“Belum pulang ya?” tanya Dinda yang
kebetulan lewat bersama kedua temannya.
Jessi hanya menoleh sekilas dan kembali
dalam diamnya menunggu Vian yang belum juga datang untuk menjemputnya. Sekolah
Jessi telah usai sejak dua jam yang lalu, namun Vian belum juga datang
menjemput. Padahal sebelumnya Vian belum pernah terlambat sama sekali untuk
urusan antar-jemput Jessi. Tapi untuk hari ini, Vian berada dimana hingga ia
sangat terlambat?
“Mau pulang bersama? Tawar Andre.
“Sudahlah Jess. Mau sampai berapa lama
lagi kamu harus menunggu pacarmu itu? Lihat sekarang sudah jam berapa.” Angel
turut berkomentar.
“Bisakah kalian berhenti mengganggu ku?
Aku muak dengan sandiwara kalian. Pergilah dan jangan pernah kembali padaku.”
Sahut Jessi ketus.
Ada perasaan menusuk yang dirasakan
ketiga teman yang tulus ingin memberi kebaikan, tapi justru mereka malah diusir
dan tak dihargai sama sekali. Andre segera memberi kode untuk meninggalkan
Jessi yang mungkin sedang dilanda suatu masalah sehingga sikapnya terlalu
dingin.
Tak lama kemudian, suara motor yang
amat dikenali Jessi telah hadir di telinganya dan motor itu mulai memasuki
halaman sekolah. Dari balik helm, Vian tersenyum manis menyapa Jessi.
“Dari mana aja? Kok lama banget.”
Jessi berjalan menghampiri dengan
malas-malasan.
“Maaf. Tadi aku keasikan sama
teman-teman.”
“Selalu aja begitu. Kalau sudah bertemu
teman-teman mu itu, pasti semuanya kamu lupakan. Untung saja tidak ada yang
menculikku tadi.”
“Haha, kamu bisa saja. Kita ke tempat
biasa ya?”
Jessi menggeleng mantap.
“Kenapa?”
“Aku bosan. Aku ingin di rumah saja.
Tugas sekolahku menumpuk, aku harus segera menyelesaikannya.”
“Sejak kapan kamu menjadi rajin seperti
ini sayang?” Vian tertawa kecil meremehkan.
Jessi hanya diam menatap Vian tidak
suka.
“Tolonglah, sebentar saja kok.”
“Tidak mau.”
“Aku mohon sayang.”
“Huft. Baiklah. Tapi hanya sebentar
saja ya?”
“Oke oke.”
Vian mulai melajukan motornya
meninggalkan halaman sekolah kekasihnya. Mereka menuju ke suatu tempat yang
biasa mereka kunjungi setiap saat hingga lupa waktu dan lupa akan semua yang
berada di rumah. Tempat yang menurut mereka sangat asik dan menyenangkan.
Dua jam berlalu. Jessi sangat risau
karena Vian tak kunjung kembali. Tadi, Vian berpamitan ingin menemui temannya.
Dia bilang hanya sebentar, tapi sampai sekarang ia belum juga kembali. Jessi
melirik jam tangannya. Ia mendengus kesal. Matanya mengitari sekeliling guna
mencari Vian.
“Jessi!” seru Vian dari balik bilik.
Jessi menoleh dan dengan malas-malasan
menghampiri Vian.
“Kenalkan ini kawanku, Samuel.”
Jessi mengulurkan tangannya. Namun
laki-laki yang diperkenalkan bernama Samuel itu hanya diam tidak merespon
Jessi.
“Baiklah, tidak perlu basa-basi. Frans,
cepat serahkan uangnya. Aku akan sangat menikmati permainanku kali ini.”
Vian tersenyum penuh arti. Ia menerima
sekoper uang yang entah berjumlah berapa.
Jessi mengerutkan kening, ada apa
sebenarnya?
“Good luck honey. I must go. Have fun
bro!” Vian menepuk bahu Samuel pelan sebelum pergi.
“Ganti pakaianmu! Lalu pergi ke kamar.”
Suruh Samuel
“Apa? Ada apa sebenarnya?”
“Tidak perlu banyak tanya, cepat ikut!”
dengan kasar Samuel menarik lengan Jessi
“Tidak! Lepaskan! Vian tolong!”
“Diamlah. Dia tidak akan kembali
kemari.”
“Apa maksud mu? Vian akan kemari dan
akan menghajarmu karena sudah berani menarik lenganku.”
“Bodoh. Aku sudah menyewa mu dengan
harga duapuluh juta. Dia akan melupakan mu dan mencari wanita lain.”
“Apa?!”
Jessi menggertakkan giginya. Dasar
laki-laki brengsek! Awas kau jika bertemu denganku lagi.
“Lepaskan! Aku akan ke kamar ganti.”
Jessi menarik lengannya dan Samuel melepaskannya, lalu memberikan satu setel
pakaian yang terlalu terbuka.
Jessi mengambil tas ranselnya dan
berjalan ke kamar ganti. Tidak, bukan kesana. Namun ia berjalan menuju pintu
belakang yang bersampingan dengan kamar ganti. Ia mengendap. Pelan, agar tidak
ada yang tahu.
“Bos! Ia kabur.” Teriak salah seorang
pekerja Samuel
Jessi langsung gelagepan. Ia bingung
tapi akhirnya ia memilih untuk segera berlari menjauhi area klub.
Semua pekerja Samuel yang merupakan
pria berbadan besar dan macho itu segera berlari mengejar Jessi.
“Oh Sh*t!” Jessi menambah kecepatan
larinya
Ia berhasil keluar dari klub. Namun
karena batu kecil, ia tersandung dan terjatuh ke trotoar. Belum berhasil
bangkit, para pekerja Samuel telah berhasil menangkap lengannya.
“Lepaskan!” Jessi meronta.
Dua pria berbadan besar menarik kedua
lengannya. Mangangkat tubuh Jessi secara paksa. Gadis itu tetap meronta dan
berteriak meminta tolong.
Seseorang memukul tengkuk satu pria
besar yang tengah menggenggam erat lengan Jessi. Hal itu membuat pria tersebut
lengah dan melepas genggamannya. Satu pria lagi langsung menoleh dan menghajar
Andre yang ternyata sedang berdiri membawa balok kayu yang cukup besar. Andre
kembali mengayunkan balok kayu tersebut, namun pria itu berhasil menangkis.
Terjadi perkelahian antara mereka.
Pria yang tadi sempat lengah, kini
kembali bangkit dan hendak menghajar Andre, namun gagal saat Dinda memukul
tulang rusuknya. Akibatnya, pria itu kaku tak dapat bergerak. Dinda kembali
mengayunkan tangannya untuk memukul wajah dan beberapa anggota tubuh lainnya.
Untuk penutup, Dinda menendang kesensitifan seorang pria dan memuat pria itu
sangat kesakitan.
Angel menyusul dengan besi panjang
ditangannya, ia memukul laki-laki yang sudah tak berdaya itu hingga tubuhnya
mengeluarkan darah berceceran dan akhirnya ia tak sadarkan diri dengan luka
dimana-mana.
Andre masih berkutat dengan pria yang
cukup tangguh itu. Beberapa sudut wajahnya telah terluka akibat pukulan pria
yang sangat keras itu. Satu pukulan kembali melayang di perutnya, membuat darah
segar keluar dari mulut. Kepalanya terasa pusing, terasa berputar-putar.
Keadaan Andre yang lengah ini membuat pria itu mendapatkan kesempatan besar
untuk menghabisinya. Ia pun melayangkan satu tinjuan lagi yang tepat mengenai
tulang rusuknya. Andre tergeletak tak berdaya di trotoar.
Dinda, Angel dan Jessi menganga. Mereka
bergidik ngeri. Tatapan mereka yang sebelumnya tertuju pada Andre, kini beralih
pada pria bertubuh besar yang tersenyum sinis dan mulai mendekati mereka.
Angel menelan ludah, besi yang tadinya
ia genggam erat kini terjatuh ke trotoar dan menghasilkan suara nyaring. Ia
melirik pada Dinda yang berada di sampingnya. Dinda pun sama, ia hanya dapat
menelan ludah. Karatenya tidak akan bisa menandingi pria itu. Mereka berdua
memilih melangkah mundur secara perlahan.
Jessi menengok sana-sini. Jalanan
sangat sepi. Apalagi klub yang biasa ia datangi bersama Vian terletak di
perkampungan yang tidak terlalu ramai penduduknya. Ia menelan ludah, sama
seperti apa yang dilakukan teman-temannya. Kakinya melangkah mundur perlahan.
Namun pria itu bergerak cepat dan langsung mendapatkan lengannya sebelum ia
melarikan diri.
“Lepaskan! Tolooonggg!!” teriak Jessi
Pria itu semakin mempererat
genggamannya dan membuat Jessi kesakitan.
“Lepaskan teman kami!” seru Dinda
mencoba berani
“Anak ingusan seperti kalian ingin
melawanku? Tidak akan pernah berhasil. Karena aku lebih kuat daripada kalian.
Jika kalian mendekat, aku akan mempererat genggamanku hingga kulit gadis ini
terluka. Kalian ingin itu terjadi?”
Dinda dan Angel saling bertatapan.
Kemudian, Dinda langsung meluncurkan aksinya dengan melayangkan tinju yang tak
berarti apa-apa bagi pria tersebut. Kepalan tangan Dinda terasa sakit karena
memukul tubuh pria itu yang keras. Namun ia tak menyerah, dan terus mencoba.
Angel meraih besi yang tadi sempat digunakannya untuk menghabisi pria yang
satunya. Ia melayangkan besi itu hendak memukul tengkuk pria tersebut. Namun
gagal karena pria itu menghindar.
-To be Continue
0 Response to "I’m Hurting at All: My Mistake"
Post a Comment