Diksi Pekat

Diksi Pekat

Gelap menguasai sebuah ruangan. Penghuninya sengaja tidak menyalakan lampu. Ia tengkurap di ranjang sambil menenggelamkan wajah di bantal. Ia coba menulikan telinga atas apa yang didengarnya, namun hal itu sangat mustahil. Air mata sudah membanjir sejak tadi hingga mencetak bentuk pulau di sarung bantal. Ia meredam tangisnya dengan menggigit bibir bagian bawah yang lama kelamaan terasa sangat perih.

 

Bising dari luar ruangan tak terdengar lagi, tetapi ia masih setia bersama tangisnya. Berkali-kali ia merutuki diri, memprotes Tuhan mengapa ia harus hadir di dunia dengan keadaan seperti ini, mengeluh pula pada semesta yang menyiksanya.

 

Suara derit pintu terdengar memantul di segala penjuru ruangan lantas disusul dengan cahaya yang mulai berpendar-pendar. Di dalam selimut, ia mulai menyeka air mata, menghirup-hela napas untuk mengontrol diri, serta berdeham kecil untuk memulihkan tenggorokan yang semula tercekat.

 

“...sudah malam, nyalakan lampu.. banyak nyamuk,” sebuah suara mengintrerupsi. Setelah menyalakan lampu, ia berjalan mendekati ranjang. Terlihat puncak kepala anaknya sementara bagian tubuh yang lain terselimuti.

 

Terdengar helaan napas berat tatkala memandang gundukan berselimut itu. Sesuatu terasa membebani pundaknya. Tiba-tiba matanya terasa begitu panas dan perih, bagian putihnya telah memerah dan berair. Buru-buru ia mengusapnya sambil terbatuk.

 

Jangan menangis, jangan menangis, bisiknya pada diri sendiri.

 

Sebelum semakin menjadi, ia pun bergegas keluar ruangan. Menutup pintu kamar darah dagingnya setelah memandangnya dari ambang pintu sepersekian detik. Kondisinya tak sedang baik. Terpaksa pula ia urungkan niat untuk membelai kepala anaknya tadi.

 

“..., mama janji akan memberikan yang terbaik untukmu.”

[]

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Diksi Pekat"

Post a Comment