Luhan, OC’s Kiara
| PG
| Chapter
(2/unknow) | Romance, friendship
Irish @PosterChannel| Gdgirlsvh©2015-2016
Irish @PosterChannel| Gdgirlsvh©2015-2016
Tangan kanan Kiara menggenggam
gagang penggorengan. Ia tengah membuat makan malam untuk keluarga kecilnya.
Padahal kalau boleh jujur, Kiara tak bisa memasak, apalagi makanan kesukaan Luhan.
Jadilah ia hanya menggoreng telur dadar yang kemudian digulung.
Luhan duduk di meja makan sambil bertopang dagu, ia
memandang Kiara yang sedang menggoreng telur. Luhan tersenyum, matanya
mengikuti langkah Kiara yang bergerak ke sana-ke mari. Hingga akhirnya hidangan
disajikan di atas meja.
“Maaf, aku hanya bisa memasak ini,” sesal Kiara seraya
menatap telur yang disiapkan di atas meja.
Luhan mengambil sumpit dan mulai memakan potongan telur
beserta nasi. “Hm, ini enak sekali. Mengapa harus minta maaf? Begini saja sudah
enak,” jawab Luhan dengan memasang senyuman seraya menatap Kiara.
“Jangan membuatku malu. Aku yakin mukaku sudah memerah
sekarang,” timpal Kiara yang sejujurnya sangat bahagia hingga tak bisa menyembunyikan
lengkung senyum di bibir.
“Han-ah,
bolehkah aku bertanya tentang sesuatu yang aku yakin saat ini kau tak ingin membahasnya?”
“Hmm..” Luhan berpikir sejenak, lantas ia mengangguk.
“Baiklah, jadi.. setelah kau keluar dari EXO apakah kau
pernah bertemu dengan member lainnya? Maksudku, member yang sekarang masih
tetap menjadi member EXO.” Kiara melihat ada sedikit perbedaan dari rinai wajah
lelaki yang dicintainya, tapi ia tak bisa menjawab apa maksud dari ekspresi
itu.
“Belum,” jawab Luhan singkat.
“Apa kau merindukan mereka?” tanya Kiara sekali lagi,
“Oh tidak, jangan dijawab aku sudah pasti tahu apa jawabannya,” timpal Kiara
cepat. Ia merasa sangat bersalah ketika mengajukan pertanyaan itu. Luhan
memegang tangan Kiara, bermaksud menenangkan.
“Tidak apa-apa, aku akan menjawabnya. Rindu? Tentu saja,
tapi aku tak tahu apa yang akan kulakukan meskipun aku merindukan mereka.”
“Kenapa tidak menghubungi mereka?”
“Tidak bisa.”
“Han-ah, ini
sudah tujuh tahun setelah kau keluar dari EXO. Tujuh tahun bukan waktu yang
sebentar, banyak yang berubah dalam tujuh tahun itu.”
“Tapi tidak untuk SM. Mereka tak akan mengizinkan
member untuk berhubungan dengan ex-membernya. SM merasa aku manusia tak tahu
diuntung.”
“Kenapa tidak secara sembunyi-sembunyi?”
“Bagaimana? Akun media sosial, kontak, semuanya, SM
memperhatikan semua dengan ketat. Tidak ada jalan untuk menghubungi mereka.”
“Apa Kris-ssi
dan Tao-ssi juga sama?” Kiara menatap
dalam manik gelap Luhan, “Apa yang mereka lakukan selama beberapa tahun
terakhir ini? Aku melihat bahwa mereka sudah tak peduli lagi,” tutur Kiara
kecewa.
“Itu adalah masalalu kita. Hidup harus terus berjalan.
Mengertilah!” balas Luhan sedikit meninggikan suaranya.
“Pertemanan kalian bukanlah masalalu. SM seharusnya
tidak boleh memisahkan kalian walaupun kalian sudah bukan member lagi. That’s unfair for all. Aku memang tak
mengalami kejadian itu karena aku hanya saksi mata kehidupan EXO di dalam
tayangan yang selama ini aku tonton di internet. Tapi aku tahu perasaan itu. Saat
bersama dalam suka-duka, antara kamu dan Sehun. Mungkin orang lain menganggap
kalian adalah pasangan yang cocok, tapi aku memandang kalian sebagai sahabat,
kakak-adik. Sehun lebih muda darimu, dan dia selalu melakukan apapun sama kamu,
sedangkan kamu adalah kakak yang bisa membuat Sehun nyaman.” Semua yang menjadi
pertanyaan dalam pikiran Kiara selama ini telah meluncur halus bersama emosi
yang meletup-letup.
Luhan hanya menatap nanar, entah apa yang akan ia
lakukan, ia berpikir bahwa sebegitu dalam rasa sayang Kiara terhadap grup yang
membawa namanya hingga menjadi bintang besar. Ia tahu Kiara menyukai EXO saat
ia, Kris, dan Tao tak lagi bernaung dalam nama grup dunia itu. Dada Luhan
semakin sesak. Seseorang yang baru menyukai EXO setelah mereka bertiga keluar
saja begitu dalam kekecewaannya, apalagi para EXO-L yang sejak awal telah
mendukung mereka.
“Apakah itu sebabnya Sehun, Baekhyun, dan Chanyeol tak
lagi mengikutimu di instagram? Bahkan mereka juga tak lagi mengikuti Kris dan Tao.”
“Aku rasa begitu, tapi bisa jadi mereka kecewa dengan
kami.”
“Aku nggak percaya! Mereka nggak akan setega itu sama
kamu, Kris dan Tao,” Luhan bingung hendak menjawab apa. Keheningan menyelimuti
atmosfer di antara mereka. Kiara tak lagi mengeluarkan air mata karena terlalu
emosi. Ia sedang berpikir, tapi entah apakah hal yang dipikirkannya itu.
Jam telah menunjukkan pukul sembilan malam. Esok hari Luhan
harus menghadiri acara meet and great
penjualan album barunya di mall terbesar di Beijing. Sedangkan Kiara harus
kembali ke negara tercintanya. Sehingga perdebatan sengit ini harus segera
diredamkan sementara waktu.
“Baiklah-baiklah,” Luhan beranjak dari kursi. Kedua
tangannya saling bertepuk beberapa kali. Ia menghampiri Kiara, mengajaknya
berdiri kemudian membimbingnya ke ruang TV. Luhan mendudukkan Kiara di sofa.
Lantas ia masuk ke kamar untuk mengambil flashdisk
kemudian kembali ke ruang TV lagi dan menancapkan benda itu ke samping TV.
Beberapa lama Luhan berkutat pada TVnya, Kiara bingung apa yang sedang Luhan
perbuat, sehingga ia memutuskan untuk bertanya.
“Apa yang sedang kau lakukan Luhan-ah?”
“Nanti kau juga tahu. Tunggu sebentar. Kau suka lagu EXO
yang mana? Maksudku saat aku masih menjadi membernya.”
“Em.. eureureong,”
jawab Kiara gembira. Sesaat kemudian irama dari lagu ereureong berkumandang di
ruang TV. Luhan berada di depan TV menghadap Kiara seraya melakukan tarian. Kiara
tak menduga Luhan akan menari dan menyanyikan growl di depannya meski ia hanya
sendiri. Kiara bersorak bahwa Luhan sangat keren seperti anak kecil yang baru
saja dibelikan mainan baru.
Saat musik video sampai pada giliran Luhan, D.O, Lay,
dan Chanyeol, Kiara berkata, “Dulu sewaktu aku menonton ini bersama saudaraku,
aku selalu mempause bagian ini.”
“Kenapa?” Luhan bertanya sambil terus melanjutkan
tarian. Saat ini Suho sedang menyanyikan bagiannya sedangkan kelima member lain
menari di sekitar Suho.
“Karena ini bagianmu. Aku selalu mempause itu. Saat kau sedang seperti ini,”
Kiara memeragakan gerakan Luhan ketika Luhan, Lay dan yang lain berpose patung.
Kiara tertawa karena meyadari betapa memalukan tingkahnya itu. Kiara tertawa
sembari menggeleng-gelengkan kepala. Luhan berpose membelakangi Kiara. Kiara
juga suka saat bagian Luhan yang itu. Ketika semuanya diam, Luhan membelakangi
kamera, kemudian berpaling sambil melafalkan: uri mankeum hana dul sshig
jiwo beori janha dan Kiara akan lipsinc menirukan Luhan.
jiwo beori janha dan Kiara akan lipsinc menirukan Luhan.
Musik berhenti berbunyi. Luhan berpose jongkok. Kiara
bertepuk tangan meriah sekali. Suara bising tepuk tangannya mungkin bisa membuat
tetangga mereka terganggu, padahal ia hanya sendiri. Luhan mengode Kiara untuk
tidak berisik. Kiara menghentikan tepukannya dengan ekspresi ketika ia ketahuan
melakukan kesalahan. Napas Luhan memburu ia lelah sekaligus senang. Kiara yang
melihat itu segera membawakannya minum. Luhan tersenyum meminumnya.
“Hebat, itu sudah lama sekali, tapi kau masih
menghapalnya dengan sempurna,” Kiara kagum melihatnya.
“Benarkah? Padahal tadi aku merasa berbuat kesalahan
saat menari. Hehe.”
Malam itu mereka habiskan dengan bahagia. Meski itu
adalah masa lalu Luhan, itu tak membuatnya merasa bahwa semuanya harus dibuang.
Bahkan sepahit apapun itu ketika ia mengenangnya, semuanya masih membuat hatinya
bahagia.
**
Pukul 05.00 pagi, suasana di China masih gelap. Kiara
membangunkan Luhan untuk segera bersiap-siap. Sedangkan ia sendiri sudah siap
sejak tadi. Pukul delapan nanti ia harus berangkat ke airport untuk pulang ke Indonesia. Sedangkan Luhan juga harus
terbang ke negara lain karena pekerjaannya.
“Baiklah, penerbanganku sudah tiba. Aku harus segera
masuk. Luhan-ah maaf aku tidak bisa menemanimu.
Kau harus hati-hati. Apa kau akan baik-baik saja dengan penerbangan ini?”
“Jangan khawatirkan fobiaku. Lagipula aku sudah
melakukan penerbangan berulang kali. Aku sudah tahu apa yang harus kulakukan
saat takut. Kau harus berhati-hati juga. Jangan lupa berdoa!” Kiara mengangguk
sambil tersenyum. “Kalau sudah sampai langsung telepon aku,” Luhan mengangkat
tangannya membentuk isyarat telepon.
Penerbangan Kiara berhasil ditempuh dalam waktu yang
lumayan singkat. Ia selamat sampai tujuan. Begitu menginjakkan kaki di tanah
kelahirannya, ia langsung menelepon Luhan. Sayangnya, Luhan tak mengangkat
sambungan telepon. Kiara tahu pasti Luhan sedang sibuk. Jadi, ia hanya
mengirimnya pesan.
Hari-hari Kiara berjalan seperti biasa. Ke kampus,
melakukan perbincangan dengan teman-teman setelah ngampus, berkutat dengan tugas-tugas
kuliah, dan masih banyak lagi. Di sela-sela kesibukan itu Kiara juga sering
berkomunikasi dengan Luhan. Ini membuat kepenatan hidupnya menghilang sebentar.
Komunikasi itu sering diisi dengan membicarakan keseharian mereka, membahas
hal-hal yang dapat menghilangkan stres keduanya.
Hari Sabtu pagi Kiara bersepeda berkeliling kampus yang
besar dan sejuk. Hari ini tak ada kuliah dan ia malas untuk pulang ke rumah
orangtuanya. Kiara asik mendengarkan lagu-lagu Luhan walaupun ia tak
tahu-menahu arti dari rangkaian kalimat lagu itu, maklum ia tak pandai dalam
bahasa China. Tiba-tiba ada panggilan masuk di ponsel Kiara, ternyata
orangtuanya.
“Halo assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam
Kiara, kamu kapan pulang, Nduk?”
“Kayaknya minggu ini aku nggak pulang, Bu.”
“Eh, kok nggak pulang? Besok Minggu Tante Dianty mau
nikah, masa kamu— saudaranya nggak dateng? Hari ini kamu balik ya, naik
kereta.”
“Kakak juga nggak pulang, Bu.”
“Siapa bilang? Kakakmu sudah sampai rumah ini, sekarang
baru nonton TV. Ayo cepet kamu siap-siap, terus pesen tiket kereta.”
“Loh, kemarin
bilangnya nggak pulang kok. Yaudah nanti sore insyaallah sampai sana. Soalnya biasanya kereta adanya jam duaan.”
“Yaudah, hati-hati. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Kiara segera berkemas dan pergi ke stasiun. Setelah
mengantri dan menunggu lama, ia dapat menaiki kereta. Pukul 04.15 sore Kiara
sudah tiba di rumah orangtuanya. Ia mandi menghilangkan debu yang menempel di
tubuh kemudian pergi ke rumah tantenya untuk bantu-bantu di sana.
Suasana rumah tante Dianty atau bisa juga dibilang
rumah neneknya itu sangat ramai. Orang-orang berlalu-lalang menata sana-sini.
Seorang perempuan yang umurnya lebih muda dari Kiara terlihat sedang menata
hiasan bunga-bunga di sudut ruangan.
“Baekhyunie!” teriak Kiara memanggil gadis itu yang
kemudian menoleh. Pandangan mereka bertemu. Keduanya saling mengembangkan
senyum di bibir. Kiara segera berlari menghampiri,.“Mbak Tatyana lama nggak
ketemu, kangen nih.”
“Iya, kamu sih sibuk kuliah mulu. Eh, denger-denger kemarin
kamu pergi ke China ya, Dek? Hayo ketemu sama suami nih,” goda sepupunya itu.
“Wahaha, kok
tau sih. Iya haha, habis nggak pernah ketemu. Dia sibuk terus sih, orang
kemaren aku di sana juga nggak ada waktu untuk berdua sama dia. Jam terbangnya
padat, kasian dia.”
“Iyalah, kan idol. Semangati terus dong dianya.”
“Udah dong. Eh, ini Dek Liza mana? Kok nggak
kelihatan?” Kiara melongok sana-sini mencari seseorang.
“Dek Liza lagi beli keperluan buat masak-masak di pasar
sama mamahmu dan halmeoni[1],”
Tatyana tersenyum saat sok-sokan memakai bahasa Korea dalam menyebutkan
neneknya.
“Ooh,” balas Kiara singkat.
Malam harinya mereka semua berisitirahat karena besok
adalah hari H tante Dianty menikah. Kiara dan kedua saudaranya tidur di rumah
sang nenek. Pukul sembilan malam, suasana rumah telah sepi, ya, mereka disuruh
tidur lebih awal karena besok harus bangun pagi dalam keadaan fresh. Kiara dan dua saudara sepupunya
tidur di kamar yang sama. Tapi bukannya segera istirahat, mereka malah
mengobrol di dalam kamar. Tentu saja, setelah hampir tiga bulan mereka tak
bertemu karena kesibukan masing-masing dan sekarang akhirnya dapat berkumpul
kembali, ini adalah kesempatan langka bagi mereka. Percakapan mereka hanya
seputar kegiatan sehari-hari yang kemudian salah satunya mengalihkan topik
pembicaraan.
“Eh, Mbak Tyana, nggak nyangka ya, yang pertama nikah
Mbak Kiara. Padahal dulu dia paling polos. Mana nikahnya sama Luhan lagi. Gilaa..
huuu,” cerocos Aliza sambil merangkul Kiara dan memukul pelan kepalanya.
“Bener banget, padahal antara kamu sama Luhan tuh
bedanya kayak tanah sama langit. Cerita dong kemarin Chinanya gimana?!” timpal Tatyana
sama cerewetnya seperti Aliza. Akhirnya Kiara menceritakan segalanya. Hingga
pukul 11.30 malam Kiara dan Tatyana masih asik mengobrol, namun Aliza telah
terlelap dalam mimpi indah beberapa menit yang lalu.
Kalau antara Kiara dan Tatyana, sudah pasti mereka akan
bertukar info tentang EXO. Member EXO memang sudah tak lagi muda, namun mereka
masih malang melintang di jagad hiburan, meski jam terbang mereka berkurang.
“Tanggal sepuluh Juli, EXO bakalan ngadain konser di
Jakarta. Kamu mau dateng nggak?”
“Boleh, dari dulu aku pengen nonton konser EXO, tapi
pasti mahal. Kamu mau dateng?”
“Iya, ini aku juga baru nabung. Kamu ikut ya, nemenin
aku. Itu mumpung pas liburan. Please!”
mohon Tatyana kepada Kiara.
“Iya deh, aku akan liat konsernya. Berapa bulan lagi
sih? Tiga bulan ya? Harus cepet-cepet nabung nih,” ujar Kiara sambil
mengosok-gosokkan tangan tanda semangat.
“Yess!” seru Tatyana senang.
“Mbak, aku pengen mempertemukan member EXO sama eks
membernya.”
“Caranya? Itu mustahil dengan kesibukan mereka
masing-masing dan yang paling penting adalah.. kita ini siapa?”
“Kamu ada kenalan EXO-L yang bisa IT nggak? Kayak hacker gitu, koneksimu kan banyak.”
“Hm.. ada deh kayaknya tapi dia orang Jawa Barat.”
“Oke, nggak apa-apa. kamu bisa hubungin dia nggak?
Lewat sosmed kek, kalau bisa sekarang.”
Akhirnya Tatyana meraih laptop dan segera menyambungkan
dengan wifi yang tak lain milik tetangga sebelah. Akhirnya mereka mengobrol
dengan EXO-L itu.Dia perempuan, namanya Sita. Tatyana mencoba chat dengan
basa-basi yang ternyata langsung dijawab. Tatyana mencoba untuk meminta tolong
dan memberikan penjelasan-penjelasan yang dapat membuatnya mau melakukan yang Kiara
minta. Apalagi dia adalah EXO-L jadi lebih gampang untuk dibujuk karena ini
berkaitan dengan EXO. Tatyana dan Kiara mulai menyusun rencana, karena hal ini
harus dipikirkan matang-matang agar tiada kesalahan ketika meluncurkan aksinya
nanti.
“Kita butuh orang yang bisa dan ngerti bahasa China,
dan yang bisa nulis China juga.”
“Aku ada kenalan, dia tinggal di Indonesia tapi
keturunan China. Dia HunHan shipper
jadi dia pasti mau bantu kalau menyangkut Luhan sama Sehun.”
“Oke, kalau gitu kamu yang ngurusin masalah
tulis-menulis China ,ya.”
“Sekarang aja pasti bisa diselesaiin,” akhirnya Tatyana
menghubungi kenalannya itu lewat media sosial.
“Berarti tinggal cari orang yang bisa buat tulisan
berjalan di papan. Kita butuh anak elektro nih.”
“Oke deh. Ini Kak Aniez mau bantu kita. Dia udah
setuju, berarti besok aku tinggal ngasih tahu apa yang harus di tulis.”
“Sip!” Kiara mengacungkan ibu jari. Jam sudah
menunjukkan pukul satu dini hari. Kiara dan Tatyana memutuskan segera tidur
karena enggan mendapat masalah esok hari.
Keesokan harinya, kesibukan mewarnai rumah itu lagi. Kiara
sedang duduk di bangku menunggu giliran untuk dimake over. Sebagai penghilang rasa jenuh, Kiara membuka handphone.
Ada video call dari Luhan, Kiara
segara mengangkatnya.
“Halo, apa yang sedang kau lakukan?” tanya Luhan di
seberang sana. Kiara menjawab kalau ia sedang bersiap-siap untuk dirias pada
pernikahan tantenya.
“Kau sendiri sedang apa? Apakah kemarin harimu
menyenangkan?”
“Aku sedang merindukanmu,” jawab Luhan dengan senyuman
menggoda.
Kiara tersipu hingga menimbulkan rona merah muda di
wajahnya. Terlebih lagi Tatyana yang kebetulan lewat memergokinya. Tatyana sok
berdeham berniat meledek Kiara, apalagi ia juga memberi lirikan mata jenaka.
Berkat inilah Kiara merasa sangat malu. Buru-buru ia merubah posisi lebih
nyaman dan tentunya supaya Tatyana tak dapat melihat wajah Luhan yang memenuhi
layar handphone.
“Di sana ramai sekali. Apa aku mengganggu?”
“Tentu saja tidak. Ini ada ibuku, kau mau bicara?”
“Baiklah. Se-lam-mat pe-pagi I..bu,” ucap Luhan terbata
menyapa ibu mertuanya dengan bahasa Indonesia yang diajarkan Kiara. Kemudian Luhan
meminta maaf karena tak bisa datang menggunanakan bahasa Inggris, dan Kiara
akan menerjemahkan bahasa itu pada ibunya. Video
call itu hanya sebentar karena Luhan harus bersiap-siap dengan jadwal
manggung yang padat dan Kiara juga harus bersiap supaya tampil baik dalam acara
pernikahan tantenya.
“Han-ah, jaga
dirimu baik-baik. Jaga kesehatan! Jangan terlalu sering memakan makanan cepat
saji! Tidurlah yang cukup walau sesibuk apapun. Selalu berdoa sebelum melakukan
sesuatu, apapun itu tetap semangat! Jangan kecewakan para penggemarmu, Fighting!!” pesan Kiara sebelum video call itu berakhir. Hubungan jarak
jauh memang membuat mereka sedih dan hanya memiliki waktu sebentar untuk
bersama di sisi masing-masing. Namun itu tidak membuat hubungan mereka
mengalami masalah, justru membuat mereka saling menyemangati.
“Aduh, kasian hubungan jarak jauh ini membuatku sedih,”
goda Tatyana seakan kalimat itu untuk menyindir Kiara. Sedangkan yang disindir
hanya melotot ke arah sepupunya itu.
Acara pernikahan tante Dianty berjalan lancar. Kiara
dan kedua sepupunya saat tengah kelelahan hingga memutuskan duduk di kursi yang
tadi sempat digunakan oleh kedua mempelai.
“Siapa ya, yang bisa elektro?” Tiba-tiba Kiara nyeletuk
di heningnya suasana siang itu.
“Untuk apa? Aku punya temen, nah Omnya temen aku itu bisa
elektro,” cetus Aliza mengomentari.
Kiara dan Tatyana langsung berpandangan seolah
mendengar berita yang benar-benar mengejutkan. Kemudian keduanya serempak
menatap Aliza penuh binar dalam mata gelapnya.
“Yey! Akhirnya.. Dek kamu bantu kita, ya? Minta tolong
Omnya temenmu itu.”
“Buat apa sih? Kalau alasannya masuk akal mungkin aku
bisa-bisa aja bilang ke temenku.” Kemudian Kiara menjelaskan semuanya, “Oh buat
EXO, jadi kalian masih ngefans sama
mereka?”
“Hehe, iya. Harapan kita dulu udah pupus untuk melihat
mereka kumpul lagi. Tapi harapan itu kembali muncul saat sepupu kita satu ini bisa
nikah sama Luhan,” jelas Tatyana dengan napas naik turun tanda semangat.
“Kalau bisa, besok aja gimana?” Kiara tak sabar untuk
bertemu dengan Om yang diceritakan Aliza.
“Bisa sih, tapi habis pulang sekolah ,ya? Eh tunggu
dulu, emang kamu nggak ngampus, Mbak?” tanya Aliza teringat jadwal Kiara.
“Oh iya, dodol! Aku kan harus ngampus,” hardik Kiara
pada diri sendiri diliputi perasaan kecewa.
“Kalau gitu Sabtu depan ya?”
“Sip, oke!”
**
Kiara berada di dalam kereta menuju Solo, rumahnya.
Sejak seminggu yang lalu,ia tak sabar untuk segera pulang. Sampai di Solo,Kiara
di sambut oleh orang tuanya. Sore hari ia basa-basi di rumah, karena tidak enak
dengan orang tuanya kalau langsung pergi padahal baru datang.
Malamnya Kiara izin untuk pergi ke rumah sang nenek
yang padahal ingin bertemu dengan dua sepupunya. Sebelumnya ia sudah mengirim
pesan pada dua sepupu perempuannya untuk siap-siap karena malam ini akan pergi
ke rumah Om temennya Aliza.
Kiara memarkirkan sepeda motor di halaman rumah,
buru-buru ia memasuki rumah sembari meneriakkan nama Aliza dan Tatyana
bergantian. Akibat semangat yang terlalu membara, Kiara pun kena omelan Om
Hendra karena terlalu berisik. Sedangkan Kiara hanya nyengir menanggapi omelan
itu.
“Mbak!” pekik Aliza yang segera berlari menghampiri,
“Sekarang kita langsung aja ke rumahnya Vika. Aku udah hubungi dia supaya
nganterin kita ke rumah Omnya.”
“Oh gitu, yaudah cepetan yuk! Mbak Tatyana mana?”
“Bentar lagi keluar kok. Biasalah dia lagi main hp di
dalem, katanya bentar lagi nyusul kok. Ayo buruan, nggak mau telat kan?” Aliza
langsung menarik lengan Kiara untuk keluar rumah. Tak lama kemudian Tatyana
muncul lengkap dengan motornya. Tanpa membuang waktu lebih banyak lagi,
ketiganya segera tancap gas menuju rumah Vika.
Singkat kata mereka sampai di rumah Om temannya Aliza.
“Selamat malam Om, kenalkan saya temannya Vika, Om.
Tadi Vika mau nganterin kita tapi ternyata dia ada perlu, jadi saya cuma
dikasih alamat rumah Om. Saya Aliza dan mereka adalah saudara saya, yang ini Tatyana,
ini Kiara.“ Kiara dan Tatyana menyalami pria yang sudah cukup banyak rambut
putih di kepalanya itu.
“Panggil saja Om Danang. Gimana nyari rumahnya, susah
nggak?” tanya Om Danang basa-basi.
“Sedikit, Om, tadi salah belok malah nyasar ke kebun
sebelah,” jawab Aliza dengan ekspresi malu.
“Jadi ada perlu apa?”
“Jadi begini Om, kami mau meminta tolong. Apa mungkin Om
Danang bisa membuat tulisan berjalan yang biasanya terpasang di toko-toko besar
gitu, Om? Dan ini adalah tulisan yang kami rencanakan Om,” Aliza menyerahkan secarik
kertas kepada Om Danang. Pria yang berusia sekitar limapuluh tahunan itu mengamati
tulisan pada kertas dengan seksama.
“Agak rumit sih, Om. Kalau bisa tulisannya agak besar,
bidangnya sekitar 50 sentimeter. Barangkali Om Danang tahu alat yang di kasir
gitu nggak Om? Yang tulisannya bisa jalan pas kita mau bayar,” Jelas Aliza.
“Oh itu ya. Emm agak rumit juga sih, tulisan China, ya?”
“Iya Om. Jadi, Om bisa bantu nggak?” Kiara mengajukan
pertanyaan dengan hati was-was. Barangkali Om Danang tidak bisa membantu,
sehingga ia harus mencari orang lain untuk mengatur alat satu ini.
Om Danang berpikir sejenak . Akhirnya ia memutuskan, “Iya,
saya akan coba. Mungkin dua minggu ke depan baru jadi.”
“Makasih Om. Terima kasih banyak,” ujar Kiara teramat
senang sambil menyalami Om Danang. Sedangkan Tatyana dan Aliza hanya tersenyum
kemudian menyalami Om Danang.
Rencana satu sudah terlaksana, tinggal menunggu jadinya
saja.
Beberapa hari setelah pergi ke tempat Om Danang, Kiara
dan Tatyana kembali bertemu. Kini keduanya sedang berada di halaman belakang
rumah sang nenek. Di sana terdapat bangku panjang yang berada di dekat taman.
Taman itu sangat terawat. Banyak berbagai bunga mawar tumbuh subur di sana
berkat sang nenek yang gemar berkebun.
“Apa akan berhasil, Dek?” Tatyana terlihat galau karena
khawatir.
“Nggak ada salahnya mencoba, Mbak yang penting kita
sudah berusaha.” Kiara menghirup udara perlahan. Sebenarnya ia juga takut, “Mbak,untuk
tulisan berjalannya kamu yang ngurusin, ya? Aku akan mengurus rencana kedua
kita. Minggu besok, aku akan ke China. Oke?”
“Siap!”
0 Response to "To Unite You Are #2"
Post a Comment