Suddenly Confession
|LEORENE|
Fan Fiction by Tyavi
Re-post by Ailabee
Red Velvet Irene aka Bae
Joohyun and VIXX Leo aka Jung
Taekwoon
Other cast : slightly Shannon Williams and iKon Chanwoo
Romance, Fluff, School life |Oneshot | PG
Summary:
Siapa
lelaki paling menyebalkan di muka bumi?
.
Hajin
bergerak gelisah. Ekspresi kesal tak jua pudar dari paras cantiknya. Kaki
jenjangnya tak kenal lelah terus berjalan mondar-mandir di ruang keluarga—atau tepatnya
di hadapan dua perempuan cantik yang sudah jengah melihat tingkahnya. Sebuah
majalah harian yang sebelumnya menjadi pusat perhatian Joohyun kini
dihempaskannya pada meja kaca di hadapan. Lantas dwinetranya beralih mengamati
tingkah anaknya yang ‘tidak biasa’ hari itu. Hendak menegur, namun enggan juga.
Kendati kemudian, justru lengannya menyenggol pelan Shannon di sebelahnya,
mengusik atensi gadis itu untuk turut memerhatikan Hajin bersamanya.
“Ada apa
dengan Hajin?”
“Entahlah, Eomonim. Shannon
juga tak tahu.”
Mereka
mulai bercakap dengan nada serendah bisikan. Berusaha agar konversasi itu tak
sampai di telinga Hajin. Keduanya kembali memusatkan perhatian pada Hajin yang
kini mulai menepuk keningnya sendiri seraya melemparkan tatapan tajam pada
ponselnya. Oh, sungguh gadis itu terlihat sinting.
“Hajin-a—"
“Eomma.”
Joohyun, pun Shannon terkesiap. Baru saja bibirnya akan melayangkan teguran saat kuncir
kuda gadis itu bergoyang dan Hajin menoleh pada dua sosok yang sedari tadi
memerhatikan. Belum sempat Joohyun bersuara, Hajin kembali menodongnya dengan
pertanyaan.
“Siapa
lelaki paling menyebalkan di muka bumi?”
Jeda
sejenak—serta diselingi dengan keheningan. Joohyun dan Shannon bergeming sedangkan Hajin memasang mimik serius. Lantas sebuah nama yang lolos dari bibir Shannon
meretas kebisuan.
“Jung
Chanwoo?”
“Aniyo, Eonnie! Aku tahu Chanwoo Oppa menyebalkan, tapi bukan dia.”
Shannon
ingin melemparkan protes namun terhalang dengan suara Joohyun yang turut
menyahut. Tak mau kalah karena selanjutnya sebuah nama juga terlontar.
“Jung
Taekwoon.”
Hajin
mengernyit sejenak.
“Appa? Aniyo,
Eomma. Bukan Appa.”
Sejemang
keheningan kembali mendominasi—dipermanis dengan dengusan Hajin. Gadis itu
tampak sangat kesal. Lantas Joohyun dan Shannon memandang satu sama lain
sebelum akhirnya sama-sama berujar,
“Lalu?”
Hajin
menghela napas lagi.
“Lelaki
paling menyebalkan itu adalah…Koo…Jun…Hoe. IYA, KOO JUNHOE MENYEBALKAN!”
Setelah
berujar demikian, Hajin berlari menuju kamarnya. Meninggalkan Shannon dan
Joohyun dalam kebingungan. Lagi-lagi mereka saling pandang sebelum sebuah
gelengan menjadi jawaban. Shannon kenal Junhoe. Sangat kenal malah. Dia juga
tahu sifat Junhoe yang teramat cuek, terkadang. Tapi tak ada satu klu pun yang
melintas di benaknya atas rasa kesal Hajin pada Junhoe. Sungguh, Shannon tidak
tahu apa yang telah Junhoe lakukan pada adik Chanwoo.
“Shannon-a.”
Panggilan Joohyun membuyarkan pikiran Shannon, lantas gadis itu
menyahut, “Ne, Eomonim?”
“Kau kenal
dengan pemuda yang namanya Junhoe? Apa dia semenyebalkan itu?”
“Aku kenal, Eomonim.” Shannon
menerawang sejenak, “Tapi setahuku, Junhoe tidak semenyebalkan itu. memang sih terkadang dia cuek, tapi Chanwoo jauh lebih
menyebalkan dibanding Junhoe!”
Serentetan
kalimat yang baru saja terlontar, sukses mencuri atensi Joohyun sepenuhnya.
Wanita berkepala empat itu beringsut mendekat. Mencoba menyalurkan kuriositas
tingkat tingginya, misalnya dengan pertanyaan;
“Memangnya
Chanwoo semenyebalkan apa?”
Shannon
mendadak terkungkung canggung. Masa ia akan mengungkapkan segala perlakuan
Chanwoo kepadanya? Termasuk ciuman-ciuman dan status pacaran pura-puranya? Oh,
Shannon sudah malas bertemu matahari kalau sampai ia menceritakan itu semua.
Tak
kunjung mendapat jawaban, Joohyun menarik diri dan menyimpulkan.
“Kalau kau takut kedengaran Chanwoo.” Sejenak Joohyun menolehkan
kepalanya ke arah ruang tamu, tempat dimana Chanwoo tengah sibuk dengan
ponselnya. “Tenang saja, ada Eomonim. Lagipula seorang Jung Chanwoo tidak akan
memerdulikan lingkungan bila sudah bermain Get Rich.”
Shannon
menggeleng ragu. Karena toh memang bukan Chanwoo yang dia khawatirkan. Merasa
Shannon tidak akan bercerita, Joohyun mulai buka suara.
“Ya, sebetulnya aku tidak heran. Kenapa Jung Chanwoo
menyebalkan, karenaAppanya justru jauh lebih menyebalkan,” ujar Joohyun dengan ekspresi
cemberut. Sontak saja menarik seluruh atensi Shannon. Gadis itu sudah pernah
bertemu dengan Appa Chanwoo, sekali. Dan juga sudah tahu darimana
asal sifat iseng Chanwoo berasal—yaitu Appanya,
mengingat keisengan yang dilakukan Appa Chanwoo
bisa dibilang tingkat tinggi. Ya, entahlah istilah apa itu yang jelas Appa Chanwoo
benar-benar mengerjai istrinya. Lantas Shannon beringsut mendekat, hendak
mengutarakan kuriositasnya.
“Memangnya Appa Chanwoo seperti apa, Eomonim?”
“Sangat
menyebalkan! Kalau pertanyaan Hajin barusan diulang, maka jawaban yang tepat
adalah Jung Taekwoon.”
Joohyun
menolehkan kepalanya pada Shannon, menyambut ekspresi antusias yang tergambar
di paras gadis blasteran itu.
“Mau
kuceritakan?”
.
.
.
.
.
Saat itu
bulan April, masa ketika manik hazel Joohyun pertama kali menangkap sosok
jangkung pemuda bermarga Jung. Awalnya Joohyun tak acuh lantaran dirinya memang
tak menaruh minat sama sekali pada lelaki seumurannya. Mereka semua menyebalkan
apalagi kalau sudah memaksa ingin mengajaknya berkencan. Seakan tolakan halus
tak menutup kesempatan bagi mereka. Tidak dapat dipungkiri, Joohyun termasuk
populer di sekolahnya. Bagaimana tidak? Postur mungil dengan paras rupawan,
membuat siapa pun juga jatuh cinta padanya. Ditambah gestur Joohyun yang lembut
dan ramah. Membuat para pemuda tak sungkan untuk mengumbar perasaan mereka.
Setiap Joohyun melangkahkan kaki, seluruh pasang mata memandang,
mengintimidasinya dengan decakan. Tapi tidak dengan Taekwoon, pemuda itu
benar-benar tak acuh padanya. Jangankan berbicara, bersirobokan mata saja
Joohyun tak pernah. Kendati demikian, dia merasakan ada yang berbeda dengan
pemuda itu.
Rasa
penasarannya bertambah kala rungunya menangkap dentingan piano yang berasal
dari kelihaian jemari pemuda itu menari. Ruang musik, ruang yang selalu menjadi
destinasi pemuda itu setelah sekolah usai—dan belakangan menjadi destinasi
gadis itu juga. Di sanalah Taekwoon bercengkrama dengan nada. Dan Joohyun harus
kembali terkejut—atau mungkin terpikat—kala lantunan juga lolos dari bibir yang
biasa terkatup. Lantas diam-diam Joohyun memiliki sebuah rasa.
Entah
harus merasa beruntung atau juga sial. Menyadari ia bukan satu-satunya yang
tergila pada sosok Taekwoon. Jarang bicara justru menjadi daya tarik
tersendiri— ditambah pemuda itu mahir di segala bidang olahraga; mulai dari
sepak bola, basket, tenis, serta seni bela diri anggar. Lantas hampir seluruh
gadis di sekolahnya menjadi penggemar seorang Jung Taekwoon. Ya, Joohyun salah
menjatuhkan hati. Karena tampaknya siswi-siswi tak bersahabat padanya, lantaran
banyak pemuda yang mengejar-ngejar Joohyun. Alasan klise, memang.
Kegiatan
mengikuti-Taekwoon-ke-mana-saja menjadi rutinitas Joohyun, tiga bulan
belakangan. Entah kenapa, Joohyun juga tak berniat untuk menyapa sang pemuda.
Seakan mengamati pergerakannya saja sudah menjadi kebahagian tersendiri
baginya. Ya, meski pemuda itu tidak akan tahu eksistensinya, sampai kapan pun.
Joohyun hapal kebiasaan Taekwoon yang selalu menghabiskan waktu
istirahat di perpustakaan ditemani sebuah kopi kalengan yang selalu menjadi
minuman favoritnya—meski tak jarang pula pemuda itu membunuh waktu dengan
bermain basket bersama teman-temannya. Joohyun juga hapal jadwal kegiatan klub
pemuda itu; sepak bola pada hari Selasa, tenis pada hari Kamis dan anggar pada
hari Jumat. Lantas Joohyun juga amat hapal rutinitas Taekwoon untuk pergi ke
ruang musik setelah kelas usai, meski sekedar memainkan satu lagu menggunakan keyboard milik sekolah.
Ah, ada
satu lagi yang juga Joohyun hapal, yaitu—
“Tapi aku
sudah memiliki pacar.”—kalimat yang selalu Taekwoon katakan pada gadis yang menyatakan
perasaan padanya. Biasanya pula, gadis-gadis itu akan menunduk— tampak kecewa
atau fatalnya menahan tangis—setelah Taekwoon berkata demikian. Mereka tidak
akan menanyakan lebih lanjut. Tidak heran sih mengingat tanggapan dingin yang Leo berikan,
membuat siapa pun akan mati kutu di hadapannya.
“Siapa
dia?”
Tunggu.
Apakah Joohyun salah dengar? Apa barusan gadis itu kembali bertanya pada Leo?
Joohyun
tidak tahu pasti bagaimana ekspresi gadis itu karena posisi Joohyun—yang
bersembunyi dibalik dinding ruang olahraga—membuat netranya hanya dapat
menangkap sosok Taekwoon. Ya, gadis itu membelakanginya, dan Joohyun tidak
senekat itu untuk keluar dari persembunyiannya. Saat ini Joohyun hanya bisa
mengamati pergerakan Taekwoon yang tengah berdiri dengan satu tangan mengacung
ke arahnya.
Apa?
“Gadis
itu.”
Joohyun
butuh beberapa keping kesadaran kala kepala gadis—yang diajak bicara
Taekwoon—itu perlahan menoleh padanya. Melemparkan tatapan membunuh kendati
Joohyun masih belum mengerti situasinya. Dan yang selanjutnya harus dihadapi
Joohyun adalah tungkai kaki Taekwoon yang mendekat, mengamit tangan Joohyun dan
menariknya ke hadapan gadis itu.
“Ini
pacarku.”
Dua kata
itu lolos, sontak membuat Joohyun menganga tak percaya.
“Heol! Jangan bohongi aku Jung Taekwoon. Aku tidak pernah sekali pun
melihatmu bersama gadis ini.”
“Karena
aku merahasiakannya Aku tahu apa yang akan gadis-gadis sepertimu lakukan.”
“Jangan
boho—
Joohyun
berani sumpah kalau dia hanya bergeming di tempatnya. Joohyun juga tak turut
menimpali percakapan yang masih belum sempurna neuronnya cerna. Sama seperti
kala Taekwoon mendekatkan wajahnya, lantas kedua belah bibir yang sering
melantunkan nada lembut itu mendarat di sudut bibir Joohyun. Semua terjadi
begitu cepat. Seakan dalam satu detakan, Taekwoon mendekat dan menjauhkan
wajahnya.
Tidak salah lagi.
Taekwoon
mencium Joohyun.
Agaknya
ekspresi terkejut tak hanya terpampang di paras gadis itu, tapi di wajah
Joohyun juga. Rasanya bibir Taekwoon masih tertinggal di sudut bibirnya,
jantungnya berdetak abnormal, pipinya memanas dan darahnya berdesir Efeknya
benar-benar fatal bagi si penerima kecupan
“Masih
belum percaya? Itu urusanmu.”
Seruan
dengan nada menyebalkan, menginterupsi atmosfir syok yang semula mendominasi.
“Ugh!”
Dengan
wajah merah menahan amarah, gadis itu berlari pergi meninggalkan mereka.
Tinggallah Taekwoon dan Joohyun—dengan beribu pertanyaan bersarang di
kepalanya.
“Jung
Taekwoon apa maksudnya barusan?”
Taekwoon
menoleh pada Joohyun dan berakhir untuk yang pertama kali, manik Joohyun
bersirobok dengan iris elang Taekwoon. Sungguh tajam dan mengintimidasi.
“Kau tidak
dengar?”
Pertanyaan
itu terlontar dengan nada yang… ugh, terdengar sangat menyebalkan. Hei, kemana
Taekwoon yang selalu Joohyun perhatikan? Sungguh, pemuda ini tampak berbeda
dari sebelumnya.
Menghela
napas sejenak—seolah jengah dengan kelambanan gadis di hadapannya dalam
mencerna—Taekwoon melangkah pergi seraya berujar.
“Aku
bilang kita berpacaran.”
Mungkin
angin baru saja menampar pipi mulus Joohyun hingga gadis itu beranjak, menahan
pergerakan Taekwoon dengan tubuhnya.
“Tu-tunggu,
a-apa? Pa-pacaran?”
Alih-alih
menjawab, Taekwoon menatap Joohyun lamat dan mengulas senyum singkat.
.
.
.
.
“Iya. Aku
berpacaran denganmu, gadis peguntit.”
.
.
.
fin
0 Response to "Suddenly Confession"
Post a Comment