RV’s Wendy, Irene and NCT’s Taeil, Taeyong, Doyoung
PG | Romance, friendship, entertainer life, etc | Chapter (5/unknow)
Apa
dia yeojachingu Taeyong? Mereka terlihat sangat akrab.
Susah payah Joohyun membuang ingatan itu, tetapi memang sulit. Lantas jika Taeyong
dan Wendy saling menyukai, apa haknya untuk cemburu? Semakin memikirkannya
hanya membuat hati serta kepala Joohyun memanas. Bahkan sempat terlintas untuk
membuat hubungan mereka retak, jika perlu sampai hancur sekalian. Tapi hal itu
terlalu jahat. Apalagi hanya karena masalah sepele.
Bagaimana
mungkin aku bisa berpikiran sejahat itu
terhadap Wendy? Joohyun sadarlah! Wendy adalah sahabatmu sendiri, batin
Joohyun dalam hati sambil memukul-mukulkan tangan ke kepalanya.
Sebelum kami sampai di flatku, kami berbelanja di supermarket
terdekat. Kalau mau mengakui, sebenarnya aku tidak pandai memasak, tapi tidak
ada pilihan lain selain makan di flatku.
Mobil yang membawa kami telah sampai di supermarket. Aku membuka pintu untuk
turun membeli bahan makanan. Pintu tertutup setelah aku keluar. Saat itu aku
sedang berpikir makanan apa yang akan aku masak. Karena menurut daftar makanan
yang dapat aku masak hampir nihil—asal
kau tahu hal ini.
Pintu mobil di belakangku terbuka dan itu membuatku
tersentak. “Omo[1],
kau membuatku terkejut,” seruku sambil memegang dada.
“Haha, mengapa kau terkejut? Itu bukan hal yang bisa
membuat terkejut atau.. kau sedang melamun?”
tebak Joohyun sambil menunjukkan jari telunjuknya ke arahku.
“Hm, sepertinya aku tahu apa yang kau pikirkan, Wendy.
Ayo, aku akan membantumu membeli bahan makanan apa yang akan kita masak,” Joohyun
menarik lenganku.
Di dalam supermarket aku dan Joohyun berdebat tentang
makanan yang akan kita masak, tentu saja aku akan memilih makanan yang mudah
untuk dimasak, mengingat kemampuan masakku di bawah rata-rata. Saat sibuk
menimang-nimang memilih mana bahan makanan yang lebih murah, seseorang
memelukku dari belakang, tangannya melingkar di pundakku. Itu Joohyun,
kepalanya di dekatkan ke telingaku.
“Wendy, mianhae..”
bisik Joohyun di dekat telingaku, bisikan itu lembut namun terdengar jernih di
telinga.
“Apa yang kau katakan? Meminta maaf untuk apa?” jawabku
tanpa bergerak sedikitpun.
“Aku hanya ingin mengatakan kata itu.” Joohyun
mengatakannya sambil melepas pelukannya dan mengambil troli belanjaan untuk di
bawa ke kasir.
Apa yang dilakukan gadis itu? Permintaan maaf untuk
apa? Aku bisa merasakan betapa Joohyun benar-benar merasa menyesal.
Taeyong membawakan tas
belanjaan. Aku dan Joohyun melangkah mendahului Taeyong. Ekor mataku melihat bayangan Taeil, aku
berhenti dan menyapanya dengan mengangkat tanganku. Taeil melangkah menujuku,
tepat saat Taeyong berdiri di belakang ku dan Joohyun. Taeil hendak mengatakan
sesuatu padaku, namun tak jadi, matanya mengamati Taeyong.
“Taeil, ini Joohyun, dia temanku yang waktu itu pernah
menginap di flatku dan ini Taeyong,
dia temannya Joohyun,” ujarku tatkala melihat raut bingung Taeil. “Kami akan
makan bersama di flatku,” lanjutku
sambil menunjuk kantong plastik yang dibawa Taeyong.
“Boleh aku ikut? Kebetulan aku juga belum makan,” tutur
Taeil seraya melangkah mendekat, “Kau tidak akan tega melihat tetanggamu ini
kelaparan bukan?” lanjutnya.
Aku menoleh kepada Joohyun dan Taeyong meminta izin,
mereka menganggukkan kepala bersamaan.
Meja makan kecilku yang kebetulan memiliki empat kursi
telah penuh dengan kami berempat. Makanan sudah tersaji di atasnya. Jangan
berpikir bahwa aku yang memasak semuanya karena kalian sudah tahu bahwa aku
tidak pandai memasak.
“Wah, Taeil, aku tak menyangka ternyata kau pandai
memasak, hm, dan aromanya menggoda, bahkan aku dapat menciumnya sebelum kau
memasaknya,” cerocosku sambil menghirup makanan yang tersaji. Dan jawaban atas
pujianku adalah sebuah sendok yang mendarat di kepalaku.
“Mashita[2]!”
puji Joohyun setelah mencicipi sesendok sup. Bahkan ia menampilkan eyes smile di atas wajahnya yang imut.
Taeil menyikut lenganku seraya berbisik, “Apa katanya?”
Kemudian aku membisikkan arti kata yang diucapkan Joohyun.
“Thank you,”
kata Taeil sambil tersenyum.
Aku melirik Taeil dengan tatapan sebal. Giliran Joohyun
yang memujinya, dia menyunggingkan senyuman, tapi giliran aku yang memuji
kenapa dia memukulku?
“Oh, ya, nama temanmu itu mirip seperti nama Korea,”
ujar Taeyong.
“Ohh, iya. Aku dan Taeil punya kemiripan. Kami
sama-sama punya keluarga dari Korea dan pernah tumbuh sebentar di Korea.
Kebetulan sewaktu pindah ke Indonesia, aku satu sekolah dengannya. Makanya kita
dekat,” jawabku dan kuakhiri dengan tawa kecil. “Dan karena terlalu lama
tinggal di sini, kami jadi lupa bahasa Korea, haha.”
Percakapan di meja makan berlanjut hingga kita tertawa
gembira hingga semua makanan di atas meja tandas.
“Taeil, you look
like falling in love with Wendy, aren’t you? Kalian terlihat cocok,” goda Joohyun.
Raut muka Taeyong berubah. Ada rona tidak suka di
wajahnya. Ia mulai tidak nyaman dengan percakapan ini.
“Hah? Aku? Dengannya? Tidak mungkin. Jujur saja, tidak
ada yang terlihat menarik darinya,” kata Taeil sambil mengibaskan tangannya.
“Hey, apa katamu?” Aku dan Taeil malah ribut sendiri.
“Sudah malam, sepertinya aku dan Joohyun harus kembali.
Besok masih ada syuting yang akan dilakukan pagi-pagi,” sela Taeyong.
“Kenapa harus pulang sekarang? Lagi pula ini kan masih
pukul sembilan.”
Taeyong tidak mengiraukan Joohyun dan langsung
menggenggam tangan Joohyun lalu menyeretnya sambil berpamitan pulang kepadaku.
Tangan Taeyong masih
menggenggam tangan Joohyun erat meski telah jauh dari flat Wendy. Joohyun terus memandang genggaman tangan mereka.
Ingatannya saat Taeyong tertawa riang bersama Wendy hilang, perasaannya kini
sangat senang hingga dadanya buncah. Tanpa ia sadari senyumnya mengembang.
Saat dunia serasa milik sendiri, tiba-tiba Taeyong
melepas genggaman tangannya. “Mianhae.”
Joohyun tersadar. “Untuk apa minta maaf?”
“Karna telah menggenggammu dan memaksamu untuk pergi
dari flat Wendy. Aku tahu kau masih
ingin bersama Wendy lebih lama lagi.”
“Sudahlah, kenyataannya adalah kita sudah pergi, dan flat Wendy sudah tak terlihat.”
Hari mulai gelap. Suasana
sebuah flat yang berada di dekat
hotel-hotel mewah di tengah kota tampak sepi. Di dalamnya memang terdapat dua
lantai dengan satu lantainya terdiri dari dua flat. Saat ini setiap lantainya
hanya ada satu flat yang terpakai. Di lantai pertama ada flat dengan nomor 101.
Flat itu dalam keadaan gelap. Di dalamnya tidak terdapat banyak perabotan,
bahkan di ruang tamu hanya ada dua kursi yang berhadapan dengan meja di
tengahnya. Flat dengan tatanan rapi. Tampak seorang laki-laki yang kira-kira
berusia 22 tahun melamun menghadap jendela kamar. Kalau dilihat, hanya terdapat
gedung-gedung yang ada di samping flat, tidak ada pemandangan yang memanjakan
mata seperti pepohonan rindang, gunung, ataupun sungai yang tenang.
Lelaki itu, Taeil. Ia melamun sejak dua jam lalu.
Matanya lurus ke depan, tapi pandangannya jauh menembus dimensi waktu. Taeil
merasa dilemparkan sang waktu. Ia berada di satu masa terdapat anak laki-laki
yang berseragam SMA sedang duduk di bangku sebuah taman. Ia tak sendirian, di
sampingnya telah hadir seorang gadis yang tertawa bersamanya. Laki-laki itu
tampak seperti Taeil, hanya saja rambutnya sedikit panjang. Perempuan itu
tiba-tiba cemberut dengan wajah manja kemudian Taeil mengatakan sesuatu yang
membuat tawa gadis itu pecah. Mereka terlihat sagat bahagia.
Lamunan masa lalu itu hilang, digantikan dengan
celetukan Joohyun bahwa ia menyukai tetangga flatnya, Wendy. Ada perasaan
bahagia dan sakit yang ia rasakan bersamaan. Matanya terpejam. Seolah tengah
menahan luka dan menelannya bulat-bulat.
—TBC
0 Response to "All of Sudden #5"
Post a Comment