RV’s
Wendy,
Irene and NCT’s Taeil, Taeyong,
Doyoung
PG | Romance, friendship, entertainer life, etc | Chapter (1/unknow)
AyameYumi@PosterChannel | Gdgirlshv©2015-2016
PG | Romance, friendship, entertainer life, etc | Chapter (1/unknow)
AyameYumi@PosterChannel | Gdgirlshv©2015-2016
Kring kring…
Suara alarm jam weaker
yang terletak di atas meja di dekat tempat tidurku berbunyi nyaring memekakkan
telinga. Jam menunjukkan pukul 05.00 pagi hari, mataku terasa tidak bisa
terbuka. Tapi aku harus memaksanya untuk berkerja sama. Aku menyambar handuk
dan masuk kamar mandi.
Handphone, buku, dan segelas kopi yang aku comot dari
mesin pembuat kopi, aku meminumnya sedikit lalu menyambar tas selempangku yang
ada di gagang pintu. Aku tahu kamar flatku
masih sangat berantakan, namun aku harus segera pergi karena pekerjaan telah
menanti.
Aku berjalan menuju halte terdekat dari flat. Sepuluh menit menunggu sambil
menyimak berita di salah satu website.
Kedatangan Presiden Amerika ke Indonesia sedang hangat-hangatnya
diperbicangkan, dan ini merupakan sebab mengapa aku harus segera meninggalkan flat kecilku yang berantakan. Sebagai
seorang wartawan di salah satu stasiun televisi di kota ini, aku ditugaskan
untuk meliputnya.
Wen,
kamu cepetan siap-siap, ya, bentar lagi kita siap nih langsung cus.
Melihat pesan singkat dari rekan kerjaku, buru-buru aku
mengetik balasannya.
Iya,
iya, ini juga udah siap kok.
Tak sampai 15 menit aku dan kru sudah sampai di lokasi,
di sebuah Istana Kepresidenan dengan ornamen kenegaraan yang kental di bagian
luar istana itu. Ratusan wartawan sudah menanti dengan kertas kecil sebagai note mereka. Aku agak grogi karena ini
peristiwa besar dan pertama kalinya buatku. Padahal aku merupakan wartawan baru
dan memang bukan tugasku awalnya, tapi karena mbak Maya tiba-tiba sakit dan
harus diopnam jadi dilimpahkan padaku. Katanya, karena aku anak muda dan baru
sehingga masih fresh, dan yang akan
ditayangkan juga pemberitaan yang fresh.
“Mbak, kayaknya minggu
depan aku break dulu deh, mau ambil
cuti beberapa minggu. Kira-kira boleh nggak, ya, Mbak?”
“Yang bener, Wen? Padahal liputan kamu kemaren sukses
berat lho, bagus kita dapet rating
tinggi. Kok kamu sekarang malah mau break
sih,” ucap mbak Maya sambil memegangi bahuku, dan aku hanya bisa diam serta
memberi pandangan bingung.
Jam sudah menunjukkan pukul 17.00, aku hanya memandangi jam tangan dan
duduk di kursi meja kerja, terdengar suara riuh teman-teman yang berpamitan
pulang. Aku tahu Pak Cahyo yang merupakan produser stasiun TV tempatku bekerja
belum pulang. Tanpa pikir panjang aku segera bangkit dan masuk ke ruangannya.
“Permisi, Pak, boleh saya masuk?”
“Wendy, Wendy, silahkan.” Pak Cahyo menyebut namaku
dengan senyum mengembang, tapi aku malah jijik melihatnya.
“Duduk-duduk.”
“Iya, Pak, terima kasih. Pak, saya ke sini mau membicarakan
beberapa hal. Jadi begini, saya berencana untuk mengambil cuti untuk beberapa
minggu ke depan, mungkin hanya dua minggu.”
“Wendy, ada apa? Kemaren kamu meliput dengan bagus dan
itu membuat rating kita tinggi, tapi
kok sekarang kamu malah mau cuti.”
“Iya, saya mengerti Pak, tapi saya butuh cuti ini.
Banyak hal yang harus saya urus, contohnya menyelesaikan kuliah pendek saya.
Lagipula, cuti tahun ini kan belum saya ambil, jadi saya..” Belum selesai aku
melanjutkan kata-kataku, Pak Cahyo menjentikan jarinya, membuatku terpaksa
menghentikan kata-kataku.
“Begini, Sabtu ini akan ada konser akhir tahun, sebagai
tugas terakhir kamu sebelum cuti untuk meliput jumpa pers penyanyi muda asal
Korea yang sedang naik daun itu. Bagaimana?”
“Iya Pak, saya setuju.” Sambil menyunggingkan senyum
lebarku aku mengangguk, “Terimakasih Pak, saya permisi.”
Aku bernyanyi riang sambil membereskan meja kerjaku.
Menyampirkan tas selempangku di pundak, aku berjalan gembira keluar kantor.
Suasana kemerahan sore di langit nampak indah di mata. Aku menyadari bahwa
selama berkerja di sini aku tak pernah menikmati dunia setelah keluar kantor.
Aku melangkah menyusuri jalanan menuju flatku,
langit sudah berganti gelap, lampu di gedung-gedung menyala bersamaan dengan
langkahku melewati gedung satu ke gedung lainnya.
Langkahku terhenti, suara gemerucuk perut menyadarkanku
bahwa sejak pagi belum ada makanan yang masuk ke dalam mulut. Bagaimana mungkin
aku bisa lupa makan? Sambil geleng-geleng kepala aku tersenyum.
Café langgananku sudah padat dengan orang-orang
kelaparan, aku memilih meja di dekat jendela. Tiba-tiba handphoneku berdering.
“Halo Joohyun, apa kabar? Sudah lama kita tidak
bertemu.”
“Halo
Wendy, aku hanya ingin mengatakan kalau aku datang ke Indonesia.”
“Kau datang ke Indonesia? Mengapa kamu tidak bilang
lebih awal padaku? Sekarang kau ada di mana?”
“Rencananya
aku ingin bilang padamu kemarin, tapi aku takut kamu sibuk, email darimu
kemarin mengatakan bahwa kau akan meliput kedatangan Presiden Amerika. Sekarang
aku sedang ada di bandara Soekarno Hatta.”
“Ah, iya, benar. Maafkan aku. Aku akan menjemputmu, apa
kamu sudah menemukan tempat tinggal?”
“Sebenarnya
belum, mungkin aku akan merepotkanmu.”
“Kau ini bicara apa sih? Kedatanganmu tidak akan
membuatku repot, limabelas menit lagi aku sampai. Tunggu ya.” Aku mematikan sambungan
telepon lalu memencet beberapa deret nomor kemudian menempelkan HP pada daun
telinga.
“Maaf, Mbak, meja nomer sepuluh atas nama Wendy jadinya
take away aja, ya. Makasih.”
“Ah, halo Taeil, iya kabar baik. Aku menelpon karna
ingin meminjam motormu, aku mohon boleh, ya?”
“Kapan?
Sekarang? Aku sedang berada di luar.”
“Aku tahu kau berbohong. Baiklah, begini saja, kalau
kau mau meminjamiku motormu itu, aku akan membelikanmu album BIGBANG. Kita akan
bicarakan itu nanti, yang penting aku pinjam dulu motormu aku berada di—”
“Aku
ada di belakangmu.”
“Apa?? Apa kau bilang?” Aku membalikkan badan, Taeil
yang menjulang tinggi sudah berada tepat di belakangku dengan kunci motor yang
menggantung di tangannya. Aku langsung menyambar kunci itu.
“Seharusnya kau
bilang padaku kalau kau di sini. Jadi, pulsaku tidak habis, tapi makasih. Nanti
akan aku kembalikan tanpa tergores sedikitpun.” Aku berkata sambil berlari
keluar café.
Joohyun dan aku menaiki
tangga flat menuju kamarku yang ada
di lantai dua nomor 201, aku senang Joohyun ke Indonesia. Joohyun adalah gadis
Korea yang aku temui saat aku kuliah di Korea karena mendapatkan beasiswa. Dia
anak yang baik dan manis. Rambutnya hitam sepunggung dengan mata besar dan
cantik, seperti kartun Korea. Selama di Korea dia sangat membantuku, terutama
membantu untuk beradaptasi di lingkunganku yang baru.
“Sebentar, aku ada perlu. Kau naik saja dulu, kamarku
nomor 201. Nanti aku menyusul. “
“Aku akan menunggumu.”
“Aku tidak akan
lama.”
Aku menuju kamar nomor 101—tetangga flat di lantai satu, dia adalah Taeil:
orang yang motornya aku pinjam. Jam delapan lewat, Taeil pasti belum pergi
dengan teman-temannya. Bel di pojok dinding dekat pintu aku tekan. Tak lama
kemudian Taeil keluar.
“Taeil, terimakasih.” Aku mengulurkan kunci ke
tangannya seraya mengembangkan senyum.
“BIGBANG..?”
“Ah itu, aku tahu, tapi aku tidak bisa membicarakannya
sekarang karena aku kedatangan seorang tamu. Bye, aku naik dulu, ya!”
Aku membuka pintu flat
dan betapa malunya aku karena tempat tinggalku berantakan, aku lupa untuk
merapikannya tadi, yah, itu karena aku tergesa-gesa berangkat kerja. Joohyun
tertawa kecil dan mengalihkan pandangannya ke mataku seraya mengangguk yang
berarti dia memaklumi itu. Joohyun dan aku membersihkannya bersama. Untung
tempat tidurku lumayan besar sehingga cukup untuk satu muatan lagi.
“Jadi, gimana, kok kamu bisa sampai Indonesia?” tanyaku
kepada Joohyun saat kami duduk selonjor di lantai karna terlalu letih
membereskan kamar, serta ditemani alunan musik mp3 dari HP-ku.
“Ada pemotretan video klip dan artisnya itu meminta
tempat syutingnya berada di Indonesia.”
“Ooh, sudah dapat tempat tinggal?”
“Nah itu, jadi gini, aku ke sini mendadak dan belum
sempat mempersiapkan apapun. So, aku
pikir, akan ada pengacau yang tinggal bersamamu selama tiga hari ke depan. Maaf
karena menambah beban hidupmu selama aku ada di sini,” kata Joohyun sambil
menjawil hidung ku.
“Kamu ngomong apa sih? Lagian pas di Korea kamu udah
banyak bantu aku.”
Kring
kring..
Tubuhku menggeliat tatkala
dering jam weker menusuk dwirungu. Tetapi rasanya enggan untuk bangun, badanku
terasa melekat erat di kasur yang empuk. Aku menarik selimut tebal hingga
menutupi leher. Tiba-tiba suara memekakkan telinga terdengar.
“Bangun dasar tukang tidur!” Joohyun menarik selimutku.
Seketika tubuhku menegak karena mencium aroma yang tak biasanya terdeteksi oleh
indra penciumanku—setidaknya dua tahun
terakhir saat aku pindah ke flat ini. Dengan mata masih tertutup aku
menciumi bau itu dan mencoba menemukannya hingga sampai ke dapur.
“Waaah, baunya enak banget.” Kemudian aku membuka panci
yang berisi sup, mengambil sendok dan mencicipinya. “Enak. Kamu pinter masak
sejak kapan?” Aku menggoda Joohyun. Tanpa menunggu jawaban darinya, kuraih
handuk yang tersampir di gantungan lantas memasuki kamar mandi.
“Segeer.. akhirnya aku
bisa sarapan juga.” Jemariku dengan kuat menarik kursi makan sambil
mengeringkan rambut dengan handuk.
“Selama aku ada di sini kamu aman, hehe. Jadwal
syutingku masih minggu depan, jadi aku free.
Kamu berangkat kapan? Aku ikut ya, mau keliling-keliling kota ini,” tutur Joohyun
seraya mondar-mandir menyiapkan makanan di atas meja makan.
“Habis sarapan ini. Kamu kan belum tahu daerah sini,
emangnya it’s okay aja? Nggak
nyasar?”
“Maps kan
ada.”
Sampai di halte aku dan Joohyun berpisah. Hari ini
berjalan seperti rotasi harianku. Aku meliput di daerah yang sedang terjadi
kebakaran, penyebabnya diduga karena hubungan pendek listrik. Setelah meliput
aku bersiap-siap kembali ke kantor dan pulang. Hal yang berbeda adalah ketika
aku sampai di rumah, ada Joohyun yang membuat hariku terasa indah, ramai, dan
ceria.
—TBC
0 Response to "All of Sudden #1"
Post a Comment