaem, essayku..”
“Ah,
tidak masalah Elaine. Walau kurang satu halaman itu adalah sebuah essay yang
sangat sempurna.”
“Ehh—?”
“Berterimakasihlah
pada Yoo Kihyun yang mengantarkan essaymu padaku. Ia bilang essaymu terjatuh di
gerbang sekolah, lalu ia mangambilnya dan memberikan langsung padaku.”
“Benarkah
itu, Ssaem?”
Gurunya
hanya mengangguk dengan mimik wajah yang gembira bukan main. Elaine menoleh
menatap Kihyun. Yang ditatap malah membuang muka sambil tersenyum geli. Hatinya
mencelos, Elaine tak lagi mengerti harus berucap apa.
“Haruskah
aku sering menghukummu untuk membuat essay semacam itu?” ledek gurunya. Elaine
hanya tersenyum sembari permisi kembali ke tempat duduknya, dibarengi dengan
kekehan sang guru lalu memulai kelas hari ini.
Terimakasih, Hyun. Bibirnya membuat sebuah gestur
singkat saat berbalik ke belakang berpura mengambil sesuatu dari tasnya. Kihyun
hanya mengangguk diselingi dengan tertawa kecil.
TWELVE LOVE
“Jadi
kau memaafkanku?” goda Kihyun
“Kau
bahkan tidak meminta maaf, lalu untuk apa aku memaafkanmu?” ucap Elaine santai
kemudian menyesap mocca latte kesukaannya.
Baru
saja Kihyun ingin berbicara, tapi Elaine mendahuluinya.
“Aku
tau kau tidak suka minta maaf, Hyun.”
Kihyun
terkekeh, “Apa sih, yang tidak untuk Elaine Kim? Jadi, maafkan aku atas
perlakuan bodoh waktu itu.”
Dirasakannya
sesuatu mencelus ke jari manis di tangan kirinya. Sebuah cincin bertuliskan
angka romawi yang mewakili 12. Kihyun tersenyum sambil menunduk. Elaine
menatapnya meminta penjelasan.
“Kau
lupa, ya?” tanya Kihyun.
Dahi
Elaine berkerut, otaknya masih berpikir.
“Selamat
ulang tahun, Nona Kim.”
Elaine
menutup kedua wajahnya menghindari rona kemerahan yang menjalar di setiap
permukaan wajahnya. Kihyun terkikik geli melihat gadis keras kepala di
hadapannya bertingkah demikian.
“Jangan
begitu, aku suka melihat wajahmu tersipu, itu sangat lucu kau tau, El?” Tangan
besarnya meraih kedua tangan Elaine lalu memaksa melepaskannya dari wajahnya
yang memerah bak tomat segar.
“Bodoh,”
ucap Elaine sembari menahan tawa.
Keduanya
tenggelam dalam candaan konyol hingga Elaine penasaran kenapa angka 12 yang
menghiasi kenampakan depan cincin pemberian Kihyun.
“Hyun,”
“Hmm?”
“Kenapa
12? Romawi?”
“Kau
ingin tau?”
“Kalau
tidak, untuk apa aku bertanya?”
“Baiklah,
baiklah. Jangan salahkan aku kalau kau tidak mengerti. Olimpus memiliki 12 dewa
dan dewi. Memiliki kekuatan tersendiri dan saling berhubungan. 12, satu dan
dua. Satu kesatuan antara dua orang, kau dan aku. 2 yang tidak akan menjadi 2
jika hanya ada 1 seorang. Aku ingin kita menjadi 12. Paham tidak?”
“Kau
cinta sekali terhadap matematika ya, Hyun?”
“Aku
sudah bilang, benar kan. Sesuai perkiraanku. Pasti kau tidak mengerti.”
TAKKK!!
“Tentu
saja aku mengerti! Tapi itu sungguh Hyun, kau terlalu over, kau tau?”
“Tapi
kau suka, kan?”
“…..”
-FIN-
0 Response to "Twelve Love"
Post a Comment