After We Broke Up
02 | Setelah Kehilangan
LANGIT di luar sana terlihat sangat ceria. Ada
matahari yang bersinar begitu semangatnya, ada awan, dan ada burung yang
sesekali melintas. Lengkap, ya? Sepertinya langit sedang bahagia karena ada
mentari dan awan yang setia menemaninya. Kalau mendongak demi melihat indahnya
angkasa, entah kenapa selalu ada yang membuat air mata Irish mendobrak minta
keluar.
Langit n
angkasa, antariksa, awang-awang, bumantara, cakrawala, tawang, udara, dirgantara.
Dirgantara.. orang yang ditinggalkan Irish
ketika masih sangat sayang. Kalau masih sayang kenapa ditinggalkan? Irish tak
tahu jawabannya, dan masih mencari tahu apa jawaban yang tepat.
“Kak, makan dulu,” ujar Bunda tak lelah-lelah
setelah mendapat penolakan.
“Gak mau, Bunda. Irish nggak laper. Buburnya
buat Bunda aja,” lagi-lagi penolakan yang keluar dari bibir ranum Irish. Ia
mengubah posisinya membelakangi Bunda, sudah lelah menolak bujukan Bunda.
Bunda menghela napas pasrah lalu meletakkan
piring di atas meja. “Kamu sebenernya kenapa sih, Kak?”
“Gak papa, Bunda.”
Bunda menghela napas lagi. Bunda sudah nggak
tahu lagi bagaimana cara membujuk putri sulungnya agar mau cerita. Sejak
liburan kenaikan kelas, Irish membungkam mulutnya, berdiam diri di kamar, gak
mau makan, dan mendengarkan lagu yang sama berulang-ulang: Jangan Pergi milik
Killing Me Inside featuring Tiffany.
“Gimana, Bun?” tanya lelaki yang sudah
berperut buncit dengan suara pelan. Dia adalah ayah Irish yang baru saja
kembali setelah bicara dengan dokter.
Bunda menggeleng. “Susah.”
Ayah mendekat ke putrinya, membelai surainya dengan
lembut sambil berkata, “Kakak kenapa kok gak mau makan, hm? Cerita sama ayah
kalau ada masalah….”
“Gak papa, Yah.”
Selalu itu jawaban yang dilontarkan Irish.
Gak papa, yang berarti ada masalah yang sangat mengganggu Irish. Susah sekali
membujuknya untuk bercerita sampai ayah dan bunda kebingungan harus dengan cara
apa lagi agar Irish buka suara.
“Siang, Om, Tante,” sapa Putri sopan sambil
mencium tangan keduanya, diikuti dengan lima orang lainnya.
“Eh, Putri., sampai gak kedengeran suara
datengnya hehe. Jenguk Irish, ya?”
“Iya dong, Tante. Gak ada Irish sehari itu
berasa nggak lengkap. Irish tidur, Tan?”
“Oh, enggak kok. Kak, ini lo temenmu dateng,”
ujar Bunda sembari mengusap lengan putrinya.
“Iya..” kata Irish sembari mengubah posisi
menjadi duduk. Saat itu manik karamelnya bertumbukan dengan obsidian laki-laki
yang dikenalnya. Ia sempat membulatkan mata karena terkejut akan kehadirannya,
namun dengan cepat Irish mengalihkan pandangan ke arah Putri.
“Sakit apa sih, Rish?”
“Gak parah kok.”
Ayah menyadari perubahan yang dialami
putrinya ketika melihat sosok jangkung berjaket hijau army itu. Ketika yang lain sedang sibuk mengobrol, ayah memutuskan
untuk mengajak sosok itu berbicara. “Dirga, bisa ngobrol sebentar?”
Ia sempat ragu, namun akhirnya mengiyakan. “Bisa,
Om.”
“Di luar, ya,” kata ayah sambil merangkul
siswa SMA itu keluar ruangan.
Irish melihat kedua sosok itu. Kenapa ayah
mengajaknya keluar? Jangan-jangan mau dimarahin? Jangan-jangan ayah nyuruh dia
pulang dan gak boleh jenguk Irish.
Tak berapa lama kemudian, ayah dan remaja
laki-laki itu kembali. Ayah berpamitan pulang karena harus mengurus kerjaan.
Bunda sebenarnya ingin tinggal, namun setelah diyakinkan Putri, dengan berat
hati pun bunda memilih pulang karena harus mengurus Fattah, adik Irish di
rumah.
“Eh, udah jam segini.. aku harus pulang,”
kata Elsa agak merasa tak enak karena harus pulang duluan. “Cak..”
Laki-laki yang disebut namanya itu pun segera
paham. Karena tadi Elsa nebeng dia, seharusnya ia juga yang mengantar Elsa
pulang. Tetapi.. Dirga menoleh ke arah Irish, mereka sempat adu pandang
sebentar sekali. Lalu, “Van, tolong anterin Elsa, ya?” ujarnya setengah
memaksa.
Tahu akan kondisi temannya, Ivan pun
mengangguk. “Yuk, El!”
“Irish maaf yaaa aku harus duluan. GWS, ya!
cepet masuk sekolah biar kita bisa bahas oppa
lagi!”
“Cepet sembuh,” kata Ivan singkat dan padat.
Dia memang terkenal sangat cuek, tapi bukan berarti tidak peduli.
Kemudian disusul Runa, Naufal, dan Putri yang
berpamitan mau cari makan dan janji akan
kembali. Kini tersisa Irish berdua dengan laki-laki yang tak ingin ia temui
(tetapi sangat ia rindukan).
Canggung menguasai atmosfer di antara
keduanya. Sudah lebih dari tiga puluh hari mereka tidak berbincang bahkan lewat
chat whatsapp. Ini kali pertama
mereka beradu pandang setelah selama itu berusaha menghindar.
“Rish.. kamu kenapa?”
“Kenapa?” Irish balik bertanya tanpa menatap
lawan bicaranya.
“Makan o biar nggak sakit.”
“Udah sakit.”
“Biar gak tambah sakit.”
Irish diam dan semakin menundukkan kepalanya.
“Makan, ya?”
“Gak laper.”
“Tetep harus makan.”
Irish menggeleng lemah.
“Kamu kurus banget sekarang.. jadi nggak imut
lagi.”
“Dari dulu gak imut.”
“Makan, ya?”
“Kamu kenapa sih ke sini?” tanya Irish dengan
suara bergetar. Susah payah ia menahan supaya air matanya tak menetes.
“Kamu harus makan dong. Aku gak mau kamu
sakit….”
“Jangan baik sama aku!” seru Irish tak kuat
lagi menahan emosi. Ia luapkan air matanya sembari mencekal selimut kuat-kuat.
Lagi-lagi pertanyaan, ‘kenapa harus tinggalin
dia?’ terngiang di kepala Irish. ‘kalau sayang, kenapa pergi?’
“Eh, jangan nangis dong! Kamu kenapa nangis?”
Dirga panik sendiri. Ia mendekatkan diri ke Irish, ingin menenangkannya, tapi Dirga
bingung bagaimana caranya.
“Kan aku udah bilang, tinggalin aku….”
“Aku gamau, Irish.. gak bisa…”
dan tangis Irish semakin kencang.
“Jangan nangis, Rish! Aku gak tau harus
gimana…” Dirga sangat panik karena nggak bisa melakukan apa-apa. Biasanya kalau
sudah begini, cowok harusnya memeluk cewek biar si cewek bisa tenang, tapi itu
kan di sinetron! Dirga tak yakin harus melakukannya atau tidak.. karena mereka
lawan jenis, bukan mahram.
Tetapi, tangis Irish makin kencang. Hal ini
pun menyayat hati Dirga.. melihat perempuan yang disayanginya menangis. Setelah
menimbang-nimbang, akhirnya Dirga pun memeluk Irish, menepuk punggung gadis
itu, mencoba menenangkannya. Bagaimana pun caranya, Irish harus berhenti
menangis.
“Aku itu jahat, Dirga.. gak pantes dibaikin..
aku gak bisa apa-apa, gak bisa dibanggain, cuma jadi beban doang.. gak pantes
hidup.. kenapa sih aku gak cepet mati aja..?”
“Hey heyy, jangan ngomong gitu!”
“Kenapa..? Daripada cuma nyusahin orang
doang, kenapa aku gak mati aja? Aku hidup juga gak ada maknanya gini..”
“Udah, Irishhh, gak usah ngelantur gitu..
siapa bilang kamu gak ada maknanya? Adaa, Rish.”
“Apaa? Apaaa? Aku tuh gak pantes hidup.”
“Pokoknya kamu bermakna banget buat aku,” ujar Dirga dengan penekanan pada kata ‘banget’.
Detik itu entah kenapa tangis Irish mereda.
Ada perasaan lega dari sekian rasa yang berkecamuk di dadanya. Hatinya
berteriak, ‘aku pengen Dirga selamanya di sisiku! Aku gak mau lepas dari dia
gimana pun caranya!’ dan tanpa sadar, Irish sudah melingkarkan lengan di tubuh Dirga
serta memeluknya erat-erat.
“Maaf.. Dirga.. hiks hiks…”
Kenapa setelah kehilangan, rasa itu justru
bertambah subur?
[]
0 Response to "After We Broke Up | 02"
Post a Comment