Unamed
character; visualization: Yuri Kwon | Parental Guidance | Lunarkecil
Aku menunggu hujan…turunlah. Aku mengharap badai…datanglah
Suatu ketika, ibu pernah mengatakan jika manusia adalah
seorang penjiplak ulung. Matanya merekam memori dengan cepat dan benaknya
mengukir emosi dengan rapi hingga tanpa sadar, bawah-sadar-nya terbiasa akan
keadaan yang berkelebat di depan mata.
Aku tak mengerti. Yang aku tahu saat itu, aku hanya
perlu mengangsur bola berwarna maroon ke tanah lapang atau membuat tumpukan
istana pasir dalam kotak pasir di tengah taman. Saat jingga mulai nampak, ibu
terlihat melambaikan tangan–menjemputku di seberang jalan dengan senyum penuh
diiringi sabit kembar di wajahnya. Di sampingnya adapula seorang lelaki dewasa
dengan rambut rapi berwarna kecoklatan menatapku lekat tanpa canggung kemudian
berlalu tanpa suara meninggalkan kami.
Lambat laun kusadari, ternyata dia adalah
Ayahku–seorang taipan dari keluarga terpandang yang berasal dari pusat kota.Lain
waktu, saat itu aku berada di usia remaja, hanya meringis dalam diam ketika
mendengar kegaduhan besar dan teriakan kesakitan menggema disertai makian kuat
seorang wanita. Jika dipikir kembali, aku merasa sungguh bodoh saat itu dengan
sukarela mengiyakan permintaan ibu untuk mengunci diri dalam kamar dan
menghiraukan apapun yang terjadi. Hingga pagi hari, aku menemukan tubuhnya
lebam serta sebuah luka gores di atas tulang pipinya.
Namun sayang, ibu tak mengatakan apapun dan aku terlalu
pengecut untuk mengajukan sebuah pertanyaan.
Dan kini, aku… yang mereka bilang hanya seorang anak
tak tahu diri berasal dari kasta rendahan tak lebih dari hanya sekedar hasil
sebuah hubungan tak semestinya–tengah bergelung dalam dekapan seorang lelaki
beraroma mint menyenangkan dengan mata nyalang tak terima manakala beberapa
pandangan di depan kami, mencoba mengintimidasi dan menghakimi atas kebersamaan
kami.
“Kau gila!” itu suara lelaki yang katanya kakakku.
Sedikit parau– bukan karena terluka, lebih pada perasaan tak percaya dan jijik
yang bersatu. Seorang gadis sebaya denganku berdiri dibelakangnya– menekuk
wajah dalam-dalam diiringi sepasang lengannya yang mengerat memeluk tubuhnya
sendiri, ia adiknya. Adikku pula, hanya kami berasal dari kandungan ibu yang
berbeda.
“Apa yang kau pikirkan?” seorang wanita paruh baya
menyalak diantara hening, garis wajahnya yang angkuh tetiba kalut disertai
amarah, “Apa kau tak pernah belajar dari kesalahan ibumu? Memang darah yang
mengalir tak bisa di khianati.”
Aku mengerti betul apa yang ia maksud namun satu hal
yang ia lupakan, saat ini aku bukan lagi seorang bocah kecil tak berdaya yang
mudah ditekan sana-sini dan ia pun melupakan tentang apa yang ia lakukan pada
kami. Hinaan tak manusiawi yang seringkali menjadi tontonan gratis untuk bocah
sepertiku dulu. Aku tak bermaksud memberi lebih, hanya sedikit sentilan pada
keangkuhan keluarga terhormat seperti mereka melalui lelaki terhormat yang
mereka dambakan sebagai menantu. Bukan hal yang besar bukan?
Aku sudah menyebar garam diatas awan hingga kelam
datang membawa hujan. Hanya menunggu sedikit hingga pertunjukan utama dimulai
ketika badai datang–bergulung, menghempas habis seluruh dinding harga diri
mereka.
—fin
0 Response to "Hurricane"
Post a Comment