Kak, pria itu menyeramkan, aku takut.
Hanbin berjalan melewati pintu utama rumah sakit.
Sebelah tangannya memegang sebuah buket bunga mawar biru dan tangan yang lain
baru saja mematikan sambungan telepon. Ia menghela napas dalam lalu menjejalkan
ponselnya ke dalam saku jaket. Barusan ia mendapat telepon dari Bobby lagi
untuk kasus yang sama.
Hanbyul
bersikap aneh lagi. Dia bilang, aku takut dengan pria itu.
“Tepat sekali saat aku juga ingin mengunjunginya,”
gumam Hanbin di sela helaan napasnya. Kemudian Hanbin masuk ke dalam lift dan menekan tombol ke lantai tiga,
di mana adiknya berada.
Ting!
Pintu lift
terbuka, Hanbin segera menegakkan tubuhnya dan meninggalkan dinding lift yang dingin. Saat hendak ke kamar
Hanbyul, ia bertemu dengan Bobby yang sedang menutup pintu.
“Hanbyul sedang di dalam. Dia tidak mau makan dan terus
saja mengatakan—”
“Aku sudah tahu, terima kasih sudah menjaga adikku,
Bob.”
“That’s okay,”
kata Bobby sambil menepuk pundak Hanbin. “Kalau begitu, aku pamit pulang. Maaf
tak bisa menemanimu.”
Hanbin hanya mengangguk lalu menggeser pintu kamar
nomor 213 itu lalu menutupnya lagi. Ia mencoba tersenyum seperti biasanya,
seolah tak ada apapun yang dipikirkannya. Kemudian berjalan menghampiri ranjang
Hanbyul.
iKON’s Hanbin and his sister, Hanbyul | failed! Thriller| Ficlet | JungSeol,2016
Gadis kecil itu tengah meringkuk di balik selimut
sambil mengatakan, “Jangan dekati aku! Pergi!”
Mungkin,
adikmu harus dibawa ke psikiater. Coba periksakan dia, Hanbin-ah.
Ucapan Bobby barangkali benar. Sikap Hanbyul semakin
aneh dari hari ke hari. Hanbyul sering berteriak dan menangis secara tiba-tiba
tanpa sebab pasti. Beberapa kali ia juga mengatakan tentang seorang laki-laki,
namun saat Hanbin bertanya lagi, Hanbyul selalu bungkam.
Tidak.
Ini tidak benar. Hanbyul baik-baik saja. Hanbin mengangguk,
meyakinkan dirinya sendiri. Hanbyul
memang tidak sakit. Aku tahu itu.
“Dongsaeng
kesayangan Oppa, apa kau sudah makan,
hm?” kata Hanbin sambil mengusap puncak kepala adiknya yang terbalut selimut
rumah sakit.
“Oppa? Apa
itu sungguh dirimu?” Suara Hanbyul terdengar ketakutan dan bergetar.
Hanbin mengangguk. Teringat bahwa Hanbyul tak akan tahu
bila ia mengangguk, akhirnya Hanbin bersuara sambil menyingkap selimut itu.
“Ini Oppa, Hanbyul-ah.”
“Oppa!” seru
Hanbyul tiba-tiba dan langsung memeluk tubuh kakaknya, sangat erat. “Oppa, aku takut..” rengeknya kemudian.
“Gwaenchanha,
Hanbyul-ah. Tidak apa-apa, Oppa ada di sini.”
Kepala Hanbyul menggeleng, “Tapi orang itu ada di sini.
Aku takut. Dia tidak mau pergi.”
“Di mana?” tanya Hanbin akhirnya, ya, walaupun ia sama
sekali tak bisa melihat siapapun di ruangan ini, selain dirinya dan adiknya.
Lalu tangan Hanbyul menunjuk sebuah kursi di samping ranjangnya dengan sangat
ragu. Kemudian memandang wajah tampan kakaknya.
“Dia duduk di sana,” lirih Hanbyul seolah takut ada
orang lain yang mendengar.
“Aku tak melihat siapapun di sana. Mungkin kau mimpi
buruk lagi, makanya jadi seperti ini. Sekarang, kau makan dulu lalu minum obat,
oke? Oppa juga sudah membelikanmu
mawar biru, kesukaanmu,” bujuk Hanbin seraya melepas pelukan adiknya.
Namun Hanbyul menggeleng, “Aku tidak mau makan. Aku
hanya ingin Oppa mengusir orang itu.”
“Aku tak melihat siapa-siapa, Hanbyul-ah. Berhenti mengada-ada dan cepat minum
obatmu!” tegas Hanbin. Lalu ia meletakkan buket mawar di atas meja.
“Aku akan minta makanan lain pada suster, kau jangan ke
mana-mana!” kata Hanbin seraya berjalan menjauhi ranjang adiknya.
“Ada pria dengan jubah hitam di kursi itu. Dia
menatapku terus. Matanya seperti mata ular dan merah. Wajahnya sangat
menakutkan. Aku takut, Oppa,” ujar
Hanbyul sambil menatap punggung kakaknya yang kini berhenti di depan pintu. Ia
sungguh ketakutan. Hanbyul meremas selimutnya lebih kuat. Jantungnya seolah
dipompa berkali-kali lebih cepat dan kuat, justru membuatnya merasa sesak.
Hanbin menghela napas. “Aku akan kembali.” Lalu membuka
pintu dan melangkahkan kaki keluar kamar.
“Jangan, Oppa..”
lirih Hanbyul, namun terlambat. Kakaknya sudah keluar. Hanbyul melirik kursi di
samping ranjangnya—atau lebih tepatnya pria mengerikan itu. “Jangan dekati
aku!” teriak Hanbyul parau. Suaranya tercekat. Lalu Hanbyul memilih mengangkat
selimutnya untuk menutupi seluruh tubuh dalam posisi berbaring. Ia ketakutan,
sangat ketakutan.
Hanbyul bisa merasakan angin berhembus tepat di depan
wajahnya yang padahal terhalang oleh selimut. Dadanya naik-turun, napasnya tak
beraturan, dan aliran darah berdesir sangat hebat di dalam tubuhnya.
“Oppa..”
Hanbyul nyaris menangis ketika dengan jelas ia dapat melihat wajah mengerikan
mendekati wajahnya. Lalu, gelap.
—fin
what a absurd story it is!
Sorry.
0 Response to "The Black Man"
Post a Comment