RV’s
Wendy,
Irene and NCT’s Taeil, Taeyong,
Doyoung
PG | Romance, friendship, entertainer life, etc | Chapter (2/unknow)
Ayame Yumi @PosterChannel | Gdgirlshv©2015-2016
PG | Romance, friendship, entertainer life, etc | Chapter (2/unknow)
Ayame Yumi @PosterChannel | Gdgirlshv©2015-2016
Hari ini Joohyun sudah
menemukan tempat tinggal sementaranya, terasa ada yang hilang dari benakku.
Pengawalanku mencapai garis akhir setelah sampai di hotel lalu membantunya
mengemasi barang-barang. Kemudian pulang karena sudah pukul sepuluh malam. Ini
sudah terlalu malam untuk gadis yang pulang sendirian kan?
“Halo, Taeil, aku minta bantuanmu lagi, bisakah kau
menjemputku di hotel MON’S? Aku tidak berani pulang sendirian, ini sudah
terlalu malam. Ah, benarkah? Terimakasih.”
Taeil sampai dalam waktu lima menit, itu waktu yang
singkat berhubung jarak flatku dan
hotel ini lumayan jauh. Mungkin Taeil habis bermain dengan temannya di dekat
sini. Taeil menyodorkan helm kepadaku.
Dalam jangka duapuluh menit kita telah tiba di depan flat.
“Wendy, kapan kau akan membelikanku album BIGBANG? Kau
sudah meminta tolong padaku dua kali.”
“Astaga, Taeil, aku lupa. Oke, Sabtu ini, aku akan
penuhi janji itu.”
“Jangan lupa lagi!”
“Nggak akan,” tawaku menyembur karena teringat
ketololanku yang lupa akan janji, sambil menaiki tangga dengan berlari kecil.
Akhir minggu telah
menghampiri. Segera kukunci pintu flat.
Berhubung hari ini adalah tugas terakhir sebelum cuti jadi aku melangkah penuh
semangat menuju tempat konferensi.
“Wen,
cepetan ya, langsung aja ke hotel MON’s. Kita udah siap-siap nih.”
“Oke Mbak, aku ke sana.” Setelah memberi jawaban,
segera kututup sambungan telepon.
Ayunan kakiku berlari memasuki ruang meeting hotel yang digunakan untuk
konferensi pers. Banyak wartawan lain yang telah memadatinya. Aku mencari-cari
mbak Maya, rupaya semua kru berada di tengah ruangan. Aku melihatnya yang
sedang mengode supaya aku segera menghampirinya beserta kru lain yang sedang
bersiap-siap.
Aku mengambil pena dan kertas. Tiba-tiba pintu samping
ruangan terbuka, menampilkan beberapa pengawal. Rupanya konferensi pers segera
dimulai, aku lekas menempati posisi. Terlihat seorang pemuda rata-rata berusia
duapuluhan dengan tinggi sekitar 179 cm mengenakan setelan jas hitam tengah
tersenyum ramah menyapa wartawan. Di belakangnya terlihat seorang wanita dan
ternyata itu Joohyun.
“Taeyong-ssi
setelah konser di sini apakah anda ingin berkarya di Indonesia?”
“Mungkin, saat ini saya belum tahu. Tapi sebenarnya
saya ke Indonesia bukan hanya menghadiri konser akhir tahun, tapi juga proyek
pembuatan video klip yang akan dibintangi oleh rekan saya ini, Bae Joohyun.”
Aku melihat Joohyun tersenyum ramah ke arahku, kemudian
ke lainnya.
“Joohyun-ah kenapa kamu tak bilang kalau artis
yang akan bekerjasama denganmu adalah orang yang akan aku wawancarai?”
“Apa kau sekaget itu, Wen? Karna aku merasa hal itu
tidak penting untuk kamu ketahui, jadi ya, sudahlah, buat apa aku katakan?“
jawab Joohyun dengan senyum yang tersungging di bibirnya.
“Wendy!” terdengar suara yang menyerukan namaku, segera
kuangkat telapak di udara untuk mengode mbak Maya. “ Joohyun, mianhae, aku harus pergi, sampai ketemu
nanti ya,” ujarku kemudian menghampiri keberadaan mbak Maya.
“Iya, Mbak?” tanyaku setelah tiba di hadapan mbak Maya.
“Kerja kamu bagus hari ini, makasih atas kerja samanya.
Kita balik dulu, ya.”
“Oke, Mbak. By
the way, Mbak Maya sama kru lain juga oke kok, lebih malah,” jawabku sambil
mesam-mesem.
Sudah pukul duabelas
malam, aku keluar dari hotel. Semilir angin malam semakin mengilukan tulang,
mengintruksikan tanganku supaya merapatkan jaket. Aku terikat janji dengan Taeil.
Atas alasan itu, aku hendak menelepon Taeil, tetapi sebuah motor berhenti di
dekatku.
“Taeil? Kamu ngapain di sini?”
“Jemput kamu,” jawabnya datar.
“Kok kamu bisa tahu aku ada liputan di sini?”
“Tuh, ada selembaran, reklame juga ada, di situ
tertulis bakalan ada konferensi pers di sini, dan aku tahu kamu pasti bakalan
ngeliput.”
“Oh, oke, karena kamu udah di sini mending kita langsung
aja beli albumnya. Yuk!” Aku langsung menaiki motor Taeil dan memakai helm.
“Nggak usah, besok aja kapan-kapan. Udah malem, mending
kamu segera istirahat.”
“Beneran nggapapa? Kemaren ngotot supaya dibeliin dan
menepati janji, kok sekarang nggak mau?”
“Ntar kamu sakit, angin malam nggak baik buat kamu.” Setelah
itu Taeil langsung tancap gas yang membuatku harus berpegang erat kalau mau
selamat.
Hari kebebasanku telah
tiba. Beban di pundakku sudah sedikit berkurang. Setelah lelah jogging di pagi hari, aku mampir ke
salah satu mini market untuk membeli
minum serta beberapa kebutuhan sehari-hari yang menipis.
Aku mengambil troli, mengambil beberapa pack tisu, bahan makan instan, odol,
sampo, dan pembalut—buru-buru aku
menyelipkannya di antara barang yang lain. Sebetulnya wanita selalu
sensitif tentang hal ini. Kemudian roda-roda kecil troli berputar menuju kasir.
“Kamu tidak tahu saya? Saya ini artis. ARTIS. Jadi,
saya tidak akan menipu Anda. Jadi begini, dompet saya ketinggalan. Jadi,
biarkan saya membawa pulang belanjaan saya kemudian nanti salah satu staf saya
akan ke sini dan melunasi semuanya,” ucap seorang pemuda yang katanya artis
kepada penjaga kasir dengan bahasa Inggris.
“I’m sorry Sir,
but, you can’t do that,” kata teman si penjaga kasir yang bisa sedikit
berbahasa inggris.
“Saya itu artis. Masa kamu tidak tahu saya sih? Hah?”
“Maaf, tetap tidak bisa,” tegas wanita itu berulang
kali.
Orang berbadan tegap dengan cara berpakaian serba hitam
yang hampir menutupi sekujur tubuhnya itu mendesah frustasi. Memang
mencurigakan sih, tapi apa salahnya mbak kasir itu menuruti pintanya? Kalau
seperti ini terus kan jadi aku juga yang repot.
“Maaf, bisa geser dikit nggak? Kalau emang nggak punya
duit nggak usah sok-sokan belanja deh.” Secara otomatis bibir lemes ini
mengutarakan apa yang ada dalam benakku. Tapi untungnya orang itu tidak tahu
bahasa Indonesia yang baru saja aku ucapkan.
“What did you say?”
“Eh.. nothing.
Bisa minta tolong nggak, ya, Mas? Waktu saya udah nggak bisa diganggu, jadi
saya harus buru-buru,” jelasku yang dibalas tatap tajam pemuda itu. Tapi
sedetik kemudian lelaki mencurigakan itu memilih mundur dan mempersilahkanku
membayar terlebih dulu.
Aku tersenyum padanya. Kemudian menyerahkan semua
belanjaanku di atas meja kasir yang langsung dicek sama mbaknya. “Semuanya
berapa, Mbak?”
“Oh, ok, I will
go there.” Samar-samar aku mendengar suara yang bersumber dari pria
misterius tadi, tetapi aku tak ambil pusing soal ini.
“Mas, Mas! Itu belum dibayar!” teriak mbak kasirnya
yang sontak membuatku ikut menoleh. Dan entah rasa empati dari mana yang
membuatku berlari untuk menghentikan pemuda itu.
“Sorry Sir,
tapi belanjaan anda belum dibayar.” Sekilas dapat terlihat raut kebingungan
dari wajahnya. Salahku juga sih, kenapa pakai bahasa Indonesia.
“That.” Akhirnya
aku pun menunjuk kantong kresek yang ditentengnya.
“Oh, this ?”
Aku mengangguk membenarkan. Kemudian menggiringnya kembali ke dalam mini market.
“Semuanya berapa, Mbak?” tanyaku seraya mengacungkan
belanjaan pemuda tadi. “Sekalian belanjaan Masnya ini, ya, Mbak.”
Lelaki yang berdiri di sampingku tampak sedikit
terkejut namun kemudian tersenyum ramah seraya menggumamkan, “Thank you.”
Entah mengapa saat keluar minimarket aku dan lelaki mencurigakan
ini keluar bersamaan, dengan masih kaku-kaku tentunya. Dalam hati aku berdebat
dengan pikiranku, jangan-jangan mas-mas ini memang perampok, hal ini dikuatkan
juga dengan cara berpakaian dan perilakunya yang misterius.
“I’m not thief,“
ucap pemuda itu mendadak, dan membuat lamunanku buyar. Ekspresi wajahku
mengatakan, kenapa kamu bilang gitu?
“Ekspresimu tadi mengatakan begitu, kamu terlihat
curiga kepadaku.”
Aku hanya tersenyum karena memang benar begitu.
Berhubung urusanku sudah selesai, aku segera berpamitan pulang, namun mas-mas
itu melangkah ke depanku, sehingga kami saling bertabrakan.
“Jangan pergi dulu, aku merasa tak enak padamu.
Bagaimana kalau kita duduk dulu sambil aku em.. mengatakan rasa terimakasihku
lebih sopan lagi?”
“Baiklah, mari kita duduk di taman itu.” Entah mengapa
juga aku mau diajaknya.
“Jangan, jangan di sana. Kita pergi ke tempat yang
sepi.” Melihat ekspresi curigaku ia langsung menambahkan, “Aku tidak akan
macam-macam. Nanti akan kuceritakan semuanya. Ok?”
Kami berjalan menuju tempat parkir mall di dekat situ. Menapakkan kaki di tempat parkir yang berada di
lantai empat mall, aku bisa melihat
pemandangan kota ini.
“Jadi, apa penjelasanmu?” tanyaku langsung tanpa
babibubebo. Ia melepaskan topinya dan betapa terkejutnya aku ketika melihat
wajah itu. Dia adalah artis yang kemarin aku wawancarai, tetapi aku langsung
menundukkan wajah untuk menutupi keterkejutan mimik wajahku.
“Saya ini adalah artis muda di Korea namaku Taeyong...”
Lalu ia menjelaskan semuanya, dengan sesekali tersenyum. Rupanya dia memang
orang yang ramah.
“Saya sebenarnya kabur dari pengawalan karena merasa
bosan. Tidak ada hal menarik yang bisa saya lakukan kemudian saya memiliki
inisiatif untuk pergi jalan-jalan dan membeli minuman karena merasa haus.
Karena kabur, saya lupa untuk membawa dompet dan HP. Dan mengapa saya berpakaian
seperti ini? Itu karena—” Sebelum dia menyelesaikan ucapannya aku menyambar.
“Kau seorang artis muda terkenal,” ucapku seraya
tertawa.
“Benar,” ucapnya dengan diiringi tawa renyah dari garis
bibir agak tebal.
“Maaf telah berfikiran yang tidak-tidak mengenai
dirimu. Baiklah, kenalkan aku Wendy Son, panggil saja Wendy. Aku juga ambil
cuti dari pekerjaanku, dengan alasan yang sama.. merasa bosan dengan lingkungan kantor.”
Setelah itu percakapan mengalir seperti air yang
mengalir di sungai dari hulu ke hilir.
Di flatku yang kecil ini, aku tersenyum kecil. Tidak
menyangka akan bertemu dengan seorang artis di minimarket dengan kejadian yang tak terduga.
—TBC
0 Response to "All of Sudden #2"
Post a Comment