EXO’s Kai,
OC’s
Hi
Yeon, EXO’s Sehun
| PG
| Horror,
mystery
| Chapter
(2/unknow)
Llyaas Poster Art | Gdgirlsv©2015-2016
Llyaas Poster Art | Gdgirlsv©2015-2016
Sinar mentari sudah
menembus setiap ruangan. Memberi intruksi untuk orang yang menempati supaya
terbangun di hari yang cerah ini. Bahkan beberapa burung berkicau membantu sang
mentari yang nampak kewalahan.
“Hi Yeon cepat keluar, sekarang sudah pukul berapa?”
ucap Kai datar sambil sesekali mengetuk pintu kayu kamar adiknya.
Ia menghela nafas, mengatur emosinya karena sejak dua
puluh menit lalu usahanya hanya sia-sia. “DASAR PEMALAS, BANGUNLAH!”
KREK.
Daun pintu itu tertarik. Hi Yeon melongokkan kepalanya
keluar. Kai yang melihat itu langsung terlonjak dan bergidik ngeri karena
melihat penampakan di pagi hari seperti ini.
“Ada apa denganmu?”
Hi Yeon membuka pintunya lebar-lebar serta menampakkan
seluruh tubuhnya pada Kai. “Aku tak bisa tidur semalaman,” jawabnya sembari
mengusap wajah.
“Aigo, ya,
sudah cepat mandi. Aku tunggu di bawah.” Kai tersenyum sambil mengusap ujung
kepala adiknya.
Hi Yeon menutup pintu kamarnya lagi. Ia bersender di pintu.
Bola matanya berputar mengitari tiap ruangan yang menjadi kamar barunya.
Suasana yang mengerikan dengan cat dinding berwarna gelap, meja di dekat
ranjang yang terdapat beberapa bercak merah yang mirip darah, bahkan lampu
kamarnya berkedip-kedip terus sedari tadi malam.
Setelah selesai dengan urusan pribadinya di dalam
kamar, Hi Yeon melangkah menuruni anak tangga kayu yang terkadang berdecit ria
membuat telinganya merasa terganggu. Ketiga anggota keluarganya sudah duduk di
ruang makan dengan wajah yang ceria.
“Omo ada apa
dengan wajahmu Hi Yeon?” tanya Nyonya Aerim histeris yang langsung merengkuh
tubuh putrinya.
“Aku baik-baik saja, Eomma.”
“Bagaimana mungkin kau baik-baik saja dengan keadaan
wajah yang kusut seperti ini? Apa semalam tidurmu tak nyenyak?”
Hi Yeon mengangguk membenarkan. “Aku ingin kamarku
diperbaiki.”
“Baiklah, nanti biar Kai yang merenovasinya untukmu,
ya? Sekarang cepat makan dan bersiap ke sekolah. Apa kau ingin Eomma bawakan makan siang juga?”
“Tidak usah, Eomma.
Lagipula pasti ada kantin di sana.”
Tak ada yang menghiraukan Kai saat ini. Jadi, tak ada
satupun yang tahu bagaimana ekspresinya saat sang ibu mengatakan ‘biarkan Kai
yang merenovasinya’. Kai memutar bola mata, beginilah nasib seorang kakak
laki-laki.
***
Kai menutup pintu ruang
kepala sekolah setenang mungkin. Ia beralih menatap adiknya yang sedang
memasang raut malas tak terkira. Ia tersenyum sebelum meluncurkan aksinya untuk
menjawil hidung adiknya yang tenggelam antara daging pipi.
Hi Yeon menatap tajam kakaknya dan malah dibalas dengan
terbahak oleh Kai. “Mwoya?”
Masih dengan tawa renyah Kai menggelengkan kepala. Beberapa
detik selanjutnya ia telah menghentikan gema tawanya dan beralih menatap serius
ke dalam bola mata Hi Yeon. Kai melirik arlojinya sekilas. “Aku harus pergi ke
kelas. Kau sudah dengar kata kepala sekolah kan? hanya perlu melewati koridor—”
“Aku tahu,” potong Hi Yeon cepat.
“Bersikaplah dengan sopan dan santun.”
“Hentikan itu, Kai!”
pekik Hi Yeon saat Kai mulai mengacak-acak rambutnya. Ia tahu kalau itu adalah
ungkapan sayang tapi sungguh Hi Yeon sama sekali tak suka.
Kai berjalan
kearah yang berlawanan dengan adiknya. Hi Yeon melewati koridor yang tadi
disebutkan kepala sekolah. Ia hanya perlu melewati koridor ini lalu memilih
jalan ke kanan, lalu—Hi Yeon menghentakkan kakinya.
“Aku harus bertanya pada siapa saat aku lupa petunjuk
selanjutnya?” gumam Hi Yeon. Sepertinya ia salah mengambil jalur. Seharusnya
setelah berbelok ke kanan ia menemukan dua bagian jalan lain namun sekarang
justru hanya satu arah yang tampak menuju ke gudang.
“Sudah kuduga, seharusnya aku memilih berbelok di
sebelum ini.”
Hi Yeon membalikkan tubuhnya, hendak memutar arah
haluannya, tapi seseorang mengacaukan niatnya. Hi Yeon memilih untuk
menghampiri seorang gadis yang kebetulan sedang menutup pintu setelah keluar
dari ruangan di ujung lorong.
“Permisi, di mana aku bisa menemukan kelas 1-4?”
Wanita dengan pakaian putih lusuh yang menjuntai hingga
lutut itu hanya diam dan sesekali menggumamkan sesuatu hal yang tak dimengerti
Hi Yeon. Lantas ia berjalan meninggalkan Hi Yeon seorang diri.
“Apa-apaan sih? Dia hanya mengabaikanku? Aish!
Menyebalkan!”
Hi Yeon memutar tubuhnya— “HAIYA!”
“Kenapa kau ada di sini?” tanya pemuda bertubuh
jangkung yang sempat membuat Hi Yeon hampir saja kehilangan jantungnya.
“A-ku tersesat. Di mana kelas 1-4?”
“Ah, kau murid baru itu, ya? Ayo ikut aku,” ucap pemuda
itu. Ekspresi yang tadinya dingin serta datar sudah berubah menjadi penuh
antusias. Tanpa ba-bi-bu pun ia sudah menggamit tangan Hi Yeon untuk pergi dari
tempat itu.
Meski masih bingung dengan situasi saat ini, Hi Yeon
pun hanya menuruti pemuda itu dan mengikuti langkah yang lebih lebar
dibandingkan dengannya.
Hi Yeon masuk ke dalam kelas bersamaan dengan pemuda
yang ia ketahui bernama Sehun. Ia merasa agak canggung saat penghuni kelas
menatapnya lamat-lamat seperti sedang mengamati seseorang yang membahayakan.
Alhasil ia pun hanya mampu menunduk dalam untuk menghindari tatapan yang
baginya sangat mengintimidasinya itu.
“Tidak apa-apa, Hi Yeon, kau bisa duduk di sampingku
nanti,” bisik Sehun yang seakan tahu dengan kekhawatiran serta ketakutan yang
melekat pada benak gadis itu.
“Oh Sehun, aku perlu bicara denganmu.”
Arah gerak mata Hi Yeon mengikuti asal suara tadi.
Seorang laki-laki berpakaian kurang rapi berjalan menghampiri Sehun. Sebelumnya
laki-laki itu juga menatap Hi Yeon tajam dan gadis itu segera mengalihkan
wajahnya.
Laki-laki itu berbisik pada Sehun hingga membuat Sehun
menyuruh Hi Yeon supaya duduk dulua., “Aku tidak akan lama,” katanya sebelum
meninggalkan kelas.
Memangnya apa yang bisa dilakukan Hi Yeon? Menolak dan
memohon supaya Sehun menemaninya terus? Menempel seperti daging dengan kukunya?
Hi Yeon menghela napas pasrah. Ia berjalan kikuk menuju
tempat duduk yang sudah ditunjuk oleh Sehun sebelumnya. Demi apapun Hi Yeon
merasa sedang berada dalam planet lain karena orang-orang itu menatapnya begitu
tajam tak lepas memandanginya hingga Sehun kembali disisinya.
—TBC
0 Response to "Another #2"
Post a Comment