How Deep is Your Love? | Chap. 1


Kehidupan Mi Yeon yang tampak bahagia-bahagia saja justru menyimpan sejuta lara di hatinya. Menjadi artis tak menjadikannya bahagia walau dengan ketenaran dan kekayaan yang dihasilkan. Lalu Luhan datang dan menemaninya, perlahan membuat Mi Yeon merasa nyaman. Tapi apakah mereka bisa membuktikan seberapa besar cinta yang ada? Mereka entertainer, bukan rakyat biasa, ingat?


Luhan and OC’s Mi Yeon | PG | Romance
Atatakai-chan
@Poster Channel | Vxiebell,2016


REMAJA perempuan yang dulunya hanya bisa berpegang teguh dan berdoa pada harapannya itu kini menapaki jalan bersalju. Persis seperti angan-angannya dulu. Mendatangi negara yang memiliki empat musim dan  bisa menikmati suasana tinggal di Seoul. Ia menghela napas, ternyata sudah lama sekali sejak ia meninggalkan semua orang yang disayanginya hanya untuk menetap di sini. Hawa dingin menggelitik tengkuknya yang tak mengenakan syal. Ia bergidik lantas bergegas memasuki sebuah restoran mie yang sejak awal menjadi tujuannya.

Suara lonceng yang digantung di atas pintu berdenting, menandakan adanya pengunjung yang datang. Salah satu pegawai wanita yang sedang membersihkan meja bergegas menyapa orang itu. Ia agak terkejut ketika menyadari siapa yang datang.

“Oh, kau di sini?” tanyanya basa-basi sambil mengelap kedua tangannya di celemek merah yang dikenakannya.

“Hm, apa kau bisa pulang cepat hari ini?”

“Entahlah, tapi sepertinya tidak bisa. Ini akhir tahun, banyak sekali yang datang, aku harus bekerja ekstra,” ujarnya. Sejenak ia memandang seorang bertubuh langsing di hadapanya. Dengan kaos berwarna putih yang dibalut mantel pink membuatnya terlihat anggun. Namun, masker hitam yang menutupi rahangnya mampu membuat daya tariknya sedikit tersembunyi. Bibir merah mudanya.

Suara lonceng itu kembali berdenting, empat orang pelanggan masuk ke dalam restoran. Buru-buru pegawai wanita itu menyapa mereka lalu mencatat semua pesanannya. Sebelum masuk ke dalam dapur, ia menghampiri gadis yang masih berdiri di tempat yang sama itu. “Mianhae, Yeon-a,” ucapnya pelan. Kemudian gadis itu hanya menggumamkan kata ‘hm’ sebagai balasan.

Semua sama saja. Gadis itu sedikit mengangkat kepala lantas berlalu meninggalkan restoran tempat temannya bekerja. Sudah akhir tahun, tapi.. semua tetap sama.

Namanya Song Mi Yeon. Ia adalah seorang artis yang telah merintis karir selama tujuh tahun. Ia terkenal sebagai pemain drama yang memiliki skill acting yang sangat baik. banyak sekali penghargaan yang didapatnya karena itu. Ia juga bisa menari dan bernyanyi dengan baik, tapi ia tak punya cukup waktu untuk melatih vokal dan tariannya. Lagipula, menjadi pemain drama lebih menyenangkan, baginya. Ia bisa meluapkan semuanya di sana. Ketika ia memainkan peran, menjadi seseorang lain. Ia bisa merasa lebih baik karena itu. Sayangnya, di umur duapuluh tujuh ini, ia tetap merasakan sesuatu hal yang sama sejak masih kecil. Kesepian.

Tak pernah ada yang menyangkanya. Tak ada yang tahu kalau artis terkenal ini mempunyai masalah kesepian dalam hidupnya yang terlihat manis dan tenteram. Ia selalu terlihat murah senyum ketika muncul di televisi. Ia menyapa semua kru saat syuting. Ia sering mentraktir orang-orang yang dekat dengannya. Ia terlihat sempurna dalam balutan gaun mewah. Tak ada yang bisa menebak bagaimana perasaannya yang sebenarnya.

“Sebentar lagi tahun akan berganti, tapi.. tak ada yang berubah sama sekali,” gumamnya. Ia mengangkat gelas kertas berisi mocacinno yang sedari tadi ia genggam, menyeruputnya perlahan. Membiarkan rasa hangatnya meluncur melalui tenggorokannya yang hampir membeku.

Hawa dingin semakin menusuk jantungnya. Akhirnya ia memilih bangkit dari bangku yang sudah tertimbun kepingan salju, sejenak ia membersihkan pakaiannya yang terkena kepingan dingin itu. Menyedihkan sekali. Ia terus berjalan menyusuri trotoar yang mulai sepi dari pejalan kaki bahkan kendaraan sekalipun. Jalanan sangat lengang sekarang ini. Pasti semua orang sedang berkumpul bersama orang disayanginya sekarang. Aku juga ingin bersama orang yang aku sayangi..

“tapi mereka semua sibuk dengan urusan masing-masing.” Kemudian ia mendecih. “Aku memang sangat menyedihkan.”

Tiba-tiba ponselnya bergetar, buru-buru diangkatnya telepon itu. “Hm, yoboseyo?”

“Mi Yeon, kau sedang di mana?”

Sejenak ia memutar kepala ke kanan dan ke kiri, memastikan keberadaannya. “Di dekat—“

“Oh, aku melihatmu.”

“Hm?”

“Di sebelah kanan.” Kemudian sambungan terputus. Ia menengok ke sebelah kanan. Ada sebuah mobil silver yang berhenti di tepi jalan. Di dalam mobil itu seorang laki-laki sedang menatapnya lalu tersenyum. Mi Yeon memaksa tungkai-tungkainya yang hampir beku untuk menghampiri mobil itu tanpa niat menjauhkan ponsel dari telinganya.

Sunbae?”

Lelaki itu tersenyum menyapa lalu dengan ragu mengkat sebelah tangannya. Tapi, Mi Yeon tetap tak bergeming. Lalu lelaki itu memberinya kode supaya masuk ke dalam mobil sambil membuka mulutnya, mengatakan: masuklah. Wanita itu menarik pintu lalu duduk di samping kursi kemudi.

“Ada apa, Sunbae?”

“Apa kau..” Lelaki itu menahan perkataannya sebelum menoleh pada Mi Yeon. “tak ada janji malam ini?”

Ne?” Tahu kalau ucapannya tak berguna, Mi Yeon kembali bersuara, “Tidak ada, aku tidak ada janji apapun dengan siapapun.”

Ia bergumam sambil meremas setir mobil menggunakan kedua tangannya. Kemudian menoleh pada kaca jendela, melihat salju yang terus turun seakan tak terbatas. “Apa.. kau mau?” Menoleh pada Mi Yeon. “Pergi denganku?” Tatapan itu seolah tengah berharap mendapat jawaban ‘iya’.

Mi Yeon tersenyum. “Tentu saja,” jawabnya sembari memasang sabuk pengaman.

Sejak saat itu Mi Yeon lebih dekat dengan Luhan. Mereka sering menghabiskan sisa akhir pekan bersama walaupun hanya sekadar minum teh dan hanya singgah di kedai kurang dari sepuluh menit. Luhan juga merupakan actor yang hebat. Ia sangat sering mendapat pujian berkat aktingnya yang selalu mendapat respon bagus di pasaran. Luhan selalu berhasil membuat drama yang dimainkannya menjadi populer. Tetapi, berkat itulah, ia lebih sedikit ruang untuk hanya bisa melihat wajah Mi Yeon. Jika beruntung, mereka akan mendapat job yang sama. Sayangnya, keberuntungan tak senantiasa bersama mereka.

Mereka sangat dekat. Menjadikan Luhan berpikir kalau Mi Yeon juga menyukainya. Namun, ia enggan mengambil resiko. Ia tak ingin menyatakan perasaannya pada Mi Yeon. Kalau ditolak, hubungan mereka tak akan sebaik ini lagi, bahkan bisa jadi mereka tak akan pernah bertegur sapa lagi. Maka dari itu, Luhan tak akan mengungkapkannya. Ia ingin semua berjalan seperti ini saja. Mengalir seperti arus air yang tenang. Dengan begitu mereka bisa tetap bersama.

Celakanya, semua tak berjalan sesuai perkiraan. Arus air itu tiba-tiba bergerak sangat deras dan melawan arah. Luhan merasa tak nyaman ketika melihat drama yang dimainkan Mi Yeon. Ia terlalu sering melihat adegan kiss di dalamnya. Seolah terbakar api sesudah ditusuki jutaan jarum tajam. Ia merasa sakit dan kepanasan. Semua ini tak bisa dibiarkan. Ia harus bicara pada Mi Yeon. Tentang perasaannya. Tapi, ia juga tak ingin mengambil resiko kehilangannya.

“Kenapa tiba-tiba ingin menemuiku?”

Suara itu mengejutkan Luhan. “Kau sudah datang?”

“Menurutmu bagaimana? Sudah atau belum?” tanyanya menyindir lalu duduk di seberang kursi yang disinggahi lelaki yang lebih tua setahun darinya itu.

Luhan tak berminat menanggapinya. Ia hanya diam sambil memperhatikan Mi Yeon merapikan rambutnya. “Kenapa suka sekali ganti warna rambut, huh?”

Waeyo? Aku suka warna ini, bagaimana menurutmu? Bagus, tidak?”

“Kau tahu itu tidak bagus untuk kesehatan rambutmu kan? Kulit kepalamu itu.. gwaenchanha?” nada bicara Luhan yang menuntut seketika berubah agak cemas yang berusaha keras tak ia tunjukkan.

“Aku kan hanya tanya, kenapa mengomel?”

Luhan menghela napas. “Ada masalah apa lagi? Biasanya kau akan mengganti warna rambut atau tidak.. memotongnya, sekarang apa yang membuatmu kesal, hm?”

Hening sejenak.

“Aku ingin ambil libur sebentar, aku ingin hidup menjadi manusia biasa sampai aku merasa baikan. Setelah syuting dramaku ini selesai, aku akan pergi berlibur.”

Luhan menyimaknya, ia mendengar semuanya dengan jelas. Tindakan bodoh jika ia harus membeo ucapan Mi Yeon. Dengan perasaan kecewa, ia sedikit mengangkat gelas dan menyeruput kopinya. “Berapa lama?”

“Aku juga tidak tahu.” Kini suaranya melemah.

Luhan mengangguk. “Aku antar pulang,” katanya seraya menatap wajah Mi Yeon lekat. Ia mengangguk dan mengekori Luhan menuju tempat parkir. Keduanya masuk ke dalam mobil dan saling diam selama perjalanan. Tidak ada yang membuka percakapan, tiada yang berniat, sepertinya. Sama-sama hanyut dalam jerat pikir masing-masing hingga tak sadar mereka telah sampai.

Kedua tangan Luhan tetap memegang kemudi, dwimaniknya menatap jalanan. Ia enggan bertanya ataupun sekadar basa-basi. Kepalanya hanya terangguk ketika suara Mi Yeon yang pamit terdengar di indra pendengarannya.

Mi Yeon membuka pintu. Kenapa suasana menjadi sangat canggung? Diliriknya lelaki yang tetap duduk di balik kemudi sejenak lalu tersungginglah seulas senyum sebelum tangannya menyentuh pagar besi. Dia sangat aneh hari ini. Bahkan senyumanku sama sekali tak ditanggapi.

“Yeon-a,” panggil Luhan. Ia membalikkan badan, entah sejak kapan laki-laki itu berdiri tegap di sana. Memandang dengan kehampaan.

Ne?”

Luhan berjalan maju dan berhenti setelah berada dalam jarak 30 cm dari Mi Yeon. Terjadi keheningan dalam selang waktu cukup lama. Keduanya hanya saling bersitatap dalam ketegangan. Ia tak tahu apa yang sedang dipikirkan Luhan, namun ia tak bisa dengan angkuhnya meninggalkannya dan masuk ke dalam. Ia hanya menunggu.

“Masuklah.. dan istirahat yang cukup,” ujarnya sebelum menyunggingkan senyum tipis.

Mi Yeon merasa kikuk secara mendadak. Dan yang mampu ia ucapkan hanya, “Ya, aku masuk dulu.” Kemudian Luhan mengangguk.

Aku menyukaimu, Yeon.

Mi Yeon memutar tubuhnya, memandang raga Luhan yang masih berdiri di depan pagar. “Hati-hati di jalan, aku masuk dulu.” Luhan hanya tersenyum. Namun ia tetap mematung di sana sampai wanita itu masuk ke dalam rumah.

Mungkin, aku tak harus mengungkapkannya kan?


—TBC

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "How Deep is Your Love? | Chap. 1"

Post a Comment