Aku merasa seperti orang bodoh saat tak bisa mempertahankanmu, maaf.
Yebin duduk
di bangku yang tersedia di pinggir lapangan basket. Kedua kakinya saling
berayun, sedangkan sorot matanya terpusat pada beberapa laki-laki yang tengah
bermain basket di tengah lapangan. Yebin menghela napas lalu meletakkan kedua
tangannya di samping tubuh—menumpu pada bangku. Sudah hampir dua jam ia duduk
sendirian di sana seperti orang bodoh.
“Aish, jinjja,” gerutunya kesal. Yebin pun mengubah posisi duduknya
menjadi bersila kemudian mengambil ponsel persegi panjangnya dari dalam tas
ransel. Jemari Yebin sibuk menggeser layar, menyentuh tombol menu, menggeser
layar lagi lalu memasukkan ponsel ke dalam saku kemeja. Membosankan.
iKON’s Yunhyeong featuring OC’s Yebin | PG | Comfort | Oneshot | Dhe04 Artwork | Deev©2016
Keenam
laki-laki yang berada di tengah lapangan itu terlihat asik sendiri tanpa
sedikitpun rasa ingin mengajak Yebin bergabung. Mereka semua sibuk mendribble bola, mengecoh lawan, dan
mencetak angka. Yebin memberengut sambil menengok ke sana- ke mari, siapa tahu
ada sesuatu yang bisa dilakukannya selain menjadi penonton yang tak dianggap.
“Hey,”
tegur seorang laki-laki yang mengenakan jaket
berwarna merah. Ia tersenyum lebar pada Yebin kemudian memilih duduk di samping
gadis itu. “Biar ku tebak, kamu dikacangi lagi, kan?” tanya Yunhyeong seraya
menatap wajah Yebin yang kusut.
Awalnya
Yebin enggan menjawab dan ingin mencari topik pembicaraan lain, tetapi mulutnya
memang terlalu jujur hingga tak dapat diajak bekerja sama. Yah, kau tahu kan
bagaimana rasa malunya ketika selalu menjadi obat nyamuk yang duduk sendirian
di bangku penonton? Yebin sangat malu dengan hal ini, makanya ia ingin
berbohong, tapi gagal.
“Jinhwan
itu memang tak berperasaan,” gerutunya seraya menatap tajam laki-laki yang
sedang melompat dan akhirnya mencetak skor. “Dia malah bersenang-senang bersama
temannya dan mengabaikan aku.” Yebin semakin kesal saat melihat laki-laki
berambut cokelat itu tengah tos dengan teman-temannya lalu menari riang di
lapangan, dan tak sekalipun melirik ataupun menoleh pada Yebin. Cetak tebal,
TAK PERNAH MENOLEH PADA PACARNYA.
“Mau ice cream?” tawar Yunhyeong dengan
pandangan lurus ke depan—memandang
lapangan basket yang ribut oleh keenam laki-laki yang telah bermandikan
keringat. Kedua kaki Yunhyeong diluruskan dan kedua tangannya menumpu di
bangku guna menopang tubuh. Ia terlihat sangat santai, bahkan nada bicaranya
sekalipun. Padahal sikap Yunhyeong yang seperti ini selalu membuat hati Yebin
terasa aneh.
Walaupun
sikap Yunhyeong tersirat dingin dan datar, namun kalimatnya selalu menunjukkan
rasa perhatian pada Yebin. Laki-laki itu tak pernah menatap mata Yebin
berlebihan seperti yang dilakukan Jinhwan padanya. Yunhyeong tak pernah menggandeng
tangan Yebin, tak pernah pula menyiratkan rasa cemas ketika Yebin jatuh. Akan
tetapi, hal itu justru membuat Yebin merasakan hal aneh yang menggelayuti
pikirannya.
Jinhwan
yang notabene adalah kekasihnya, yang selalu bersikap manis dengan perhatiannya
yang over, justru membuat Yebin
berpikiran bahwa Jinhwan tak sungguh-sungguh mencintainya. Yebin berpikir jika
Jinhwan hanya ingin menjadikannya sebagai kekasih tanpa dasar rasa sayang. Namun saat berdekatan dengan Yunhyeong—entah bagaimana bisa—hati Yebin selalu
merasa tenang dan nyaman. Yebin pun merasa lebih bisa menjadi diri sendiri
ketika berada bersama Yunhyeong.
“Chocolate ice cream satu,” ujar
Yunhyeong pada penjual ice cream di
kedai pinggir jalan.
“Aku mau
dua, Yunhyeong!”
Yunhyeong
melirik Yebin sekilas lalu menghela napas. “Oke, dua. Chocolate ice cream dua,” ralat Yunhyeong pada si penjual. Tanpa
sadar, Yebin tersenyum tipis ketika melihat Yunhyeong yang memesan ice cream untuknya itu. “Ada apa?” tanya Yunhyeong
yang menyadari apabila Yebin tersenyum—atau tersipu.
“Apa?”
Yebin malah balik bertanya. Ia memasang wajah tanpa dosa andalannya.
“Tadi kamu
senyum, makanya aku tanya ada apa.” Yunhyeong memiringkan tubuhnya sedikit
sambil memasukkan kedua tangan di saku celana. Ia melihat wajah Yebin sekilas
lalu beralih memandang dedaunan kuning yang berguguran tertiup angin.
“Aku nggak
senyum, kamu aja yang salah lihat.” Alasan klise yang selalu digunakan Yebin
ketika ia tak tahu lagi harus membalas apa. Ia mengambil alih dua cone ice cream dari penjual seraya
tersenyum ramah. “Bayar tuh!” tukasnya sambil menyenggol siku Yunhyeong yang
masih sibuk mengamati dedaunan.
Yunhyeong
segera tersadar dari lamunannya. Ia segera merogoh sakunya dan mengeluarkan
uang kertas yang disodorkan kepada si penjual ice cream. Setelah menerima kembalian, Yunhyeong memutar tubuhnya
dan berjalan mendahului Yebin yang masih sibuk menjilati chocolate ice cream miliknya.
“Hey,
tunggu!” Yebin sedikit berteriak di sela langkah lebarnya untuk menyamakan
langkah dengan Yunhyeong. Ia mendengus. “Masih aja pasang tampang sok cool. Padahal Yunhyeong itu sebenernya care dan friendly banget. Funny and crazy juga, sih, sebenernya,”
cerocos Yebin yang sama sekali tak mendapat jawaban apapun. Yebin pun
memanyunkan bibir karena kecewa.
“Aku pernah
lihat kamu waktu gila-gilaan sama anak-anak. Emm.. kayaknya pas latihan dance, deh, soalnya aku lupa, udah lama
banget.”
“Mana
mungkin?”
“Mungkin
aja!” seru Yebin bersemangat. Akhirnya cowok satu ini mau membalas ocehannya. “Waktu
itu kalian ribut karena lomba udah tinggal seminggu, tapi kalian masih aja
bingung mau pake koreografi yang mana. Terus akhirnya kalian musyawarah dan
pada setuju, kan? Tapi pas kalian mulai latihan, eh, Jinhwan salah terus. Dan di sana kamu kelihatan jengkel dan
frustasi, akhirnya ngangkat Jinhwan, and
then kalian semua bareng-bareng gebukin Jinhwan. Ketawa lepaslah,
pukul-pukulan, kejar-kejaran, ya, gitulah.”
Yunhyeong
tertawa kecil, “Jadi, selama ini kamu merhatiin aku?”
Refleks,
Yebin langsung berhenti berjalan dan membiarkan Yunhyeong berjalan
mendahuluinya. Ia memandang punggung Yunhyeong yang tegap dari
jarak yang tak terlalu jauh. “Uhuk, uhuk, Jangan kepedean, waktu itu aku
lagi merhatiin Jinhwan dari jendela! Dia kan pacar aku,” jawab Yebin dua detik
berikutnya kemudian kembali mengayunkan kaki.
Tiba-tiba
saja Yunhyeong menghentikan langkahnya. Ia berdiri tegak tepat di bawah pohon
yang cukup rindang dengan dedaunan yang berguguran. Yunhyeong menghela napas
sebentar lalu memutar tubuhnya menghadap Yebin yang masih heran dengan sikap
Yunhyeong yang sekenanya berhenti. Untungnya, Yebin tak menabrak tubuh
Yunhyeong.
“Kenapa
seenaknya berhenti? Untung aja nggak nabrak! Untung aja nggak kena ice creamku, gimana kalo tadi pas kamu berhenti,
terus aku nggak jaga jarak, terus ice
creamku kena baju kamu, terus—”
Kalimat
Yebin yang diselimuti nada cemprengnya terpaksa menggantung ketika tiba-tiba
Yunhyeong menarik tubuhnya ke dalam rengkuhan laki-laki itu. Kedua ice creamnya kini benar-benar jatuh seperti
yang ada di pikirannya. Namun Yebin hanya diam dengan mata yang masih membola akibat keterkejutannya. Seluruh tubuhnya seolah beku, bibirnya kelu, bahkan
otaknya pun berhenti berputar. Yunhyeong membenamkan wajahnya di bahu kanan
Yebin. Ia mempererat pelukan seolah tak ingin melepaskan Yebin dan membiarkan
gadis manisnya kembali bersama
Jinhwan.
Yunhyeong
ingin sekali menangis dan menjelaskan
semua kepada Yebin, tapi ia tak bisa melakukannya. Yunhyeong hanya bisa
menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang telah ia perbuat. Yunhyeong memperdalam
pelukannya.
Malam itu ketika semua orang sudah
selesai latihan, Yunhyeong tetap keukuh untuk melatih kemampuan dancenya. Awalnya Hanbin dan Bobby sudah mengajak, bahkan membujuknya supaya
tak pulang terlalu larut. Jalanan selalu sepi dan penerangan remang-remang di
kala jam telah menujuk pukul sepuluh keatas, namun Yunhyeong tetap keukuh.
“Ya sudah, kita pulang duluan,” ujar
Hanbin seraya memasukkan botol minumnya ke dalam tas ransel. Ia berjalan
mendahului Bobby yang masih memperhatikan Yunhyeong seolah enggan meninggalkannya
seorang diri.
“Ayo, Bob! Nanti kita bisa
ketinggalan bus, ini sudah jam sepuluh.”
“Hati-hati, Yun, ada hantu di
sekolah ini,” ujar Bobby berniat menakut-nakuti, namun karena wajahnya yang
membuat mimik lucu, alhasil Yunhyeong malah tertawa.
“Hati-hati!” Yunhyeong menepuk bahu
Bobby dua kali dan mengarahkan dagu kepada
Hanbin. “Jaga anak buahmu ini, Han.” Hanbin hanya mengacungkan ibu
jarinya.
Yunhyeong menghela napas lalu
menghidupkan tape
recorder supaya bisa segera memulai
latihan malamnya. Yunhyeong memainkan gestur tubuh mengikuti irama musik. Semua
berjalan lancar hingga menit ketiga. Sedetik berikutnya musik berhenti
mengalun. Yunhyeong menatap kaca besar di hadapannya. Ia pun menghela napas
ketika menyadari siapa gerangan.
“Belum pulang?” tanya Yunhyeong. Ia
berjalan mendekati seorang gadis berkuncir kuda yang tengah tersenyum lebar
padanya.
“Belum, aku ingin menemanimu malam
ini. Makanya aku masih ada di sekolah. Selesai jam berapa?” Yebin menyodorkan
sebotol air mineral pada Yunhyeong dan laki-laki itu menyambutnya dengan
senyuman di sela wajah kelelahannya.
Yunhyeong meneguk air itu hampir
setengah botol kemudian menutupnya dan kembali fokus memandang wajah Yebin yang
nampak mengantuk. Ia tersenyum lalu mengelus puncak kepala Yebin beberapa kali
dengan sapuan lembut penuh kasih di setiap gerakan tangannya.
“Aku akan lama, Yebin-ah. Pulang dan istirahatlah.”
Yebin dengan tegas menggeleng. “Aniya, mana mungkin aku tega meninggalkan pacarku sendirian di sekolah
hingga larut malam? Bisa-bisa nanti aku kalah saing sama hantu wanita yang
berkeliaran di sini, dan aku nggak mau hal itu terjadi. Gimana kalau nanti
hantu itu jatuh cinta sama kamu? Yunhyeong-ku kan handsome, hehe.”
Yunhyeong ikut terkekeh mendengar
jawaban Yebin yang menggelitiki perutnya. “Kalau gitu, kita pulang sekarang,
ya?”
Yebin menahan lengan Yunhyeong yang
akan mengambil tasnya. Ia menggeleng. “Selesaiin dulu aja latihannya. Aku nggak
mau jadi pacar yang selalu bikin pacarnya nggak bisa ngapa-ngapain. Kalau sampe
akhir bulan dance kamu masih gini-gini aja, aku takut kamu
nggak bisa lolos masuk ke tim inti sekolah.”
Yunhyeong tersenyum tipis mendengar
suara Yebin yang mulai serak. Ia kembali mengusap puncak kepala Yebin lembut. “Dan
aku nggak mungkin bisa ngebiarin pacar aku nahan kantuk demi aku. Gimana pun
juga, aku cowok, Yebin-ah. Aku harus ngelindungi kamu. Aku nggak
boleh egois. Lagipula, aku bisa lanjutin besok.”
“Bener nggak apa-apa? Tapi tinggal
lima hari lagi, kan?” Yebin memandang wajah Yunhyeong meminta pertimbangan
sekali lagi.
“Kamu nggak yakin kalau aku bisa?
Hm? Jahat banget kamu! Pacar macam apa kamu ini?” Yunhyeong mengeluarkan tawa
kecil sambil mencubit pipi Yebin.
“Ish, aku akan cuma khawatir sama
kamu.”
Yunhyeong kembali tertawa ketika
Yebin memasang wajah betenya. “Oke, oke, aku tahu kamu emang peduli banget sama
aku, tapi kita harus pulang sekarang,” kata Yunhyeong seraya menarik tubuh
Yebin ke dalam rangkulannya. Ia mengambil tas ransel kemudian mematikan lampu
dan menutup pintu sebelum pergi.
“Brr, it’s so cool,” gumam Yebin ketika mereka berjalan di trotoar yang lumayan jauh dari
sekolah.
“Oh, cewek kayak kamu juga bisa
kedinginan?” goda Yunhyeong. Ia berkata seperti itu karena Yebin adalah tipe
gadis yang keras kepala dan gampang marah. Kalau orang lagi marah kan otomatis
tubuhnya jadi panas, makanya Yunhyeong bisa bilang seperti ini sekarang.
“Nyebelin!” Yebin memukul lengan
Yunhyeong, tapi wajahnya seperti malu-malu dan senang.
“Ngambek ciye, ngambek ciye!” ledek
Yunhyeong.
“Aku nggak ngambek!” Yebin membuang
muka.
“Ya udah, sini dong,” ujar Yunhyeong
seraya menarik tubuh Yebin lebih dekat dengannya. Yunhyeong menggenggam tangan
kanan Yebin kemudian menggosok-gosoknya hingga terasa hangat, bahkan Yunhyeong
memasukkan tangan Yebin ke dalam saku mantelnya.
“Gomawo,” gumam
Yebin malu-malu.
“Makanya, lain kali bawa sarung
tangan juga.”
“Enggak, ah. Buat apa? Lagipula enak
gini, kok.”
“Dasar!” Yunhyeong menjawil hidung
Yebin dengan tangan kanannya. Gadis itu terlihat lucu ketika sedang kedinginan
ditambah dengan wajah yang merona karena tersipu.
***
Hanbin dan June berlarian liar
melewati lorong rumah sakit setelah mendapat telepon dari pihak rumah sakit
mengenai kecelakaan yang menimpa Yunhyeong dan Yebin. Mereka berhenti di depan
ruang UGD dengan perasaan yang super panik bukan main.
“Hanbin, bagaimana ini? Aku tidak
mau kalau Yunhyeong sampai kenapa-napa. “
Napas Hanbin yang belum normal
membuat suara Hanbin terdengar putus-putus. “Aku yakin mereka berdua baik-baik
saja.”
Suara ketukan sepatu yang keras
menyeruak ke gendang telinga siapa saja yang berada di lorong itu. Jinhwan
menghentikan langkah tepat di belakang June. Ia mengatur napas di sela tangis
ketakutannya. Tak berapa lama kemudian, Bobby datang dengan piyamanya. Setelah
mendengar Jinhwan yang menerima telepon dari pihak rumah sakit, Bobby pun ikut
pergi tanpa memikirkan kostum yang sedang ia pakai.
***
Suara khas dari monitor rumah sakit
terdengar di keheningan. Donghyuk dan
Chanwoo masih setia duduk menunggu Yunhyeong sadar setelah seminggu koma.
Keduanya dibuat frustasi, apalagi mereka yang paling dekat dengan Yunhyeong.
“Hyuk, bagaimana kalau Yunhyeong
masih tetap seperti ini sampai sebulan atau bahkan lebih?” Chanwoo membuka
percakapan.
“Aku tidak tahu.” Nada bicara
Donghyuk terdengar putus asa.
“Kita hanya boleh bicara hal baik di
sini. Jangan mengatakan yang tidak-tidak!” tegur Bobby yang baru masuk. Ia
membawa sekantung plastik bersisi makanan dan minuman untuk makan siang
Donghyuk dan Chanwoo. “Makanlah, kalian pasti lapar dan lelah menunggu
Yunhyeong semalaman.”
“Tapi bagaimana dengannya? Aku
sangat merindukan Yunhyeong.” Chanwoo memandang ranjang rumah sakit di mana
tubuh Yunhyeong terbaring dengan selang infus dan alat bantu napas.
***
Jinhwan menoleh ketika suara pintu
terbuka menyapa gendang telinganya. “Oh, Hanbin, kau di sini?” sapanya tanpa
senyum di bibir.
Hanbin sedikit tersenyum lalu
berjalan mendekati Jinhwan yang masih duduk di dekat ranjang Yebin. “Aku tahu
kau sangat mengkhawatirkan Yebin, tapi setidaknya kau harus istirahat. Sudah
tiga hari kau terjaga hanya demi dirinya.”
Jinhwan menggeleng. “Aku akan tetap
membuka mataku.”
Hanbin menarik kursi dan memilih
duduk di samping Jinhwan. “Jinhwan-ah, aku tahu kau sangat menyayangi Yebin. Aku
tahu kau ingin memiliki Yebin. Aku tahu kau ingin melindungi Yebin seperti apa
yang dilakukan oleh Yunhyeong. Tapi kau harus tahu, kau harus mengerti, Yebin
sudah memilih Yunhyeong saat ini. Jadi, kusarankan supaya kau tak terlalu hanyut
dalam perasaan itu.”
Mendengar penjelasan Hanbin barusan,
membuat Jinhwan berpikir. Semua yang dikatakan Hanbin memang benar, tapi
Jinhwan sangat ingin memiliki Yebin. Ia tak tahu mengapa, tapi sejak awal
melihat Yebin, Jinhwan selalu membayangkan wajahnya dan selalu ingin
memilikinya hingga sekarang. Yah, meskipun usahanya yang telah berkali-kali
gagal saat menyatakan persaannya pada Yebin, Jinhwan selalu merasa enggan
menyerah. Justru sikap Yebin yang keras kepala dan keukuh itu membuat Jinhwan
merasa tertantang.
“Chagi-ya,” gumaman terdengar.
Sontak Jinhwan langsung memandang
wajah Yebin, ia menggenggam tangan Yebin yang mulai bergerak. Jinhwan menghela
napas berkali-kali. Baru kali ini ia merasakan gugup yang amat sangat. Ia
menanti Yebin kembali bergumam, atau mungkin membuka matanya.
“Chagi-ya,” gumaman itu terdengar
lagi.
Yunhyeong duduk di kursi roda.
Dengan bantuan Chanwoo yang mendorong kursi rodanya, akhirnya Yunhyeong bisa
sampai di kamar Yebin. Saat ia sadar, hal pertama yang melintas di benaknya
adalah menemui Yebin. Kata yang terbersit di hatinya pun juga nama Yebin. Maka,
meskipun berat hati, akhirnya Chanwoo mengiyakan permintaan Yunhyeong untuk
menemui Yebin atas izin dari dokter. Chanwoo mendorong kursi roda Yunhyeong
hingga berada di dekat ranjang Yebin.
Perlahan kelopak mata itu bergerak
dan terbuka. Mata gelapnya bergerak ke kanan dan ke kiri kebingungan. Kemudian
ia terpaku pada wajah yang ia kenal. Beberapa detik kedua pasang mata saling
bersirobok. Lalu bibir Yebin membentuk sebuah lengkung senyum.
“Jinhwan-ah,” ucap Yebin lirih.
Sontak Yunhyeong terkejut bukan
main. Mengapa nama yang disebut Yebin bukan dirinya melainkan nama Jinhwan?
“Aku merindukanmu, Jinhwan-ah.”
Jinhwan pun ikut bingung, sehingga
ia malah bertanya, “Aku?”
“Hm,” gumam Yebin sambil mengangguk
lemah. “Kita masih pacaran, kan?”
“APA?” Jinhwan bertanya dengan nada
tinggi saking terkejutnya. “Aku.. apamu?”
“Apa kau sudah tidak mau bersamaku
lagi? Hm?” tanya Yebin. Air matanya tiba-tiba menetes, membuat siapa saja yang
berada di sana merasa iba. Sedangkan Yunhyeong merasa hatinya tercabik. Ia iba
pada dirinya sendiri.
“Jinhwan tetap mencintaimu, Yebin-ah,” kata Hanbin yang membuat banyak orang terkejut.
“Hanbin, kau—” kalimat June
terputus.
“Jinhwan selalu menunggumu
siang-malam. Dia snagat khawatir padamu, Yebin-ah. Jadi, kalau kau sudah keluar dari rumah sakit nanti, kalian bisa
pergi makan bersama.”
Yebin tersenyum. Kedua matanya
berbinar bahagia, “Aku senang.”
***
“Amnesia, aku benci penyakit itu!”
Yunhyeong duduk di kursi rodanya sambil menghadap jendela. Di luar sana, ketika
matahari bersinar cerah, ia melihat kedua orang yang disayanginya sedang
berduaan. Jinhwan yang sudah dianggap sebagai saudara sendiri, kini tengah
menikmati waktu berdua dengan Yebin.
“Kenapa pula Yebin mengingat Jinhwan
sebagai pacarnya? Lalu aku ini apa? Atau jangan-jangan mereka berdua selingkuh
di belakangku.”
“Yunhyeong,” panggil June. ia
menghampiri Yunhyeong yang masih tak bisa menerima kenyataan mengenai Yebin
yang malah mengingat Jinhwan. “Aku tahu kau marah dan kecewa, tapi kuharap kau
mengerti.”
“Semua ini salahku.” Suara Hanbin
menyeruak. Ia memberi kode pada June supaya meninggalkan dirinya dengan
Yunhyeong di kamar. Dan June menurutinya. “Hanya sebentar. Kau dengar sendiri
kan kalau dokter bilang amnesia ini hanya sebentar?”
“Sebentar? Satu tahun itu lama! Dan
juga, dokter bilang, amnesia ini bisa saja berlangsung lebih dari setahun, dua
tahun, tiga tahun, bahkan selamanya!”
“Oke, aku tahu perasaanmu sekarang,
tapi apa kau tak melihat wajah Yebin saat pertama sadar? Bahkan ia menangis
ketika menyebutkan nama Jinhwan.”
“Seharusnya saat itu kau menjelaskan
semuanya, bukannya mendukung Jinhwan supaya bisa dekat dengan Yebin. Aku tahu,
selama ini Jinhwan suka pada Yebin. Aku bisa melihat sorot matanya, tapi aku
selalu percaya pada mereka berdua. Aku selalu yakin Jinhwan tak akan pernah
mengkhianatiku, begitu pula Yebin, ataupun kau. Tapi nyatanya seperti ini.”
Yunhyeong mendengus. Matanya berkaca-kaca, hampir meloloskan sebulir likuid.
“Ada apa?”
tanya Yebin yang merasakan bahunya telah basah. “Apa kau menangis?” kedua
tangan Yebin bergerak hendak melepas pelukan yang telah bertahan hampir tiga
menit, namun Yunhyeong malah semakin erat memeluk tubuh Yebin.
“Mianhae. Mianhae, Yebin-ah.”
“Untuk apa?”
“Aku sangat
menyesal. Aku tahu, aku memang bodoh. Maafkan aku.”
Yebin
mengerutkan keningnya. “Serius, sebenernya ada apa?”
Yunhyeong
melepas pelukannya. Secepat kilat, ia menghapus bekas air mata di wajahnya. Kau
tahu? Laki-laki juga punya perasaan. Laki-laki juga bisa menangis.
“Kajja, kita kembali ke lapangan! Nanti
Jinhwan bingung mencarimu.”
(Flashback On)
Empat bulan berlalu sejak Yebin dan
Yunhyeong sadar dari koma. Tak ada lagi kata sayang dan cinta di antara
keduanya. Hingga kini, Yebin belum pulih juga. Di memorinya hanya ada Jinhwan
yang selalu mengisi harinya. Yebin tak pernah mengingat siapa itu Yunhyeong di
hidupnya. Yang Yebin tahu, Yunhyeong adalah teman Jinhwan, tidak lebih.
Akhirnya Yunhyeong merasa
perjuangannya untuk mengembalikan ingatan Yebin hanya sia-sia. Ia mulai mencoba
merelakan Yebin berpindah ke pelukan Jinhwan. Walaupun hati Yunhyeong terasa
tercabik ketika melihat Yebin dan Jinhwan bermesraan, ia tetap berusaha kuat
dan tegar. Yunhyeong enggan membuat Yebin kepikiran dan membuat gadis itu jatuh
sakit.
Seperti ini pun tak apa. Setidaknya,
Yunhyeong masih bisa berada dalam kehidupan Yebin walaupun sebatas teman.
“Hwan, aku ingin bicara padamu.”
“Ada apa?” Jinhwan duduk di sebelah
Yunhyeong. Matahari hampir terbenam membuat langit mulai gelap.
“Aku.. bisakah kau berjanji untuk
menjaga Yebin?”
“Huh?”
“Tolong jaga Yebin untukku.”
“Yunhyeong, sebenarnya aku tak bermaksud seperti ini. Aku—”
“Tidak, aku memang tak pantas untuk
Yebin. Seharusnya malam itu aku menjaganya, tapi aku malah membuatnya
terluka. Cih, laki-laki macam apa aku ini.” Yunhyeong memandang lurus lapangan
basket di depannya. Sedangkan Jinhwan masih diam.
“Jaga dia untukku!” ujar Yunhyeong
lagi. Kali ini nadanya lebih tegas. Ia bangkit dari bangku lalu menepuk-nepuk
bahu Jinhwan agak keras. Yunhyeong menatap Jinhwan intens. Kalimatnya bukan
hanya sebuah permintaan, namun benar-benar hal penting yang menyangkut wanita
yang amat dicintainya. Kemudian Yunhyeong berlalu meninggalkan Jinhwan yang
masih duduk terpekur dalam kediaman.
Tiba-tiba Jinhwan bangkit dan
memandang punggung Yunhyeong yang sudah cukup jauh. “Aku akan membantumu
kembali pada Yebin!”
Yunhyeong tetap berjalan tanpa
menjawab.
“Baiklah, aku akan melakukan yang ku
bisa! Tapi aku tetap ingin kalian bersama! Aku akan meluangkan banyak waktu untuk kalian berdua. Yunhyeong-ah, tenanglah!”
Yunhyeong hanya mengulas senyum
tipis di bibirnya.
—fin
0 Response to "The Way We Felt The Distance"
Post a Comment