Writing's on The Wall


Tell me is this where I give it all up?Cause the writing's on the wall

iKON’s Bobby | PG | Sad | Ficlet | llyaas Vaeylxyz,2016

Kemanapun sepatu itu melangkah, semua akan berakhir pada satu titik di mana hal itu dimulai. Perasaan abstrak yang berkecamuk liar menimbulkan denting perkusi dalam dadanya tak henti-henti bermusik. Kejadian di luar nalar yang hanya dapat dirasakan oleh kalbu.

Bobby menjejalkan kedua tangannya dalam saku celana jins, memandang sebuah dinding yang sudah usang dipenuhi coretan nakal anak muda vandalisme. Rambut cokelat blondenya tersapu oleh angin, samar sebuah lengkung bibir terpatri hiasi gerak matanya yang meredup mengikuti arah semut yang berjalan di sekitarnya.

How do I life?
How do I breathe?

Bobby tak lagi menghirup napas, pun menghelanya. Tubuhnya diam mematung tak goyah sedikitpun meski diterpa udara berbentuk angin kecil. Atensi batinnya tertuju pada sebuah peristiwa yang menyita seluruh minatnya untuk hidup di atas tanah bumi ini.

“Bobby!”

“Ayo kejar aku!”

“Dasar payah!”

“Kemarilah, Lemah!”

“Look! Look at—”

Bobby mengusap rambutnya bersamaan dengan helaan napas berat. Jalanan panjang di sebelah kanannya memiliki sesuatu yang buruk sepanjang umur ia memijak tanah bumi. Aspal abu pekat itulah yang menjadi pembaringan terakhir gadis yang dicintainya.

“Bob.. Bobby..”

“Bob…”

“Help.. don’t leave me..”

Tekanan batin dalam jangka waktu yang tak bisa ditentukan oleh siapapun bahkan psikiater sekalipun. Hell! Bawa Bobby ke sana sekarang untuk menebus dosanya. Itu tak cukup, belum bisa memenuhi segala rasa bersalahnya.

“Bobby..”

“Take my hand..”

“Ugh!”

“Help...”

Alas kaki Bobby tergerak mundur, selangkah demi selangkah. Bayangan itu tak pernah berhenti menghantuinya. Bahkan untuk sekarang ia bisa melihatnya dengan jelas.

Sebuah tangan berdarah-darah, mengambang di udara meminta pertolongan. Raga yang berderai air merah enggan menutup sumber mata airnya.

Sedetik.

Dua detik.

Lima detik.

Bobby tetap mematung, membeku seribu gerak.

“Bob..”

Bobby tetap memilih menjadi seorang pengecut.

“AARGGHH!” erangnya frustasi berlebih.

Rautnya yang semula kalem berubah menjadi seratus delapan puluh derajat. Amarah yang melapisi hatinya. Kecelakaan itu memukul kejiwaannya. Truk berwarna biru yang menghabisi nyawa gadisnya.  Sorot lampu kuning yang menjadi cahaya terakhir gadis yang dicintai Bobby.

Semua ini karena siapa?

Karena dirinya sendiri.

Kau seorang pengecut, Bob.

Bahkan ketika seribu manusia berusaha menolongnya.

Kau diam mematung dan hanya menatapnya.

Bodoh.

Isn’t the destiny?


—fin

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Writing's on The Wall"

Post a Comment