Penantian Tak Berujung


Luhan and OC’s Jihyo | Sad | PG | Oneshot | Cha13 Artwork | Deev,2015

Menanti sebuah keajaiban yang menghampiri.

         Setangkai daun kuning perlahan terlepas dari tempat singgahnya selama ini. Berayun di satu sisi, menikmatinya dalam jangka tiga detik. Sentuhan lembut dari angin membuatnya tergerak. Berlari seakan ingin menghindar. Menari ditengah-tengah dunia. Melepas beban berat yang sudah lama dipendamnya. Ditemani beberapa rumput liar sekitar, dengan latar padang ilalang yang tak henti hentinya menari ketika diterpa angin dingin.

Seorang gadis yang mengenakan dress selutut itu hanya menatap hamparan kenampakan alam yang tersuguh dihadapannya. Tertata dengan harmonis dan serasi dengan langit yang mulai memudar. Menyisakan kilatan jingga tanpa serabut awan.

Ia menghela napasnya. Meski berat dan amat menyiksa, ia bertekad akan melakukannya setiap hari. Menanti sebuah keajaiban menghampirinya.

Tangan mungilnya meraih sebuah buku bersampul biru disampingnya. Membuka lembar-perlembarannya. Merasakan sebuah sensasi yang tersisa.

[27 November]

Kau datang menemuiku dengan pakaian lusuh. Lumpur di mana-mana, memenuhi hampir setiap jengkal tubuhmu. Meski begitu, kau tampak tampan, seperti biasanya. Aku bisa melihat raut kegelisahan di wajah pucat milikmu. Tapi tetap saja, senyum itu tak pernah pudar.


- FLASHBACK ON –

Pemuda itu tak henti hentinya mengukir lekuk bahagia di bibirnya. Ia tersenyum, menatap gadis di hadapannya.

“Aku senang kau datang menemuiku.”

Pemuda itu tersenyum lagi, entah untuk keberapa kalinya. Ia menyodorkan setangkai bunga yang sebelumnya tersembunyi di balik punggung.

“Aku membawanya untukmu, Jihyo.”

Senyum itu memudar ketika gadisnya menampakkan raut tak suka. Lekuk bibirnya jatuh ke bawah, membuat gadis di hadapannya hanya menundukkan kepala.

“M-maaf. Apa aku— ah tidak.. aku tidak akan mengatakannya.”

Keningnya berkerut, “Kau kenapa, Jihyo-ya?

Yang ditanya hanya diam, meratap dalam, jauh pada dirinya yang utuh.

Tangan pemuda jangkung itu tergerak, hendak menjangkau tubuh Jihyo—kekasihnya.

“Tidak!”

“Ada apa, Sayang?”

“Jangan dekati aku!”

“Kenapa? Apa yang terjadi, Sayang?”

“Tidak, jangan sebut aku dengan kata itu lagi. Aku tidak bisa menerima kalimat sayangmu lagi.”

Luhan tak menyahut. Hanya diam, mematung di tempatnya. Ia hendak menyentuh wajah gadisnya, namun gagal ketika Jihyo mengangkat kepalanya.

“Aku harus pergi, Oppa.”

Luhan tertohok ketika mendengar kalimat yang selama ini ia harapkan tak pernah keluar dari bibir gadisnya. Tapi ternyata detik ini, kalimat itu meluncur bagai peluru yang menerjang hatinya. Nyeri, sakit, dan menyedihkan.

“Ayahku sudah mengetahui hubungan kita. Bahkan dia menyewa beberapa orang untuk mengawasiku. Maaf, karena beberapa hari terakhir aku tidak bisa menemuimu.”

“Lalu bagaimana kau bisa sampai di sini jika mereka amat ketat menjagamu, Sayang?”

Eomma membantuku untuk kabur. Besok aku akan berangkat ke Seoul. Pukul sembilan pagi. Aku kemari untuk berjaga-jaga jika esok hari aku tak bisa bertemu denganmu, Oppa.”

Mata gadis itu berkaca-kaca. Menahan jutaan lara di balik pelupuk mata. Menginstruksikan supaya ia tak menangisi perpisahan, yang memang sangatlah berat baginya.

Luhan menatap iba pada gadis yang diketahuinya memiliki hati serapuh salju dan selembut kapas. Ia menarik Jihyo ke dalam dekapannya. Membiarkan gadis itu menumpahkan segala kesedihan yang sudah ditahan sejak awal perbincangan mereka.

Pertahanan yang dibuatnya hanya sia sia, karena pada Luhan, ia bisa meluapkan semua yang terpendam di hatinya. Ia menangis tersedu-sedu hingga membuat pakaian pemuda itu basah tak terkira. Jihyo menarik tubuh jangkung Luhan, mendekapnya semakin erat, enggan melepas malaikat berharganya.

Luhan diam terpaku. Membiarkan gadisnya menempati dada bidangnya untuk terakhir kali. Entahlah, Luhan hanya bisa diam seakan menerima semua keputusan ayah Jihyo yang dari awal memang tak menyetujui hubungan seorang anak berada dengan pemuda dari kalangan rendah yang memiliki orangtua seorang pekerja kebun.

Luhan meletakkan dagunya di pundak Jihyo. Merasakan tubuh gadis mungilnya yang bergetar akibat menangis. Ia memejamkan mata, merasakan setiap tiupan angin yang menyapu wajahnya dan sesekali memainkan surai cokelatnya.

“Kau harus segera pulang, Jihyo-ya,” bisik Luhan tepat di daun telinga gadisnya. “Kau harus kembali sebelum ayahmu menyadari ketidakberadaanmu di dalam rumah. Jika ia mengetahuinya, mungkin besok kita tak bisa bertemu lagi.”

Jihyo menitikkan air mata ketika mendengar penuturan Luhan yang terkesan putus asa. Ia melepas diri darinya. Kemudian menatap wajah tirus milik Luhan dengan mata berair dan wajah yang pasti sangat berantakan.

Oppa, jangan pernah ucapkan selamat tinggal padaku. Berjanjilah untuk menungguku apapun yang akan terjadi.”

Luhan tak menjawab, ia hanya menyentuh surai hitam gadisnya. Merapikan anakan rambut yang sempat menutupi wajah cantiknya. Kemudian menyapu kedua pipi Jihyo dengan sangat lembut dan penuh perasaan yang disalurkan oleh jemarinya. Lekat-lekat ia menatap wajah itu, wajah seorang gadis yang mungkin tak akan bisa ditemuinya lagi.

Jihyo tak bergeming. Membiarkan adu pandang penuh arti antaranya dengan Luhan berlangsung lebih lama, sebelum ujung kakinya berjinjit. Mendekatkan wajahnya pada wajah pemuda itu. Kemudian menciptakan ciuman pertama dalam seumur hidup mereka. Tiga detik. Jihyo menarik wajahnya, menatap pemuda itu lekat lekat.

Luhan tadinya tak menyangka sama sekali akan mendapatkan ciuman pertamanya dari sosok Jihyo setelah tiga tahun menjalani hubungan sebagai sepasang kekasih. Ia hampir menitikkan air matanya, namun tertahan di pelupuk. Kemudian menyambung ciuman yang belum usai itu. Melumat bibir tipis gadisnya, menyalurkan perasaan cintanya lewat bibir yang saling bersentuhan. Bahkan Jihyo dengan senang hati membalas ciuman itu.

Hingga sebuah teriakan mengejutkan keduanya. Seorang pria paruh baya dengan setelan jas, terburu-buru menghampiri Luhan dan Jihyo. Dengan kasar ia menarik lengan Jihyo, yang terpaksa mengakhiri ciuman yang seharusnya masih berlangsung cukup lama.

“Ayah sudah mengatakannya berapa kali, kau tidak boleh bertemu dengan pemuda rendahan sepertinya!”

“Tapi aku mencintainya, Ayah! Aku tidak ingin berpisah darinya. Aku ingin bersama Luhan selamanya! Aku tidak ingin ke Seoul, aku hanya ingin menetap di sini.”

“Tutup mulutmu!”

Pria itu menarik—lebih tepat menyeret- putri semata wayangnya. Menyingkir dari hamparan ilalang yang luas ini.

Luhan hendak membantu Jihyo lepas dari kekangan ayahnya, namun terlambat. Karena ia sendiri tak bisa melepas diri dari beberapa pria berbadan kekar yang sudah diperintah Tuan Lee untuk menghabisinya.

“Jangan, Ayah! Kau tak boleh melukai Luhan!” seru Jihyo ketika melihat pemuda jangkung itu sudah dipukuli oleh empat orang suruhan ayahnya.

Tuan Lee lebih kasar menyeret putrinya, memasukkannya ke dalam mobil dan melajukannya secepat mungkin. Menyisakan tubuh Luhan yang sudah babak belur. Darah segar mengalir dari beberapa luka di wajah dan tubuhnya. Membuatnya tak berdaya, bahkan untuk duduk saja tak sanggup. Ia mengerang atas rasa sakit di sekujur tubuhnya.

***

Pagi pagi buta ketika Jihyo membuka matanya, ia dikejutkan dengan penjagaan rumah yang amat ketat. Ia mulai khawatir bila Luhan benar-benar tak bisa bertemu dengannya lagi. Dengan langkah pelan, mencoba tak menghasilkan derap langkah kaki, Jihyo menuruni anak tangga dengan tujuan pintu utama.

“Kau mau ke mana?”

Teguran dari seseorang yang tak diharapkan, mengejutkan Jihyo.

“Aku hanya ingin mengambil minum di dapur.”

“Ayah tahu apa yang ingin kau lakukan, masuk ke kamarmu!”

“Ayah, aku hany—”

“Masuk ke kamarmu!”

Jihyo hanya bisa menuruti perintah ayahnya yang keras kepala. Bahkan ibunya juga tak bisa membantu. Hingga pukul delapan pagi, Jihyo baru diperbolehkan keluar kamarnya, untuk bersiap sebelum berangkat ke bandara.

Kala itu matahari bersinar teramat terang, sangat bertolak belakang dengan perasaan Jihyo. Gadis itu membuka pintu mobil dengan ragu. Mengedarkan pandangannya liar, guna menemukan sosok Luhan yang belum juga terlihat. Akhirnya Jihyo berat hati memutuskan untuk segera masuk ke dalam mobilnya. Mesin itu mulai menyala, menggerakkan mobil.

“Jihyo-ya! Jihyo!”

Teriakan itu menerjang hingga gendang telinga gadis yang tengah duduk dengan ibunya di dalam mobil. Jihyo melirik ibunya yang memberi isyarat untuk melihat ke belakang.

Luhan tengah berlari dengan pakaian lusuh yang dipenuhi lumpur. Ia membawa setangkai bunga mawar, kesukaan Jihyo. Mengibas-ibaskan di udara, berharap gadisnya bisa melihat keberadaannya. Meskipun rasa sakit masih menjalari tubuhnya, Luhan tetap bersikeras untuk menemui Jihyo. Ia kira ayah Jihyo tidak akan berangkat sepagi ini, tapi ternyata dugaannya salah.

Oppa,” lirinya. Jihyo segera membuka jendela dan menyembulkan kepalanya untuk melihat wajah Luhan lebih jelas.

“Jihyo!”

“Aku disini Oppa!”

“Aku akan menemukanmu, Jihyo. Jangan khawatir, karena aku akan datang padamu, Sayang!”

“Aku akan menunggumu, Oppa! Aku mencintaimu!” teriaknya penuh semangat.

“Aku juga, Sayang!”

Pemuda itu tetap berlari sekuat tenaga, bahkan tersenyum cerah pada gadisnya. Meskipun sebenarnya hatinya sangat sakit dan luka di sekujur tubuhnya amat menyiksa. Ia pastikan, pertemuan terakhirnya kali ini tetap menyuguhkan senyuman untuk Jihyo.

- FLASHBACK OFF –


Setitik air bening menetes hingga menyentuh lembar kertas kusam yang masih terbuka dipandangannya. Gadis itu—Lee Jihyo—menangis ketika mengingat wajah pemuda yang hingga detik ini masih dicintainya.

“Aku masih menunggumu, Oppa,” ungkapnya dengan bibir yang bergetar dan sensasi tawa menyedihkan.

Gadis itu memeluk lututnya, menangis dalam diam. Mengukir luka dalam hatinya dengan
mengingat kenangan pahit itu. Bahkan ia sama sekali tak tahu-menahu bagaimana kabar pemuda itu sekarang ini, apa hidupnya membaik, dan apakah hatinya masih utuh dipersembahkan untuk Jihyo—ia tak tahu, sama sekali.

Sebuah sentuhan ringan mendarat di pundak Jihyo. Sontak membuat gadis itu sedikit mengangkat kepalanya dan berusaha menghapus jejak air matanya sesegera mungkin.

“Apa kau sedang menangis?”

Kepala gadis itu menggeleng lemah. “Anniya, aku tidak menangis.”

Orang itu tertawa kecil, “Lantas kenapa suaramu parau dan juga bergetar?”

Jihyo mencoba mengatur deru napas yang mengembara, “Aku sedang flu, mungkin itu merupakan salah satu efeknya,” dustanya.

Ia memutar wajahnya, memanjakan matanya pada hamparan ilalang yang tersuguh. Kemudian mengambil keputusan untuk duduk disamping gadis itu.

“Kenapa kau ada di sini?”

“Aku sedang menunggu seseorang.”

“Siapa namanya? Apakah aku adalah orang yang sedang kau tunggu?”

“Jangan bercanda, bahkan kita tak saling mengenal.”

“Kau tak mengenaliku, karena kau tidak berniat untuk menatap wajahku.”

DEG!

Apakah mungkin... Luhan? Tapi kenapa suaranya berbeda?

Jihyo mengangkat wajahnya, menoleh ke samping. Senyum di bibirnya memudar seketika.

Kau bodoh, Jihyo. Mengharapkan sesuatu yang tak pernah jelas.

“Sehun,” Undangnya ketika menyadari seseorang yang hadir di sampingnya. Adalah temannya ketika ia tinggal di China dulu, juga teman Luhan.

“Apa aku bukanlah orang yang kau tunggu?”

Ehm, itu benar. Maaf,” lirihnya, kepalanya kembali tertunduk, menatap rumput liar di sekelilingnya.

“Siapa? Luhan? Dia sudah melupakanmu. Aku berani bertaruh.”

Dengan cepat Jihyo memutar kepalanya, “Luhan? Kau bertemu dengannya?”

“Iya, dua bulan yang lalu. Ketika dia pulang dari rumah sakit di sini.”

“Luhan sakit apa? Tapi waktu itu aku sudah mencoba datang ke rumahnya dan hanya kesunyian yang aku dapat. Apa mungkin saat itu mereka sedang menunggu Luhan di rumah sakit?”

Sehun tertawa getir, “Kau pikir sepasang suami-istri yang hanya bekerja sebagai pekerja kebun bisa melunasi biaya rumah sakit yang mencapai langit?”

Jihyo hanya diam.

“Tentu saja mereka harus menjual rumah, dan semua perabotannya. Alhasil mereka sudah tidak punya apa-apa. Padahal Luhan masih membutuhkan banyak pengobatan—”

“Sehun, sebenarnya Luhan sakit apa? Apa sangat parah sampai harus dirawat di rumah sakit?” potong Jihyo cepat.

Wajah berbentuk V milik Sehun itu berubah muram. Raut kesedihan muncul dari sana. Ia menatap hamparan ilalang dengan tatapan kosong.

“Luhan mengidap kanker paru-paru, terakhir kali aku bertemu dengannya, penyakit itu sudah menggerogoti hampir seluruh tubuhnya. Ya, penyakit itu sudah mencapai stadium akhir. Mungkin penyebabnya karena ia bekerja sebagai buruh bangunan yang mengharuskannya bergulat dengan tempat berdebu itu dan juga banyak pekerja yang merokok setiap harinya. Aku menyesal mengatakannya, tapi Jihyo, ada surat yang diberikan Luhan sebelum dia pergi ke Seoul.”

“Seoul? Tapi bukankah orangtuanya sudah kehabisan harta? Jadi bagaimana bisa Luhan pergi ke sana?”

“Pamannya datang dan menjemput Luhan. Oiya, kau bisa mengambil suratnya di 'tempat spesial' yang biasa kau dan Luhan datangi.”

Alis Jihyo bertaut. 'Tempat Spesial' yang dimaksud Luhan di mana? Karena mereka berdua memiliki beberapa tempat istimewa yang sering didatangi.

“Di mana tempatnya?”

“Kenapa kau bertanya padaku? Jelas saja aku tidak tahu tempat spesial kalian kan?”

***

Hingga senja telah tiba, menggulung langit biru dan digantikan oleh gulungan oranye. Jihyo masih sibuk mencari surat yang dimaksud Sehun. Namun sudah lebih dari lima tempat yang ia kunjungi, hasilnya tetap saja nihil.

Tulang gadis itu melemah, mengendur perlahan, dan mulai terbentur tanah. Ia merasa putus asa setelah semuanya sia-sia.

“Luhan, di mana kau menyimpannya?” lirihnya serak. Titik-titik kristal itu turun perlahan dari pelupuk dan jatuh membentur tanah, membuat genangan kecil di atas gersangnya, kemudian hilang tanpa jejak.

Pikirannya berkecamuk. Mungkin surat itu sudah terbang ditiup angin, atau rusak akibat hujan.

Tetap saja, hal ini tak bisa dibiarkan. Aku harus menemukannya! Harus!

Jihyo menyeka air matanya, memilih bersandar di bawah pohon oak yang terjarak tak terlalu jauh. Perlahan gadis itu memejamkan matanya, membiarkan sepoi-sepoi angin menghantam wajahnya serta memainkan helai rambutnya.

Satu detik.

Dua detik.

Lima detik.

Seketika mata Jihyo terbuka lebar, membulat sempurna saat ingatannya menembus pikiran kosongnya.

Tentu saja!

Dengan cekatan jemari mungilnya mencabuti rumput liar di sekitarnya, tepat di sampingnya. Kemudian menggali tanah agak tandus itu. Biarlah peluh kian menetes, Jihyo tak peduli. Ia harus segera mendapatkannya.

Sepuluh menit.

Dua belas menit.

Tiga puluh menit.

Iris gelap itu berbinar bahagia. Jemarinya segera mengambil kotak yang terkubur dalam lekukan tanah. Senyum itu tersungging.

Ia meniup kotak yang amat kotor itu. Membersihkan dengan tangannya yang lembut. Lantas perlahan membuka tutupnya.

Bingo! Perkiraannya tepat.

Jihyo mengambil kertas putih dari dalam kotak itu. Ekor matanya menangkap beberapa lembar foto di bawah surat itu, fotonya bersama Luhan. Senyum getir terukir jelas dari bibirnya.

Jihyo, maaf. Maafkan aku, Sayang. Aku tak bisa menepati janjiku padamu. Aku tak bisa menunggumu terlalu lama untuk kembali hadir dalam hidupku yang teramat buruk ini. Tanpa kehadiranmu, hidupku terasa semakin sulit, tapi aku tetap berusaha keras supaya suatu hari nanti cinta bisa mempertemukan kita seperti dulu. Tapi, Jihyo, aku terlalu memaksa. Takdirku berkata lain. Aku harus pergi, cepat atau lambat, yang jelas ketika kau membaca surat ini mungkin aku sudah pergi. Pergi ke kota lain, atau ke pangkuanNya.

Jangan menangis, Sayang, aku tidak suka melihatmu menangis. Tetaplah tegar menghadapi dunia yang semakin kejam ini. Jaga dirimu baik-baik! Suatu saat ketika aku terlahir kembali aku akan berusaha bersatu denganmu dalam kehidupan yang baru.

Big hug and kisses,
Luhan.

PS. Aku amat sangat mencintaimu.

Kristal bening itu mengalir deras, lagi. Jihyo terisak. Bersama tenggelamnya mentari, hilang pula rasa bahagianya, pudar dibalik cakrawala. Alasannya masih bertahan di dunia ini, hanya Luhan, tapi pemuda itu malah pergi meninggalkannya.

Air mata itu jatuh, tepat ketika sang dewi menempati sekitar bintang. Air mata terakhirnya.


THE END


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Penantian Tak Berujung"

Post a Comment