Soundtrack




Mungkin hidup dapat dianalogikan seperti sebuah FILM dengan segala bagiannya. Pemeran utama, setting, alur, bahkan soundtrack. Aku ingat sebuah pertanyaan. 'Jika hidupku sebuah film, lagu apa yang menurutku tepat untuk menjadi soundtracknya?' Aku terdiam sesaat setelah mendengar pertanyaan itu muncul tiba-tiba di benakku dan tertuju untuk diriku sendiri. Buru-buru aku mengetik di papan pencarian google. Lagu-lagu bertema kesedihan. Loh? Kenapa aku mengetik itu?


Original story by Desty Rista A.


Tidak menarik. Dua kata yang kini mampu mendefinisikan seperti apa aku. Seperti apa hidupku. Aku. Adalah seonggok daging bernama. Dan langit mendung di atasnya. Adalah matahari terbenam tanpa megahnya warna jingga. Hidup. Perlukah aku berlari, dari apa yang membuatku muak? Semua rutinitas yang selalu kuulang. Pula selalu tak ku sukai. Ah ! Jiwaku bukan disini. Dan ini membuatku sakit kepala! Penat jiwa ini tak mampu ku hindarkan. Lalu, harus kemana aku berteriak?

Beberapa kalimat berjalan diatas lembar kerja komputer lipatku yang seharusnya ku isi beberapa soal matematika. Soal yang akan ku ujikan kepada murid-muridku besok. Tapi malah muncul kata-kata yang ku rangkai menjadi bait tak berarti. Buru-buru aku menghapusnya dan melanjutkan apa yang seharusnya ku kerjakan.

SOUNDTRACK—

(flashback)


Mama menatap tajam ke arahku. Bukan tatapan seperti ibu tiri kepada anak tirinya. Justru sorot mata teduh itu yang membuatku memutuskan untuk mengikuti kehendaknya.

“Jadi gimana? Kamu mau ngikutin saran Mama kan?” tanya mama. Aku mengangguk. Mengambil keputusan itu tidaklah semudah membuat origami menggunakan kertas lipat.


Aku bahkan sudah menghabiskan dua malam menangis sendirian di kamar merelakan mimpiku terbang meninggalkanku seorang diri di tempat itu. Mimpiku adalah terbang. Terbang sebagai seorang pramugari. Seperti ayahku yang dulu terbang sebagai seorang pilot. Sampai akhirnya berita duka itu tersiar di banyak media. Pesawat yang ayah tumpangi jatuh! Hatiku selalu seperti mati rasa ketika mengingat kejadian itu meskipun dulu aku masih berumur 12 tahun.

Mama memelukku erat.


“Maafin Mama, ya, Cha. Mama tau, impianmu bukan jadi guru matematika, tapi jadi seorang pramugari. Tapi Mama ngga bisa izinin kamu meskipun Mama bisa biayain kamu. Kamu tau kan alasannya? Sekarang terserah kamu. Kamu bisa pilih jurusan yang lain selain saran mama, asal.. jangan pramugari,” kata mama sebelum akhirnya aku mengisi formulir pendaftaran Universitas dengan jurusan yang mama sarankan. Bagiku apa pun jurusan yang ku ambil, toh sama saja. Aku masih akan tetap kehilangan mimpiku. Dan sekarang biarkan aku sendirian menatap harapan itu melayang, tanpa berkedip.

SOUNDTRACK—

Bulan kemarin baru saja aku meniup api kecil pada lilin berbentuk angka 23 di atas kue tart yang mama buat. Jadi ingat juga waktu tahun lalu aku masih sibuk menyelesaikan skripsiku, mama juga melakukan hal yang sama. Tanpa sadar aku tenggelam pada syair lagu Kasih Ibu yang tak sengaja ku dengar saat aku berjalan melewati ruang musik.

Aku mengintip melalui pintu yang sedikit terbuka dan melihat siswa-siswi kelas 2 sedang ada kelas bernyanyi.



Miss Acha, sini masuk!” kata seseorang dari dalam ruangan. Aku melempar senyum dan berjalan masuk. Beberapa anak menghujaniku dengan pelukan manja.


Miss, ngga ngajar?” tanya Yuvi. Salah satu murid terlucu di kelas itu.


“Setelah kelas bernyanyi, kalian ada kelas matematika, kan? Nanti kan sama Miss Acha,” jawabku. Kemudian mereka ber-hore. Pak Hafid yang kini berhenti memainkan tuts piano memandangi kami. Beliau memaklumi sifat manja anak-anak terhadapku. Tapi aku merasa tak enak hati jika terlalu lama disana. Akhirnya ku putuskan untuk keluar ruangan.


Miss Acha keluar dulu, yaa. Sampai nanti, satu jam lagi di kelas,” tuturku sambil berdadah ke arah mereka.

SOUNDTRACK—

Terik matahari pukul dua siang cukup membuatku ingin buru-buru sampai di rumah lalu menyeruput segarnya jus jeruk yang tersimpan di kulkas. Aku berjalan dari ruang guru ke arah gerbang sekolah. Ya, taksi adalah kendaraan yang selalu mememaniku berangkat—pulang mengajar.

Miss..” panggil seseorang dengan suara yang ku kenal. Suara itu berasal tak jauh dariku. Aku menebar pandangan ke segala arah kemudian mendapati gadis kecil berdiri sendirian di bawah pohon tepat di depan gerbang. Aku buru-buru menghampirinya.


“Loh? Yuvi? Kamu kok belum pulang, Sayang?” Tanyaku. Dia terdiam sesaat sebelum kemudian menjawab.


“Papah sama mamah kayaknya ngga bisa jemput deh, Miss,” jawabnya. Aku melihat kesedihan di kedua mata gadis kecil itu.


“Ohh.. gitu.. gimana kalo Yuvi pulang sama Miss Acha aja? Yuk Miss anter ke rumah,” usulku sambil merangkul gadis kecil itu.


“Tapi.. katanya kakak mau jemput kok. Yuvi tunggu kakak aja deh,”


“Kamu punya kakak, ya, sayang? Miss Acha baru tau. Dia pernah jemput kamu sebelumnya?” tanyaku penasaran.


“Belum pernah sih, Miss. Kak Gilang baru pulang dari Aussie. Baru selesai kuliah disana.” jawabnya. Gadis mungil dengan suara kecil itu sangatlah lucu jika sedang berbicara. Sangat menggemaskan.


“Ohh, gitu. Yaudah, Miss temenin nungguin kakak, yaa,” kataku sambil melempar senyum ke arah gadis kecil itu. Aku menghela napas panjang. Yuvi dan teman-temannya. Juga murid SD Kartika yang lainnya. Mereka adalah salah satu alasanku bertahan di tempat itu. Menjalani rutinitas yang sebenarnya tidak aku sukai. Tapi semangat merekalah yang membuatku sejak empat bulan yang lalu sampai hari ini merasa harus bertahan.


Mazda CX-3 berhenti tepat di depan kami. Aku terperangah melihat sosok yang keluar dari pintu pengemudi. Saat aku masih terpaku di tempatku, Yuvi berhambur ke arah sosok itu.


“Kaaak Gilang!” seru gadis itu dan disambut pelukan hangat dari kakaknya. Gilang! Gilang Adi Nugroho! Makhluk terganteng seantero SMA-ku dulu. Dan dulu juga aku pengagum rahasianya. Oh Tuhan, kita bertemu kembali setelah sekian lama dia menghilang dan hampir ku lupakan. Dia menatapku lama sebelum akhirnya...


“Acha?” dia menyapa. Aku jatuh salting. Dia mengenalku!


“Kamu Gilang alumni SMA N 22 Jakarta?” tanyaku memastikan.


“Ya, dulu kelas kita sebelahan kan?” tanyanya. Aku mengangguk. Kurasa lagu Finally Found You dari Enrique Iglesias feat. Sammy Adams sangat tepat jika menjadi musik latar adegan ini.

“Kak Gilang kenal Miss Acha, ya?” tanya Yuvi. Kita hanya saling melempar senyum.


“Kalo gitu, yuk, Miss pulang sama kita aja. Boleh kan, Kak?” tanya gadis kecil itu lagi.


“He-eh. Ngga usah sayang. Miss bisa pulang sendiri kok,” jawabku, masih menahan detak jantung yang tiba-tiba berdetak dua kali lebih cepat. Namun Yuvi berjalan ke arahku dan menarikku ke arah mobil. Aku sempat menolak, tapi gadis cerdik itu benar-benar bisa membuatku luluh. Sedangkan Gilang hanya menatap kami dengan sorot mata hangatnya yang meneduhkan. Sorot mata yang sama seperti beberapa tahun yang lalu.

SOUNDTRACK—

Aku duduk sendirian di kamarku. Ditemani lembar kerja dalam komputer lipatku. Memandangi sebuah album kenangan masa SMA dengan pandangan yang terpaku pada Gilang masa muda yang masih mengenakan seragam putih abu-abu. Sedangkan sekarang dia sudah memakai setelan lebih dewasa walaupun gaya kasualnya masih seperti dulu. Sudah sangat lama memang. Tapi ketika akhir-akhir ini aku telah melupakannya dan tiba-tiba dia hadir kembali. Aku kembali mengagumi sosok itu, entah bagaimana bisa perasaan ini muncul kembali.

SOUNDTRACK—

Aku berada di sini. Sebuah cafe bernuansa romantis dengan lampu taman dan lilin-lilin yang menjadi sumber penerangan. Juga Endless Love yang menjadi musik latar cafe.

Buat apa sih dia nyuruh aku ke tempat ini? Dan.. buat apa juga ya aku nurutin dia kesini? Bodohnya aku,” batinku. Aku melirik jam di tangan yang menunjukan pukul tujuh malam. Buru-buru aku mencari sebuah amplop kecil di dalam tas. Membuka dan kembali membacanya.


“Acha, temui aku di Han's Cafe nanti malam pukul tujuh. Aku akan datang. –Gilang”


Persis seperti itulah bunyi surat yang kuterima melalui Yuvi.


“Ini udah jam tujuh dan Gilang belum dateng juga. Ya ampun, bodohnya aku mau-maunya dikerjain,” batinku. Aku menatap terusan merah hati sebatas lutut yang kukenakan dengan paduan belt hitam dan wedges berwarna senada. Aku juga meraba penjepit rambut berbentuk kupu-kupu yang ku sematkan di bagian rambutku yang tergerai.


“Percuma juga aku dandan rapi-rapi,” dengusku. Aku berniat untuk pergi saja dari tempat itu. Tapi kemudian seorang waiter menghampiriku dengan membawa sebuah kotak persegi berukuran besar.


“Nona, ini untuk Nona. Dari Tuan Gilang. Tuan menyuruh Nona jangan pergi kemana-mana dulu,” kata waiter itu kepadaku. Aku tidak tahu apa maksud dari semua ini. Satu-satunya hal yang membuatku mengurungkan niat untuk enyah dari tempat itu adalah sebuah kotak bertuliskan 'my first love' di atasnya. Aku semakin penasaran dan kuputuskan untuk membukanya.

Aku hanya menemukan sebuah album foto berukuran besar di dalamnya. Perlahan ku buka album berwarna merah hati itu. Halaman pertama, aku tidak menemukan satupun foto yang terpasang disana. Yang ada hanya sebuah tulisan tangan.


If I find you, I will never let you go again—and I will never go again.”


Kalimat sederhana yang entah kenapa pesannya sangat sempurna bisa tersampaikan. Aku bisa merasakan makna dari kalimat itu. Halaman kedua dan ketiga. Spontan aku terperangah melihat enam foto yang terpasang disana. Semuanya adalah fotoku. Dan semuanya candid! Siapa yang telah memotretku diam-diam saat itu?

Dalam foto pertama dan kedua terlihat seperti aku sedang duduk dan bercanda di kantin. Aku melihat angka sebelas di lengan kiri seragamku. Jadi, foto itu di ambil saat aku kelas sebelas? Detak jantung, udara yang banyak ini, ada desir yang membuatku sesak napas. Foto ketiga sampai keenam. Semuanya di ambil diam-diam ketika aku sedang berjalan. Ada kamera yang selalu mengikutiku saat itu dan aku tidak menyadarinya? Aku menghela napas. Dan membuka secara hati-hati halaman selanjutnya.


Halaman keempat dan kelima. Aku kembali terperangah melihat enam foto yang tersusun rapi disana. Lagi-lagi fotoku dengan mengenakan seragam sekolah. Foto ketujuh diambil di depan pintu kelasku. Tulisannya jelas terpampang di sana. 12 IPA-1. Foto kedelapan terlihat aku sedang serius berjalan dengan poni yang sedikit menutupi wajah. Foto sembilan. Ya Tuhan! Apa ini fotoku saat aku tertidur di perpustakaan? Dengan rambut menutupi sebagian wajah yang bertengger di sebuah buku. Bagaimana bisa? Selanjutnya, foto kesepuluh. Tampak aku sedang membenarkan tali sepatuku yang terlepas saat melewati lapangan basket. Aku belum juga menemukan makna dari semua ini. Sampai pandanganku beralih ke foto kesebelas dan keduabelas. Tampak aku mengenakan gaun putihku saat acara promnight. Dan.. apa ini? Sesuatu terjatuh dari sela-sela album ini. Sebuah kartu ucapan selamat ulangtahun. Aku mengenal tulisan ini! Bagaimana tidak? Ini kan tulisanku! Saat itu ulang tahun Gilang yang ke tujuh belas. Dan semua siswi di sekolah berlomba-lomba mengirimkan hadiah dan kartu ucapan. Tapi yang ku lakukan hanyalah menulis sebuah doa dan harapanku tentangnya di sebuah kartu ucapan. Bahkan aku tidak menulis namaku disana. Tapi.. kenapa.. kenapa kartu ini masih ada? Aku menghela napas lagi dan membuka halaman terakhir. Tidak ada satupun foto disana. Hanya lagi-lagi ada satu bait tulisan tangan yang sangat rapi. Aku membacanya.

You're the voice I hear inside my head. The reason that I'm singing. I need to find you. I gotta find you. You're the missing piece I need. The song inside of me. I need to find you. I gotta find you.”

Aku mengenal bait itu. Bukankah itu sebuah lirik lagu yang berjudul This Is Me dari Demi Lovato? Aku membacanya sekali lagi. Tapi ada yang aneh. Apakah ini semacam sihir? Aku membaca dan seperti ada suara yang keluar dari dalamnya. Suara itu! Sontak pandangan mataku tertarik kepada sosok yang berjalan ke arahku dengan langkah santainya. Aku melihat setangkai mawar merah ditangannya.

Gilang! Langkahnya semakin mendekat ke arahku. Dengan syair lagu tadi yang terdengar merdu lahir dari kedua bibirnya. Lagi-lagi aku terperangah. Lidahku kelu sehingga tak ada satu kalimatpun sanggup keluar dari bibirku. Yang ada hanya pandanganku yang tiba-tiba buram karna terhalang cairan bening sebelum aku berkedip. Senyumku mengembang dan pipiku terasa hangat.


Likuid bening itu menetes.

SOUNDTRACK—

Ini seperti aku dengan cerita yang tak pernah ku rangkai sedetik pun dalam imajinasiku. Semuanya terasa tiba-tiba. Terlampau tiba-tiba. Saat aku sedang berusaha menikmati apa yang ku miliki dan apa yang ku jalani. Aku tak pernah memikirkan akan hal ini. Orang yang dulu ku kagumi, bahkan sangat. Ternyata diam-diam juga menaruh perasaan yang sama. Lagu-lagu yang dulu sempat dia nyanyikan di atas panggung pentas seni sekolah. Lagu yang sanggup meluluhkan hati cewek-cewek satu sekolah. Ternyata lagu itu tertuju untukku. Perasaan yang kusimpan diam-diam untuknya, ternyata dia juga menyimpan dalam-dalam untukku.

Satu pertanyaan baru tiba-tiba muncul.

Apakah jika aku berhasil menggapai impianku menjadi seorang pramugari, aku akan tetap bertemu dengannya?


Aku dengan segala kepahitan yang kutelan bulat-bulat saat melihat mimpi itu terbang lenyap. Semuanya adalah takdir. Aku yang sekarang berada di tempat ini. Rutinitas yang ku jalani. Orang-orang yang ku kenal. Juga Yuvi sebagai jembatan yang menghubungkan dua tebing berjarak. Aku dan Gilang. Bagiku ini bukan sebuah kisah menyedihkan lagi seperti yang dulu aku patrikan di benakku.

Aku teringat pertanyaan yang sempat muncul di benakku dulu. 'Jika hidupku adalah sebuah film, lagu apa yang menurutku paling tepat untuk menjadi soundtracknya?' Aku kembali terdiam sesaat. Kini mungkin aku akan menjawab 'medley'. Gabungan antara lagu-lagu bertema elegi, lagu cinta bersyair indah, bahkan lagu bertemakan kebahagiaan. Semua tema digabung menjadi satu dan selalu bergiliran—berputar setiap harinya. Karna mungkin hidupku tidak akan selamanya sedih atau bahagia. Waktuku terus berjalan dan detikku terus berubah menjadi menit. Dan kalau aku balikkan pertanyaan itu untukmu. Ya, kamu. Jika hidupmu adalah sebuah film, lagu apa yang menurutmu paling tepat menjadi soundtracknya?



—end

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Soundtrack"

Post a Comment