[Sinka Juliani] Rain Over Love



a short story with JKT48's Sinka and OC's Ten
Romance | Oneshot |Original story by Desty RA


Summary:
“Kamu bilang ngga percaya cinta. Itu karena kamu belum tahu. Cinta bisa menjadi apa saja. Bisa menjadi payung saat air mata menghujani pipimu. Bisa menjadi lilin saat hatimu mendadak gelap. Bisa menjadi pelangi saat kamu merasa duniamu ngga indah lagi. Mulai sekarang, aku bisa menjadi semua itu. Menjadi payungmu, lilinmu, dan pelangimu, asal kamu tahu. Apa kamu bisa melihat isi hatiku sekarang?”


—story begin

Sinka duduk di balkon rumahnya yang setiap siang selalu sepi. Papanya di kantor, bunda pun sibuk dengan butiknya. Tetapi Sinka bersyukur, mereka sayang padanya. Bahkan mereka kerapkali ada di rumah saat jam makan malam. Senyum Sinka mengembang ketika melihat sekeliling. Balkon ini, sofa ini, gerimis yang jatuh di dedaunan pohon beringin kecil di depan rumahnya, juga pagar rumah yang tidak terlalu tinggi. Semua itu adalah saksi di mana gadis manis berambut pirang panjang bernama Sinka menemukan cintanya. Menemukan Dia.


***

(Dimulai dari suatu hari, dua bulan yang lalu.)

“Sin, udah siap? Yuk cabut sekarang keburu dosennya dateng!” seru Shania yang sudah ada di luar pagar rumah Sinka dengan motor scoopynya.

“Bentaaar gue kunci rumah dulu,” sahut Sinka.


Sebelum melaju, sekilas Sinka melihat tak ada lagi tulisan DIJUAL pada pagar rumah yang sudah lama kosong di seberang rumah Sinka. Pintunya pun sudah terbuka.


“Tu rumah kosong akhirnya laku juga? Syukur deh, kalo malem jadi ngga keliatan horor-horor banget,” batinnya.


***

“Bun, ini brownis di kulkas Bunda yang beli? Kok tumben? Biasanya lebih suka beli muffin,” tegur  Sinka sembari mencomot sedikit potongan brownis itu.

“Eh, bukan, itu dari tetangga baru kita. Depan rumah,” jawab Bunda. Sinka pun ber'Oh’ panjang.


“Terus, Bunda udah ketemu tetangga baru kita itu? Satu keluarga, ya? Atau pasangan baru?” selidiknya penasaran.


“Cowok, masih muda. Dia pindahan dari Bandung. Jadi, di sini sendiri. Kalo ngga salah sih sekarang dia ngajar seni musik di SMA dekat sini. Udah ah, kamu ini. Baru pulang kampus bukannya mandi, udah asem gitu baunya.” Bunda mengendus dan memerintahnya untuk mandi.


“Ahhh Bunda, Sinka kan masih kepo.” Sinka mengerucutkan bibir dan melanjutkan langkah ke kamar.


***

“Hoaaams.” Sinka masih mengantuk pagi itu. Ditambah lagi PMS (Pre Menstrual Syndrome) yang membuat badannya terasa pegal-pegal.

Sinka membuka tirai jendela kamarnya yang ada di lantai dua. Melirik jam di dinding dan menghela napas panjang menikmati udara pukul enam pagi. Matanya mendapati seorang cowok mengeluarkan motornya dari garasi. Dan mengunci pintu rumah. Cowok bertubuh tinggi, berdada bidang, terlihat cool dengan softcase gitar yang dia bawa. Cowok itu mengenakan celana abu-abu dan baju atau apapun itu yang ada di balik jaket kulitnya yang tertutup. Helm yang dipakainya membuat Sinka tidak bisa melihat wajah cowok itu dengan jelas.


“Ohh, jadi dia tetangga baru yang guru musik itu..” gumamnya.

***

Kamis senja Sinka baru pulang dari kampus. Tidak terlalu ingin cepat sampai rumah, Sinka mengendarai motor matic kesayangannya sambil menikmati suasana mendung kota Jakarta. Akhirnya Sinka sampai di depan rumah.

“Loh? Kok kunci pager sama kunci rumahnya ngga ada?” Sinka mengorek-orek isi tasnya.

“Aduh gawat kalo sampe ilang.” Ia mencari di semua tempat dalam tasnya. Nihil.


“Sial. Jangan-jangan pas gue beresin buku di perpus,” duganya. Tanpa berpikir panjang, Sinka meraih ponsel dalam tasnya.


“Assalamualaikum, Bun. Bunda di mana? Sinka di depan rumah nih, tapi ngga bisa masuk. Kunci pager sama kunci rumahnya ilang (bla bla bla)” cerocosnya panjang lebar sampai Bunda belum sempat menjawab salam.

“Waalaikumsalam Sin, Bunda lagi sama Papamu sekarang. Kita on the way Tangerang, ada meeting mendadak. Walaupun Bunda pegang kunci serepnya ngga mungkin juga sempet balik lagi. Ini udah jauh. Kamu ke rumah temenmu aja dulu nunggu kita pulang,” jawab Bunda.

“Yaudah deh, Bun..” Sinka menyerah. Sambungan terputus.

“Masa iya gue harus ke Shania dulu? Atau Lidya? Rumah mereka kan jauh dari sini. Udah gelap juga. Apa gue panjat aja ya pagernya? Biar bisa nunggu di balkon,” batinnya.


'Jedeer'

 Sinka terkaget mendengar petir yang disusul gerimis. Dia semakin panik. Mencoba memanjat tapi selalu gagal karna pagar yang licin dan Sinka sedang memakai rok.

***

Di tempat lain seorang cowok memperhatikan Sinka dari balik jendela rumah pria itu. Terlihat bila cowok itu hanya tertawa kecil dan menggeleng heran. Sedangkan Sinka masih mencoba memanjat pagar rumah yang terlihat runcing di bagian ujungnya.

“Pasti itu anaknya Tante Dinda yang gue liat di balkon tadi siang. Ckck. Banyak tingkah banget tu anak,” gumamnya.

***

Sia-sia. Sinka menaruh tasnya di jok motor untuk melindungi barang-barangnya dari hujan sebelum hujan semakin deras. Sambil berpikir, Sinka berteduh di bawah pohon beringin kecil yang ada di depan rumahnya. Sungguh sangat tidak membantu. Sinka tetap kebasahan. Langit sudah gelap. Di hari yang sial itu Sinka merasa benar-benar membenci hujan. Beberapa kendaraan melintas pun tak dia hiraukan. Sambil berpikir, Sinka memejamkan mata kedinginan dan menyilangkan tangan di dadanya.

***

Masih di tempat lain yang sama, seorang cowok masih tertarik dengan cewek yang belum dia kenal itu. Sinka.

“Dasar cewek bodoh. Maghrib-maghrib hujan gini bukannya neduh di tempat yang bener. Bisa kena flu dia.”


***

Kemudian Sinka merasa hujan telah berhenti menetes di kepalanya.

“Hujannya reda, ya? Tapi kok suaranya masih kedengeran?” batinnya. Sinka membuka mata dan mendapati seorang cowok di hadapannya—memayunginya. Beberapa detik Sinka sempat terpesona dengan sosok itu.

“Ikut gue. Gue tetangga baru lo, jadi lo ngga perlu takut. Cewek bodoh, Ini bukan tempat berteduh yang baik,” katanya dengan ekspresi datar. Tanpa berkata apapun Sinka menurut. Sinka tidak pernah merasa segampangan itu. Tetapi, sorot matanya membuat Sinka percaya dirinya akan baik-baik saja.

***

Sinka terduduk di sofa dalam rumah cowok itu. Dia melempar handuk dan meminta kunci motor Sinka. Dia hanya ingin memastikan motor Sinka terparkir di tempat yang aman.

“Keringin dulu rambut lo,” ujarnya dingin.

Apa dia selalu memperlakukan cewek dengan cara seperti ini? batin Sinka kesal.


“Jadi, lo tetangga baru gue yang guru musik itu?” tanya Sinka memastikan.


“Yaa. Gue Ten. Kenapa?” jawabnya.


“Ohh, gue Sinka. Ya, nggapapa, Gue cuma ngerasa lo ngga pantes jadi guru aja. Ngomong sama cewek yang baru di kenal aja ngga ada manis-manisnya.” Sinka membekap mulutnya sendiri.


Aduh gue ini apaan, sih? Kok gue jadi keceplosan nge-judge dia. Orang yang barusan nolong gue, batinnya.

Ten terkekeh.

Sinka menaikan alisnya. Ten tidak marah sama sekali dengan kalimatnya tadi. Mereka duduk berdekatan tetapi tidak banyak mengobrol. Hanya saat Ten menawarinya untuk salat, Sinka menolak karena sedang ada tamu bulanan. Sesekali Sinka salah tingkah dan berpura-pura sibuk dengan ponselnya. Tahu apa yang Sinka lakukan? Dia hanya membuka-tutup menu, dan mengecek sosmed yang padahal dia tahu isinya itu-itu saja. Sinka merasa sangat konyol. Saat Sinka sedang melihat-lihat sekeliling, matanya terpaku pada beberapa trophy kejuaraan milik Ten. Tiba-tiba..

'Jedeer'

Suara petir kembali mengagetkan Sinka. Dia terkesiap dan reflek menutup telinganya dengan kedua tangan. Mendapati ekspresi kaget Sinka, Ten tersenyum.

Sekarang Pukul 8 malam, akhirnya Bunda dan Papa Sinka pulang juga. Sinka menghela napas lega.

“Makasih banyak, ya.” ujar Sinka.


“Gue bantu lo karna gue menghargai tante Dinda. Bunda lo mirip sama ibu gue. Ya jadi.. jangan kegeeran,” jawab Ten.

“Apapun itu gue tetep harus bilang makasih.”


Sinka melangkah keluar rumah dan mengeluarkan motornya dari garasi Ten. “Dasar nyebelin. Bahkan dia ngga bukain pagarnya buat aku,” batin Sinka kesal.


***

Sinka melangkah memasuki kamar. Dan baru tersadar handuk Ten masih mengalung di lehernya.

Ah, besok aja deh gue balikinnya, batin Sinka. Setelah mandi dan mengganti baju. Cewek itu merebahkan diri di ranjang. Dan mengingat kejadian yang barusan dia alami. Dia berpikir kebetulan ini sungguh tidak masuk akal. Kebetulan atau takdir? Tetapi sikap Ten yang dingin justru membuat Sinka penasaran.


Apa ini yang di sebut cinta pada pandangan pertama? Aish. Mikir apa aku ini! batin Sinka.

***

Di waktu yang sama di tempat lain, Ten terlihat berbaring di ranjang. Di Sebuah ruangan bersih dan rapi yang temboknya tertempel beberapa poster band Westlife. Sebuah gitar yang tersender di tembok, bola basket dan beberapa buku tertata rapi di meja. Sangat menggambarkan si penghuni kamar adalah seorang cowok yang dewasa.

***

Weekend. Sinka bangun lebih pagi karena cewek itu baru saja menyusun sebuah rencana. Sinka adalah cewek yang konyol dan berkepribadian unik. Dia bisa menjadi cewek anggun ber-highheels layaknya princess jika dia ingin, tetapi dia juga bisa menjadi cewek manis yang asik, memakai sneakers dengan rambut hitam panjangnya yang dikuncir kuda. Kali ini dia ingin lebih dekat dengan Ten. (Baca: pedekate). Dengan caranya sendiri.

***

Beberapa menit Sinka stand by di balkon rumahnya, target yang Sinka tunggu akhirnya terlihat. Ten mengeluarkan motor dari garasi. Sinka segera menghampiri motornya dengan ban sudah dia kempesi sendiri, di depan rumahnya.

“Aduuuh. Ini ban motor gue kenapa bisa kempes banget gini, ya? Mana harus ke toko buku. Buku penting pula buat ngerjain tugas,” kata Sinka dengan suara cemprengnya yang khas sedikit dikeraskan dengan nada memelas.

“Motor lo kenapa?” tanya Ten dari seberang jalan.

“Kayaknya ban motor gue bocor deh,” jawab Sinka. Ten hanya ber-Oh. Sinka mendengus kesal.


Dia bahkan ngga nawarin gue bantuan? batin Sinka.

“Eh elo. Lo mau kemana pagi-pagi gini?” tanya Sinka.


“Ke supermarket depan komplek,” jawab Ten.


“Kalo gitu gue ikut, ya? Lo tau kan motor gue gini.” Sinka memelas. Ten menghiraukannya. Bahkan cowok itu mulai menstarter motornya.


Oh! Okee, batin Sinka. Cewek itu menyeberang jalan di depannya dan buru-buru membonceng di atas motor Ten.

“Eh, lo ngapain? Kan gue ngga bilang iya. Turun lo!” omel Ten terkejut karena Sinka sudah duduk di belakangnya sekarang.


“Aduh.. maaf, ya, Kak Ten, gue udah duduk nih. Nanggung. Tinggal jalan aja kali,” jawabnya sambil tersenyum puas.

“Buuun, Sinka pergi dulu, yaa, sama Kak Teeeen,” teriak Sinka pura-pura berpamitan dengan Bundanya yang sedang mandi. Ten pun menyerah.

***

Sinka mondar-mandir mencari buku yang dia butuhkan. Sedangkan Ten hanya memperhatikannya dari kejauhan di sisi lain toko. Setelah selesai, keduanya berjalan bersama keluar dari toko.

“Udah?” tanya Ten.

“Udah kok. Baru jam 10 nih. Mau kemana lagi kita?” kata Sinka.


“Tujuan lo cuma beli buku, kan? Yaudah, kita pulang,” jawab Ten.


“Loh? Katanya lo mau ke supermarket? Pasti ada yang mau di beli kan? Yaudah mending kita sekalian ke Mall aja. Ya, ya? Lagian gue bosen di rumah,” bujuk Sinka.


Lagi-lagi Ten menuruti permintaan Sinka.


***

Hampir setengah hari mereka menghabiskan waktu bersama. Dari ke toko buku, jalan-jalan di Mall, main timezone bersama, hingga makan siang bersama. Semua itu atas dasar permintaan Sinka dengan ekspresi memelasnya yang cukup ampuh. Dan anehnya, Ten seperti tidak bisa menolak permintaan cewek yang satu itu.

Setelah makan siang bersama, mereka berencana untuk pulang. Hujan turun deras ketika mereka baru saja akan keluar dari Cafe.

“Hujan nih, Kak. Gimana dong?” tanya Sinka.

“Yaudah, kita tunggu aja,” jawabnya.

Mereka berteduh di teras Cafe bersama beberapa pengunjung Cafe yang sama-sama terjebak hujan. Tiba-tiba Sinka maju selangkah dan menjulurkan tangannya. Merasakan tetesan air hujan di tangannya beberapa detik.

Hujan, makasih udah bikin gue bisa lebih lama sama Kak Ten, batinnya. Lalu mundur ke tempat semula. Ten hanya memperhatikan tingkah aneh Sinka. Beberapa menit kemudian Ten merasa iba melihat Sinka kedinginan.


Ngasih dia jaket gue ini bukan berarti apa-apa. Ya. Gue cuma kasian aja, batin Ten yakin. Lalu dia melepaskan jaketnya dan memakaikannya di bahu Sinka tanpa berkata apapun.

Sumpah demi apaaa gue deg-degan. Kak Ten? Perhatian sama gue?  batin Sinka. Kemudian dia merasa tidak enak sudah membohongi Ten.

“Kak? Sebenernya..” kalimat Sinka terputus. “Gue sengaja kempesin ban motor gue buat cari perhatian lo. Maaf yaa,” lanjutnya. Jujur.

“Gue udah tau,” jawab Ten. Sinka tertegun sekaligus tersipu malu.


“Hmm.. Gue boleh tanya?”

“Apa?” jawab Ten.


“Lo percaya cinta.. pada pandangan pertama?” tanya Sinka.


“Ngga. Cinta itu Bullshit. Kenapa lo tanya itu?”


“Nggapapa. Gue percaya cinta itu ada. Dan Lo juga harus percaya itu,” kata Sinka.

“Kalo cinta itu ada, Orang tua gue ngga bakalan cerai,” jawab Ten.

“Gue.. ngga bermaksud bikin lo.. hmm maaf..”


Sinka menyesal telah memulai pembahasan itu dan memilih untuk diam setelahnya.
Setelah hujannya cukup reda. Mereka pun segera pulang.


***

Sinka turun di depan pagar rumahnya.

“Kak. tunggu bentar,” kata Sinka kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.
“Ini buat ongkos ojek seharian. Waktu lo ke toilet gue liat ada syal bagus. Yaudah gue beli aja,” kata Sinka sambil memakaikan syal itu di leher Ten.


Ten speechless menatap Sinka sedekat itu dan merasa ada sesuatu yang berdesir di dadanya.

“Dan, oh, iya. Gue juga mau balikin handuk ini,” lanjutnya.

“Yaudah sana. Buruan lo masuk rumah!” jawab Ten. Tak mau terlihat salting, Ten buru-buru masuk ke dalam rumahnya.


***

Malam harinya Sinka senyum-senyum sendiri di kamar setelah rencana pertamanya telah berhasil meskipun akhirnya dia mengaku juga.

Ten.. walaupun lo sedingin bongkahan es di Antartika.. sungguh, demi apapun gue jatuh cinta sama lo. Lo bukan cinta pertama gue, tapi gue merasakan kali ini beda dari biasanya. Lo kah soulmate gue?  batin Sinka sebelum dia terlelap.


***

Di kamarnya yang penuh dengan poster Westlife, pikiran Ten terpusat pada Sinka.
Ten membayangkan ketika dia membuka tirai jendela di pagi hari. Dan melihat Sinka sibuk mengempesi ban motornya sendiri. Ten terkekeh.


Selain konyol, tu cewek ternyata nekad juga, batin Ten yang masih memegangi syal pemberian Sinka kemudian mengambil gitar dan mulai memainkan lagu Fool Again dari Westlife. Ten tak pernah merasa setertarik ini kepada cewek manapun. Bahkan beberapa kali Ten berpacaran hingga putus dengan pacarnya tanpa perasaan apapun. Karena dia selalu menganggap semuanya hanya main-main saja. Akankah kali ini Ten benar-benar menemukan cinta nya?


***

Beberapa hari setelah itu, Sinka selalu bersemangat untuk menikmati udara pagi di balkon rumahnya. Melihat Ten berangkat mengajar.Terkadang Sinka memberanikan diri untuk menyapa. Dan seperti sudah menjadi kebiasaan, Sinka selalu ingin berada di balkon rumahnya setiap sore saat Ten pulang.

Lama-lama Ten pun merasa Sinka adalah embun pagi yang menyemangatinya. Seperti rumah untuk Ten pulang setelah penat mengajar. Sinka seperti air untuknya saat dia merasakan dahaga.


***

Setelah menyelesaikan ujian akhir semester 6, Sinka menghela napas lega.

“Ahh akhirnya selesai juga. Gila, seminggu ini gue bener-bener stres tau ngga sih Shan,” kata Sinka sambil terduduk lemas di bangku taman kampusnya.


“Yakali lo doang yang gitu. Gue juga stres seminggu ini. Bodo amat dah IPK gue berapa ntarnya,” jawab Shania yang berada di samping Sinka.


“Yang penting kita udah berusaha maksimal deh Shan. Yuk kita makan! Ngga usah dipikir deh yang udah-udah. Mending sekarang kita pesta makan!” seru Sinka bersemangat.

“Makan-makan buat apa? Lo udah jadian sama tetangga pujaan hati lo itu, ya? Siapa namanya? Hmm... Ten! Iya Ten. Ciyyee.” jawab Shania salah fokus.


“Yaelaaah, Shan. Makan-makan buat selesainya UAS kita laah. Salkus lo Li.. Li.. Gue sama kak Ten baru temenan aja kali. Lagian baru sebulan kenal,” jawabnya.

“Ohh..kirain.. kok lama amat lo pedekate'nya? Perlu gue bantu?” tanya Shania.


“Gue kan bukan elo Shan. Yang kalo ada cowok cakep, lo flirting-flirting bentar lalu boom! Kalian jadian. Eh ujung-ujungnya cuma bertahan seminggu,” jawab Sinka.


“Iya deh iyaa. Lo kan tipe cewek yang percaya cinta sejati gitu, ya? Hmm.. trus lo kan pernah bilang tuh kalo si Ten itu bisa dibilang ngga percaya cinta. Lo yakin bisa naklukin dia?” Kali ini Sinka tak mampu menjawab pertanyaan Shania.


Lalu, Keduanya memutuskan untuk pergi ke sebuah restaurant dekat kampus.

***

Setelah pulang, lagi-lagi Sinka menstalking rumah Ten dari balkon.


“Kak!” panggil Sinka kepada cowok yang berada tak jauh darinya.

Cowok itu baru saja pulang, hampir memasuki gerbang rumahnya dan terlihat membawa softcase.


“Sini deh!” pinta Sinka.


“Ngapain?” tanya Ten yang akhirnya menurut juga menghampiri Sinka.


“Sini duduk dulu. Gue ambilin minum bentar,” jawab Sinka.


Ten hanya diam dengan gaya khasnya yang dingin.


“Ini minumnya. Lo baru pulang ngajar, ya?” tanya Sinka basa-basi.


“Oh, Lo cuman mau tanya itu?” jawabnya dingin dan bangkit berdiri.


“Eh. Lo jangan pulang dulu. Gini.. lo. Lo harus nyanyiin satu lagu buat gue! Itu lo bawa gitar kan?” kata Sinka sekenanya karena dia tidak mau Ten pergi begitu saja. Rencana dadakan part dua.


“Harus?  Buat apa?” jawab Ten.


“Buat... hmm, ya, lo kan guru seni musik. Gue pengen aja nguji bakat lo. Oh, iya, seminggu kemaren gue stres karna UAS dan gue butuh hiburan. Lo mau kan hibur gue?” bujuk Sinka. Ten mengeluarkan gitar dari softcasenya dan mulai menyanyikan sebuah lagu, More than words dari Westlife.


Sinka sukses di buatnya terpukau. Dan bertepuk tangan di akhir lagu.

“Suara lo lumayan juga, Kak” puji Sinka.


“Kapan-kapan lo harus bayar semua ini. Mahal. Gue ngga pernah nyanyi di depan oranglain selain di depan keluarga dan murid gue,” kata Ten sambil memasukan kembali gitarnya ke dalam softcase.


“Bentar, jangan pergi dulu!” pinta Sinka.


“Apa lagi?” tanyanya.


“Makasih, buat lagunya. Tapi please lo jangan pergi dulu. 20 menit aja. Gue butuh temen ngobrol,” pinta Sinka lagi.


“Oke.  10 menit,” tawar Ten.


“Kak, apa lo selalu bersikap sedingin ini sama cewek?” tanya Sinka.


“Dan Lo selalu agresif ke semua cowok?” Ten tanya balik.


“Gini deh, kita main tanya jawab. Gue tanya satu pertanyaan, lo jawab. Dan lo boleh tanya satu pertanyaan juga. Begitu seterusnya,” Usul Sinka.

“Kalo menurut lo gue dingin, berarti gue cuma pengen bersikap dingin ke lo. Sebaliknya, gue bisa ramah ke siapapun saat gue pengen. Lo selalu agresif ke semua cowok?”

“Kok lo ngga adil sih,” dengus Sinka. “Jadi gue itru engga agresif. Gue cuman agresif ke orang yang gue pilih. Dan lo orang yang gue pilih. Untuk cowok sedingin lo, apa ada orang yang lo sayangi di dunia ini?” tanya Sinka.

“Ada. Kenapa lo pilih gue buat objek ke agresifan lo?”

“Karna lo ngeselin. Siapa orang yang lo sayangi itu?”

“Ada beberapa orang yang sangat gue sayangi. Ayah, ibu... Ve.. dan.. Udah 10 menit. Permainan selesai,” kata Ten.

Ten segera bangkit dan melangkah pergi meninggalkan Sinka yang masih terduduk penuh tanya. Baru saja Sinka ingin bertanya “Siapa Ve?” namun cowok itu sudah keburu pulang.

***

Secangkir hot chocolate menemani Ten malam ini.

“Sinka.. dia bener-bener mirip elo Ve..” kata Ten sambil memandangi sebuah foto yang ada di atas meja kamarnya. Foto dirinya sendiri bersama seorang cewek. Tatapan mata Ten cukup mengisyaratkan kalau dia merindukan sosok cewek itu.


Sedangkan Sinka di kamarnya masih di liputi tanda tanya besar. “Siapa Ve?” Tapi Sinka memilih untuk berpikir positif.


***

Sinka duduk di balkon rumahnya sore itu. Menunggu seseorang yang akhir-akhir ini mengisi pikirannya sebelum dia terlelap. Dia berniat mengajak Ten makan bersama malam nanti. Sekaligus ingin menanyakan pertanyaan yang masih mengganjal di hatinya. Tetapi malah pemandangan yang tidak menyenangkan dilihat Sinka. Ten pulang membawa seorang cewek seumuran Sinka. Membonceng di belakang Ten mesra. Bahkan Ten membukakan pintu rumah untuk cewek itu. Mereka terlihat sangat akrab.

“Dia kah yang dimaksud Ten? Ve?” Pemandangan itu sukses membuat hati Sinka seperti tertusuk puluhan belati. Bukannya hiperbolis, tetapi seperti itulah perasaan Sinka sebelum berlari masuk ke dalam rumah.


***

Minggu pagi. Sinka berencana untuk tidak keluar rumah seharian. Bahkan pukul sembilan Sinka masih berselimut. Matanya pun masih sembab karena menangis semalaman. Tetapi rencana malasnya harus digagalkan karena Shania datang ke rumahnya.

“Sin. Ah, elo, ini jam segini masih ngebo aja. Gih mandi. Gue mau ajak lo ke Mall. Gue pengen beli DVD drama korea terbaru nih. Takut kehabisan,” ajak Shania.


“Lo pergi sendiri aja deh sana. Males gue,” jawab Sinka ketus. Shania heran melihat temannya yang selalu ceria itu tampak berbeda.


“Lo kenapa? Lo kan Sinka. Sinka yang gue kenal ngga pernah semurung ini. Biasanya juga selalu excited kalo gue ajak jalan,” tanya Shania penuh perhatian.


“Gue nggapapa. Eh, Yaudah, lo tunggu dulu 20 menit, gue siap-siap,” jawab Sinka akhirnya.
Sinka keluar dari rumahnya bersama Shania yang sedang sibuk merapikan poni. Sinka kembali terkejut memergoki Ten sedang duduk di balkon rumah dia bersama seorang cewek. Cewek yang kemarin dilihat Sinka. Sinka tertegun, menghentikan langkahnya dan memalingkan muka ke arah Shania.


“Shan, lo denger gue kan? Pura-pura aja kita ngga liat Ten sama cewek itu dan buruan kita pergi dari tempat ini,” kata Sinka setengah berbisik. Shania mengangguk mengerti.


***

“Aa, jadi itu yang namanya Sinka? Yang pake scraft pink?” tanya Veranda.

“Bukan. Yang satunya,” jawab Ten.


“Ohh, cantik juga, ya, Kak. Pantesan bikin Kakak gue yang satu ini hatinya berflower-flower tiap hari. Ceileeh,” goda Ve.


“Elo tuh, ya! Lo tau kan gue ngga berpengalaman dalam urusan beginian?” jawab Ten.


“Yaelah, Kak, kalo dari cerita Kakak, sih, gue bisa ambil kesimpulan kalo Sinka tuh suka sama lo, Kak. Yaudah, sih, nyatain aja kalo memang Kakak juga sayang,” saran Ve.

“Tapi gue bingung harus mulai darimana.”


“Ya, elo sih, Kak, pake sok cool sama sok jaim segala. Terlambat baru nyesel lo ntar. Gue dukung 100% deh sebagai adek lo,” jawab Ve memberi support.


“Iya deh, iya. Thanks, ya, adek kesayangan gue,” kata Ten sambil mengacak rambut adik tersayangnya itu. Ve tersenyum ceria. Belum pernah dia melihat kakaknya sebahagia itu. Bisa dikatakan, Ve sangat bersyukur akhirnya Ten bisa mempercayai cinta.


“Lo baik-baik, ya, di Bandung sama ibu. Maaf gue belum sempet main lagi ke rumah lama,” kata Ten.


“Iya Kak, lo juga, ya, baik-baik disini. Ayah masih tinggal di rumah Tangerang kan? Ntar siang pengen deh gue mampir sebelum pulang.”

“Yaudah, ntar gue sms Ayah dulu biar Ayah stand by di rumah,” jawab Ten.

Ten dan Ve tampak menikmati hidup mereka sekarang. Setelah tiga tahun Ayah dan Ibunya bercerai. Tapi dari awal mereka memang menerima keputusan kedua orang tuanya itu.

***

“Lo yakin itu pacar Ten?” tanya Shania seusai mendengarkan curhatan Sinka.

“Dia bilang, dia sayang orang yang bernama Ve. Gue yakin kalo cewek itu yang di maksudnya. Harus nyerah kah gue, Shan?” jawabnya putus asa.

“Jangan dulu. Kan itu belum pasti. Sekarang lo diem aja dulu. Kali aja Ten merasa kehilangan atau apa terus balik ngejar lo,” saran Shania.

“Yakali Shan, lo kira kenyataan itu kayak di FTV-FTV?”

Melihat Steak yang sangat menggiurkan di depannya, Sinka mendadak tak berselera untuk menyantapnya. Bagi Sinka, Steak lezat itu sekarang bagaikan potongan daging yang dihias sedemikian rupa untuk menutupi kehambarannya.

***

Shania mengantarkan Sinka pulang setelah Shania berhasil mengubah sedikit lebih baik suasana hati temannya itu.

Loh? Pintunya udah kebuka? Ohh, pasti bunda udah pulang, batin Sinka.


“Assalamualaikum, Bun..”

“Waalaikumsalam. Eh, ini Nak Ten, Sinkanya udah pulang,” jawab Bunda.

Sinka terkejut melihat Ten berada di ruang tamunya. Ten? Ngapain dia kesini? Nggatau apa gue masih bête, batin Sinka.

“Sinka capek, Bun, Sinka ke kamar dulu, ya. Kak Ten mending pulang aja deh,” kata Sinka segera.

“Ngga boleh gitu dong Sin, Kak Ten udah nunggu kamu dari tadi. Bunda ngga pernah ngajarin kamu buat ngga sopan, ya, sama tamu,” jawab Bunda.

Skak mat. Sinka paling tidak bisa membantah kata-kata bundanya.


Sinka pun duduk di samping Ten. Sedangkan Bunda masuk ke dalam karena tidak ingin mengganggu.

“Ngapain lo kesini?” tanya Sinka.

“Gue mau ngajak lo pergi,” jawab Ten.


“Gue ngga mau.”


“Kalo gitu, gue maksa. Ini sebagai bayaran kemaren gue nyanyi. Lo lupa? Lo punya hutang sama gue.”


Lalu Sinka berpikir sejenak.

“Oke. Gue mau karna gue ngga mau punya hutang apapun sama lo.”

“Yaudah, kita berangkat sekarang. Gue udah izin sama bunda lo buat ngajak lo pergi.”


“Tapi gue belom mandi.” Sinka melirik jam tangannya yang menunjukan pukul setengah lima sore.


“Udah, ngga usah. Mandi ngga mandi juga sama aja jeleknya,” jawab Ten. Sinka mendengus kesal.

***

Ten mengajak Sinka ke sekolah tempatnya mengajar. Sinka sempat bingung ketika Ten mengajaknya untuk naik ke rooftop sebuah gedung sekolah tiga lantai itu.

“Mau apa lo ajak gue kesini?” tanya Sinka.

“Tadinya gue mau ngajak lo liat sunset dari sini. Tapi kayaknya cuaca ngga mendukung. Langit mendung.”
“Terus?” tanya Sinka.

Ten mengeluarkan gitar dari softcasenya. Gerimis turun membuat Sinka sedikit panik.


“Mau apa lo? Ini gerimis. Mendingan kita pulang sekarang,” kata Sinka. Tetapi Ten mulai memainkan gitarnya.

Just a smile and the rain is gone
Can hardly believe it (yeah)
”  Ten mulai bernyanyi.


“Lo gila! Apa sekarang lo lagi ngerayu gue? Stop! Lo itu bener-bener gila!” teriak Sinka. Ten tak menghiraukan.

There's an angel standing next to me
Reaching for my heart
,” lanjut Ten.


“Lo bener-bener ngga punya perasaan. Apa kabar cewek yang lo sayangi itu? Ve! Apa kabar dia? Bisa-bisanya lo ngerayu gue sekarang sedangkan tadi siang lo baru mesra-mesraan sama dia!”

Sekarang air mata Sinka membaur dengan gerimis yang turun. Sinka membalikkan badan. Baru saja dia akan melangkah pergi, tangan Ten berhasil menahannya.

“Sin.. apa sekarang kamu lagi cemburu?” tanya Ten. Sinka terisak.

“Di dunia ini.. ada beberapa orang yang aku sayangi. Ayah, Ibu.. Ve.. adikku. Adik kandungku,” kata Ten sambil membalikkan tubuh Sinka. “Kamu salah paham. Biar aku luruskan sekarang. Orang yang kamu lihat itu Veranda, adikku.”


Sinka masih menunduk.

“Jadi? Aku salah paham?” tanya Sinka meyakinkan.

“Aku senang kamu cemburu. Sin.. ingat waktu itu? Hari pertama kita bertemu? Hari itu hujan. Sama seperti sekarang.” kata Ten.

Sinka mulai tersenyum kerena mengingatnya.


“Hari itu aku bertemu cewek konyol dan nekat bernama Sinka. Sinka dengan caranya selalu berusaha mencuri perhatianku. Dan sialnya, dia berhasil.”

“Kamu ngga lagi bercanda kan?” tanya Sinka.

“Ten yang kamu kenal ngga suka banyak bercanda kan? Kamu juga tau satu hal lagi, aku ngga percaya cinta.”

Sinka menaikkan salah satu alisnya.

“Sin. Aku nggatau pasti, ini cinta atau bukan, tapi walaupun aku belum sepenuhnya mencintai kamu.. apa kamu mau meyakinkan aku apa arti cinta?”

Senyum Sinka mengembang.

“Aku mau, dan aku akan. Aku yakin aku akan berhasil meyakinkan Kak Ten tentang.. cinta itu ada. Kak Ten... apa kamu bisa melihat isi hatiku sekarang?”

Langit sore itu masih menangis haru menyaksikan sepasang kekasih yang hatinya sedang di hinggapi rasa bahagia. Lantunan lagu I Lay My Love On You dari Westlife yang dinyanyikan Ten pun membuat suasana semakin sempurna.

I lay my love on you, It's all I wanna do.
Everytime I breathe I feel brand new.
You open up my heart.
Show me all your love, and walk right through.
As I lay my love on you..



—end

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "[Sinka Juliani] Rain Over Love"

Post a Comment