Whether I want to or not. If that were to happen, it happens. People on earth call it destiny.
DESTINY
Lu Han (ex. EXO)
Han
Yeon Hee (OC)
Sad
| PG | Oneshot | Aulace @Cover Fanfiction | Crystalzarra,2015
Perbincangan ricuh para siswa menggema di dalam ruang
kelas yang cukup luas. Beberapa siswi sedang menggosip di sudut ruangan. Sekelompok
siswa mengadu argumen mereka, tidak ada yang mau mengalah. Beberapa siswa dan
siswi bersatu mengocehkan banyak cerita. Sisanya hanya duduk menunggu bel masuk
berbunyi.
Keseruan mereka harus berhenti saat seorang guru wanita
yang masih muda telah memasuki ruangan. Dua orang siswi telah memperingatkan
jika bel sudah berbunyi sejak lima menit lalu, tapi tidak ada yang menggubrisnya.
Jadi, dua siswa itu hanya duduk menunggu guru datang. Beberapa siswa yang
sempat duduk di atas meja segera turun dan menempatkan diri di bangku
masing-masing. Semua kericuhan telah berhenti.
Wanita berusia sekitar tiga puluh tahun itu kini tersenyum.
Seperti ada sesuatu yang membuatnya bahagia. Dari mata beningnya terpancar
suatu makna yang akan disampaikan.
“Kita kedatangan siswa baru. Dia pindahan dari Distrik
Eunpyeong. Guru harap kalian bisa berteman dengannya,” ujar Guru bernama Melody.
Guru itu tersenyum dan mempersilahkan seseorang untuk
memasuki kelas. Ia berjalan melewati pintu dan tersenyum ramah kepada semua
penghuni kelas.
Beberapa siswi
berdecak kagum dan berbisik kepada teman sebangkunya. Entah membicarakan
ketampanan siswa baru itu, keramahannya, ataupun keinginan mereka untuk
mendekati murid itu.
Namun, seorang siswi malah membulatkan matanya tak
percaya. Seketika hatinya terasa perih dan air matanya hampir keluar. Ia
kembali mengamati wajah siswa baru tersebut. Lalu mencoba tidak
mempedulikannya.
“Namanya Xi Lu Han, kalian bisa mengenalnya lebih jauh
ketika jam istirahat tiba. Silahkan duduk di bangku yang kosong.” Guru Melody
mempersilahkan siswa itu untuk menempatkan diri di salah satu bangku yang
memang telah kosong beberapa waktu lalu.
Sejak kehadiran Luhan di kelas, hati Yeon Hee terus
terusik. Ia tidak dapat konsentrasi ke pelajaran. Tidak jarang beberapa guru
menegurnya karena sering melamun di kelas, padahal pemuda itu baru berada di
sekolah ini selama sehari. Akan tetapi sudah banyak yang berubah bagi Yeon Hee.
Teett
teett…
“Baiklah, kita akhiri pelajaran untuk hari ini. Selamat
siang anak-anak.”
Guru berambut
sedikit coklat itu mengemasi buku-bukunya, lantas berlalu meninggalkan kelas.
Beberapa siswa langsung keluar tanpa berdoa. Sebagian lainnya menggeromboli
Luhan untuk sekedar basa-basi.
Yeon Hee menenteng tasnya dan berjalan melewati bangku
Luhan. Tatapan matanya tajam dan terlihat tidak suka dengan apa yang dilakukan
beberapa siswa perempuan yang genit pada pemuda itu. Namun Yeon Hee mencoba
bersikap acuh dan berjalan keluar.
“Maaf, ya, semua. Aku harus keluar. Kita bicarakan
besok lagi. Sampai jumpa.” Luhan segera meninggalkan kerumunan dengan sopan dan
mengejar seorang gadis yang telah keluar lebih dulu.
“Tunggu.” Luhan berhasil meraih lengan gadis itu.
“Lepaskan! Apa yang kau lakukan?”
“Kita harus bicara.”
“Tentang apa?
Bukankah kita tidak saling kenal?”
“Yeon, aku tahu kau marah. Maafkan aku yang telah
meninggalkan mu selama ini dan tidak sekalipun memberimu kabar. Tapi satu hal
yang harus kau ketahui, aku sangat merindukan dirimu dan kenangan kita.”
Gadis itu berbalik dan menatap Luhan lekat-lekat.
Matanya merah dan berair, ia menahan tangis. “Tidak seharusnya kau kembali, Lu.
Kita sudah mengakhiri semuanya. Bahkan, sudah tidak ada lagi kata ‘kita’ dalam
hidup ku dan hidup mu. Semua sudah berakhir dan tidak ada yang harus
dibicarakan. Aku harus pergi.”
Yeon Hee melepaskan genggaman Luhan. Baru selangkah ia
pergi, Luhan sudah menangkapnya. Mendekap tubuh mungilnya dari belakang.
“Yeon Hee, aku tahu aku memang salah. Tapi aku mohon,
tetaplah di sampingku. Aku akan menceritakan semuanya, jika kau mau
mendengarkanku. Aku berjanji kita tidak akan terpisah lagi.”
Yeon Hee tetap
keukuh dengan keinginannya yang ingin menjauh dan hilang dari kehidupan Luhan.
Namun seiring berjalannya waktu hati Yeon Hee pun luluh. Hal ini juga
disebabkan oleh kerja keras Luhan yang selalu mencoba untuk mendekati gadis
itu, mencuri perhatiannya, dan sikapnya yang selalu ramah serta selalu menolong
gadis berparas cantik itu.
Siapa sih yang tidak luluh dengan laki-laki setampan
Luhan? Selain tampan, ia juga ramah kepada orang lain. Ia pandai dan suka
menolong, serta selalu rendah hati. Sangat lain dengan sifat yang biasa
dimiliki oleh remaja laki-laki biasanya.
Hati Yeon Hee pun mulai memutar ke masalalunya.
Hari-hari yang dilaluinya tanpa sosok Luhan, akhirnya bisa ia dapatkan
sekarang. Momentum yang terasa hampa dan kehidupannya yang hambar beberapa
tahun lalu, kini mulai kembali berwarna. Benih-benih bunga mulai tumbuh di
hatinya yang sempat beku.
Sore hari yang cukup dingin. Yeon Hee sedang menikmati
latte hangat di kedai yang beberapa minggu terakhir ini selalu ia kunjungi
bersama Luhan. Hari Minggu adalah hari khusus yang ia siapkan untuk keluar
bersama Luhan. Meskipun setiap hari mereka memang akan beratatap muka di
sekolah, namun bagi sepasang manusia yang tengah berbunga-bunga ini, waktu enam
hari di sekolah serasa hanya satu hari. Jadi, mereka memutuskan untuk
mengkhususkan hari Minggu untuk keluar bersama. Tidak boleh ada acara lain.
Tidak boleh ada waktu yang mereka gunakan selain untuk pergi bersama.
“Yeon, menurutmu bagaimana jika kita kembali terikat
dalam hubungan yang dulu sempat terputus di antara kita?” cetus sosok jangkung
berparas tirus tersebut.
Yeon Hee yang
tadi sibuk mengamati ponselnya, kini langsung mengangkat wajahnya. Ia menatap
mata Luhan. Apakah ini serius atau hanya pura-pura?
“Maksud mu apa?” sahut Yeon Hee dengan suara samar
bergetar.
“Tentu kau tahu apa maksudku kan?”
Yeon Hee menelan ludah.
“Ayo kita mulai dari awal. Aku berjanji tidak akan
meninggalkanmu lagi seperti dulu. Bagaimana?” ulang Luhan dengan wajah samar
khawatir. Ia takut dengan bibir merah muda gadis yang duduk dihadapannya. Ia
takut dengan jawaban yang akan keluar nantinya.
“Ah kau ini. Ini bukan waktu yang tepat untuk
main-main. Sudahlah, minum saja latte mu, nanti keburu dingin dan tidak enak
lagi.” Yeon Hee mencoba mencairkan suasana. Jantungnya berdebar keras, dadanya
terasa menggebu-gebu seakan ada hal yang ingin ia utarakan dengan jujur.
“Yeon Hee, aku serius.”
Luhan meraih kedua tangan Yeon Hee yang sedang tenang
diatas meja. Ia menggenggam kedua tangan mungil itu.
Yeon Hee mengalihkan pandangannya menuju luar jendela.
Hujan diluar sana terasa seakan menembus kaca dan mengikat Yeon Hee hingga ia
sulit untuk merasakan kehangatan.
“Yeon Hee, lihat aku!” tegas laki-laki itu.
Yeon Hee menolehkan kepalanya dan menatap Luhan
lekat-lekat. “Aku tak tahu Lu. Aku hanya takut jika nanti perpisahan itu akan
terulang lagi. Aku takut kalau kau pergi meninggalkan aku lagi. Aku tidak mau
hal itu terjadi. Aku tidak mau merasakan perih untuk yang kesekian kalinya.”
Setetes air yang turun dari pelupuk mata Yeon Hee
terlihat berkilau karena tertimpa cahaya lampu. Ia meneteskan air mata.
“Astaga. Kenapa kau menangis? Aku tidak menyuruhmu
menangis kan? Aku hanya memintamu untuk menjawab ajakanku. Hanya itu saja, dan
jika kau tidak mau itu bukan masalah. Aku akan menerima kenyataan.”
Luhan menghapus air mata Yeon Hee dengan sapuan lembut
dari jemarinya.
“Aku akan mencoba.”
“Kau.. serius?” tanya Luhan tidak percaya
Gadis pemilik nama lengkap Han Yeon Hee ini tersenyum
yang diikuti dengan anggukan pelan.
“Aku berjanji, aku tidak akan meninggalkanmu seperti
dulu lagi.” Cetus Luhan gembira.
Ia langsung menarik tubuh mungil Yeon Hee dan
didekapnya erat-erat. Tidak peduli dengan tatapan dan omongan orang lain yang
sedang berada di sekitar sana. Yang terpenting adalah Luhan sangat bahagia
karena bisa mendapatkan gadisnya lagi.
DESTINY—CRYSTALZARRA
Waktu berputar sangat cepat hingga tanpa dirasa, hari
ini adalah hari kelulusan. Semua siswa dan siswi kelas 3 berkumpul di aula
sekolah. Mereka siap menerima hasil ujian mereka. Mereka juga siap untuk
mendengar pengumuman dari kepala sekolah yang akan menyatakan bahwa pada tahun
ini siswa lulus 100% dengan nilai yang membanggakan.
Luhan merangkul
bahu Yeon Hee berseri-seri sedangkan Yeon Hee hanya bisa tersenyum karena ia
diterjang perasaan berbunga-bunga bahkan wajahnya memerah karena malu. Mereka
berfoto untuk mengabadikan momen kelulusan.
“Yeon, aku akan melanjutkan kuliah. Bagaimana dengan
kau? Apa kau juga akan kuliah?” tanya Luhan saat mereka sedang duduk di kantin
sekolah sambil menikmati hari-hari terakhir keberadaan mereka di sekolah
tercinta ini.
“Entahlah, tapi kurasa aku tidak akan kuliah.” Sahutnya
ragu.
“Kenapa?”
“Jangan dipikirkan dulu, sekarang kita nikmati dulu
hari ini. Masalah kuliah bisa kita bicarakan nanti.”
“Yaa, baiklah.”
Mereka melalui hari itu dengan kegembiraan.
Lusa kemudian, Yeon Hee terus mencoba menghubungi nomor
ponsel Luhan. Namun tetap saja usahanya itu sia-sia. Ponsel Luhan tidak aktif
sedari kemarin. Bahkan Yeon Hee belum bertemu laki-laki itu sejak sepulang dari
pesta kelulusan sekolah. Apa yang sebenarnya terjadi dengan Luhan?
Hari-hari Yeon
Hee kembali berlalu tanpa warna. Tidak ada semangat dalam hidupnya. Namun
ibunya selalu memberi nasihat dan solusi, hingga membuat anak gadisnya bangkit
dari keterpurukannya. Yeon Hee membangun toko fashion dengan bantuan ibunya
yang selalu setia berada disampingnya. Terkadang Yeon Hee hanyut dalam
janji-janji Luhan sebelum kepergiannya, tapi ia membuka mata dan mencoba untuk
menghadapi kenyataan. Jika ada ibu yang selalu ada untuknya, untuk apa ia
memikirkan laki-laki yang hanya mempermainkan hatinya itu?
Kehidupan kembali berjalan sempurna. Bisnis fashion
yang ia geluti mendapatkan banyak apresiasi dari berbagai kalangan. Ia sempat
dinobatkan menjadi perancang busana terbaik pada suatu acara di luar negeri
untuk tahun ini. Rancangannya banyak diminati oleh masyarakat bahkan oleh artis
papan atas di berbagai negara. Kesedihannya mulai tergantikan dengan kebanggaan
dan kebahagiaan. Belum lagi ketika Yeon Hee melihat ibunya yang terlihat sangat
bahagia atas kerja kerasnya ini.
7
tahun kemudian.
Seorang pria
berpakaian rapi dengan kacamata hitamnya menyeret tas koper di bandara. Harum
sekali aroma tanah kelahirannya. Sudah lama ia pergi dari negara tercintanya.
Hal pertama yang ingin ia lakukan setelah menapakkan kakinya di Korea Selatan
adalah menemui seorang gadis pujaan hatinya. Setelah mengurusi berbagai
keperluan, ia langsung tancap gas mengendarai mobilnya untuk menemui seseorang.
Ia menatap pagar rumah bercat hitam dengan senyum yang
terkembang. Tanpa ragu ia membuka pintu mobil dan memasuki halaman rumah.
Ia mengetuk pintu pelan. Seorang gadis dengan
penampilan modern keluar untuk membukakan pintu. Gadis ini terkejut bukan main
ketika mendapati sosok yang amat ia rindukan telah berada di hadapannya.
“Luhan?” suaranya bergetar ketika mengundang nama
tersebut. Air matanya menetes karena haru.
Luhan tersenyum cengengesan. “Kenapa menangis? Kau
sudah besar tahu, dasar cengeng.” Ejeknya sembari mengacak-acak ujung rambut
Yeon Hee.
“Kau tidak punya perasaan. Sama sekali tidak.” Ujar Yeon Hee sembari memukul dada Luhan agak
keras hingga membuat laki-laki itu meringis kesakitan. “Kenapa kau pergi tanpa
memberi kabar padaku? Kau kan sudah berjanji tidak akan meninggalkan ku lagi.
Pembohong!”
Yeon Hee terus memukul tubuh Luhan disertai air mata
yang menetes.
“Hei hei, sudahlah. Hentikan. Jika kau terus memukuli
ku aku akan pergi lagi.” Ancam Luhan. Ia mencoba menangkap tangan Yeon Hee
supaya gadis itu tidak memukulinya lagi.
“Pergi saja. Kau memang tidak punya perasaan. Kau tidak
peduli dengan perasaanku kan? Sana pergilah.”
Yeon Hee menghentikan pukulannya. Ia membuang muka.
“Kau marah ya?”
Yeon Hee hanya diam. Wajahnya sangat sulit untuk
diartikan, antara sedih, kesal, dan senang.
“Baiklah, aku mengaku kalau aku salah. Jangan marah
seperti ini.” Luhan merasa sangat bersalah, terlihat jelas dari raut yang ia
pancarkan.
Tapi Yeon Hee tetap diam dan tidak menghiraukan
permintaan maaf Luhan, hingga membuat laki-laki itu putus asa. Namun ia tidak
kehilangan akal. Dengan gerakan cepat, ia menarik tubuh mungil Yeon Hee ke
dalam dekapannya.
Yeon Hee membulatkan matanya karena terkejut. Ia
meronta. “Lepaskan! Lepaskan aku!”
“Tidak, sampai kau mau memaafkan ku.”
“Tidak semudah itu ya kau meminta maaf kepadaku.”
“Baiklah. Aku akan terus memelukmu hingga kau memaafkan
aku.”
Yeon Hee pun
menyerah dan memaafkan Luhan. Kedua insan yang beberapa kali harus terpisah ini
menghabiskan waktu seharian untuk bercerita sedikit dari kehidupan yang tujuh
tahun ini dilalui sendiri. Luhan bekerja sebagai pengusaha muda yang sukses di
China. Ia mengambil liburan selama dua bulan untuk menyegarkan otaknya yang
lelah karena harus bekerja hingga larut malam. Entah mengapa, walaupun Luhan
sering pergi dan tidak memberi kabar, rasa sayang Yeon Hee tetap terbungkus
rapi dengan ukuran yang sama bahkan bertambah besar. Laki-laki itu selalu
membuat Yeon Hee bahagia meskipun Luhan tidak jarang memberikan harapan palsu
dan sering meninggalkannya.
Dua bulan berlalu dengan keseruan-keseruan baru yang
tercipta. Namun tiba-tiba Yeon Hee jatuh sakit hingga membuat Luhan sangat
khawatir. Selama seminggu ia koma di rumah sakit. Keadaannya kritis hingga
hanya kemungkinan kecil untuk terselamatkan. Setiap hari Luhan duduk di samping
ranjang Yeon Hee. Ia selalu berdoa kepada Tuhan supaya gadis baik hati seperti
Yeon Hee cepat disadarkan dari tidurnya yang panjang.
Setiap pagi
Luhan selalu mengganti bunga di kamar rawat Yeon Hee. Ia selalu membuka gorden
supaya matahari bisa menyinari dewi secantik Yeon Hee. Tak jarang Luhan membawa
gitar ke rumah sakit untuk menyanyikan beberapa lagu favorit mereka. Luhan juga
membacakan kitab suci disamping Yeon Hee. Ibu Yeon Hee hanya bisa menangis
melihat sikap Luhan yang sangat perhatian dan bersikap seolah anak gadisnya
sedang sadar.
Beberapa bulan terakhir ini, Yeon Hee sudah divonis
oleh dokter bahwa ia terkena kanker paru-paru stadium akhir. Kemungkinan
hidupnya hanya beberapa bulan dan mungkin bulan ini adalah bulan terakhir
kehidupannya.
31 Desember.
Yeon Hee tersadar dari komanya. Ia tersenyum menatap Luhan yang begitu
mencurahkan kasih sayangnya untuk gadis lemah seperti Yeon Hee. Seharian ia
bernyanyi dan menghabiskan tawa bersama Luhan dan sang Ibu. Gadis berusia 28
tahun ini terlihat sehat. Seperti tidak ada beban dan rasa sakit yang ia
rasakan. Padahal penyakitnya sudah mencapai stadium terakhir. Pukul sebelas
malam, Yeon Hee kembali tidak sadarkan diri. Hal ini membuat Luhan dan Ibunya
panik. Dokter menangani sekuat tenaga untuk menolong Yeon Hee.
00.01 Senin, 1 Januari. Dokter menyampaikan bahwa nyawa
Yeon Hee sudah melayang. Tuhan sudah memanggilnya untuk kembali ke pangkuanNya.
Ibu Yeon Hee menangis tersedu-sedu ketika mendengar kenyataan pahit ini. Luhan
berusaha menenangkan wanita paruh baya yang berada di sampingnya.
Kalimat terakhir
yang Luhan dengar dari bibir Yeon Hee sebelum ia kembali koma adalah, “Lu, aku
minta tolong supaya kau selalu menjaga Eomma. Mungkin umur ku hanya tinggal
beberapa jam lagi. Kalau dokter mengatakan nyawa ku sudah tidak ada, aku minta
padamu supaya kau tidak menangis ya. Kalau Eomma menangis, tolong kau tenangkan
dia. Aku tidak ingin ada yang bersedih saat aku pergi. Oya Lu, aku ingin
mengatakan sesuatu padamu, kalau sebenarnya aku cintaaa padamu. Hehe.” Bahkan
Yeon Hee bisa tertawa renyah.
Luhan berurai air mata ketika mendengar suara Yeon Hee
yang masih terngiang di kepalanya. Mungkin inilah takdir yang sudah diatur oleh
Tuhan. Yaa inilah takdir.
THE END
0 Response to "Destiny"
Post a Comment