Kehidupan Mi Yeon yang tampak bahagia-bahagia saja justru menyimpan sejuta lara di hatinya. Menjadi artis tak menjadikannya bahagia walau dengan ketenaran dan kekayaan yang dihasilkan. Lalu Luhan datang dan menemaninya, perlahan membuat Mi Yeon merasa nyaman. Tapi apakah mereka bisa membuktikan seberapa besar cinta yang ada? Mereka entertainer, bukan rakyat biasa, ingat?
REMAJA
perempuan yang dulunya hanya bisa berpegang teguh dan berdoa pada harapannya
itu kini menapaki jalan bersalju. Persis seperti angan-angannya dulu.
Mendatangi negara yang memiliki empat musim dan
bisa menikmati suasana tinggal di Seoul. Ia menghela napas, ternyata
sudah lama sekali sejak ia meninggalkan semua orang yang disayanginya hanya
untuk menetap di sini. Hawa dingin menggelitik tengkuknya yang tak mengenakan
syal. Ia bergidik lantas bergegas memasuki sebuah restoran mie yang sejak awal
menjadi tujuannya.
Suara
lonceng yang digantung di atas pintu berdenting, menandakan adanya pengunjung
yang datang. Salah satu pegawai wanita yang sedang membersihkan meja bergegas
menyapa orang itu. Ia agak terkejut ketika menyadari siapa yang datang.
“Oh, kau di
sini?” tanyanya basa-basi sambil mengelap kedua tangannya di celemek merah yang
dikenakannya.
“Hm, apa
kau bisa pulang cepat hari ini?”
“Entahlah, tapi
sepertinya tidak bisa. Ini akhir tahun, banyak sekali yang datang, aku harus
bekerja ekstra,” ujarnya. Sejenak ia memandang seorang bertubuh langsing di
hadapanya. Dengan kaos berwarna putih yang dibalut mantel pink membuatnya
terlihat anggun. Namun, masker hitam yang menutupi rahangnya mampu membuat daya
tariknya sedikit tersembunyi. Bibir merah mudanya.
Suara
lonceng itu kembali berdenting, empat orang pelanggan masuk ke dalam restoran.
Buru-buru pegawai wanita itu menyapa mereka lalu mencatat semua pesanannya.
Sebelum masuk ke dalam dapur, ia menghampiri gadis yang masih berdiri di tempat
yang sama itu. “Mianhae, Yeon-a,” ucapnya pelan. Kemudian gadis itu
hanya menggumamkan kata ‘hm’ sebagai
balasan.
Semua sama saja. Gadis itu sedikit mengangkat kepala
lantas berlalu meninggalkan restoran tempat temannya bekerja. Sudah akhir tahun, tapi.. semua tetap sama.
Namanya
Song Mi Yeon. Ia adalah seorang artis yang telah merintis karir selama tujuh
tahun. Ia terkenal sebagai pemain drama yang memiliki skill acting yang sangat
baik. banyak sekali penghargaan yang didapatnya karena itu. Ia juga bisa menari
dan bernyanyi dengan baik, tapi ia tak punya cukup waktu untuk melatih vokal
dan tariannya. Lagipula, menjadi pemain drama lebih menyenangkan, baginya. Ia bisa
meluapkan semuanya di sana. Ketika ia memainkan peran, menjadi seseorang lain.
Ia bisa merasa lebih baik karena itu. Sayangnya, di umur duapuluh tujuh ini, ia
tetap merasakan sesuatu hal yang sama sejak masih kecil. Kesepian.
Tak pernah
ada yang menyangkanya. Tak ada yang tahu kalau artis terkenal ini mempunyai
masalah kesepian dalam hidupnya yang terlihat manis dan tenteram. Ia selalu
terlihat murah senyum ketika muncul di televisi. Ia menyapa semua kru saat
syuting. Ia sering mentraktir orang-orang yang dekat dengannya. Ia terlihat
sempurna dalam balutan gaun mewah. Tak ada yang bisa menebak bagaimana
perasaannya yang sebenarnya.
“Sebentar
lagi tahun akan berganti, tapi.. tak ada yang berubah sama sekali,” gumamnya.
Ia mengangkat gelas kertas berisi mocacinno yang sedari tadi ia genggam,
menyeruputnya perlahan. Membiarkan rasa hangatnya meluncur melalui
tenggorokannya yang hampir membeku.
Hawa dingin
semakin menusuk jantungnya. Akhirnya ia memilih bangkit dari bangku yang sudah
tertimbun kepingan salju, sejenak ia membersihkan pakaiannya yang terkena
kepingan dingin itu. Menyedihkan sekali.
Ia terus berjalan menyusuri trotoar yang mulai sepi dari pejalan kaki bahkan
kendaraan sekalipun. Jalanan sangat lengang sekarang ini. Pasti semua orang
sedang berkumpul bersama orang disayanginya sekarang. Aku juga ingin bersama orang yang aku sayangi..
“tapi
mereka semua sibuk dengan urusan masing-masing.” Kemudian ia mendecih. “Aku
memang sangat menyedihkan.”
Tiba-tiba
ponselnya bergetar, buru-buru diangkatnya telepon itu. “Hm, yoboseyo?”
“Mi Yeon,
kau sedang di mana?”
Sejenak ia
memutar kepala ke kanan dan ke kiri, memastikan keberadaannya. “Di dekat—“
“Oh, aku
melihatmu.”
“Hm?”
“Di sebelah
kanan.” Kemudian sambungan terputus. Ia menengok ke sebelah kanan. Ada sebuah
mobil silver yang berhenti di tepi jalan. Di dalam mobil itu seorang laki-laki
sedang menatapnya lalu tersenyum. Mi Yeon memaksa tungkai-tungkainya yang
hampir beku untuk menghampiri mobil itu tanpa niat menjauhkan ponsel dari
telinganya.
“Sunbae?”
Lelaki itu
tersenyum menyapa lalu dengan ragu mengkat sebelah tangannya. Tapi, Mi Yeon
tetap tak bergeming. Lalu lelaki itu memberinya kode supaya masuk ke dalam
mobil sambil membuka mulutnya, mengatakan: masuklah.
Wanita itu menarik pintu lalu duduk di samping kursi kemudi.
“Ada apa, Sunbae?”
“Apa kau..”
Lelaki itu menahan perkataannya sebelum menoleh pada Mi Yeon. “tak ada janji
malam ini?”
“Ne?” Tahu kalau ucapannya tak berguna,
Mi Yeon kembali bersuara, “Tidak ada, aku tidak ada janji apapun dengan
siapapun.”
Ia bergumam
sambil meremas setir mobil menggunakan kedua tangannya. Kemudian menoleh pada
kaca jendela, melihat salju yang terus turun seakan tak terbatas. “Apa.. kau
mau?” Menoleh pada Mi Yeon. “Pergi denganku?” Tatapan itu seolah tengah
berharap mendapat jawaban ‘iya’.
Mi Yeon
tersenyum. “Tentu saja,” jawabnya sembari memasang sabuk pengaman.
Sejak saat
itu Mi Yeon lebih dekat dengan Luhan. Mereka sering menghabiskan sisa akhir
pekan bersama walaupun hanya sekadar minum teh dan hanya singgah di kedai
kurang dari sepuluh menit. Luhan juga merupakan actor yang hebat. Ia sangat
sering mendapat pujian berkat aktingnya yang selalu mendapat respon bagus di
pasaran. Luhan selalu berhasil membuat drama yang dimainkannya menjadi populer.
Tetapi, berkat itulah, ia lebih sedikit ruang untuk hanya bisa melihat wajah Mi
Yeon. Jika beruntung, mereka akan mendapat job yang sama. Sayangnya,
keberuntungan tak senantiasa bersama mereka.
Mereka
sangat dekat. Menjadikan Luhan berpikir kalau Mi Yeon juga menyukainya. Namun,
ia enggan mengambil resiko. Ia tak ingin menyatakan perasaannya pada Mi Yeon.
Kalau ditolak, hubungan mereka tak akan sebaik ini lagi, bahkan bisa jadi
mereka tak akan pernah bertegur sapa lagi. Maka dari itu, Luhan tak akan
mengungkapkannya. Ia ingin semua berjalan seperti ini saja. Mengalir seperti
arus air yang tenang. Dengan begitu mereka bisa tetap bersama.
Celakanya,
semua tak berjalan sesuai perkiraan. Arus air itu tiba-tiba bergerak sangat
deras dan melawan arah. Luhan merasa tak nyaman ketika melihat drama yang
dimainkan Mi Yeon. Ia terlalu sering melihat adegan kiss di dalamnya. Seolah terbakar api sesudah ditusuki jutaan jarum
tajam. Ia merasa sakit dan kepanasan. Semua ini tak bisa dibiarkan. Ia harus
bicara pada Mi Yeon. Tentang perasaannya. Tapi, ia juga tak ingin mengambil
resiko kehilangannya.
“Kenapa
tiba-tiba ingin menemuiku?”
Suara itu
mengejutkan Luhan. “Kau sudah datang?”
“Menurutmu
bagaimana? Sudah atau belum?” tanyanya menyindir lalu duduk di seberang kursi
yang disinggahi lelaki yang lebih tua setahun darinya itu.
Luhan tak
berminat menanggapinya. Ia hanya diam sambil memperhatikan Mi Yeon merapikan
rambutnya. “Kenapa suka sekali ganti warna rambut, huh?”
“Waeyo? Aku suka warna ini, bagaimana
menurutmu? Bagus, tidak?”
“Kau tahu
itu tidak bagus untuk kesehatan rambutmu kan? Kulit kepalamu itu.. gwaenchanha?” nada bicara Luhan yang
menuntut seketika berubah agak cemas yang berusaha keras tak ia tunjukkan.
“Aku kan hanya
tanya, kenapa mengomel?”
Luhan
menghela napas. “Ada masalah apa lagi? Biasanya kau akan mengganti warna rambut
atau tidak.. memotongnya, sekarang apa yang membuatmu kesal, hm?”
Hening
sejenak.
“Aku ingin
ambil libur sebentar, aku ingin hidup menjadi manusia biasa sampai aku merasa
baikan. Setelah syuting dramaku ini selesai, aku akan pergi berlibur.”
Luhan
menyimaknya, ia mendengar semuanya dengan jelas. Tindakan bodoh jika ia harus
membeo ucapan Mi Yeon. Dengan perasaan kecewa, ia sedikit mengangkat gelas dan
menyeruput kopinya. “Berapa lama?”
“Aku juga
tidak tahu.” Kini suaranya melemah.
Luhan
mengangguk. “Aku antar pulang,” katanya seraya menatap wajah Mi Yeon lekat. Ia
mengangguk dan mengekori Luhan menuju tempat parkir. Keduanya masuk ke dalam mobil
dan saling diam selama perjalanan. Tidak ada yang membuka percakapan, tiada
yang berniat, sepertinya. Sama-sama hanyut dalam jerat pikir masing-masing
hingga tak sadar mereka telah sampai.
Kedua
tangan Luhan tetap memegang kemudi, dwimaniknya menatap jalanan. Ia enggan
bertanya ataupun sekadar basa-basi. Kepalanya hanya terangguk ketika suara Mi
Yeon yang pamit terdengar di indra pendengarannya.
Mi Yeon
membuka pintu. Kenapa suasana menjadi
sangat canggung? Diliriknya lelaki yang tetap duduk di balik kemudi sejenak
lalu tersungginglah seulas senyum sebelum tangannya menyentuh pagar besi. Dia sangat aneh hari ini. Bahkan senyumanku
sama sekali tak ditanggapi.
“Yeon-a,” panggil Luhan. Ia membalikkan badan,
entah sejak kapan laki-laki itu berdiri tegap di sana. Memandang dengan
kehampaan.
“Ne?”
Luhan
berjalan maju dan berhenti setelah berada dalam jarak 30 cm dari Mi Yeon.
Terjadi keheningan dalam selang waktu cukup lama. Keduanya hanya saling
bersitatap dalam ketegangan. Ia tak tahu apa yang sedang dipikirkan Luhan,
namun ia tak bisa dengan angkuhnya meninggalkannya dan masuk ke dalam. Ia hanya
menunggu.
“Masuklah..
dan istirahat yang cukup,” ujarnya sebelum menyunggingkan senyum tipis.
Mi Yeon
merasa kikuk secara mendadak. Dan yang mampu ia ucapkan hanya, “Ya, aku masuk
dulu.” Kemudian Luhan mengangguk.
Aku menyukaimu, Yeon.
Mi Yeon
memutar tubuhnya, memandang raga Luhan yang masih berdiri di depan pagar.
“Hati-hati di jalan, aku masuk dulu.” Luhan hanya tersenyum. Namun ia tetap
mematung di sana sampai wanita itu masuk ke dalam rumah.
Mungkin, aku tak harus
mengungkapkannya kan?
—TBC
0 Response to "How Deep is Your Love? | Chap. 1"
Post a Comment