Red or Pink?
Mungkin memang beginilah
nasib cowok taken, terutama yang
pacarnya seorang cewek yang suka dandan. Berdiri nungguin dia selama hampir
empat jam seolah bukan apa-apa, belum ada artinya. Padahal kaki udah pegel,
tapi tetap dipaksa nemenin ke sana-ke sini, eh ujung-ujungnya balik ke tempat
yang pertama kali di datengin.
“Chelle, pulang, yuk?”
Karena sudah nggak tahan lagi, akhirnya bibirku
melafalkan kalimat tersebut. Akan tetapi, karena saking nggak enaknya mau
ngomong kaya gitu, yang seharusnya jadi kalimat ajakan justru menjadi kalimat
tanya.
“Bentar lagi ah. Sebentar aja, ya?”
Gadis yang memiliki mata belo itu menatapku sambil
memohon. Dwimanik karamel yang berbinar seperti itulah yang selalu membuatku
luluh dan menuruti apa saja permintaannya, tapi untuk kali ini aku tak bisa
mengatakan ‘ya’.
“Sebentar doang kok, Mark, ya?”
Bulu mata hitam-lebatnya yang lentik mengedip-edip
manja. Lalu bibir tipis seksinya membuat kurva yang sangat manis. Yang demi
neptunus, wajahnya sangat memesona ketika rambutnya yang ikal ikut
bergoyang-goyang saat mendekati wajahku. Jarak wajah kami begitu dekat, sampai
aku bisa merasakan hembusan napasnya yang hangat.
“Takdir
cowok itu harus selalu ngalah sama cewek, apapun yang terjadi.” Tiba-tiba
ucapan Michelle tempo hari terngiang di otakku seperti petir di siang bolong,
yang membuatku sadar dan langsung menginstruksikan kepala supaya cepat-cepat
mengangguk.
“Makanya bantu milih dong,” ujarnya sambil
mengerucutkan bibir. Lalu melangkah mundur, menjauhiku.
Sejenak aku masih terpaku, namun segera kuberdeham dan
menyadarkan diri. Apa tadi gadis itu tak merasakan apapun? Padahal jantungku
berdegup sangat cepat ketika wajahnya begitu dekat denganku.
“Mark, kamu suka yang merah atau yang pink?” tanya Michelle seraya
mengacungkan dua lipstick di depan
wajahku.
Aku mengedipkan mata, malas sekali. Ketika aku menoleh,
terlihat wanita sedang menahan tawanya. Pasti karena Michelle yang mengajukan
pertanyaan itu. Menjengkelkan sekali!
“Kenapa tanya aku? Kan kamu yang pakai,” jawabku dengan
nada sinis.
“Kan kamu pacar aku.”
“Terus, hubungannya apa?”
“Tuh, kan. Kenapa sih kamu selalu marah kalau nemenin
aku belanja?”
“Aku nggak marah, Chelle.”
“Ih, bohong. Jelas-jelas muka kamu bête gitu, masih mau
ngelak?”
Aku menghela napas pasrah. Cowok selalu salah di mata
cewek, sabar, Mark. “Ya udah, aku yang salah.”
“Udah tau salah, tapi nggak minta maaf?”
Wajar dong kalau aku kaget? Udah dikasih hati, tapi masih
minta ginjal. Emang dasarnya cewek itu penyihir yang nyamar jadi ibu tirinya
Cinderella, kejam banget.
“Iya, iya, maaf.”
Michelle tersenyum lebar setelah mendengar ucapan
maafku. “Iya deh, aku maafin.”
Ya Tuhan, tolong isi ulang galon kesabaranku supaya
masih bisa baik sama cewek satu ini.
“Kamu nggak suka dua-duanya, ya, Mark? Kalau gitu
gimana kalau warna lain?”
Buru-buru aku menggeleng. Kalau enggak, bisa-bisa anak
dari Mrs. Kim ini membuatku terjebak di mall
lebih lama lagi. “Enggak, Chelle, aku lebih suka yang merah.”
“Hm? Merah?” Wajah Michelle terlihat kurang setuju. Ia
mengamati dua lipstick beda warna
tersebut lebih intens sebelum menatapku lagi. “Tapi aku lebih suka yang pink. Kita beli yang warna pink aja, ya?”
Ya Tuhan, galon kesabaranku sudah diisi ulang kan, ya?
Kenapa aku harus terjebak di mall di bagian alat make up bersama seorang cewek yang nggak
jelas seperti Michelle, Ya Tuhan? Kenapa waktuku harus terkuras habis hanya
untuk menemaninya memutuskan warna lipstick
yang akan dia beli?
Ke tempat parkir sampai
masuk ke dalam mobil, bibirku terus tertekuk ke bawah, menandakan ke-be-te-an
yang sudah memuncak. Aku duduk di bagian kemudi, mencengkeram stir dengan penuh
amarah yang sangat ingin meledak, namun harus ditahan. Kepalaku tertoleh ke
samping, melihat Michelle yang sibuk mengoleskan lipstick ke bibirnya.
“Chelle?”
“Hm?” gumamnya.
“Kamu bahkan nggak beli warna yang aku pilihin?”
tanyaku masih mencoba woles aja.
“Habisnya warna merah yang kamu bilang itu, terlalu ngejreng, aku nggak suka. Aku lebih suka
warna yang lebih kalem. Gimana? Bagus nggak?” ujarnya yang masih bisa-bisanya
minta komentar setelah semua yang terjadi hari ini, yang membuat hatiku sakit.
Aku mengubah posisi duduk supaya bisa menatap matanya
dalam-dalam. “Aku merasa udah dipermainin sama kamu, Chelle. Seharian ini kamu
selalu tanya, bagus yang ini atau yang
itu. Tapi ujung-ujungnya kamu selalu beli yang menurut kamu bagus, kamu
nggak peduli sama pilihan aku. Terus, buat apa kamu tanya?”
“Kamu marah, Mark?”
“Aku sebel, tapi aku selalu nggak bisa marah sama
kamu.”
Michelle mengangguk-anggukkan kepala. Lalu merubah
posisi duduknya hingga kami saling berhadapan. Bibirnya kembali menarik garis
membentuk senyum simpul yang sangat manis. “Itu tandanya, kamu sayang sama
aku.”
“Aku serius, Chelle.”
Michelle sedikit memajukan tubuhnya, mencondongkan
wajahnya, dan menatap mataku lebih intens. “Aku juga serius, Mark Lee.”
“Apanya yang serius?” ujarku meremehkan sambil memukul
stir mobil pelan.
“Mark,” ucapnya seraya meraih tanganku dan menggenggamnya.
Aku hanya menatapnya dalam diam. Ketika wajahnya sedikit condong dan mendekati
wajahku, aku tetap diam, merasa ingin
tahu apakah Michelle akan melakukannya atau dia hanya ingin main-main. Dan
ternyata—
bibir Michelle mengecup singkat sambil matanya
terpejam.
Tubuhku kaku setelah itu. Hanya bola mataku yang bisa
bergerak melihat apa yang dilakukan Michelle setelah melakukan ciuman yang
pertama kalinya ini.
Gadis itu mengambil cermin dari dalam tasnya lalu
memberikannya padaku, mengarahkan ke wajahku. “Lihat? Tidak terlalu mencolok
kan?”
“Apanya?”
Michelle menurunkan cerminnya lalu mengamati wajahku.
Dia tersenyum sambil menyentuh bibirku. “Ini, hehe.”
—FIN
0 Response to "[Show Your Color] Red or Pink?"
Post a Comment