Our Confession


Everything can change


“Susah sekali, ya, bertemu denganmu?”

Wonwoo mulai kesal. Sesekali dia menyeruput lattenya yang baru datang, tapi sudah habis setengah gelas. Setidaknya dengan meminum setengahnya, perasaan Wonwoo tak lagi bercampur kesal yang berujung amarah. Wonwoo sebenarnya juga tak bisa marah, apalagi jika sedang bersama Jihyo.

Berbeda dengan si gadis yang hanya tersenyum lebar. Lucu juga melihat Wonwoo yang kesal. Bukankah itu pertama kalinya ia melihat Wonwoo tidak dalam mood yang bagus? Saat yang langka, dan Jihyo tak ingin melewatkan itu.

“Habiskan, ya? Aku yang bayar, tenang saja.”

“Ya, harus.”

Jihyo cekikan melihat kekasihnya. Sungguh menggemaskan melihatnya sedang bertingkah marah pada gadisnya, padahal terlihat jelas jika itu hanya berpura-pura. Ia tahu Wonwoo tak bisa semarah laki-laki kebanyakan yang kesal karena mereka tak bisa bertemu dengan kekasihnya setiap waktu.

Dalam diri Jihyo, sebenarnya dia juga marah dengan keadaan yang memaksanya untuk selalu disibukkan dengan pekerjaan organisasi. Terlebih akan ada proyek kerja besar-besaran dalam waktu dekat yang tentu melibatkannya sebagai Ketua II. Jadi, ya, dia jarang sekali bertemu bahkan hanya duduk berdua di cafe dengan kekasihnya, Wonwoo.


Seventeen’s Wonwoo and OC’s Jihyo  | Fluff | G | Ficlet | Original story by mintulli


Tak salah memang jika Jihyo percaya pada Wonwoo yang selalu mendukung dan ada untuknya. Selama ini, dia memang tak pernah protes. Hanya saja ini pertama kalinya mereka makan bersama di luar—karena Jihyo benar-benar sedang luang, dan Wonwoo berpura-pura menjadi kekasih yang tak dianggap selama beberapa minggu. Lalu dia bersandiwara sedang marah.

“Aku masih jadi Ketua kedua dalam organisasi, bagaimana jika saat itu aku benar terpilih menjadi Ketua Umum?”

“Aku masih jadi kekasihmu, bagaimana jika aku sudah jadi suamimu nanti?”

Jihyo terperanjat. Untuk menelan pancake nya saja jadi sulit, seperti berhenti tepat di kerongkongan.

“Suami?”

Wonwoo tersenyum nakal, pembalasan untuk Jihyo yang sempat gemas melihatnya pura-pura marah tadi. Sadar jika Jihyo sedikit kesusahan menelan makanan, ia lalu menyodorkan orange juice milik Jihyo.

“Mungkin akan ada berita utama di koran bahwa ada pria bernama Jeon Wonwoo yang mati kelaparan di kamar karena istrinya tidak memasak makanan untuknya selama berhari-hari. Mengenaskan sekali,” lanjut Wonwoo setengah mengejek.

Senyum Jihyo kembali mengembang. Kali ini berbeda, sedikit tersipu karena kekasihnya berkata seputar ‘suami mu’ yang berarti dia adalah istrinya.

“Percaya diri sekali!”

“Kenapa?”

“Memangnya nanti aku akan menikah denganmu?”

Sekarang berganti Wonwoo yang terperanjat. Dia jadi kesulitan menelan chesse burger pesanannya. Tepat berhenti di kerongkongan bawah.

“Apa kau tidak berpikir begitu?”

Jihyo tersenyum lagi. Membalas pertanyaan Wonwoo yang saat ini maniknya tertuju pada gadis berdarah Asia campuran ini.

“Entahlah...” Jihyo menggantung kan ucapannya. Meneguk minumannya sebentar sembari berpikir, apa ucapakanku tadi tak menyinggung perasaan Wonwoo?

“Kau tahu, perjalanan kita masih panjang. Kita masih muda! Banyak kemungkinan yang terjadi setelahnya.”

Wonwoo lalu mencubit pipi gadisnya. Gemas tentu saja. Kiranya Jihyo beranggapan bahwa mungkin Wonwoo akan melamarnya dalam waktu dekat atau seakan-akan ingin menikah dengan Jihyo esok. Padahal dia hanya bercanda. Kadang Wonwoo berpikir, sebenarnya Jihyo ini polos, atau pura-pura tidak sadar?

“Aku tidak akan bertindak secepat itu, Jihyo.”

“Aku tahu.” Jihyo membalasnya cepat. Oh tidak! Jantungnya berdegup cepat seperti akan lepas dari tempat yang seharusnya. Jihyo sering sekali kesal dengan perlakuan manis dan suara berat Wonwoo yang muncul secara mendadak.

“Lihat! Kau bahkan selalu salah tingkah denganku, begitu kau masih berpikir kita tak mungkin menikah?”

“Ini beda cerita, Wonwoo.”

Wonwoo menang lagi. Kini dia yang tersenyum nakal di depan gadisnya.

“Jangan terlalu mengharapkanku. Jika aku semakin sibuk, kau mungkin tak ada waktu bertemu denganku dan... aku tidak ingin kau mati konyol karena kau tidak kencan dengan kekasihmu.”

“Hey! Kau akan mengajukan diri jadi Ketua Umum?”

Jihyo menggeleng cepat. Lalu kembali fokus dengan makan siangnya. Wonwoo juga melakukan hal yang sama. Bedanya, dia kini mulai mencerna perkataan Jihyo. Ada firasat aneh yang menggelayuti pikiran sang lelaki. Tapi paling tidak dia masih bisa berpikir positif.

“Aku pernah membaca satu kutipan bahwa boleh jadi orang yang kita anggap berharga hari ini, tidak akan berharga lagi di kemudian hari.”

“Jangan bicara yang aneh-aneh, kau tahu aku tak suka itu!”

“Bukan begitu... aku hanya mengingatkan segalanya bisa berubah, bahkan hanya dengan hitungan detik. Jadi, aku ingin kau tetap menjadi dirimu sendiri.”

Wonwoo memandangi Jihyo. Arti matanya dalam, mengarah tepat di kedua manik Jihyo. Seperti sedang menelisik sesuatu. Barangkali ada yang disembunyikan si gadis, dan enggan untuk dibicarakan dengannya.

“Apa aku salah bicara?”

“Jangan-jangan kau suka dengan laki-laki lain, ya?”

“Tidak!”

“Jangan berbohong, Jihyo!” Wonwoo mulai beranjak dari tempat duduknya, lalu bersiap menggelitik Jihyo.

“Tidak! Jangan macam-macam Wonwoo . Ini di tempat umum!”


FIN

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Our Confession"

Post a Comment