Natsukusa ni Kimi wo Omou
PITAKU
bergoyang-goyang
saat aku berlari keluar kelas dengan penuh ketakutan. Kabar yang diumumkan oleh
wali kelas barusan, membuat jantungku terpompa lima kali lebih cepat daripada
normalnya. Tungkai-tungkaiku yang biasanya membenci berlari, kini amat sangat
antusias untuk bergegas ke rumah sakit. Bahkan sepasang rungu yang cinta
mendengarkan gosip, tak peduli akan teriakan guru yang menyuruhku berhenti.
Aku harus berlari. Lari secepat cheetah meski membuatku
kehabisan tenaga hingga kehilangan keseimbangan secara perlahan. Pagi ini
bahkan aku tak sempat sarapan, namun aku harus memaksa diri untuk kuat.
Lari. Lari lebih cepat.
Peluh menetes dari berbagai penjuru. Bahkan aku tak
memiliki waktu barang mengelap setitik keringat. Napasku mulai terengah-engah.
Padahal letak rumah sakit masih jauh.
Kubulatkan tekad. Lantas membuang pemikiran: aku tak
mungkin bisa.
Lari. Lari secepat mungkin.
Jantungku teremas begitu kuat, menciptakan rasa sesak
tak keruan. Dadaku sakit, seolah ada tangan yang menekan kuat-kuat. Tak boleh
begini, aku harus kuat.
Tungkaiku mulai pegal. Beberapa kali aku terhuyung
hampir jatuh. Tali sepatuku terlepas. Beberapa kali terinjak dan membuatku
hampir tersungkur. Sudah berapa jauh aku berlari? Sudah berapa lama aku
berlari?
Seragam putihku basah. Tubuhku bermandikan keringat.
Surai hitamku kusut. Penampilan seorang gadis SMA yang amat buruk. Aku tak
peduli. Aku hanya perlu berlari sekuat tenaga menuju rumah sakit. Harus.
Secepatnya.
Lenganku terulur, mendorong pintu besar rumah sakit.
Beberapa kali aku menabrak orang hingga hampir terjatuh. Tanpa sempat meminta
maaf, aku lanjutkan berlari.
“Pasien atas nama Aldi Mahesa,” ucapku di sela napas
yang terengah-engah pada resepsionis.
“Tunggu sebentar, ya, saya carikan datanya.” Lantas
wanita itu memeriksa kertas yang dipegangnya. “Kamar nomor 203, di sebelah—“
Belum usai ia mengatakannya, tungkaiku bergerak cepat
menuju salah satu koridor lalu masuk ke lift.
Aku tahu kamar itu di mana jadi penjelasannya tak kubutuhkan. Biarlah wanita
itu berdecak dan mengataiku tak sopan karena langsung pergi tanpa berterima
kasih. Aku buru-buru, dan ini sangat penting. Bahkan tak ada waktu untukku
sekadar menormalkan deru napas yang memburu.
Suara berdenting terdengar, lift sudah tiba di lantai tiga. Segera aku berlari menuju kamar
nomor 203. Tak peduli ketika beberapa petugas dan perawat menyuruhku jangan
berlari. Aku sangat panik, bahkan ucapan mereka terdengar sangat samar di
rungu.
Sekali sentakan, pintu itu telah terbuka. Menampilkan
seorang wanita setengah abad yang tengah menangis di pelukan suaminya.
Terhuyung, aku melangkah menuju tempat tidur yang membaringkan seorang pemuda
dengan berbagai alat bantu pernapasan.
Pelupuk mataku basah. Tangisku pecah. Likuid bening
meluncur di pipi tanpa ada yang bisa menghentikan. Tubuhku lemas, meluruh di
lantai yang dingin. Merangkak tertatih-tatih, aku menggapai tepi tempat tidur,
meraih tangan pemuda itu yang dipasangi selang infus.
Lidahku kelu. Bibirku bisu. Hanya tangis yang mampu
mengungkapkan bagaimana perasaanku. Melihat pemuda yang selama ini selalu
menemaniku kini terbaring lemah tak berdaya dengan berbagai perlengkapan medis,
membuat hatiku ngilu.
Sebuah usapan lembut membelai rambutku. Adalah ibu dari
pemuda ini, yang sudah kuanggap sebagai keluarga sendiri. Di sela tangisnya, ia
berujar, “jangan menangis, Div. Aldi pasti sadar kok.”
Bagaimana bisa aku tak menangis? Orang yang kucintai
terbaring tak berdaya seperti ini! Lihat, bahkan Bunda juga menangis. Hanya Ayah
yang tampak kuat dan tegar, tapi aku tahu, Ayah pun sama rapuhnya dengan kami.
Hatinya pasti sedang menangis.
“Aldi pasti bangun sebentar lagi, Bun, Div. Kalian
jangan menangis.” Ayah mengusap air mataku yang telah menganak sungai. Ia
tersenyum, namun obsidiannya menangis.
Kugenggam erat tangan Aldi yang terasa dingin menusuk
kulit bersamaan dengan lirihan kalimat yang meluncur dari bibirku yang gemetar,
“bangun sekarang, Al!”
Bunda tak sanggup lagi. Ia menenggelamkan wajah di
pelukan Ayah, meredamkan tangis yang menderu-deru.
Pagi ini, ku dapati kabar yang hampir membuatku terkena
serangan jantung: kemarin malam Aldi kecelakaan dengan mobil, ia sendiri
mengendarai sepeda motor sehingga kondisinya sangat tidak baik (kritis).
Pengendara itu ternyata sedang dalam keadaan mabuk, ia juga terluka parah dan
sedang dioperasi pagi ini.
Pantas saja semalam aku tak bisa menghubungi Aldi,
firasatku juga menyatakan sesuatu yang tidak baik. Tapi tak terbersit sedikit
pun jika Aldi akan kecelakaan dan kondisinya sedemikian parah. Aku juga tak
mendapat kabar apapun dari kedua orang tuanya, ini membuatku sedikit kecewa. Ya
sudahlah, toh, aku tahu kemarin atau pun hari ini, tak akan membuat perubahan
pada kondisinya.
“Bangun, Al! Kamu harus nepatin janji!”
“Kamu janji akan ngajak aku muncak lagi kan? Kamu
udah janji mau nyanyi sesuatu buat aku
kan? Kamu harus bangun!”
Dengan kasar, kuusap air mata dan menghirup ingus yang
meleleh. “ALDI BANGUN! EMANGNYA KAMU
BETAH TIDUR TERUS? KAMU NGGAK KHAWATIR SAMA AKU?”
Bunda berjongkok lantas menarik tubuhku ke dalam
dekapannya yang hangat. Ia mengusap-usap punggungku seraya membisikkan berbagai
kalimat manis yang pasti ia pun tahu, kemungkinannya sangat kecil.
“Udah, Sayang, mending kamu makan dulu, ya? Kamu naik
apa ke sini? Hm?”
Kepalaku menggeleng lemah. “Nggamau, Bun.”
“Tenang aja, Aldi pasti bentar lagi sadar kok.”
“Diva tahu, Bun. Bu Citra udah ngasih tahu, Aldi belum
sadar sejak kemarin kan?” Kutatap wajah Bunda yang nampak kerutan-kerutan di
sana-sini. Wajahnya lesu, tanpa semangat, tampak putus asa. Lingkaran hitam
menghias matanya yang sembab.
Ia tak kuasa menahan tangis sehingga sebulir air mata
pun jatuh di pipinya. Hal itu menghipnotisku untuk menangis juga ketika kuhapus
air matanya. “Bunda jangan nangis.”
Ayah turut berjongkok, mengusap puncak kepalaku.
Memberiku kekuatan lewat sentuhan dan sorot matanya. Tapi aku tak bisa menerima
tenaga itu darinya, karena Ayah pun sedang tak memiliki banyak energi. Ia pasti
merasa sekarat juga melihat Aldi yang terpejam sejak kemarin.
“Bun..da..,” suara lirih itu menyentakkan kami semua.
Lantas segera memusatkan fokus pada tubuh yang mulai bereaksi itu. Aldi
terbangun.
“Iya, Sayang, Bunda di sini,” ujar Bunda sembari
menggenggam tangan putra semata wayangnya.
“Ay..ah..,” Bola mata Aldi bergerak menatap Ayah.
“Ayah selalu di sini.”
“Div..a..,” Kini ia menoleh padaku. Tak kuasa ku tahan
air mata bahagia karenanya, “kok nang..is? jang..an.. ceng..eng do..ng.”
Segera kulenyapkan air mata dari wajahku. “Aku nggak nangis
kok!”
Sebuah senyum terpatri manis di bibir Aldi. “Ma..af ya.
Bik..in kali..an khaw..atir.”
“Jangan minta maaf! Aku nggak ngasih izin kamu minta
maaf sekarang!” ujarku paranoid. Takut apabila permintaan maafnya akan menjadi
kalimat terakhir yang kudengar.
Kurva di bibirnya kembali terlukis manis, tapi terkesan
lemah. Aku menjadi semakin takut Aldi akan pergi. Lengan lelaki itu terangkat
ke udara, jemarinya meraba-raba menuju wajahku. Lantas ku raih tangannya dan
kuletakkan di pipi.
“Seny..um, Div!”
Susah payah, kupaksa bibirku untuk membuat senyum di
saat hatiku sedang galau begini. Hanya berselang dua detik. Kemudian jemari
dingin Aldi jatuh menggaris di pipiku sebelum tertambat di atas selimut.
Garis-garis di osioloskop menunjukkan garis lurus panjang diserta bunyi tit panjang.
***
SEJAK
lima tahun lalu, saat aku menjadi murid pindahan kelas dua di SMP yang sama
dengannya, kami berkenalan dan menjadi dekat. Kami sama-sama menyukai novel,
suka membuat puisi, suka membuat berbagai cerpen, sangat suka sastra. Kami
saling mendukung dan membantu untuk lebih maju dan memperluas pemikiran dalam
bidang sastra dan bidang lainnya.
Aku belajar olahraga seperti: basket, taekwondo, bulu
tangkis, darinya. Dia selalu membantuku kapan pun aku merasa kesulitan. Ia juga
mengajariku pelajaran-pelajaran yang
sulit seperti: ekonomi, geografi, kimia. Bahkan membuatku yang semula
membenci matematika, berbalik menjadi suka.
Biasanya, sepulang sekolah, kami akan bersepeda ke
padang rumput di seberang bukit yang lumayan jauh dari sekolah dengan peluh
yang bercucuran membasahi seragam putih kami. Aku sangat senang bila
mengingatnya. Kegembiraan itu seakan tak akan pernah layu.
Di bawah langit biru yang menawan, banyak keajaiban
yang tercipta. Kebahagiaan selalu menemani hari-hari kami. Yah, meski tak
dipungkiri, terkadang kami pun bertengkar karena hal-hal sepele, tapi itu tak
bertahan lama. Paling lama hanya tiga jam kemudian kami akur lagi.
Tiga tahun yang lalu, orang tuaku meninggal karna
kecelakaan mobil. Membuatku sebatang kara. Membuatku merasa putus asa, namun
dia mengulurkan tangan dan membantuku berdiri. Sejak saat itu, kami menjadi tak
terpisahkan.
“Jangan larut dalam kesedihan, Div. Aku janji, akan
berada di sisimu selamanya, sampai kamu mendapatkan kebahagiaanmu lagi,” ujar
Aldi kala itu sembari merangkulku. “Senyum dong, biar cantiknya kelihatan!” Aku
pun tertawa.
Tapi kini padang rumput musim panas itu berbalut warna
air mata. Seperti saat ini, aku akan memeluk perasaan sedihku yang berdegup sangat menyiksa. Sesaat setelah aku tertidur,
aku masih memimpikan musim panas yang biasa ku lalui bersama Aldi. Masa-masa
kami selalu bersama.
Hal-hal yang aku dan Aldi temui di langit berwarna
biru, menciptakan sejumlah keajaiban yang terlukis. Dari padang rumput seberang
bukit, kisah ini tak akan pernah berakhir.
Sebuah mimpi kekanak-kanakan yang kubentuk bersamanya
kala itu,
tak akan kubiarkan memudar.
tak akan kubiarkan memudar.
-fin.
0 Response to "Natsukusa ni Kimi wo Omou"
Post a Comment