========
Problems are come such water
========
IT SN’T WHAT I WANT
Aisha [OC], Joshua, Wonwoo [SVT], Suga, Jungkook [BTS], etc
romance, friendship, hurt | PG | Chapter
Poster By: Kyoung @ Poster Channel Aldkalds©2016
romance, friendship, hurt | PG | Chapter
Poster By: Kyoung @ Poster Channel Aldkalds©2016
Note:
Karena kebutuhan, Joshua [SVT] di sini namanya saya ubah dari Joshua Hong menjadi Joshua Hilmy dan bernegaraan Indonesia.
Karena kebutuhan, Joshua [SVT] di sini namanya saya ubah dari Joshua Hong menjadi Joshua Hilmy dan bernegaraan Indonesia.
Hari pertama selalu menjadi hari
terburuk ketika memasuki sekolah baru. Harus beradaptasi, berkenalan, ramah,
dan yang pasti sulit untuk mendapatkan teman. Apalagi kalau menjadi satu-satunya
siswa yang tampak berbeda dari yang lain. Hal itu jelas akan membuat diri
menjadi paling moncolok. Dan Aisha benci itu.
Meski
gadis yang kini berseragam salah satu SMA Korea terbaik telah menyunggingkan
senyum, tetapi tatapan siswa lain tak pernah berubah. Seperti elang yang siap
menerkam ular incarannnya. Seperti singa yang juga siap memangsa buruannya.
Yang hanya bisa dilakukan Aisha hanya menunduk dalam sambil berpikir jikalau
semua ini hanya akan terjadi di hari pertama atau mungkin tak sampai jam
istirahat semua anak-anak itu akan ramah padanya. Namun nyatanya pandangan bak
interogasi itu bertahan hingga jam sekolah berakhir. Hampir seharian, Aisha tak
bisa membaur dengan teman sekelasnya. Bahkan ia tak berani menatap wajah siapa
saja yang berada di kelasnya.
Hari
kian gelap. Matahari telah kembali ke peraduan, membiarkan dewi malam yang
mengasihi umat manusia di bumi. Hampir seisi asrama pergi ke tempat yang
dinamakan Kirin’s Island. Di tempat itu para siswa bisa menikmati fasilitas
dalam bentuk yang lebih bebas, diantaranya; televisi, radio, tempat olahraga,
bahkan juga ada tempat makan yang mirip seperti café yang dihias seapik
mungkin, membuat siapa saja betah berlama-lama di tempat itu. sayangnya Kirin’s
Island hanya dibuka dari pukul empat sore sampai pukul sembilan malam.
Aisha
masih menatap dinding di depannya. Bukan karena ada cicak disana, bukan juga
karena ada hiasan indah. Melainkan suatu pemikiran mengenai; apakah ia bisa
kabur dari sekolah ini melewati dinding itu? seperti Rapunzel yang menggunakan
kuas ajaib mungkin.
Gadis
yang mengenakan penutup kepala berwarna putih itu mendesah hebat. Betapa
sulitnya berada di tempat yang minoritas beragama islam. Rasanya ingin menangis
keras-keras.
Teneng. Dengan malas-malasan Aisha meraih
ponselnya. Ada sebuah pesan masuk dari line.
Kiaramita : Gimana? Apa Korea itu seindah yang biasa
kamu bilang?
Tanpa
ada niat untuk membalas pesan itu, Aisha langsung melempar ponselnya hingga
terselip diantara lipatan selimut. Ia bangkit dan berjalan mendekati jendela.
Panorama malam selalu indah bila ditemani kerlap-kerlip gemintang, tetapi di
ibu kota tiada satu pun pernak-pernik malam selain bulan yang bahkan tak
bersinar dengan terang.
“A..sha?”
Dengan
gerakan tegas Aisha menoleh, seorang gadis berdiri di dekat pintu sambil
mengenggam kantung plastik putih.
“Hai,
sedang apa? Apa mungkin di kotamu ada banyak bintang di malam hari?” tanyanya
seraya mendekat, “disini hampir setiap harinya tiada bintang. Padahal ketika
aku di kota kelahiranku sana, pasti setiap malam akan ada banyak sekali bintang
yang menemaniku.”
Meskipun
ada perasaan tertarik untuk menyahuti cerita gadis itu, Aisha memilih tetap
diam sambil mengikuti arah pandang ke langit.
“Aku
bawa makanan dari kantin,” ujarnya sambil menyerahkan kantong plastik.
“Tidak
perlu, kau yang membelinya jadi itu untukmu saja.”
“Beli
apanya, setiap barang di Kirin’s Island itu gratis. Kita bisa mengambil makanan
dan minuman apa saja dari sana, karena biayanya sudah dihitung ketika
pendaftaran. Makanlah, sedari tadi aku belum melihatmu makan.”
“Terima
kasih, Song Mi,” tutur Aisha merasa canggung dan langsung dibalas senyuman
simpul dari gadis berambut ikal itu. Mereka berdua saling tersenyum kemudian memilih
duduk di ranjang Aisha.
“Aku
pikir kamu tak peduli dengan nama anak-anak sini. Ternyata kamu tahu namaku, oh
ya Asha, besok pagi kita berangkat bersama ya? Jam setengah tujuh kamu harus
sudah siap ok?”
“Tentu
saja, omong-omong namaku Aisha bukan Asha.”
“Oh
hehe, namanya juga baru pertama bertemu,” Song Mi terkekeh.
**
Sejak
Aisha bangun, kamarnya terlihat sepi tanpa seorang pun selain dirinya. Entah
kemana perginya ketiga teman kamarnya itu. Terutama Song Mi, padahal anak itu
mengajaknya untuk pergi ke sekolah bersama. Kini ketika Aisha telah menenteng
tas punggungnya hendak keluar, ia masih saja berpikir apakah Song Mi sudah
meninggalkannya. Jadi ia memilih untuk berangkat sendiri.
Knop
pintu berwarna perak itu terputar bersamaan dengan seutas tali yang bergerak
diatasnya. Ketika Aisha telah membukanya dan melaju selangkah, tiba-tiba sebuah
ember berisi air sedingin kutub utara mengguyur tubuhnya. Lalu serbuan tepung
menghantam hampir seluruh tubuh Aisha yang telah rapi dengan seragam sekolah.
Gelak
tawa para siswi mengudara seirama dengan pertunjukan itu. Melihat badan Aisha
yang sudah sempurna seperti ayam tepung yang siap digoreng, tak menghentikan
aksi beberapa siswi untuk kembali melemparnya dengan telur. Tak ada yang
berpihak pada gadis malang itu.
“Ppali ppali!!” seru salah satu dari
siswi itu kemudian suara dentuman alas kaki menggema lorong asrama. Mereka
semua pergi setelah membuat seorang anak berantakan.
Aisha
mencengkeram kain roknya dengan kepala tertunduk dalam karena malu. Dwinetranya
menampilkan sebulir air yang jatuh dari ujung mata yang langsung disusul dengan
cairan lainnya. Ia menangis tersedu, meratapi nasibnya di negeri orang yang
disia-siakan seperti ini.
**
“Kalian
lihat mukanya kan? Ya Tuhan, rasanya aku ingin tertawa seharian karena
melihatnya. Heol.. daebak. Kita sudah
berhasil membuatnya seperti itu, jadi mungkin sebentar lagi dia akan pergi dari
sekolah kita.”
“Lagipula
siapa yang menyuruhnya memilih sekolah ini dengan penampilanya saja yang sudah
membuat kita semua terganggu.”
“Untungnya
Song Mi berhasil memancing anak itu. tepat pukul setengah tujuh hahaha..”
“Kenapa
Sha?” tegur Joshua yang melihat temannya terus memperhatikan beberapa siswi
yang melintas di sampingnya.
Bergegas
gadis itu menggeleng, “Nggak kok.”
“Jadi
ke kantin kan?” Aisha mengangguk menanggapinya.
**
Komputer
jinjing setidaknya mampu membuat hati Aisha lebih baik. Disana, ia bisa
menyalurkan semua sakitnya. Ia bisa membuat hatinya sedikit lega dengan membagi
rasa sakit di lembar kerja Microsoft word.
Harinya berada di Korea sudah terlalui selama dua minggu. Walau selalu sama
dengan rasa sakit setiap menitnya, Aisha tetap menjalankannya.
Selalu
ada rasa ingin kembali ke Indonesia saja. Ada perasaan yang membuatnya enggan
untuk meninggalkan kamar, tetapi ada juga hal yang membuatnya tak betah berada
di kamar. Ketiga teman kamarnya selalu melarangnya untuk melantunkan larik
kitab sucinya. Meski ketika di rumah, Aisha sangat jarang menyentuh buku
sucinya itu, entah mengapa ketika di Seoul ia ingin menyentuhnya setiap waktu.
Tetapi malah tempat yang tak mengizinkannya.
Terkadang
ketika Aisha ingin menyairkan ayat suci itu, ada yang meneriakinya, ada yang mengumpatnya,
juga ada yang langsung mengambil dan melempar Al Quran itu. Saat Aisha hendak
mengerjakan salat, pasti ada yang iseng menyembunyikan mukena ataupun
sajadahnya. Ada kalanya saat ia bersujud, Jung Soo Ah akan melempar pensil
tepat di kepalanya, atau yang lebih parah Hye Kyoung akan menyodorkan kakinya
sebelum wajah Aisha menyentuh lantai; berakhir dengan Aisha yang mencium kaki
Hye Kyoung.
Tapi
dari segala bentuk pelecehan dari teman-teman sekamarnya itu, Aisha tak pernah
membalasnya. Bukan karena tak ada niat, tetapi karena ia tak berani. Bisa-bisa
ia ditahan disini karena melakukan pertikaian dengan salah satu siswi dan
mungkin ia akan di kembalikan ke Indonesia. Memang itu yang diinginkan Aisha;
kembali ke negara asalnya. Tetapi tak akan berdampak baik bila ia kembali
dengan luka di wajahnya serta pendapat buruk tentang dirinya yang sudah berani
berkelahi di negeri orang. Bisa-bisa ia selalu diejek dan dimaki ketika kembali
ke sekolah nanti.
Kursor
putih itu bergerak ke kiri, kemudian tampillah beberapa folder. Aisha memilih
salah satunya, sambil membiarkan tangan kanannya mengutak-atik mouse, sebelah tangannya menggeledah
laci dan memasang earphone di
telinganya.
Senyumnya
mengembang ketika layar terang laptopnya menampilkan beberapa laki-laki yang
sedang menari. Mereka adalah salah satu boy band terkenal di Korea Selatan. Tak
hanya terkenal di negara asalnya, mereka juga dikenal hampir dari seluruh
dunia. Sudah sejak SMP Aisha mengagumi mereka meski satu-persatu personilnya
memilih hengkang. Yah, setidaknya ada mood
boaster untuk hatinya yang menyedihkan. Toh, kali ini ia memang sedang
sendirian di kamar. Jadi tak ada yang akan mengganggunya.
**
Song
Mi menghembus napas malas. Gara-gara Jung Soo, ia harus meninggalkan Kirin’s
Island. Anak itu selain dingin, memiliki sifat licik yang mampu menggunakan
orang lain sebagai kambing hitam. Meski ia suka berada di dekat Jung Soo tapi
lama-kelamaan hal itu menjadi penyiksaan. Song Mi memutar knop pintu kamarnya.
“Ah
aku bosan,” ujarnya pelan sambil merebahkan tubuh di atas kasur. Gerak bola
matanya melirik sana-sini guna mencari sesuatu yang menarik, “Oh? Dimana anak
itu?” Song Mi menatap laptop putih yang terbuka di atas kasur Aisha. Lengkung
sinis seketika mengukir di bibirnya.
“Kita
lihat apa yang dilakukan anak itu, mungkin aku bisa bersenang-senang dengan
ini,” katanya sambil mengubah posisi laptop itu.
“Song
Mi-ya, kau sedang apa?”
“Song
Mi-ya?”
“Song
Mi, apa yang kau—“
“Asha!”
seru Song Mi tanpa beralih pandang dari layar laptop, “Kau juga seorang EXO-L?”
“KAU
SEORANG EXO-L?” ulang Song Mi yang kini membalik tubuhnya sembilan puluh
derajat sehingga bisa saling berhadapan dengan Aisha.
“Eng..
aku..”
“Sistaa!” seru Song Mi antusias seraya
memeluk tubuh Aisha tanpa aba-aba. Sehingga membuat tubuh mungilnya sedikit
terhuyung, “Kenapa kau tak mengatakannya padaku eoh? Aku juga suka mereka. Aku
suka Baekhyun dan bagaimana menurutmu? Siapa yang kau suka?”
“Song
Mi apa yang kau lakukan? Aku tak mengerti dengan sikapmu sekarang ini,” ujar
Aisha terus terang. Sebab belum pernah Song Mi memeluknya seperti ini, juga
bertanya seantusias sekarang.
“Duduk
duduk,” titahnya.
**
“Song
Mi-a, kemana saja ka—u?”
Kalimat
Hye Kyoung hampir tak terselesaikan ketika melihat temannya sedang mengobrol
dengan anak baru itu. tampak sangat akrab bahkan Song Mi merangkul anak itu dan
sesekali memukul lengannya ringan. Heol,
mengapa bisa seperti ini?
“Song
Mi, wae?” tegas Hye Kyoung tepat
ketika berada di hadapan kedua gadis yang tengah asik mengobrol itu, “apa dia
sudah mencuci otakmu atau apa hah?”
“Hey,
tak perlu bicara sekasar itu Hye Kyoung-ah.
Kami hanya mengobrol biasa kok, hanya masalah remaja. Bila kau ingin makan,
pergilah duluan, nanti aku akan menyusul bersama Asha. Maaf ya, karena masih
sangat banyak hal yang ingin kami obrolkan.”
“Mwo?” Hye Kyoung mendesah, “Terserah kau
saja. Jangan dekati aku lagi, arachi?
Kita sudah bukan teman lagi, paham? Kau mengkhianatiku.”
“Hye
Kyoung-ah, chankamanyo! Hey! Ada apa denganmu?” seru Song Mi berharap Hye
Kyoung akan menghentikan langkah dan berbalik menghampirinya setelah bicara
pengkhianat padanya, “Jeez, apanya
yang salah dengan mengobrol?”
Aisha
mengusap pundak Song Mi perlahan, “Mungkin akulah yang salah. Pergilah menyusul
Hye Kyoung, aku akan ke kantin sendiri nanti. Nae gwaenchanha. Sungguh, aku tak berbohong Song Mi-ya. Daripada dia marah dan enggan bicara
denganmu? Memangnya kau sanggup?”
“Ah
geurae, mianhae Asha karna aku tak bisa menepati janjiku.”
“Gwaenchanha, cepat sana,” ujar Aisha
sembari menyunggingkan senyum simpul yang dibalas dengan anggukan mantap dari
Song Mi.
**
Langkah
Song Mi terburu-buru mengejar Hye Kyoung yang cukup jauh darinya. Gadis
berambut ikal itu mempercepat laju hingga hanya ujung sepatu yang menapak
lantai saking cepatnya. Song Mi berhenti tepat di depan Hye Kyoung dengan napas
terengah.
“Hey,
ada apa denganmu Hye Kyoung-ah?”
“Molla,” jawab Hye Kyoung tak acuh yang
lekas berlalu. Tetapi Song Mi segera menjajari langkahnya diiringi segudang
bentuk pertanyaan dan pemikiran tentang sebab dan akibat menjauhi anak baru
itu, “Berhentilah berkata omong kosong!” bentak Hye Kyoung gerah. Ia menatap
Song Mi dengan tatap menantang, “Apa kau lupa bagaimana para penjahat itu
menghancurkan rumah kita? Kau tidak ingat bagaimana mereka membunuh ibumu? Apa
kau—“
“Cukup
Hye Kyoung,” sela Song Mi cepat. Ia sangat muak mendengar masalalunya diungkit
lagi seperti ini. Sangat menyakitkan, asal kau tahu.
Gadis
bersurai merah itu mendecih sekaligus mendesah seakan ada rasa kesal yang yang
membakar hati nuraninya, “Arra, dia
sudah mencuci otakmu kan? Hm.. asal kau tahu Song Mi, aku sudah beberapa kali
bertemu orang semacam dia. Tampak baik namun bagai air mengalir yang diam-diam
menghanyutkan, tidakkah kau berpikir hingga itu?”
Song
Mi menahan napasnya mendengar ocehan Hye Kyoung yang semakin berlebihan, “Hye
Kyoung-ah, aku tahu kita harus tetap
waspada pada orang luar tapi bukan seperti ini caranya. Kau juga harus
memikirkan betapa rumit dan sulitnya ia beradaptasi dengan kita, seharusnya
setidaknya ada salah satu dari kita yang membantunya, apa itu sulit?”
**
Makan
malam dilaksanakan tepat pukul delapan di salah satu ruangan yang cukup luas
yang kira-kira mampu menampung sekitar enam ratus orang. Mungkin bisa disebut
penjamuan makan malam karena tampak mewah, tetapi ini hanyalah makan malam
biasa yang dihadiri oleh siswa SMA Kirin beserta guru dan karyawannya.
Aisha
melangkah melewati satu-persatu meja dengan amat canggung. Ini pertama kalinya
ia datang ke ruang makan. Akibat kurangnya pergaulan, membuatnya enggan kemari
meski hanya sepersekian detik. Tapi kini ia menginjakkan kaki karna ajakan
temannya.
“Annyeong,” sapa Aisha berupaya seramah
mungkin tatkala telah tiba di salah satu meja yang salah seorangnya adalah
siswi yang dikenal. Lantas ia memilih duduk, “Um, Song Mi-ya apa aku—“
“Song
Mi-ya? Kau tidak sopan sekali, murid
baru,” tegur salah seorang gadis yang memakai sweater biru laut. Ia memandang
Aisha terlampau sinis hingga membuat gadis bertutup kepala itu sedikit
menundukkan kepala.
“Ehem,
apakah.. kau berteman dengan Song Mi?”
“Ya,
tentu saja kami teman. Benar kan Song Mi-ya?”
tanggap Aisha seraya menatap Song Mi yang duduk di depannya sambil tersenyum
bersahabat.
“Um,
bagaimana menurutmu Song Mi? Apakah dia temanmu?” Hye Kyoung melirik Song Mi tajam
namun tak meninggalkan tatanan wajah yang menampilkan ketenangan. Gadis yang
dimaksud hanya diam seribu bahasa, “Song Mi-ya, malhebwa.”
“Ingat bagaimana
mereka menusuk perut ibumu sampai mati! Ingat betapa kejamnya mereka dengan
tega merusak hidup orang lain tanpa pikir panjang! Pikirkan bagaimana
masalalumu yang rumit akibat orang seperti dia! Bayangkan semua itu, Song Mi.”
“Ani, aniya. Aku tak
sedang mengomporimu atau apapun itu. Hanya saja.. aku tidak ingin bagaimana dia
merusak hidupmu lagi untuk yang kedua kalinya. Aku tidak mau hal itu terjadi
pada temanku. Kau.. adalah temanku, iya kan.. Yoon Song Mi?”
Song
Mi menghela napasnya, lantas menatap Aisha tegas, “Andwe, dia bukan temanku. Bahkan aku tak bisa bergaul dengannya.
Dia.. adalah orang yang sangaaatt buruk. Kalian. Jangan pernah berteman
dengannya, paham? Dengarkan aku.”
“Song..
Song Mi-ya, Song Mi wae?”
Langkah
Song Mi tertahan, “Mwoga? Barusan kau
memanggilku apa? Song Mi-ya? Heiy,
itu tidak sopan tahu,” ujarnya tanpa menoleh sedikitpun.
“Song
Mi.. Song Mi..”
“Weo? Apa kau merasa kecewa?” bisik Hye
Kyoung yang dialiri senyum sinis penuh kemenangan di bibirnya, “Hm. Tuntaskan
dia,” desisnya. Tak butuh waktu sedetik, siswi yang tadinya duduk semeja dengan
Hye Kyoung langsung menumpahkan sepiring penuh makanan di pakaian Aisha. Lantas
disusul dengan siswi lain yang melemparinya dengan makanan.
“Mwo.. wae?” lirih Aisha sembari mengepalkan tangan ketika mendengar tawa
yang sama kala itu menggema di telinganya bagai jerit burung gagak yang membawa
petaka. Likuid itu rasanya ingin keluar lagi membanjiri wajahnya. Dan bahkan..
seluruh mata memandangnya. Hampir semua warga sekolah, tanpa guru ataupun
karyawan.
Suara
gebrakan meja terdengar, membuat keributan itu terhenti sejenak. Semua mata
beralih pada obyek yang berbeda, seorang gadis yang tampak tomboy tengah
berdiri dengan tatapan penuh amarah.
“Hajimarago.”
Masih
hening dalam dua detik, namun segera ada suara yang menanggapinya, “Wae? Apa kau satu komplotan dengannya
hah?”
Jung
Soo, dia mendecih, “Nugu?” tanyanya
seraya melempar pandangan pada seorang gadis yang tak jauh darinya, “Kau.. apa
kau sedang berbicara padaku? Naega?
Cih.”
“Hey,
jangan hancurkan hiburan menyenangkan ini!” celetuk siswa lain.
“Bagaimana
aku bisa diam saja ketika kalian mengacaukan makan malamku, hah?” bentak Jung
Soo yang membuat para siswa menciut.
Di
sudut ruangan, laki-laki berambut blonde berwarna hitam tengah meremas kedua
sumpit menahan geram. Jujur saja, rasa marahnya telah memuncak dan hendak menghajar
siapa saja yang membuat gadis berkerudung itu merasa tersakiti. Perlahan warna
putih pada matanya berubah menjadi merah seakan ada kobaran api yang mulai
menyala disana. Tetapi mengapa.. mengapa keberanian tak menghinggapi jiwanya
yang panas? Kemana perginya rasa penting itu?
“Cih,
kau pikir kau ini siapa, hah?”
“Hm.
Jadi, kau belum tahu siapa aku? Atau mungkin aku harus memberimu pelajaran dulu
supaya kau bisa menjaga omong kosongmu itu? Hm?”
“Cukup
Jung Soo Ah, kau tak perlu melakukan ini semua,” seketika semua arah pandang
tertuju pada satu titik pusat yang mengalihkan obyek utama, “Mwo? Kenapa kalian memandangiku? Eiy,
aku memang tampan jadi kalian tak perlu berlebihan,” kemudian orang itu
menampilkan smirk.
“Jangan
sok jadi pahlawan Jeon Wonwoo.”
“Nugu? Naega? Wae? Kenapa aku
harus menjadi pahlawan disini, hah?” tanyanya sambil menatap siswa yang
mengajukan pernyataan padanya, “Seungcheol..” desisnya kemudian berdeham seraya
memasukkan tangan di saku celana, “baik-baiklah disini.”
“Neo.. gwaenchanha?”
“Hm,
aku baik-baik saja. Khamsahamnida,”
jawab Aisha dengan nada sangat rendah.
“Ok, kembalilah ke kamarmu dan ganti
pakaianmu. Semoga mimpi indah, ya,” kata Wonwoo datar.
**
Sinar
matahari menyapa tanaman dalam pot yang tergantung di beberapa bagian di
sekitar kantin. Semilir angin sesekali memainkan dedaunan. Dengan cicitan
burung yang lewat sekilas menjadi latar musik siang itu.
“Joshua..
aku nggak yakin apakah bisa bertahan disini atau.. hm.. aku rasa aku harus
membatalkan pertukaran pelajar ini.”
Laki-laki
itu duduk tegak di seberang Aisha yang tengah meletakkan kepala di atas meja.
Ia seperti menggumamkan sesuatu namun hanya sekedar gerak bibir tanpa suara.
Jemari kanannya mengaduk segelas minuman dengan sedotan putih di tangannya.
“Sekolah
ini.. bukan, tapi negara ini.. aku rasa aku nggak pantas berada disini.
Seharusnya dari awal aku nggak pernah bermimpi untuk datang ke Korea. Kegilaan
tentang artis tampan sudah membutakanku mengenai kemungkinan buruk yang bisa
aja terjadi disini.”
Untuk
sejenak Aisha masih memandang bunga krisan yang tumbuh subur di salah satu pot.
Warnanya begitu apik diterpa cahya mentari. Seolah bunga putih itu memanglah
suci.
“Jo, apa
semalam kamu ada di ruang makan?”
“Hm? Emang
kenapa?” jawab Joshua cepat setelah sepersekian detik merasakan ada sengatan
listrik di dadanya, “Apa.. terjadi sesuatu?” alihnya.
“Aku
bersyukur ternyata kamu nggak ada di sana. Seenggaknya ada seorang yang sama
sekali nggak melihat itu. Kemarin sangat memalukan,” Aisha melenguh, “Emang
kamu kemana sampai nggak datang di ruang makan? Biasanya kamu paling semangat
ngajakin kesana.. bareng temen-temenmu,” lanjut Aisha yang diakhiri dengan nada
sinis.
“Aku..”
ingatan Joshua kembali pada pukul delapan malam tadi. Ia mengingat begitu jelas
ketika orang-orang melempari Aisha dengan makanan yang berada di meja masing-masing.
Menertawai gadis itu. Dan ia pun mengingat betapa kesalnya ia kala itu. Betapa
ingin menghajar semua siswa disana.
“Hey, kau akan kemana,
eoh?”
Joshua tak mengindahkan
teguran itu. Tekadnya sudah bulat untuk berjalan ke depan dan menghajar siapa
saja yang berani mengganggu gadis baik yang kemari bersamanya. Namun Suga
segera menahannya dan membisikkan kalimat yang membuat nyali Joshua menciut
seketika.
“Jangan berani
macam-macam disini, Jo. Apalagi kau anak baru, semua hal buruk bisa terjadi
disini,” bisik Suga memperingatkan.
Alhasil Joshua hanya
mampu menahan geram dengan menekan kedua sumpit kuat-kuat. Menggenggamnya
hingga menyakiti telapak tangannya yang mulus.
“Kamu tau
kan aku ini orang sibuk? Aku capek banget sehabis futsal sore itu, jadi aku
ketiduran. Sorry kemarin nggak bisa
nemenin.”
“Hemm, jadi
sesibuk itu, ya? Sampe melupakan aku disini? Nggak inget apa kata Mama?”
pancing Aisha sambail menaikkan sebelah alis.
“Katanya Strong Girl, baru gini aja tepar,” desis
Joshua sembari melempar pandangan keluar jendela. Aisha hanya bisa menggerutu
tak jelas tanpa diketahuinya bahwa Joshua selalu mencuri-curi pandang padanya.
Selalu memperhatikannya.
**
Pelajaran
telah usai sepuluh menit lalu. Setelah keluar dari kelas, Jungkook menahan
langkahnya untuk pergi. Sesuatu perasaan tak karuan mengerubungi hatinya yang
tak acuh pada siapapun. Sejenak ia terpaku dalam keterdiaman dalam beberapa
detik kemudian arah bola matanya beralih pada suasana dalam ruang kelas.
Jungkook memicingkan mata, gadis berjilbab di dalam sana adalah Aisha.
“Haruskah
aku mendekatinya?” gumam Jungkook menimbang-nimbang.
“OH!”
teriakan itu menguar di udara sebelum disapu angin. Sesegera mungkin Aisha
menundukkan kepala memohon maaf, “Cheosonghamnida.
Aku memang salah, tolong maafkan aku,” lalu membungkuk sembilanpuluh derajat.
“Gwaenchanha, tidak ada yang salah
disini. Kau hanya membuka pintu dan tanpa sengaja pintu itu mengenaiku. It’s okay,” Jungkook mencoba
menenangkan Aisha yang sudah hiperbola atas kejadian kecil ini. Oh tentu saja,
hal ini bukan kejadian kecil bagi siswa lain yang membenci kehadiran gadis
cantik itu.
“Arrasimnikka, aku hanya akan pergi.”
Jungkook
menggantungkan kalimatnya di tenggorokan setelah Aisha begitu saja
meninggalkannya, “Hm, gadis ini..”
-tbc
0 Response to "Hello... Goodbye #Korea [2]"
Post a Comment