Memories in The Rain



When the rain came down with a painful memories

AOA’s Hyejeong and EXO’s Kai | Sad | PG | Oneshot |OreoPresent Artwork | Crystal,2015

HYE JEONG menempelkan jari-jemarinya ke kaca jendela yang berembun karena hujan yang turun sejak sore tadi. Setiap melihat hujan, ia selalu terkenang akan masalalunya bersama seorang laki-laki yang sangat baik. Masalalu yang indah. Penuh akan kenangan dalam suasana gembira, senang, sedih, mengecewakan, menjengkelkan, semua lengkap menjadi satu. Namun hal itu terjadi sebelum sebuah kecelakaan maut mengubah alur cerita menjadi sangat mengerikan.

MEMORIES IN THE RAIN

Siang hari itu terasa sangat panas. Cahaya matahari yang menembus awan putih dengan background langit berwarna biru menghias suasana siang itu. Usai sepulang sekolah, Hye Jeong bersama seorang kekasihnya dan beberapa sahabatnya berkumpul di suatu café untuk merayakan hari ulang tahun Hye Jeong yang ke tujuh belas tahun.

“Kai, Thousand Years,” ujar Hye Jeong lembut

Kim Jong In mengangguk dan mulai memetik senar gitarnya untuk mengiringi Hye Jeong bernyanyi.

Hearts beat fast, colors and promises, how to be brave, how can I love when I’m afraid to fall? But watching you stand alone, all of my doubt suddenly goes away somehow, one step closer..

I have died everyday waiting for you, darling done be afraid, I have love you for a thousand years, I’ll love you for a thousand more..

Time stands still, beautiful in all she is, I will be brave, I will not let anything take away, what’s standing in front of me, every breath, every hour has come to this, one step closer..

Dan hingga akhir lagu, Hye Jeong dan Kai bernyanyi bersama seakan memaknai isi dari lagu itu. Tanpa diberi perintah, air mata Hye Jeong menetes melewati pipi karena sangking terharunya.

Kai menghapus air mata Hye Jeong, “Kenapa menangis?” ujarnya sembari menangkup kedua pipi Hye Jeong

Hye Jeong terisak. “Tidak, aku hanya terharu. Aku bahagia.”

Kai tersenyum, kemudian ia mengelus rambut Hye Jeong yang tergerai bebas. “Sorry if I can’t accompany you like in this song. My age may not reach a thousand years, but my love will never fade until thousand even millions of years to come. I will always love you.”

 “Thanks for Everything. I will always love you too. You are the only man who can be the root of my life after my father's death.

Sejenak ditatapnya kedua mata penuh keteduhan milik Kai. Kemudian Hye Jeong tak kuasa untuk menahan sejuta air bening di pelupuknya. Ia menangis terisak dan langsung menghambur ke dada Kai yang bidang dan menenangkan itu.

Kai tersenyum untuk kemudian ia membelai lembut rambut sang kekasih dengan segenap kasih sayang yang ia miliki. Sebelah tangannya pun turut memeluk pinggang Hye Jeong. Dan kepalanya di atas bahu Hye Jeong.

“Kalian sangat serasi. Membuat ku menjadi iri. Hye Jeong, kau sangat beruntung dapat merayakan sweet seventeen bersama kekasihmu. Sedangkan aku, bahkan orangtuaku lupa,” ujar Cho Ah iri.

Hye Jeong hanya tertawa kecil sambil menghapus air matanya.

“Potong kuenya dulu dong.” Yu Na seakan teringat sesuatu dan langsung menyerahkan sebuah pisau pada Hye Jeong.

Diiringi nyanyian ala ulang tahun, Hye Jeong memotong kue itu dan memakannya bersama sahabat dan kekasihnya. Sungguh memori yang patut untuk dikenang untuk selamanya. Ini akan menjadi the best sweet seventeen untuk Hye Jeong.

Sore menjelang malam, hujan mengguyur kawasan ibu kota. Genangan air terdapat di mana-mana. Angin berembus kencang. Sangat bertolak belakang dengan suasana siang tadi. Yuna dan Choa telah pulang terlebih dahulu karena terdesak dengan urusan lain. Hye Jeong hanya menatap hujan dari balik jendela. Bibirnya tertarik ke bawah, membentuk sebuah lekukan masam.

“Sejak tadi hujan terus turun. Merusak rencana saja,” kata Hye Jeong dengan kesal.

“Jangan menyalahkan hujan,” bantah Kai dengan suara lembut.

“Lalu aku harus menyalahkan siapa?”

Kai hanya tersenyum. Ia memang murah senyum dan selalu tersenyum di saat menemui kesulitan sekalipun. “Hye?” panggilnya lirih

“Ya?”

“Jika seandainya aku tidak bisa menemanimu lagi setelah ini, bagaimana?”

Pertanyaan yang aneh. Alis Hye Jeong pun saling bertautan. “Apa yang kau bicarakan? Kau ingin pergi? Kalau iya, kau akan ke mana? Kapan akan kembali? Kau harus tahu, aku tidak akan bisa hidup tanpa kamu di sampingku.”

Kai tersenyum. “Sangat lama. Mungkin kita tidak akan pernah bisa bertemu lagi. Tapi kau tidak perlu khawatir karena aku akan selalu ada di hatimu untuk selamanya.”

“Kau ini mengatakan apa, huh? Kenapa kau berujar seolah-olah kau akan pergi jauh? Kau bosan dengan ku? Ingin mencari gadis lain, yang lebih dari ku? Tapi kenapa? Kau kan tahu kita sudah berhubungan sangat lama. Tidak mungkin jika aku harus hidup tanpa mu.”
Kai menggeleng, lalu mengecup kening kekasihnya ringan. Kemudian ia tak lagi mengeluarkan suara. Ia hanya menatap hujan hingga hampir reda.

Hye Jeong merasa ada yang aneh dengan Kai, tapi ia hanya menganggap itu hal yang biasa. Kai kan memang suka mengajukan pertanyaan yang aneh-aneh.

“Kita pulang sekarang?” tanya Hye Jeong membuka percakapan setelah hampir setengah jam mereka saling membisu.

“Kai?” panggil Hye Jeong ketika ia tak mendapat respon

“Kim-Jong-In..” tangan Hye Jeong mendarat di bahu Kai

Kai terlihat sangat terkejut.

“Kau kenapa? Kau terlihat sangat-sangat aneh. Jangan-jangan kau memang sudah bosan denganku. Lalu tadi kau berkata tidak dapat bersama ku untuk waktu yang lama. Kau bilang kau ingin pergi. Apa maksud mu itu, kau ingin mencari kebahagiaan dengan gadis lain?” kecurigaan Hye Jeong mulai memuncak.

Kai hanya diam.

“Benar apa yang tadi ku katakan? Katakan sejujurnya, Kai!”

Kai hanya menunduk seolah apa yang tadi dikatakan Hye Jeong adalah sebuah kebenaran.

“Jadi benar begitu?” tanya Hye Jeong lagi. Suaranya bergetar. Ia mendongak mencoba untuk menahan air matanya agar tidak tumpah.

“Baiklah kalau kau ingin seperti itu. Mari kita akhiri hubungan kita.”

Hye Jeong langsung berlari keluar café dengan air mata berurai.

“Tunggu, Hye!” teriak Kai namun Hye Jeong tetap berlari tanpa menghiraukannya. Hal ini membuat Kai langsung mengambil tas ransel, jaket, dan gitarnya, lalu berlari menyusul Hye Jeong.

Ditengah jalan yang sepi, Kai berhasil meraih lengan Hye Jeong. “Hye Jeong, kau salah!”

“Tidak!” bentak Hye Jeong tak mau kalah.

“Sungguh aku tidak berniat untuk mencari penggantimu.”

“Bohong!”

“Aku bersumpah.”

“Aku tidak percaya! Jika aku memang salah, kenapa kau hanya diam dan tidak membantah pernyataanku?”

Kai tertunduk lesu, genggamannya mengendur.

“Bahkan kau sudah tidak berniat untuk menahanku lagi?” Setengah membentak, Hye Jeong mencoba mencari kejujuran dari mata Kai yang sembunyi dalam tundukan kepala yang dalam.

Setelah menatap Kai kecewa, ia kembali berlari menjauh.

Kai mengangkat kepalanya. Merasa kecewa karena ia tidak dapat membalas semua pernyataan Hye Jeong yang salah itu. Kini Hye Jeong telah berjalan cukup jauh darinya, memaksa Kai harus berbalik.

Namun sebuah mobil sedan putih dengan lampu kuning menyala sangat terang dan dengan kecepatan yang tinggi menabrak tubuh jangkung Kai. Di tempat kejadian itu tubuh Kai terpental beberapa meter ke depan. Hidungnya patah dengan darah yang tidak ingin berhenti. Sebelah matanya membengkak dengan sedikit darah di ujung mata. Hampir semua tulangnya patah dan darah berceceran dimana-mana.

Hye Jeong yang merasakan ada sesuatu di belakangnya, membuat ia berbalik. “Tabrakan di depan café? Jangan-jangan…??” Tanpa pikir panjang, Hye Jeong langsung berlari menuju tempat kejadian dengan hati was-was, khawatir dan takut.

Kerumunan banyak orang membuatnya sulit untuk menjangkau siapa yang mengalami kecelakaan. Namun setelah bersusah payah, ia pun dapat mengetahui siapa yang mengalami kecelakaan itu.

“KAI..!!!” teriaknya histeris

MEMORIES IN THE RAIN

Hye Jeong menelungkupkan tangannya untuk menutupi wajah. Ia masih sangat syok dengan kejadian sore tadi. Kini ia harus menunggu informasi lanjut dari dokter yang tengah melakukan pemeriksaan di balik pintu hijau itu. Orang tua Kai sedang ada urusan bisnis di China. Namun setelah mendapat kabar dari Hye Jeong, mereka bilang akan segera kembali ke Korea secepatnya.

“Hye Jeong!!” panggil Yuna dan Choa hampir bersamaan dengan nada cukup tinggi dan wajah penuh kekhawatiran.

“Bagaimana Kai?”

Hye Jeong menatap kedua sahabatnya bergantian, “Dokter sedang melakukan pemeriksaan,” jawabnya kemudian dengan air mata berurai.

Calm down, Hye. Everything is gonna be okay,” ujar Choa mencoba menenangkan sahabatnya.

“Bagaimana bisa? Kondisi Kai terakhir kali sangat parah. Aku takut kehilangan dia. Aku belum siap. Aku masih ingin malalui hari-hari ku bersamanya. Aku masih ingin bernyanyi bersamanya, makan bersama, bercanda bersama, pokoknya aku ingin tetap bersamanya. Aku menyayanginya. Aku tidak ingin kehilangan dia.”

All will be fine. Kai akan tetap di sini, bersama kita semua. Dia hanya butuh operasi dan sebentar lagi dia akan sadar, sehat, dan menyertai kehidupan kita lagi. Aku yakin dia akan selamat.”

Never mind, don't cry anymore. Lebih baik kita berdoa kepada Tuhan untuk keselamatan Kai. semoga Kai baik-baik saja dan ia tidak apa-apa setelah sadar nanti.”

“Baiklah, kau memang benar. Mari kita beribadah kepada Tuhan dan mendoakan keselamatan Kai,” jawab Hye Jeong menyetujui sambil menghapus sisa-sisa air matanya.

Mereka pun memilih untuk ke tempat ibadah di dekat rumah sakit dan memanjatkan doa kepada Tuhan. Hanya satu pinta Hye Jeong untuk saat ini, berilah keselamatan untuk Kai wahai Tuhan. Sebulir air bening kembali melintas di pipi lembut Hye Jeong.

Tak lama kemudian, mereka kembali ke rumah sakit dan duduk di bangku dekat ruang pemeriksaan. Hati Hye Jeong sangat gelisah, ia takut jika takdir memaksanya untuk berpisah dengan Kai. Ia pun terpikir oleh kalimat-kalimat Kai di café tadi. Apakah maksud kalimat Kai adalah kematian yang akan segera menjemputnya? Hye Jeong menggeleng.

Pasti ini hanyalah perasaanku saja. Aku terlalu takut bila harus kehilangannya. Aku terlalu takut jika harus berpisah dengannya. I'm too scared if he will go left me alone in this world.

Selama beberapa jam kemudian, Hye Jeong, Yuna dan Choa masih digantungkan dengan perasaan takut oleh tim medis. Akhirnya informasi lanjut akan segera didengarnya ketika jam dinding telah menunjukkan hampir tengah malam.

“Dokter! Bagaimana?” tanya Hye Jeong antusias dengan perasaan harap-harap cemas

Padahal pintu ruang pemeriksaan baru saja dibuka, namun Hye Jeong telah sigap meminta penjelasan.

“Anda keluarga korban?”

“Tentu saja,” sahut Hye Jeong dengan cepat.

Dokter itu hanya terdiam. Wajahnya terlihat sangat kebingungan.

“Dokter?”

“Maaf. Kami telah berusaha sekuat tenaga. Mungkin ini telah menjadi jalan Tuhan. Permisi,” jawab Dokter itu singkat namun berhasil membuat hati Hye Jeong hancur menjadi berkeping-keping.

Tubuh Hye Jeong langsung roboh ketika mendengar itu. Air matanya tak lagi menetes, tapi  bola matanya jauh menerawang ke masa-masa di mana ia melakukan semuanya bersama Kai.

Oh Tuhan, apakah ini benar rencanaMu? Apakah harus sepahit ini? Sungguh kejam bila Engkau harus mengambil seseorang yang amat berharga di dalam hidupku. Seseorang yang selama ini telah merelakan semua waktu dan perhatiannya hanya untuk aku. Orang yang selalu mengarahkanku ke jalan yang benar. Dia yang selalu memberiku nasehat, semangat, dan tawa yang selalu menghias di bibirku. Kenapa engkau harus mengambilnya sekarang? Aku masih belum puas. Aku belum menghabiskan sisa umurku untuk bersamanya. I'm not willing when he should lose. Aku sangat tak rela!! I want him to always keep company with soul and her own body. Forever in my life.

Semua gelap.
          
MEMORIES IN THE RAIN

Perlahan mata Hye Jeong terbuka. Semua buram. Jauh di hadapannya sosok laki-laki dengan pakaian serba putih tengah berdiri dengan senyum yang tak pernah pudar.

“Kim…Jong In..??” panggil Hye Jeong sangat ragu

“Tidak perlu ragu untuk memanggilku, Sayang. Aku selalu ada di sini untuk kamu.”

“Kenapa pakaianmu seperti itu? Bukan kamu yang biasanya.”

“Kini aku bukanlah seperti yang dulu. Aku telah berubah karena aku akan menghadap kepada sang pencipta.”

“Maksud kamu apa?”

“Tuhan telah memanggilku, Hye Jeong. Aku akan kembali kepadaNya.”

“Secepat ini? Tapi aku masih ingin menghabiskan sisa hidupku bersama kamu. Hanya bersama kamu.”

“Maaf. Tapi inilah waktu yang telah ditentukan oleh Tuhan. Saat di mana aku harus menghadapNya untuk mempertanggung jawabkan semua yang telah aku lakukan di dunia ini.”

“Apa aku masih dapat bersamamu?”

“Tentu saja. Suatu saat nanti kita akan dipertemukan kembali.”

“Tapi kamu tidak akan berada di sampingku lagi.” Dengan wajah sendu Hye Jeong menatap wajah Kai yang bersinar.

“Selalu. Aku selalu berada di sisimu.”

“Baiklah kalau memang ini adalah jalan yang seharusnya kita jalani. Aku akan membiarkanmu pergi, tapi kamu harus tahu bahwa aku tidak rela bila harus kehilanganmu.”

“Itu tidak benar, Hye. Kamu harus merelakanku. Biarkan aku pergi dengan senyumanmu. Biarkan aku menghadap kepada Tuhan dengan keikhlasan yang menyertaiku.”

MEMORIES IN THE RAIN

“Kai?!”

“Hye Jeong, gwaenchana? Sedari tadi kau terus menyebut nama Kai. Kami semua sangat khawatir dengan keadaanmu. Apa kau baik-baik saja?”

“Kai di mana?”

Semua wajah dihadapan Hye Jeong seketika berubah menjadi sedih, muram, dan kehilangan.

“Kai di mana?!”

Tidak ada jawaban

“Choa! Yuna!” bentak Hye Jeong

“Dia sudah pergi,” jawab Yuna lirih tanpa mengangkat kepalanya

“Kai?” panggil Hye Jeong lirih. Matanya menerawang jauh. “KAI!!!!” teriaknya histeris.

Hye Jeong langsung membuang selimut yang sebelumnya membalut tubuhnya. Ia mengacak-acak seluruh benda yang ada di atas meja hingga sebuah gelas pecah karenanya. Ia menarik helai-helai rambut panjangnya. Air matanya pun tumpah hingga tidak dapat terbendung lagi.

“Hye Jeong.. Hye Jeong.. sabar.. tenang..” Yuna langsung berlari mendekap tubuh sahabatnya yang sangat shock dan bahkan frustasi dibuatnya.

Choa hanya dapat menangis melihat sahabatnya. Ia juga merasakan sedih atas meninggalnya Kai. Baginya Kai adalah sahabat yang amat baik yang dapat mengerti keadaan.

“Tidak! Ini semua tidak mungkin terjadi! Kai masih hidup. Dia tidak boleh meninggalkan aku sendiri! Aku menyayanginya dan dia menyayangiku. Tidak ada yang bsia memisahkan kita! Tidak ada,” Hye Jeong terisak, “..selain Tuhan” lanjutnya seperti bisikan.

“Hye Jeong, lebih baik kita ke pemakaman Kai, sekarang.” Ajak Choa menahan tangis

“Benar Hye. kita doakan dia supaya dia bahagia di alamnya. Kemarin kau belum sempat mendoakannya kan?” Bujuk Yuna

“Ya,” jawabnya singkat

Yuna memapah Hye Jeong berjalan hingga halaman rumahnya. Dua hari pingsan, membuat Hye Jeong tidak dapat ikut di hari pemakaman Kai. Kini dengan bimbingan kedua sahabatnya, Hye Jeong menaiki mobil Choa dan perjalanan menuju tempat pemakaman Kai.

Batu nisan bertabur dimana-mana. Rerumputan dan tanaman liar tumbuh memanjang di tepian. Kaki Hye Jeong berjalan menyusuri berbagai makam dengan bimbingan kedua sahabatnya. Mereka pun tiba di sebuah pemakaman yang masih baru. Disanalah tertulis nama, tempat dan tanggal lahir, serta tempat dan tanggal wafatnya.

Air mata Hye Jeong tak lagi menetes. Ia hanya menatap batu nisan itu tanpa berkedip. Kemudian ia memejamkan matanya sejenak menikmati hawa sejuk di sore hari. Kakinya seakan tak bertulang dan tanpa diperintah langsung berlutut di tepi makam tersebut. Ia menyatukan kedua tangannya dan menghembuskan nafasnya pelan. Ia berdoa.

“Semoga kamu tenang disisiNya.” Ujar Choa berat


Thanks for all the memories you’ve carved in our lives. You are a very good friend. You will always be in our hearts, especially for Hye Jeong” kata Yuna sambil mengelus bahu Hye Jeong yang telah selesai berdoa.

“Sampai jumpa Kai. You are the best for me, only you baby.” Ujar Hye Jeong dengan perasaan hampa.

“Ayo pergi.” Ajak Hye Jeong setelah cukup lama menatap nisan Kai.

“Secepat ini? Apa kau sudah puas untuk meluapkan semuanya?” tanya Choa meminta keyakinan

“Untuk apa berlama-lama disini. Ini semua tidak akan membuat perasaanku tertata seperti sebelumnya.”

Tanpa menunggu teman-temannya, Hye Jeong berjalan mendahului. Choa dan Yuna saling bertatapan satu sama lain, kemudian mereka menyusul Hye Jeong yang telah jauh di depan sana.

MEMORIES IN THE RAIN

Hye Jeong menutup gorden putih berenda, juga menutup layar kisah di masa lampau. Biarlah semua yang berlalu hanya menjadi sebuah kenangan. Meskipun perasaannya masih belum dapat kembali normal setelah kematian Kai. Meskipun sepuluh tahun telah berlalu, meskipun hatinya masih tertutup, namun ia telah menjalani sebuah kehidupan baru bersama seorang lelaki dewasa yang amat menyayanginya. Ia adalah Wu Yi Fan atau lebih akrab disapa dengan panggilan Kris.

“Ada apa sayang?”

Hye Jeong terkejut dan langsung berbalik. Sosok tubuh jangkung telah berdiri di salah satu anak tangga pualam.

“Tidak ada apa-apa.”

“Benarkah? Tapi jika ku lihat dari raut wajahmu, sepertinya kamu teringat akan kenangan sepuluh tahun yang lalu. Iya kan?”

“Kau selalu dapat menebak apa yang sedang aku pikirkan maupun apa yang sedang aku rasakan, Kris.”

Kris tersenyum, “Tentu saja, aku kan suamimu.”

Kris berjalan menghampiri Hye Jeong dan memberikan secangkir cokelat hangat. “Minumlah. Supaya hatimu lebih tenang.

“Terima kasih.”

“Kembali.”


THE END


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Memories in The Rain"

Post a Comment