Aldi and
Vayla | Sad | G |
Ficlet
Vxiebell,2016
Vxiebell,2016
Kurasa,
aku telah dibutakan oleh cinta. Sebab, hingga detik ini aku tak dapat berpaling
dari wajah seorang pemuda yang duduk bersender dinding di sisi lain ruangan
ini. Meski banyak manusia yang berseliweran di dalam ruangan seluas ini,
dwimanik hazelku hanya berminat
memperhatikan satu orang yang jelas-jelas tak begitu mengindahkan kehadiranku.
Kuluruskan
kakiku sambil bersender di dinding. Resleting tas biru yang kupangku, tertarik
membuka. Di dalam tas itu, selain ada baju ganti, terdapat sebuah kotak lumayan
besar yang sudah kusiapkan kemarin. Hari ini, aku sudah membulatkan tekad untuk
menyatakan perasaanku pada sosok itu.
Sebenarnya
niat awal mengikuti kegiatan ini, karena aku harus memperbanyak olahraga,
makanya kupilih taekwondo untuk ekstrakurikuler. Namun, semenjak kenal dengan
dia, niat itu berubah. Aku hanya ingin sering bertemu dengannya,
memperhatikannya, mengobrol dengannya, semua bersamanya.
Perasaanku
selama dua tahun tak berubah sama sekali. Bisa dibilang, aku sangat
mengaguminya. Bahkan aku tak dapat berkedip ketika memerhatikannya, karena aku
takut kehilangan jejaknya. Aku senang dan bahagia, namun perasaanku berubah
sejak tiga hari yang lalu. Aku takut, gelisah, dan khawatir.
“Untuk pertemuan selanjutnya,
pastikan kalian datang latihan. Sebab, hari itu akan menjadi yang terakhir
kalinya aku bergabung dengan kalian.”
Ucapan
Kak Aldi tempo hari kembali terngiang di kepalaku. Membuatku merasa kecewa
setengah mati. Kenapa pula dia harus berhenti mengajar? Padahal, setahun lalu
ketika Kak Aldi juga mengucapkan salam perpisahan, hatiku dibuat remuk dan
hancur sampai tak bisa tidur dua hari. Aku tahu, saat itu dia harus berhenti
sementara karena akan menghadapi ujian kelulusan, aku masih bisa maklum. Tapi
sekarang harus lagi? Aku sungguh tak rela. Walaupun Kak Aldi keluar untuk
meraih cita-citanya, melanjutkan ke perguruan tinggi di luar negeri, tetap saja
aku tak rela dia harus meninggalkanku.
“Kak,
pamit dulu, ya.”
“Jangan
lupa sama kita, lho.”
Suara
riuh yang terlontar dari bibir orang-orang, yang saling menyahuti, yang saling
merengek tak menginginkan Kak Aldi pergi terurai udara, menghantarkan ke
dwirunguku. Hatiku kembali ngilu. Kuembuskan napas pasrah sembari berdoa dalam
hati, semoga Kak Aldi tak pernah
melupakanku.
“Vay,
nggak pulang?” suara yang sangat familiar itu membuat kepalaku yang sedari tadi
tertunduk, perlahan menengadah. Dapat kulihat wajah Kak Aldi di tengah silaunya
cahaya lampu.
Aku
menghela napas. Aku mohon, jangan jadikan
hari ini hari terakhir pertemuan kami.
Raga
pemuda yang dua tahun lebih tua dariku itu mulai mensejajariku. Ia berjongkok
tepat di depanku. Melihatku dengan tatapan tulus seorang kakak.
“Anak-anak
udah pada pulang, kamu nggak pulang?” ulang Kak Aldi.
“Kakak
nggak pulang?”
“Tugas
pelatih itu bertanggung jawab atas murid-muridnya. Kalau kamu belum pulang,
gimana aku bisa pulang?”
Aku
hanya menatap wajah Kak Aldi tanpa berkedip selama sepersekian detik sebelum ia
memilih duduk di sebelahku.
“Sedari
tadi aku perhatiin kamu banyak ngelamun. Kenapa? Diputusin pacar kah? Padahal
biasanya kan kamu yang paling heboh.”
Hening
sekian detik. Aku memilih menundukkan kepala sambil memeluk lutut. Sedangkan
Kak Aldi diam menunggu jawabanku—mungkin.
Ini bukan karena
diputusin pacar, Kak, tapi karena Kakak.
“Emangnya
Kak Aldi harus pergi, ya?”
“Hm?”
Kak Aldi menolehkan kepala menatapku.
“Kakak
harus banget pergi, ya?” ulangku seraya mengangkat kepala dan menatap wajah
teduh pemuda itu.
“Ini
kesempatan besar, Dek. Beasiswa ke
Amerika itu nggak gampang. Aku udah berusaha keras untuk mendapatkannya. Jadi,
ya… aku harus pergi.”
Wajahku
kembali murung. “Oh, gitu,” balasku tanpa semangat. Lantas beranjak berdiri
yang diikuti Kak Aldi. Kami saling berhadapan. Saling berpandangan.
“Kalau
gitu, aku cuma bisa berdoa buat kebaikan Kakak. Semoga Kak Aldi baik-baik aja
di sana, dapet kebahagiaan yang lebih banyak daripada di sini.” Bibirku
membentuk kurva ke atas.
“Kamu
tu kenapa sih? Kayak kita nggak akan pernah ketemu lagi aja.” Kak Aldi berujar
diselingi tawanya. “Tenang aja, pasti kita bakalan ketemu lagi kok.”
“Tapi
masih lama banget kan, Kak?”
“Em.. setiap liburan musim dingin mungkin
aku pulang.”
“Setahun
sekali?”
Kak
Aldi mengangguk ragu-ragu. “Iya-lah.”
Kuputuskan
membuka resleting tas dan mengeluarkan kotak kado yang sudah kusiapkan.
Sebelumnya, aku menghela napas, mengatur emosi. Lantas menyerahkan kotak itu
pada Kak Aldi.
“Buat
Kak Al. Mungkin, akan sulit buatku ngelupain masa-masa bareng Kakak dan kuharap
Kak Al juga gitu.”
“Serius,
Vay. Ini tu kayak perpisahan yang nggak akan bisa bertemu lagi, tau,” ujar Kak
Aldi seraya menerima kotak itu.
“Selama
ini, sejak pertama kali aku ngirim pesan ke Kakak.. aku rasa sejak itu, aku
jatuh hati sama Kak Aldi. Aku.. nggak mau Kak Aldi pergi. Bahkan untuk
sedetikpun, aku merasa hari-hari berjalan amat lambat tanpa kehadiran Kakak.
Aku… suka—bukan, maksudku.. mungkin aku cinta sama Kakak.”
Kulihat
ekspresi Kak Aldi yang agak terkejut, ia tertegun. Begitu kentara di
garis-garis wajahnya. Setelah mengungkapkan semuanya, aku merasa sedikit lega,
namun juga takut. Takut jikalau setelah ini, Kak Aldi tak akan nyaman
bersamaku. Berakhir dengan kita yang akan menjadi saling berjauhan, seolah tak
saling mengenal.
“Karena
hari ini adalah hari terakhir, aku harap Kak Al mau maafin semua kesalahanku
selama ini. Aku cuma mau Kak Aldi melihatku, memperhatikanku.. makanya aku
sering caper sama Kakak, sering cari
muka. Aku tahu, selama itu Kak Aldi nahan diri kan? Pasti Kakak risih banget
kan?”
“—tapi,
mulai besok, aku udah nggak bisa cari perhatian sama Kak Aldi lagi. Baik-baik
di Amerika, ya, Kak.”
Kak
Aldi masih mematung tanpa berkedip sampai ucapanku selesai. Aku pun membalikkan
tubuh dan segera melangkah menjauhinya. Menjauhi orang yang kucintai. Memilih
merelakannya pergi daripada menahannya di sisiku.
Aldi menatap lurus punggung Vayla
yang kian menjauh. Membisikkan kalimat yang tak akan pernah tersampaikan pada
rungu gadis bersurai cokelat itu.
“Vay,
maaf karena selama ini aku hanya diam
walaupun menyadari perasaanmu. Membiarkanmu terjebak dan menderita karena
mencintaiku.”
“Aku
merasa menjadi seorang pengecut karena aku tak sanggup mengatakan padamu siapa
orang yang kucintai..”
.
.
.
.
“—yaitu, kamu.”
—FIN
0 Response to "[Cerpen] Can’t to Say"
Post a Comment