Angin Sedang
Berhembus
OMG’s Arin
and Seventeen’s Joshua
| Songfic | PG
Vxiebell,2016
Vxiebell,2016
Di muka bumi yang hampa
yang telah banyak berubah ini, tak ada sepatah katapun yang bisa kuucap. Otakku
kehilangan semua kata, kini tubuhku hanya berdiri dan diam.
Darimanakah seharusnya aku memulainya?
Dalam keputusasaan ini, aku ingin mencari secercah
cahaya yang bisa mengeluarkanku dari lubang yang gelap. Ketika angin berembus
memainkan anak rambutku, aku berharap angin yang akan datang menjadi lebih
besar supaya aku ikut terbawa.
Oh Tuhan, aku tahu kau berada di suatu tempat. Aku
mohon bentangkanlah dunia yang baru ini, buatlah mataku terbuka lebih lebar
supaya aku bisa melihat segala hal yang belum sempat kulihat.
Di atas bukit yang dikelilingi rerumputan hijau yang
tumbuh se-mata kaki, dapat kurasakan kekuatan angin yang lebih kencang, yang
menerbangkan rambutku. Kedua mataku perlahan terpejam seolah menikmati setiap
hembusan angin. Tapi sungguh, aku tak merasa begitu.
Selang beberapa detik, angin itu sudah berhenti
bertiup. Tanpa disuruhpun, kelopak mataku terbuka perlahan. Semua terlihat
buram. Aku tak bisa melihat apapun dengan jelas. Namun, kemudian aku melihat
sosok itu. Dia berdiri di hadapanku sambil tersenyum.
“YA!
Cuci tanganmu sebelum makan!”
“Harus
berapa kali kubilang, huh? Jangan terlalu lama mengunyah permen karet, nanti
gigimu bisa sakit!
“Ya
Tuhan.. Arin Choi, sampai kapan aku harus mengingatkanmu supaya tidak lupa
gosok gigi sebelum tidur?”
Wajah pemuda itu terlihat sangat jelas. Bagaimana
ekspresinya ketika marah, saat mengomel, dan saat membuat lelucon supaya
adiknya bisa tertawa.
“Arin,
Arin apa yang bisa bikin sejuk? Kalo bisa jawab, aku buatin cake kesukaan kamu
deh.”
“Salah!
Jawabannya… Aaaa rindangnya pepohonan..hahaha.”
Teringat akan semua memori itu, bibirku tersenyum
getir. Ujung jemariku membantu mengusap mataku yang telah basah.
Lalu atensiku terfokus menatap ke depan, tepat di depan
mataku saat ini. Sebuah batu nisan yang mengukir nama Joshua Hong di atasnya.
“Terima kasih untuk setiap waktu yang telah kau berikan
padaku, Kak. Aku sangat bersyukur karena kau mau merawatku sebagai adikmu,
tapi—”
.
.
.
.
.
“—maaf
karena aku harus membunuhmu.”
—FIN
0 Response to "The Winds are Blowing"
Post a Comment