Tell me is this where I give it all up?Cause the writing's on the wall
Kemanapun sepatu itu melangkah, semua akan berakhir
pada satu titik di mana hal itu dimulai. Perasaan abstrak yang berkecamuk liar
menimbulkan denting perkusi dalam dadanya tak henti-henti bermusik. Kejadian
di luar nalar yang hanya dapat dirasakan oleh kalbu.
Bobby menjejalkan kedua tangannya dalam saku celana
jins, memandang sebuah dinding yang sudah usang dipenuhi coretan nakal anak
muda vandalisme. Rambut cokelat blondenya tersapu oleh angin, samar sebuah
lengkung bibir terpatri hiasi gerak matanya yang meredup mengikuti arah semut
yang berjalan di sekitarnya.
How
do I life?
How
do I breathe?
Bobby tak lagi menghirup napas, pun menghelanya.
Tubuhnya diam mematung tak goyah sedikitpun meski diterpa udara berbentuk angin
kecil. Atensi batinnya tertuju pada sebuah peristiwa yang menyita seluruh
minatnya untuk hidup di atas tanah bumi ini.
“Bobby!”
“Ayo
kejar aku!”
“Dasar
payah!”
“Kemarilah,
Lemah!”
“Look!
Look at—”
Bobby mengusap rambutnya bersamaan dengan helaan napas
berat. Jalanan panjang di sebelah kanannya memiliki sesuatu yang buruk
sepanjang umur ia memijak tanah bumi. Aspal abu pekat itulah yang menjadi
pembaringan terakhir gadis yang dicintainya.
“Bob..
Bobby..”
“Bob…”
“Help..
don’t leave me..”
Tekanan batin dalam jangka waktu yang tak bisa
ditentukan oleh siapapun bahkan psikiater sekalipun. Hell! Bawa Bobby ke sana
sekarang untuk menebus dosanya. Itu tak cukup, belum bisa memenuhi segala rasa
bersalahnya.
“Bobby..”
“Take
my hand..”
“Ugh!”
“Help...”
Alas kaki Bobby tergerak mundur, selangkah demi
selangkah. Bayangan itu tak pernah berhenti menghantuinya. Bahkan untuk
sekarang ia bisa melihatnya dengan jelas.
Sebuah tangan berdarah-darah, mengambang di udara
meminta pertolongan. Raga yang berderai air merah enggan menutup sumber mata
airnya.
Sedetik.
Dua
detik.
Lima
detik.
Bobby
tetap mematung, membeku seribu gerak.
“Bob..”
Bobby
tetap memilih menjadi seorang pengecut.
“AARGGHH!” erangnya frustasi berlebih.
Rautnya yang semula kalem berubah menjadi seratus
delapan puluh derajat. Amarah yang melapisi hatinya. Kecelakaan itu memukul
kejiwaannya. Truk berwarna biru yang menghabisi nyawa gadisnya. Sorot lampu kuning yang menjadi cahaya
terakhir gadis yang dicintai Bobby.
Semua
ini karena siapa?
Karena
dirinya sendiri.
Kau
seorang pengecut, Bob.
Bahkan
ketika seribu manusia berusaha menolongnya.
Kau
diam mematung dan hanya menatapnya.
Bodoh.
Isn’t
the destiny?
—fin
0 Response to "Writing's on The Wall"
Post a Comment