Gila
Starring: Daehwi [Wannaone] dan Binnie [OMG] | Teenlit, romance | PG-15 | Oneshot (2000 w)
written by vxiebell, finished December 09, 2017
Menjelang sore pun ragaku masih berada di
area sekolah. Bermodal laptop dan chager,
kugunakan wi-fi sekolah secara
maksimal. Akhir-akhir ini banyak sekali tugas sekolah yang harus mencari
referensi dari internet, ada pula masalah organisasi yang harus browsing informasi ini-itu. Intinya,
seminggu penuh ini aku sangat sibuk. Seminggu ini pula aku selalu pulang
terlambat. Bila wajarnya anak sekolah pulang pukul dua siang, aku sampai di
rumah pukul 5.00 sore.
Sejak tadi
aku menahan umpatan di tenggorokan. Ini hari Sabtu dan anak SMA Baekho pulang
lebih awal. Seharusnya aku bisa pulang sebelum jam lima nanti, tapi sepertinya
itu hanya angan-anganku. Sebab, hingga jam tiga pun wilayah sekolah masih ramai
dengan Pemuja Wi-fi.
Fuck you all!
Kenapa sih
mereka nggak langsung pulang dan bergelut dengan selimut daripada harus
mengganggu kelancaran wi-fi yang
kugunakan?
Plis deh,
tugasku masih menggunung dan aku sangat butuh wi-fi.
Jangan
bilang aku ini rakyat jelata yang miskin kuota! Aku hanya menghemat pengeluaranku
karena aku ini anak kos. Meminimalisir pengeluaran yang tidak terlalu penting
adalah kewajiban seseorang yang jauh dari orang tua dan belum bekerja; dan itu
adalah aku banget.
Moodku yang sudah memburuk bertambah
kusut ketika bunyi cekrek dari kamera
ponsel seseorang. Sontak aku mendongak dan mendapati seorang cowok sedang
berjongkok di hadapanku. Cengiran khasnya membuatku muak dan sumpah, aku ingin
menonjok wajahnya sampai giginya rontok semua.
“I got your photo!” serunya iseng.
“Hapus, Hwi!”
Lelaki
bermata sehitam jelaga itu justru menjulurkan lidah, mengejekku.
“Ck, hapus
nggak!”
“Nggak
mau,” ujarnya bodo amat sembari menscroll
galeri. Rupanya ia menjepretku beberapa kali dan semuanya adalah wajah
menjijikkan seorang Bae Yoobin.
“Lee Daehwi,
hapus foto gue sebelum gue ubah nama lo jadi Almarhum!”
Cowok itu
malah meringis, menampilkan deretan giginya yang rapi dan putih. Kemudian
terkekeh ringan.
“Hehe, muka
kamu jelek deh.”
Mukaku
jelas berubah merah padam ketika Daehwi berujar demikian. Ini jelas sebuah
penghinaan! Seius deh, aku ingin mengeluarkan semua stok sumpah serapah dan
nama-nama binatang di Kebun Raya Bogor, tapi aku menahannya sekuat tenaga.
Kuhembuskan
napas kasar, nyaris seperti banteng yang mendengus marah dan siap menyeruduk
musuhnya. Ingat, Daehwi ini punya kelainan kejiwaan. Jadi, bicara dengan
seorang Daehwi harus penuh kesabaran dan ketabahan.
“Daehwi..”
“Apa, Bae
Yoobin Smith?”
“Nggak usah
bawa-bawa nama bapak gue!”
Astaga,
susah untuk tidak meledak ketika berhadapan dengan Daehwi.
“Hehe,
emangnya kamu nggak bangga sama bapak yang udah ngelahirin kamu? Masa nama
bapaknya disematin di nama kamu aja, nggak mau. Dosa, lho.”
“Sejak
kapan bapak ngelahirin, woy?!”
“Ehh..
oiya, bapak kan yang bantu wanita membuat anak.”
“Daehwi!”
Demi
apapun, aku membenci wajah sok polosnya ketika berbicara itu. Rasanya, aku
ingin menyobek kulit wajahnya dan kujadikan masker supaya awet muda.
“Ih, apa
sih, Bin? Kita kan udah putus. Maaf, aku nggak mau balikan sama kamu lagi. Aku
udah nggak suka sama kamu, dan lagipula aku udah punya yang baru,” ujar Daehwi
dengan ekspresi songongnya.
“Emangnya
sejak kapan kita pacaran, Tolol?” ujarku agak keras ketika Daehwi sudah
berjalan meninggalkanku.
Oh OK, aku salah. Kini, orang-orang
memperhatikanku seolah aku ini perempuan jahat yang sudah memaki mantan
pacarnya—tapi aku tak pernah, atau mungkin belum pernah pacaran dengan putra
bapak Lee itu.
“Awas aja
ntar, gue penggal kepalanya kalau ketemu di jalan,” gerutuku sambil menatap
layar laptop untuk mempercepat urusan supaya bisa lekas pulang.
**
Tungkai-tungkai yang kelelahan duduk
lesehan di lobi ini, berjalan malas melewati koridor. Ku lirik jam tangan putih
di tangan kiriku yang menunjuk angka empat. Hari ini aku pulang cepat padahal
masih ada sisa tugas yang belum selesai. Masalahnya, aku sudah terlanjur malas
karena kecepatan wi-fi yang membuatku
kolot. Belum lagi, gangguan-gangguan yang dilakukan Daehwi.
Daehwi,
cowok tinggi yang lebih muda setahun dariku. Yep, dia adalah adik tingkatku.
Umur kami memang hanya terpaut satu tahun, tapi ketika menghadapinya, aku
merasa sedang berhadapan dengan anak SD bahkan TK yang suka jahil.
“Yoobin...”
suara bass yang bernada seperti
panggilan setan di film-film itu menggelitik tengkukku. Sekejap, bulu kudukku
sudah meremang, merinding. Tapi aku tahu, yang menyebut namaku bukanlah setan
dari neraka.
Sedikit ku
tolehkan kepala ke kanan dan mendapati wajah Daehwi yang berekspresi jelek.
Keningku mengkerut melihatnya begitu.
“Ngapain
sih?” tanyaku menuntut kejelasan.
Daehwi
terkekeh girang. “Hehehe, aku lucu ya.”
Bola mataku
memutar jengah. Lantas berjalan meninggalkan spesies langka itu.
“Lho, kok
aku ditinggal sih?” ujarnya. Ia pun memperlebar langkahnya, benar-benar
memanjangkan kaki kanan di depan sejauh-jauhnya sambil berhitung. “Satu..
dua..”
Aku menoleh
sebentar untuk melihatnya dan sumpah, aku ingin mengutuknya jadi anak kecil
seumur hidup. Bahkan sepupuku yang masih TK nggak bertingkah sekonyol itu!
“Daehwi, lo
ngapain?”
“Mau nyusul
kamu, Bin.”
“Ya udah
jalan biasa aja!”
Daehwi tak
menggubris ucapanku. Ia tetap melangkah lebar sambil berhitung. Aku yang
melihatnya kekanak-kanakan begitu menjadi jengkel sendiri. Kalau aja Daehwi
nggak berwajah imut, udah babak belur dari tadi dia karena ku pukuli.
“Tujuh!”
seru Daehwi senang seraya bertepuk tangan.
“Hwi, lo
punya riwayat cacat otak nggak sih?”
“Yoobin,
nggak boleh ngomong gitu!”
Detik itu
pula aku sadar, tak sepatutnya aku berujar begitu.
“Iya, maaf.
Habisnya lo bego!”
Aduh, salah
ngomong lagi.
“Kok
ngomong kotor? Nanti bakalan Daehwi bilangin tante Bae Whitney!”
“Tukang
ngadu,” cibirku. “lagian, lo nggak bakal bisa bilang ke mother.”
“Bisa! Daehwi
kan bisa ke rumah Yoobin, I know where is
your house.” Daehwi menjulurkan lidah sampai mengeluarkan suara ‘wek’ yang
membuat rasa gemasku membeludak. Iya gemas, gemas pengen nabok.
“Maksud
gue, nyokap baru di Amerika.”
Daehwi
sedikit terkejut mendengarnya, terlihat dari raut wajahnya yang mendadak
serius. Namun, sepersekian detik berikutnya, ia memasang tampang konyolnya
lagi.
“Haha,
tante Whitney aja nggak betah lama-lama di rumah sama kamu apalagi doi yang
udah ngasih harapan palsu ke kamu itu!”
Mama cuma
lagi sibuk urusan bisnisnya!
Ingin aku
membalas Daehwi begitu, tapi aku tahu itu takkan mengubah apapun. Karena ini Daehwi.
Cowok sok polos yang suka mengejek dan membuat jengkel, cowok yang punya
berbagai jawaban main-main untuk bercanda.
“Eh!” seru Daehwi.
Aku sedikit
menghadap ke arahnya karena kupikir Daehwi memanggilku, ternyata tidak. Ada
seorang gadis bersurai hitam sebahu yang sedang berjalan keluar gerbang dan itu
menjadi pusat perhatian Daehwi sekarang.
“JIJI!”
Namanya Kim
Jiho. Cewek yang pernah disukai Daehwi secara tulus, tapi malah terang-terangan
menolaknya saat pendekatan.
Aku memandang
mereka kesal. Apaan banget deh. Daehwi ngobrol dengan Jiho sampai tertawa
begitu. Apa dia lupa bahwa ia pernah ditolak mentah-mentah?
Tunggu dulu
deh, kenapa Jiho terlihat lebih terbuka pada Daehwi? Ia bahkan tersenyum dan
tak terlihat menghindari Daehwi seperti dulu.
Apa mereka
ada progres? Tapi, bukannya Daehwi sudah suka orang lain?
Ah sial,
kenapa aku jadi kepo begini sih?
Ih, Daehwi
memotret wajah Jiho diam-diam ketika gadis itu menoleh ke arah lain! Berulang
kali pula!
Tanpa
sadar, aku sudah menahan emosi supaya tak menjambak rambut Jiho. Dasar cewek
tebar pesona!! Cewek genit!!
Kalau kayak
gini, lebih baik aku segera pulang sebelum emosiku tak terbendung lagi.
“Daehwi,
aku pulang dulu ya,” pamitku pada cowok jangkung itu.
“Ya pulang
sana!”
Ini serius?
Daehwi mengusirku? Oh, aku tahu, pasti karena sudah ada cewek lain yang
menemani kejombloannya saat ini. Dan cewek itu adalah Kim Jiho sang pujaan
hatinya.
Aku
mencebik kesal sebelum menyeberang untuk mencapai halte. Awas aja, bakal aku
keluarin usus-usus Daehwi nanti!
Duduk
menunggu di halte, membuatku jenuh. Apalagi posisi halte ini berseberangan
dengan SMA Baekho, yang tentunya aku bisa melihat Daehwi dan Jiho dengan sangat
jelas. Bagaimana Daehwi menunjukkan ponselnya pada Jiho lalu gadis itu tersenyum
malu, mereka bercanda sampai tertawa, dan akhirnya Jiho sudah dijemput, Daehwi
yang tersenyum pada ayah Jiho dan melambaikan tangan.
Aku kesal.
Rasanya ada yang mendesak rongga dadaku hingga terhimpit sakit.
Akhirnya
bis yang kutunggu sejak lima menit—yang
terasa setengah abad—pun berhenti di depan halte. Aku segera melangkah
masuk dan memilih tempat duduk di pojok belakang. Baru saja aku akan fokus
membaca Wattpad di ponsel, namun sosok jangkung yang masuk dalam bis itu
menyita atensiku.
Sorot
netraku bergerak ke arah cowok itu berjalan hingga ia terduduk di sampingku
sambil menghela napas lega.
Sebenarnya
aku ingin bertanya kenapa ia naik bis yang bahkan tak melewati daerah rumahnya
ini, namun kuurungkan niat itu dan memilih tenggelam pada salah satu cerita di
Wattpad.
Bis pun
melaju dan aku merasa sedang diamati.
“Baca apa
sih?”
Kepalaku
menoleh ke kanan untuk membalas ucapannya, namun seketika itu aku mematung
sekian detik. Wajah kami saling berhadapan dengan jarak yang terbilang dekat bahkan
aku bisa mencium aroma mint dari
tubuhnya. Helaan napasnya menyapu pori-pori wajahku, yang membuatku merinding.
Segera ku
jauhkan diri ketika kondektur menagih uang pembayaran. Dengan kikuk, aku malah
menggaruk kepala dan mengingat-ingat bagaimana cara untuk bernapas.
“Berapa,
Mas?”
“Dua ribu
aja.”
“Yaudah,
ini dua ya, Mas.”
“OK,” ujar
kondektur itu sambil memberikan dua karcis warna pink khusus pelajar serta kembalian sejumlah Rp1000,oo.
Rasanya
aneh. Bahkan aku tak mengerti kenapa jantungku harus berdegup kencang begini.
Omong-omong, aku suka parfumnya. Aku suka aroma mintnya. Ah, untungnya hidung kami tak begitu mancung. Bisa-bisa
tadi hidung kami bersentuhan. Kepalaku pusing. Kenapa aku merasa gerah? Lho,
tanganku dingin.
“Yoobin..”
“Eh, iya?”
tanyaku linglung sambil menghadap ke Daehwi. Seketika wajahku terasa panas
ketika melihat bibirnya dan aku harus mengalihkan pandangan ke arah lain.
“Kamu
kenapa deh? Dari tadi dipanggilin malah ngelamun seolah kita beda alam. Aku
alam dunia dan kamu alam baka hahaha.”
Candaan
yang menjengkelkan, tapi aku tak berniat marah dan mengomelinya seperti biasa.
“Bae Yoobin!
Kamu lagi aku ajak ngomong tau!”
“Iya-iya,
denger.”
“Apa kotak
sampah warna biru itu lebih menarik daripada wajah tampan aku?”
“Ih, tampan
darimananya!” sentakku tak terima.
“Ya tampan.
Buktinya, Bae Yoobin aja terpesona dan jatuh hati.”
“Idihhh,
nggak!” Kini aku menghadapi wajah Daehwi. Ini sih namanya bunuh diri. Salahku
berlagak menantang padahal sewaktu lihat mata hitamnya, seketika hatiku merona
malu.
Daehwi
tersenyum miring sambil mengangkat alis tinggi-tinggi. Dasar kepedean! Kalau
sudah begini, biasanya aku akan menyemprotnya dengan segudang hipotesisku yang
nggak jelas untuk membantah statementnya.
Akan tetapi, kali ini aku hanya diam dan membuang muka.
Ada apa sih
sama diriku ini?
“Hmm, tuh
kan,” simpul Daehwi dengan nada penuh kemenangan.
Iya deh,
terserah lo, Hwi.
Setelah
itu, suasana bis terasa hening. Aku batal membaca Wattpad dan malah
memperhatikan ujung sepatuku yang mengayun-ayun. Daehwi sendiri sibuk main HP.
“Hwi, lo
ada progres sama Jiho, ya?” tanyaku ragu.
“Hm..
menurut kamu?” jawabnya tak acuh sembari mengetikkan sesuatu di chat room bersama seseorang.
“Lagi chat sama siapa sih? Asik banget
kayaknya.”
“Jiho nih.”
Oh, Jiho.
Ada rasa nggak enak di dada yang membuatku menerbitkan senyum getir.
“Semoga
cepet jadian deh.”
Daehwi
menurunkan layar HPnya dan beralih memperhatikanku. “Kenapa? Kok kayaknya nggak
suka gitu.”
“Jiho
cantik, ya kan? Udah gitu, pinter, supel, imut, pokoknya idaman banget deh!”
“Kamu kayak
lagi ngomong, lebih OK aku daripada Jiho,
Hwi.”
“Kok
nyimpulin gitu sih? Nggaklah! Aku sih beda jauuuhhhh bangett-nget-ngett dari Jiho.”
“Iya, jauh
banget,” jawab Daehwi datar.
“Tadi
kalian juga kelihatan deket banget, pokoknya aku tunggu makan-makannya.”
“Ooh,
rupanya seorang Bae Yoobin bisa cemburu juga?”
“Cemburu
apaan?!”
“Nih ya,
tadi itu aku ngefoto Jiho karena mau ngasih tahu kalau ada kotoran yang nempel
di wajahnya, bukan karena mau nyimpen fotonya. Sekarang udah aku hapus kok, Yoobin
nggak usah jealous.”
Tanpa
sadar, aku menghela napas lega.
“Tuh kan,
ternyata itu yang dikhawatirin sejak tadi?”
“Nggak!”
“Ngaku
deh!”
“Dibilangin
enggak, ya enggak.”
“Hm. Masa?”
Aku hendak
menjawabnya lagi dengan kalimat yang sama, tapi terjeda oleh suara notifikasi
dari HP Daehwi.
“Ada WA tuh
dari Jiho.”
Dan tanpa
sadar, aku mengucapkan kalimat itu dengan sarkastik.
“Dih, orang
aku ada urusan sama Jiho yang berkaitan hidup dan matiku sebagai anggota OSIS.
Bukan chatting sayang-sayangan.”
“Gue nggak
peduli kok.”
“Biasanya
kalau pakai ‘kok’ berarti bohong.”
“Ter se
rah.”
Kemudian
aku bangkit dari bangku, berjalan menuju pintu karena sebentar lagi tiba di
tujuanku. Lagian, aku malas berdebat dengan Daehwi.
“Turun, ya,
Mas.”
“OK, kiri, Pak!” ujarnya pada sopir.
Bis pun
menepi dan pintu terbuka. Aku keluar dari bis dan diekori Daehwi.
Keningku
mengernyit. “Lo ngapain?”
“Nemenin
kamu.”
“Nggak
butuh, mending lo temenin si Jiho sana!”
“Tuh kan.
Aku udah pernah bilang ke kamu, Bin, aku udah move on.”
“Yaudah,
sana sama gebetan baru lo! Jangan ngikutin gue kayak penguntit dong!”
“Aku kan
mau mampir ke rumah kamu, mau minta minum, haus.”
“Beli aja
di warung!”
Aku
berjalan menuruni tangga halte dan tak memedulikan eksistensi Daehwi.
“Jiho tuh
ternyata baik, ya? Dia mau bantuin aku.”
“Bodo
amat.”
“Tapi
bagiku, kamu yang terbaik.”
Langkahku
sempat terhenti karena terlampau kaget ketika mendengar kalimat itu. Namun,
segera kubuang perasaan berlebihan itu dan memilih tak menggubrisnya.
Daehwi
mensejajari langkahku. “Bagi Lee Daehwi, Bae Yoobin adalah yang terbaik.”
Aku
mempercepat langkah supaya Daehwi tak bisa melihat wajahku yang merona merah
padam. Ya Tuhan, perasaan macam apa ini??? Kenapa aku merasa amat senang?
Kenapa jantungku seolah berhenti berdegup ketika mendengar kalimatnya? Kemudian
kenapa mendadak jantungku berpacu sangat cepat? Jangan-jangan aku punya
kelainan jantung?
“Binnnn!
Malah kabur!” seru Daehwi yang mempercepat langkah untuk menyusulku.
“Lo jangan
ke kos gue!”
“Loh,
kenapa?” Daehwi memasang wajah cemberut, yang sumpah demi apa lucu banget. Aku
harus mati-matian menahan rasa gemas untuk tidak mencubit pipinya.
“Karena gue
sendirian di kos.”
“Biasanya
juga sendiri.”
“Kadang ada
nyokap yang jenguk!” bantahku.
“Dasar jones.”
“Iya, gue
emang jomblo!”
“Pacaran,
yuk?”
“Hah?”
“Ayo
pacaran biar kamu nggak jomblo lagi! Biar tiap hari ada yang ngirim makan dan
ada yang ngapelin tiap malming.
“Maksudnya?”
“Aduh, lo
tuh pinter-pinter, tapi tolol.”
“…”
“Gue minta
lo jadi pacar gue.”
“Sorry?”
“Gue suka
sama lo, Ya Tuhan! Lemot banget sih lo! Pantes bokap lo milih pisah dari nyokap
karena nggak kuat ngurusin lo.”
“Heh!
Lemot-lemot gini lo juga suka!” bentakku kesal.
Daehwi
menghela napas, mencoba tidak terbawa emosi.
“Jadi,
gimana?”
“Gimana
apanya?”
“Lo mau
nggak?”
“Mau apa?”
“Nggak usah
sok tolol, please,” ujar Daehwi
nelangsa.
“Lo minta
jawaban apa?”
“Ya
jelaslah, gue pengen diterima.”
“Diterima?”
aku mendengus. “lo pengen diterima sedangkan cara nembak lo aja nggak so sweet sama sekali?” ujarku sengak.
“Niatnya
mau so sweet, tapi lo sih!”
“Gue
kenapa?”
Daehwi diam
sejenak sebelum menjawab, “lo bikin jantung gue nggak normal.”
“Periksa
dong ke dokter!”
“Gue lagi
ngegombal!”
“Hahaha.”
“Sumpah, Bin.
Nggak lucu. Bisa nggak lo jangan kayak gini?”
“Kayak gini
gimana?”
“Tinggal
jawab aja, lo mau atau enggak?”
“Hm…”
“Plis,
jangan membebani gue lagi. Udah cukup gue nahan kaki biar nggak jatoh karena
gemeteran, cukup gue nahan supaya nggak ngompol saking groginya. Udah cukup, Bin.
Jangan tambahin penderitaan gue dengan cara gantungin jawaban.”
“Gue nggak
pernah mikir bakal dapet yang brondong,” ujarku dengan nada bersalah.
“Gue juga
nggak pernah ngerencanain buat jatuh cinta sama yang lebih tua, dasar
tante-tante!”
“KURANG
AJAR!”
Daehwi terkekeh
kaku seolah ia memaksakan tawanya. “Jadi, gimana?”
“Hm...
nggak tau!”
“KEENNN!!!”
“Hehehe,
nyatanya menjawab sesuatu yang mendadak itu nggak gampang.”
“Ntar gue
bantuin ngerjain tugas-tugas lo deh!”
“Dih,
nyogok.”
“Ck, pinjem
HP lo!”
“Buat apa?”
“Pinjem
aja, siniin.”
“Nggak mau.
Pasti buat macem-macem.”
“Siniin!
Buruan deh, nggak bakal buat macem-macem kok.”
“Buat apa dulu?”
“Buat pesen
gojek! Gue mau pulang.”
“Ooh,
beneran?”
“Iya!”
“Yaudah,
nih.”
Aku
menyodorkan ponsel pada Daehwi.
Ia menekan
layar sana-sini kemudian menempelkannya di telinga.
“Udah dapet
drivernya? Cepet banget, tumben.”
Daehwi
menempelkan telunjuk di bibirnya sebagai perintah supaya aku diam.
“Halo,
Tante Whitney, Daehwi boleh macarin Yoobin nggak?”
Sontak bola
mataku membola. Selama aku mengenal Daehwi, ada satu fakta yang selalu melekat;
Daehwi itu gila.
-fin.
0 Response to "Crazy | Daehwi [WANNAONE] - Binnie [OMG]"
Post a Comment