Suddenly Affair of Love(s) | Chapter 1

Suddenly Affair of Love(s)

—Dia membuatku marah sekaligus kecewa. 

Kring kring 

Suara alarm jam weaker yang terletak di atas meja di dekat tempat tidurku berbunyi nyaring memekakkan telinga. Jam menunjukkan pukul 05.00 pagi hari, mataku terasa tidak bisa terbuka. Tapi aku harus memaksanya untuk berkerja sama. Aku menyambar handuk dan masuk kamar mandi.

Segaaaar

Handphone, buku, dan segelas kopi yang aku comot dari mesin pembuat kopi, aku meminumnya sedikit lalu menyambar tas slempangku yang ada di gagang pintu. Aku tahu kamar flatku masih sangat berantakan, namun aku harus segera pergi karena pekerjaan telah menanti.

Aku berjalan menuju halte terdekat dari flat. Sepuluh menit menunggu sambil menyimak berita di salah satu website. Kedatangan Presiden Amerika ke Indonesia sedang hangat-hangatnya diperbicangkan, dan ini merupakan sebab mengapa aku harus segera meninggalkan flat kecilku yang berantakan. Sebagai seorang wartawan di salah satu stasiun televisi di kota ini, aku ditugaskan untuk meliputnya.

Bel, kamu cepetan siap-siap, ya, bentar lagi kita siap nih langsung cus.

Melihat pesan singkat dari rekan kerjaku, buru-buru aku mengetik balasannya.

Iya, iya, ini juga udah siap kok.

Tak sampai limabelas menit aku dan juga kru sudah sampai di lokasi, di sebuah Istana Kepresidenan dengan ornamen kenegaraan yang kental di bagian luar istana itu. Ratusan wartawan sudah menanti dengan kertas kecil sebagai note mereka. Aku agak grogi karena ini peristiwa besar dan pertama kalinya buatku. Padahal aku merupakan wartawan baru dan memang bukan tugasku awalnya, tapi karena mbak Maya tiba-tiba sakit dan harus diopnam jadi dilimpahkan padaku. Katanya karena aku anak muda dan baru sehingga kinerjaku masih fresh, dan yang akan ditayangkan juga pemberitaan yang fresh.

***

“Mbak, kayaknya minggu depan aku break dulu deh, mau ambil cuti beberapa minggu. Kira-kira boleh nggak, ya, Mbak?”

“Yang bener Bell? Bella, liputan kamu kemaren sukses berat lho, bagus kita dapet rating tinggi. Kok kamu sekarang malah mau break sih,” ucap mbak Maya sambil memegangi bahuku, dan aku hanya bisa diam serta memberi pandangan bingung.

Jam sudah menunjukkan pukul  17.00, aku hanya memandangi jam tangan dan duduk di kursi meja kerja, terdengar suara riuh teman-teman yang berpamitan pulang. Aku tahu Pak Cahyo yang merupakan produser stasiun TV tempatku bekerja belum pulang. Tanpa pikir panjang aku segera bangkit dan masuk ke ruangannya.

“Permisi Pak, boleh saya masuk?”

“Bella, Bella, silakan,” Pak Cahyo menyebut namaku dengan senyum mengembang, tapi aku malah jijik melihatnya.

“Duduk-duduk.”

“Iya, Pak, terima kasih. Pak, saya ke sini mau membicarakan beberapa hal. Jadi, begini Pak, saya berencana untuk mengambil cuti untuk beberapa minggu ke depan, Mungkin hanya dua minggu.”

“Bella, ada apa? Kemaren kamu meliput dengan bagus dan itu membuat rating kita tinggi, tapi kok sekarang kamu malah mau cuti.”

“Iya, saya mengerti Pak, tapi saya butuh cuti ini, Pak. Banyak hal yang harus saya urus, contohnya menyelesaikan kuliah pendek saya. Lagipula, cuti tahun ini kan belum saya ambil Pak, jadi saya..” belum selesai aku melanjutkan  kata-kataku Pak Cahyo menjentikan jarinya, membuatku terpaksa menghentikan kata-kataku.

“Begini, Sabtu ini akan ada konser akhir tahun, yang akan menjadi tugas terakhir kamu sebelum cuti. Saya minta kamu supaya meliput jumpa pers penyanyi muda asal Korea yang sedang naik daun itu. Bagaimana?”

“Iya Pak, saya setuju,” sambil menyunggingkan senyum lebarku aku mengangguk, “Terimakasih, Pak, saya permisi.”

Aku bernyanyi riang sambil membereskan meja kerjaku. Menyampirkan tas selempangku di pundak. Aku berjalan gembira keluar kantor. Suasana kemerahan sore di langit nampak indah di mata. Aku menyadari bahwa selama berkerja di sini aku tak pernah menikmati dunia setelah keluar kantor. Aku melangkah menyusuri jalanan menuju flatku, langit sudah berganti gelap, lampu di gedung-gedung menyala bersamaan dengan langkahku melewati gedung satu ke gedung lainnya.

Langkahku terhenti, suara gemerucuk perut menyadarkanku bahwa sejak pagi belum ada makanan yang masuk ke dalam mulut. Bagaimana mungkin aku bisa lupa makan? Sambil geleng-geleng kepala aku tersenyum.

Café langgananku sudah padat dengan orang-orang kelaparan, aku memilih meja di dekat jendela. Tiba-tba handphoneku berdering.

“Halo Jung Eun, apa kabar? Sudah lama kita tidak bertemu.”

“Halo Bella, aku hanya ingin mengatakan kalau aku datang ke Indonesia.”

“Apa? Kau datang ke Indonesia? Sudah sampai? Sekarang kau ada di mana?”

Terdengar suara kekehan ringan dari seberang sambungan, “Aku sudah sampai di bandara. Rencananya aku ingin bilang padamu kemarin, tapi aku takut kamu sibuk, email darimu kemarin mengatakan bahwa kau akan meliput kedatangan Presiden Amerika.

“Ah, iya, benar. Maafkan aku. Aku akan menjemputmu, apakah kamu sudah menemukan tempat tinggal?”

“Sebenarnya belum, mungkin aku akan merepotkanmu.” 

“Kau ini bicara apa sih? Kedatanganmu tidak akan membuatku repot, limabelas menit lagi aku sampai. Tunggu ya.” Aku mematikan sambungan telepon, kemudian memencet beberapa deret nomor kemudian menempelkan HP pada daun telinga.

Aku beranjak sambil menenteng tas selempangku. Sedangkan pelayan yang berdiri di sampingku memberi tatapan bingung sampai aku berkata, “Maaf Mbak, meja nomer sepuluh atas nama Bella jadinya take away aja ya, Mbak. Makasih.”

Tanpa mendengar jawaban maupun melihat ekspresi dari pelayan wanita itu, aku segera berjalan untuk mempersingkat waktu, “Ah, halo, Dany, iya kabar baik. Aku menelpon karna ingin meminjam motormu, aku mohon boleh, ya?”

“Kapan? Sekarang? Aku sedang berada di luar.”

“Aku tahu kau berbohong. Baiklah, begini saja, kalau kau mau meminjamiku motormu itu, aku akan membelikanmu album BIG BANG. Kita akan bicarakan itu nanti yang penting aku pinjam dulu motormu aku berada di..”

“Aku ada di belakangmu.”

“Apa?? Apa kau bilang?” Aku membalikkan badan. Dany yang menjulang tinggi sudah berada tepat di depanku dengan kunci motor yang menggantung di tangannya. Aku langsung menyambar kunci itu, “Seharusnya kau bilang padaku kalau kau di sini. Jadi, pulsaku tidak habis, tapi makasih. Nanti akan aku kembalikan tanpa tergores sedikitpun,” aku berkata sambil berlari keluar kafe.

***

Jung Eun dan aku menaiki tangga flat menuju kamarku yang ada di lantai dua no 201, aku senang Jung Eun ke Indonesia. Jung Eun adalah gadis Korea yang aku temui saat aku sekolah di Korea karena mendapatkan beasiswa. Dia anak yang baik dan manis. Rambutnya hitam sebahu dengan mata besar dan cantik, seperti kartun Korea. Selama di Korea dia sangat membantuku, terutama membantu untuk beradaptasi di lingkunganku yang baru.

“Sebentar, aku ada perlu, kau naik saja dulu, kamarku no 201. Nanti aku menyusul.”

“Aku akan menunggumu.”

“Aku tidak akan lama.”

Aku menuju kamar nomor 101—tetangga flat di lantai satu, dia adalah Dany; orang yang motornya aku pinjam. Jam delapan lewat, Dany pasti belum pergi dengan teman-temannya. Bel di pojok dinding dekat pintu aku tekan. Tak lama Dany keluar.

“Dany terimakasih. Ini, kuncimu.“ aku mengulurkan kunci ke tangannya

“BIG BANG...?”

“Ah itu, aku tahu, tapi aku tidak bisa membicarakannya sekarang karena aku kedatangan seorang tamu. Bye, aku naik dulu ya.” Aku melambai pada Dany tanpa menatapnya. Masa bosoh bagaimana air muka yang tengah dipasang laki-laki itu.

Aku membuka pintu flat, dan betapa malunya aku karena tempat tinggalku berantakan, aku lupa untuk merapikannya tadi, yah, itu karena aku tergesa-gesa berangkat kerja. Jung Eun tertawa kecil dan mengalihkan pandangannya ke mataku seraya mengangguk yang berarti dia memaklumi itu. Jung Eun dan aku membersihkannya bersama. Untung tempat tidurku lumayan besar sehingga cukup untuk satu muatan lagi.

“Jadi, gimana, kok kamu bisa sampai Indonesia?” tanyaku kepada Jung Eun saat kami duduk selonjor di lantai karna terlalu letih membereskan kamar, serta ditemani alunan musik mp3 dari HP-ku.

“Jadi, ada pemotretan video klip dan artisnya itu meminta tempat syutingnya berada di Indonesia.”

“Ooh, sudah mencari referensi tempat tinggal?”

“Nah itu, jadi gini, aku ke sini mendadak dan belum sempat mempersiapkan apapun. So, aku pikir, akan ada pengacau yang tinggal bersamamu selama tiga hari ke depan. Maaf karena menambah beban hidupmu selama aku ada disini,” kata Jung Eun sambil menjawil hidung ku.

“Kamu ngomong apa sih? Emang kamu Mama aku? Lagian pas di Korea kamu udah banyak bantu aku.”

***

Kring kring 

Tubuhku menggeliat tatkala dering jam weker menusuk dwirungu. Tetapi rasanya enggan untuk bangun, badanku terasa melekat erat di kasur yang empuk. Aku menarik selimut tebal hingga menutupi leher. Tiba-tiba suara melengking menusuk telingaku.

“Bangun, dasar tukang tidur!” Jung Eun menarik selimutku. Seketika tubuhku menegak karena mencium aroma yang tak biasanya terdeteksi oleh indra penciumanku—setidaknya dua tahun terakhir saat aku pindah ke flat ini. Dengan mata masih tertutup aku menciumi bau itu dan mencoba menemukannya hingga sampai ke dapur.

“Waaah, baunya enak banget,” kemudian aku membuka panci yang berisi sup, mengambil sendok dan mencicipinya. “Enak. Kamu pinter masak sejak kapan?” Aku menggoda Jung Eun. Tanpa menunggu jawaban darinya, kuraih handuk yang tersampir di gantungan lantas memasuki kamar mandi.

“Aku akan menyiapkannya di meja makan,” kata Jung Eun setengah berseru. Setelahnya terdengar berbagai suara dari piranti dapur yang bergemerincing saling tumpang-tindih.

“Segeer.. akhirnya aku bisa sarapan juga,” jemariku dengan kuat menarik kursi makan sambil mengeringkan rambut dengan handuk.

“Selama aku ada di sini kamu aman, hehe. Jadwal syutingku masih minggu depan, jadi aku free. Kamu berangkat kapan? Aku ikut ya, mau keliling-keliling kota ini,” tutur Jung Eun seraya mondar-mandir menyiapkan makanan di atas meja makan.

“Habis sarapan ini. Kamu kan belum tahu daerah sini, emangnya it’s okay aja? Nggak nyasar?”

Maps kan ada.”

Sampai di halte aku dan Jung Eun berpisah. Hari ini berjalan seperti rotasi harianku. Aku meliput di daerah yang sedang terjadi kebakaran, penyebabnya diduga karena hubungan pendek listrik. Setelah meliput aku bersiap-siap kembali ke kantor dan pulang. Hal yang berbeda adalah ketika aku sampai di rumah, ada Jung Eun yang membuat hariku terasa indah, ramai, dan ceria.

***

Hari ini Jung Eun sudah menemukan tempat tinggal sementaranya, terasa ada yang hilang dari benakku. Pengawalanku mencapai garis akhir setelah sampai di hotel lalu membantunya mengemasi barang-barang. Kemudian pulang karena sudah pukul sepuluh malam. Ini sudah terlalu malam untuk gadis yang pulang sendirian kan?

“Halo, Dany, aku minta bantuanmu lagi, bisakah kau menjemputku di hotel MON’S? Aku tidak berani pulang sendirian, ini sudah terlalu malam. Ah, benarkah? Terimakasih.”

Dany sampai dalam waktu lima menit, itu waktu yang singkat berhubung jarak flatku dan hotel ini lumayan jauh. Mungkin Dany habis bermain dengan temannya di dekat sini. Dany menyodorkan helm kepadaku. Dalam jangka duapuluh menit kita telah tiba di depan flat.

“Bella, kapan kau akan membelikanku album BIG BANG? Kau sudah meminta tolong padaku dua kali.”

“Astaga Dany, aku lupa. Oke Sabtu ini, aku akan penuhi janji itu.”

“Jangan lupa lagi!”

“Nggak akan,” tawaku menyembur karena teringat ketololanku yang lupa akan janji sambil menaiki tangga dengan berlari kecil.

***

Akhir minggu telah menghampiri. Segera kukunci pintu flat. Berhubung hari ini adalah tugas terakhir sebelum cuti jadi aku melangkah penuh semangat menuju tempat konferensi.

“Bell, cepetan ya, langsung aja ke hotel MON’s. Kita udah siap-siap nih.”

“Oke Mbak, aku ke sana.” Sambungan telepon pun terputus.

Ayunan kakiku berlari memasuki ruang meeting hotel yang digunakan untuk konferensi pers. Banyak wartawan lain yang telah memadatinya. Aku mencari-cari mbak Maya. Di tengah ruangan, aku melihatnya yang sedang mengode supaya aku segera menghampirinya beserta kru lain yang sedang bersiap-siap.
Aku mengambil pena dan kertas. Tiba-tiba pintu samping ruangan terbuka, menampilkan beberapa pengawal. Rupanya konferensi pers segera dimulai, aku lekas menempati posisi. Terlihat seorang pemuda rata-rata berusia duapuluhan dengan tinggi kira-kira 170 cm mengenakan setelan jas hitam tengah tersenyum ramah menyapa wartawan. Di belakangnya terlihat seorang wanita yang ternyata itu Jung Eun.

“Han Bin-ssi setelah konser disini apakah anda ingin berkarya di Indonesia?”

“Mungkin, saat ini saya belum tahu. Tapi sebenarnya saya ke Indonesia bukan hanya menghadiri konser akhir tahun, tapi juga proyek pembuatan video klip yang akan dibintangi oleh rekan saya ini, Kim Jung Eun.”
Aku melihat Jung Eun tersenyum ramah ke arahku, kemudian ke lainnya.

***

“Jung Eun-ah kenapa kamu tak bilang kalau artis yang akan bekerjasama denganmu adalah orang yang akan aku wawancarai?”

“Apakah kau sekaget itu, Bella? Karna aku merasa hal itu tidak penting untuk kamu ketahui, jadi ya sudahlah, buat apa aku katakan?“ jawab Jung Eun dengan senyum yang tersungging di bibirnya.

“Bella!” terdengar suara yang menyerukan namaku, segera kuangkat telapak di udara untuk mengode mbak Maya, “Jung Eun maafkan aku, aku harus pergi, sampai ketemu nanti ya,” ujarku kemudian menghampiri keberadaan mbak Maya.

“Iya, Mbak?” tanyaku setelah tiba di hadapan mbak Maya.

“Kerja kamu bagus hari ini, makasih atas kerja samanya. Kita balik dulu ya.”

“Oke, Mbak. By the way, Mbak Maya sama kru lain juga oke kok, lebih malah,” jawabku sambil mesam-mesem.

Sudah pukul duabelas malam, aku keluar dari hotel. Semilir angin malam semakin mengilukan tulang, mengintruksikan tanganku supaya merapatkan jaket. Aku terikat janji dengan Dany. Atas alasan itu, aku hendak menelepon Dany, tetapi sebuah motor berhenti di dekatku.

“Dany? Kamu ngapain di sini?”

“Jemput kamu,” jawabnya datar.

“Kok kamu bisa tahu aku ada liputan di sini?”

“Tuh, ada selembaran, reklame juga ada, di situ tertulis bakalan ada konferensi pers di sini, dan aku tahu kamu pasti bakalan ngeliput.”

“Oh, oke, karena kamu udah di sini mending kita langsung aja beli albumnya. Yuk!” aku langsung menaiki motor Dany.

“Nggak usah, besok aja kapan-kapan. Udah malem, mending kamu segera istirahat.”

“Beneran nggakpapa? Kemaren ngotot supaya dibeliin dan menepati janji, kok sekarang nggak mau?”

“Ntar kamu sakit, angin malam nggak baik buat kamu,” setelah itu Dany langsung tancap gas yang membuatku harus berpegang erat kalau mau selamat.

***

Hari kebebasanku telah tiba. Beban di pundakku sudah sedikit berkurang. Setelah lelah jogging di pagi hari, aku mampir ke salah satu mini market untuk membeli minum serta beberapa kebutuhan sehari-hari yang menipis.

Aku mengambil troli, mengambil beberapa pack tisu, bahan makan instan, odol, sampo, dan pembalut—buru-buru aku menyelipkannya di antara barang yang lain. Sebetulnya wanita selalu sensitif tentang hal ini. Kemudian roda-roda kecil troli berputar menuju kasir.

“Kamu tidak tahu saya? Saya ini artis. ARTIS. Jadi saya tidak akan menipu Anda. Jadi begini, ya, dompet saya ketinggalan. Jadi, biarkan saya membawa pulang belanjaan saya kemudian nanti salah satu staf saya akan ke sini dan melunasi semuanya,” ucap seorang yang katanya artis kepada penjaga kasir dengan bahasa Inggris.

I’m sorry Sir, but, you can’t do that,” Kata teman si penjaga kasir yang bisa sedikit berbahasa Inggris.

“Saya itu artis. Masa kamu tidak tahu saya sih? Hah?”

“Maaf Tuan, tetap tidak bisa,” tegas wanita itu berulang kali.

Orang berbadan tegap dengan cara berpakaian serba hitam yang hampir menutupi sekujur tubuhnya itu mendesah frustasi. Memang mencurigakan sih, tapi apa salahnya mbak kasir itu menuruti pintanya? Kalau seperti ini terus kan jadi aku juga yang repot.

“Mas, Mas, maaf ya tapi bisa geser dikit nggak? Kalau emang nggak punya duit nggak usah sok-sokan belanja deh,” secara otomatis bibir lemes ini mengutarakan apa yang ada dalam benakku. Tapi untungnya orang itu tidak tahu bahasa Indonesia yang baru saja aku ucapkan.

What did you say?

“Eh enggak kok, eh.. nothing. Bisa minta tolong nggak ya Mas? Waktu saya udah nggak bisa diganggu, jadi saya harus buru-buru,” jelasku yang dibalas tatap tajam pemuda itu. tapi sedetik kemudian lelaki mencurigakan itu memilih mundur dan mempersilahkanku membayar terlebih dulu.

Aku tersenyum padanya. Kemudian menyerahkan semua belanjaanku diatas meja kasir yang langsung dicek sama mbaknya, “Semuanya berapa mbak?”

“Oh, iya, iya, saya kesana sekarang ya,” samar-samar aku mendengar suara yang bersumber dari pria misterius tadi, tetapi aku tak ambil pusing soal ini.

“Mas, Mas! Itu belum dibayar!” teriak mbak kasirnya yang sontak membuatku ikut menoleh. Dan entah rasa empati dari mana yang membuatku berlari untuk menghentikan pemuda itu.

Sorry Sir, tapi belanjaan Anda belum dibayar,” sekilas dapat terlihat raut kebingungan dari wajahnya. “That,” akhirnya aku pun menunjuk kantong kresek yang ditentengnya.

“Oh, oh.. this is?” aku mengangguk membenarkan. Kemudian menggiringnya kembali ke dalam mini market.

“Semuanya berapa Mbak?” tanyaku seraya mengacungkan belanjaan pemuda tadi, “Sekalian belanjaan Masnya ini, ya, Mbak.”

Lelaki yang berdiri disampingku tampak sedikit terkejut namun kemudian tersenyum ramah seraya menggumamkan, “Thank you.”

***

Entah mengapa saat keluar minimarket aku dan lelaki mencurigakan ini keluar bersamaan, dengan masih kaku-kaku tentunya. Dalam hati aku berdebat dengan pikiranku, jangan-jangan mas-mas ini memang perampok, hal ini dikuatkan juga dengan cara berpakaian dan perilakunya yang misterius.

“Saya bukan pencuri,“ ucap pemuda itu mendadak, dan membuat lamunanku buyar. Ekspresi wajahku mengatakan, kenapa kamu bilang gitu? “Ekspresimu tadi mengatakan begitu, kamu terlihat curiga kepadaku.”

Aku hanya tersenyum karena memang benar begitu. Berhubung urusanku sudah selesai aku segera berpamitan pulang, namun mas-mas itu melangkah ke depanku, sehingga kami saling bertabrakan.

“Jangan pergi dulu, aku merasa tak enak padamu. Bagaimana kalau kita duduk dulu sambil aku em.. mengatakan rasa terimakasihku lebih sopan lagi?”

“Baiklah, mari kita duduk di taman itu,” entah mengapa juga aku mau diajaknya.

“Jangan, jangan di sana. Kita pergi ke tempat yang sepi,” melihat ekspresi curigaku ia langsung menambahkan, “Aku tidak akan macam-macam. Nanti akan kuceritakan semuanya. Ok?”

Kami berjalan menuju tempat parkir mall di dekat situ. Menapakkan kaki di tempat parkir yang berada di lantai empat mall, aku bisa melihat pemandangan kota ini.

“Jadi, apa penjelasanmu?” tanyaku langsung tanpa babibubebo. Ia melepaskan topinya dan betapa terkejutnya aku ketika melihat wajah itu. Dia adalah artis yang kemarin aku wawancarai, tetapi aku langsung menundukkan wajah untuk menutupi keterkejutan mimik wajahku.

“Saya ini adalah artis muda di Korea namaku Han Bin...” ia menjelaskan semuanya, dengan sesekali tersenyum. Rupanya dia memang orang yang ramah.

“Saya sebenarnya kabur dari pengawalan karena merasa bosan. Tidak ada hal menarik yang bisa saya lakukan kemudian saya memiliki inisiatif untuk pergi jalan-jalan dan membeli minuman karena merasa haus. Karena kabur, saya lupa untuk membawa dompet dan HP. Dan mengapa saya berpakaian seperti ini? Itu karena—” sebelum dia menyelesaikan ucapannya aku menyambar.

“Kau seorang artis muda terkenal,” ucapku seraya tertawa.

“Benar,” ucapnya dengan diiringi tawa renyah dari garis bibir agak tebal.

“Maaf telah berfikiran yang tidak-tidak mengenai dirimu. Baiklah, kenalkan aku Bella Kusumanigrum, panggil saja Bella. Aku juga ambil cuti dari pekerjaanku, dengan alasan yang sama..  merasa bosan dengan lingkungan kantor.” Setelah itu percakapan mengalir seperti air yang mengalir di sungai dari hulu ke hilir.

Di flatku yang kecil ini, aku tersenyum kecil. Tidak menyangka akan bertemu dengan seorang artis di minimarket dengan kejadian yang tak terduga.

—to be continue


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Suddenly Affair of Love(s) | Chapter 1"

Post a Comment