Hello... Goodbye #Korea [1]


========
Makhluk hidup selalu beradaptasi untuk mempertahankan diri
maka, sebuah keharusan pula untuk berbekal ilmu sejak dini
di lain negeri aku hanya sebuah duri
harus dibuang tanpa dilihat dengan teliti
apakah aku mampu bertahan diri?
========


Aisha [OC], Joshua [SVT], EXO, BTS, etc
romance, friendship, hurt | PG | Chapter
Poster By: Kyoung @ Poster Channel | Aldkalds©2016
 

Note:
Karena kebutuhan, Joshua [SVT] di sini namanya saya ubah dari Joshua Hong menjadi Joshua Hilmy dan bernegaraan Indonesia.


Suasanya ruang lingkup sekolah selalu tampak ramai ketika jam istirahat telah tiba. Meski sudah berada di tingkat atas, siswa-siswa sering enggan melewatkan masa-masa menyenangkan di sekolah. Mudahnya saja, banyak remaja laki-laki yang berkeliaran di koridor sambil berlarian yang diiringi ledakan tawa renyah. Terkadang perilaku itu memang menjadi kerusuhan yang berakhir dengan omelan guru atau bahkan siswi yang merasa terganggu.

Aisha tertawa kecil melihat teman sekelasnya yang kena marah salah seorang guru yang terkenal galak di sekolah. Memangnya siapa suruh membuat keributan di koridor?

“Aisha! Aisha!”

“Jojoooo!!” tanggap gadis itu bersemangat setelah melihat seorang siswa yang berlari menghampirinya.

“Penting! Penting!” cetusnya disela napas yang bahkan saling memburu.

“Kalau bicara itu pelan-pelan. Atur napas dulu.”

Siswa berkulit sawo matang itu langsung menangkap lengan Aisha, kemudian menyeretnya tanpa permisi. Jajaran langkah yang saling bersahut-sahutan berhenti tepat di depan mading sekolah. Umpatan Aisha hampir terucap namun urung saat Joshua menunjukkan sebuah kertas yang tertempel disana.

Obsidian Aisha bergerak ke kanan dan ke kiri saling melengkapi kalimat yang rumpang akibat terpotong oleh lebar kertas. Setelahnya ia langsung beralih menatap teman sekelasnya itu, “Pertukaran.. ke Korea?!”

Anggukan kepala Joshua semakin membuat rasa gembira dalam dada Aisha meletup-letup, sehingga gadis itu sontak menggenggam kedua tangan Joshua sambil melenggak-lenggokkan tubuhnya seirama dengan sorakannya yang mengudara.

**

Sayup-sayup terdengar deru pesawat yang menembus cakrawala, membentang di atas awan dengan meninggalkan garis-garis yang ditimbulkan avtur memberi kesan serbuk tepung di atas loyang.

Sebuah koper besar diturunkan dari bagasi, lantas disusul dengan koper beragam lainnya. Seorang gadis berwajah Indonesia tersenyum ramah pada petugas berjenis kelamin pria tersebut. Tetapi seorang laki-laki langsung menarik tubuhnya untuk menjauh.

“Apa-apaan sih?” sentak gadis itu kurang suka.

“Jangan terlalu ramah pada mereka. Kamu harus waspada dengan semua laki-laki selain aku.”

“Basi, Jo. Lagian nggak semua laki-laki itu memiliki sifat buruk.”

“Aku serius, Sha. Inget kata Tante Icha, aku harus ngejagain kamu, men-ja-ga putri semata wayangnya yang ringkih ini,” kemudian ia terkekeh.

“Aku nggak ringkih!” bantahnya seraya melaju lebih dulu.

Dengan sisa tawa, Joshua mengejar Aisha, mencoba menjajari langkah pendek gadis itu, “Oke oke. Jangan marah dong.”

“Siapa juga yang marah? Kamu aja yang sok tau, alay!”

“Uluh uluh, anak Tante Icha marah nih? Hahaha.. gitu aja kok ngambek sih? Nggak malu sama adek aku yang kelas dua SD? Bahkan dia nggak pernah berperilaku kayak kamu,” ujar Joshua mencoba memancing Aisha supaya tak lagi marah padanya. Tetapi gadis itu tak merespon sama sekali. Pandangannya lurus ke depan, yang juga memaksa Joshua turut mengikut arah netranya memandang.

“Kenapa sih, Sha?” akhirnya Joshua memilih bertanya tatkala ia tak menangkap obyek pandang yang sama dengan Aisha.

Lengkung senyum tersungging diantara sudut-sudut bibirnya. Mimik wajah Aisha memberi kode tentang betapa bahagia hatinya saat ini, “Say hello to Korea.. akhirnya.. wohoo! Koreaa I’m coming!”

Yang digambarkan Joshua saat ini justru sebuah bibir yang menganga tak percaya dengan tingkah Aisha. Bagaimana bisa gadis itu merasa sangat senang? Padahal di depan mereka saat ini hanyalah jalan raya dengan keramaian kendaraan, bahkan bisa ditemukan di kota kecil Indonesia.

Oh my God, please,” gumam Joshua. Tanpa disadari pun ia tengah menggeleng-gelengkan kepalanya karena malu. Bahkan ia menggunakan tudung jaket untuk menutupi wajah saat Aisha menghampirinya lagi kemudian menggandeng lengannya dengan antusiasme tinggi.

**

Aisha menendang gumpalan salju yang menggunung di setiap jalan yang dilewatinya bersama Joshua. Hanya mereka berdua tanpa seorang pemandu. Kalau begini caranya, kapan mereka akan tiba di sekolah? Sedari tadi Aisha mengerucutkan bibirnya dengan wajah tertekuk, sesekali ia menggumamkan sesuatu bahkan menggerutu kesal. Oh ya, jangan lupakan tentang suhu yang semakin rendah. Rasanya mau mati karena belum terbiasa dengan musim dingin Korea.

Disamping itu, Joshua masih berusaha menghubungi nomor yang diberikan oleh guru yang bertanggung jawab atas pertukaran pelajar ini. Katanya sih, nomor itu adalah nomor salah satu guru di sekolah mereka yang baru. Tapi sejak tadi belum ada hasil untuk itu. Bahkan Joshua juga menggunakan GPS untuk menemukan sekolahnya. Kalau bukan gara-gara taksi yang mereka tumpangi mogok, ini semua mungkin tak akan terjadi. Ditambah lagi taksi sialan itu berhenti di tempat sepi yang hanya kemungkinan kecil ada kendaraan yang lewat.

Damn it! Aisha, tolong jangan mengumpat terus, kamu membuatku tambah pusing. Lakukan sesuatu yang bisa menyelamatkan kita!”

Mendengar omelan Joshua, bibir Aisha bertambah maju, itu artinya ia benar-benar kesal sekarang, “Siapa juga yang salah? Kenapa juga kamu milih taksi bobrok itu? Kamu pikir semua ini salah aku? Tuh, hape kamu.. makanya beli paketan sana!”

“Dasar nggak tau terima kasih! Udah untung aku panggilin taksi— hei! Beach Stone!” Joshua menjitak kepala Aisha sebal. Saat-saat seperti ini mereka malah bertengkar, apalagi sifat yang masih belum dewasa. Rasanya ingin memukul gadis itu lagi karena malah menyumpal telinga dengan headset.

Hari kian gelap saat kedua pasang kaki semakin letih memijak tanah. Alhasil keduanya memilih untuk duduk di pinggir jalan, tak peduli meski kotor dan udara semakin dingin. Bila perjalanan ini terus dilanjut, mungkin mereka harus di rawat ke rumah sakit karena pembengkakan di kaki.

Aisha menarik kedua sisi jaketnya, kesalahan fatal karena ia tak membawa cukup pakaian hangat di kopernya. Melihat bibir Aisha yang membiru serta tubuh yang menggigil, inisiatif dari otak Joshua untuk melepas mantelnya dan mengenakan di punggung gadis itu.

“Makanya kalau dikasih tau jangan bandel,” katanya tanpa berpaling dari jalanan di depan mata.

“Maaf,” gumam Aisha manja. Kesalahannya sendiri karena tak mau mendegarkan Joshua supaya memakai pakaian terhangat, dan malah berkata; meski di sana dingin, kita juga harus modis.

Excuse me!” seru Joshua sembari menegakkan tubuhnya. Lelaki yang membawa tas belanjaan itu menoleh sekilas kemudian lanjut berjalan, “Hey, would you help me? I’m lost,” tutur Joshua lagi setelah bersitatap dengan laki-laki itu.

Aisha yang melihat itu segera menarik kedua koper dan menghampiri Joshua. Saat ia tiba disana, kedua pemuda itu tampak saling kebingungan—atau mungkin gelisah bagi Joshua.

Cheosong hamnida, nae..”

Please.. help me.”

Aisha menggeleng-gelengkan kepalanya, “Mau ngomong seribu kali pun kalau dia nggak ngerti bahasa Inggris dengan baik, mana mungkin bisa berkomunikasi?” katanya meledek Joshua, “Sillyehamnida, apakah mungkin.. kau bisa memberi tahu kami jalan menuju SMA Kirin?”

“Kirin?”

Ne, sebenarnya kami adalah siswa pertukaran pelajar dari Indonesia.. tapi—“

“Ah! Geurae! Tarrawa,” katanya ramah kemudian menggiring Aisha dan Joshua.

**

Aisha dan Joshua saling terpekur satu sama lain, ternyata jarak saat mereka duduk di pinggir jalan dengan SMA Kirin hanya seratus meter. Ini semua karena ponsel Joshua yang tiba-tiba mati, kalau saja ponsel itu bisa bertahan sebentar pasti mereka tak perlu duduk menunggu diterpa angin dingin seperti gelandangan nyasar di Korea.

“Aku akan mengantar kalian ke ruang Minseok Saem.”

“Oh, baiklah, ayo,” sambut Aisha setelah sadar dari ketercengangannya.

Saat Jungkook mendorong pintu ruang guru, seketika pembicaraan disana langsung terhenti. Laki-laki itu membungkuk memberi salam sekaligus meminta maaf karna telah mengganggu pembicaraan beberapa guru disana. Kemudian ia memberi aba-aba pada Aisha dan Joshua untuk mengikutinya masuk.

Saem, saya kemari karena ingin memberi tahukan sesuatu. Siswa pertukaran pelajar yang sedari tadi dicari.. saya sudah menemukannya.”

Cheongmalyeo?”

Jungkook memberi isyarat pada kedua warga negara Indonesia itu untuk memperkenalkan diri, lalu tersenyum manis pada guru pria itu.

Annyeong haseyo, Aisha Azzahra imnida.”

“Joshua Hilmy imnida.”

“Astaga. Syukurlah. Untung saja Jungkook berhasil menemukan kalian, kami semua sangat khawatir. Kenapa kalian bisa seceroboh ini? Seharusnya kalian menunggu di bandara sampai pihak sekolah menjemput. Junmyeon Songsaengnim sampai bingung mencari kalian. Baiklah, karena kalian sudah ada disini, aku akan membagi kamar kalian di asrama. Oh, tunggu sebentar, aku harus mengabari Junmyeon yang masih mencari kalian.”

Ne,” sahut Aisha dan Joshua berbarengan.

**

Aisha masih merapikan barang-barangnya di kamar baru yang akan ia tempati selama masa kelas dua di Korea. Suasana di asrama berbanding terbalik dengan imajinasinya yang indah dan menyenangkan. Tampaknya penampilan berhijabnya membuat siswi-siswi SMA Kirin menjadi waspada atau bahkan mereka akan mengucilkan Aisha.

Bahkan baru memijak lantai asrama, tatapan mengintimidasi sudah didapat Aisha dari hampir semua siswi disana. Ok, memang islam menjadi agama teroris di Eropa dan Amerika, tapi kenapa di Korea pun sama? Kalau seperti ini rasanya sia-sia saja perjuangan demi lolos dari pemilihan siswa untuk pertukaran pelajar dengan Korea.

“Kita harus waspada dengannya, siapa tahu dia membawa bom atau bentuk pemberontakan yang lebih membahayakan kita.”

“Mungkin kita harus mengusirnya?”

“Bagaimana kalau kita mengadukannya pada kepala sekolah?”

“Benar juga, apa kepala sekolah tahu tentang anutannya itu?”

Rasanya panas sampai membuat Aisha ingin meledak. Atau malah menyumpal satu-persatu mulut mereka dengan kaos kakinya. Bahkan telinganya yang tertutup jilbab pun sudah terasa terbakar. Tetapi ia tak boleh semakin menjelekkan agamanya di negara orang. Aisha lelah dengan asumsi orang-orang mengenai keburukan agamanya.

“Kembali ke kamar kalian masing-masing, aku ingin tidur!” tukas seorang gadis yang juga sekamar dengan Aisha. Gadis itu bersurai cokelat yang tergerai sampai punggung. Untunglah siswi-siswi tak berperasaan itu menurut akan perkataannya. Membuat Aisha mampu bernapas kembali.

Aisha menghentikan aktivitasnya. Ia menatap teman sekamarnya yang sedang menaiki tangga tempat tidur.

Mwo?” tanyanya dingin. Bukan karena ia penasaran dengan apa yang dilihat Aisha, melainkan risih dengan tatapan orang asing itu.

Aisha tersenyum, “Khamsahamnida. Aku Aish—“

“Kau pikir aku sedang berusaha membantumu? Cih, kau sama seperti mereka.. teroris yang menganggu kenyamanan asrama.”

“Setuju!”

“Cih, ternyata kau juga berpihak pada kita? Aku akan memberimu hadiah, Jung-ah.”

Aisha hanya mampu menelan saliva mendengar perkataan ketiga teman sekamarnya itu. Ternyata beradaptasi di negara orang sangat sulit daripada dengan apa yang Aisha pikirkan selama ini. Meskipun impiannya sejak berumur sebelas tahun telah tercapai, tetapi ternyata perjuangannya tak lepas sampai disini saja. Ia harus bertahan di negeri yang agama islamnya menjadi minoritas.

Aisha mematikan lampu tidur disamping ranjang. Dwinetranya tak lepas dari bentuk sabit di langit sana, apakah.. aku akan bisa bertahan disini? Aku mohon dampinganMu.



-tbc

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Hello... Goodbye #Korea [1]"

Post a Comment