Aldi and
Vayla | Fluff | G |
Ficlet
Vxiebell,2016
Vxiebell,2016
Barisan
yang lumayan panjang, mengantri giliran masing-masing. Kepanikan menghantam
jiwaku. Setelah ini giliranku, tapi bahkan aku tak bisa melakukannya dengan
baik.
“Lanjut!”
ujar seorang laki-laki dengan tinggi rata-rata. Ia adalah kakak kelas yang dua
tingkat di atasku.
Kutarik
napas dan hembuskan perlahan. Kedua kaki segera kuposisikan sebaik-baiknya—sebisaku, sih. Kaki kiri di depan dan kaki kanan di belakang. Kedua tangan di
depan dada, mengepal. Pandangan mataku lurus menatap target.
“Yo, Dek!”
Aba-aba senior tampan itu mulai terdengar.
Kepalaku
terangguk kecil. Sekali lagi kuatur napas dan.. “HA!” teriakku diiringi dengan
kaki kanan yang diayunkan mengenai target.
“Bagus,
Dek.”
Bibirku
merekahkan senyum malu-malu. Yang demi apa, dia pun membalas senyumanku.
Sumpah, wajah tampannya berubah menjadi sangat manis tatkala tersenyum, membuat
jiwaku terbang melayang ke surga.
“Yo,
ganti!”
Suara itu
menembus gendang telingaku. Bergegas aku mengganti posisi hendak menuju ke
belakang. Namun, karena sikapku yang alay sampai membuat pipi merona merah dan
jiwaku belum juga kembali, terdengar suara ‘krek’
yang lumayan keras.
“A-AW!”
erangku tatkala tepi kaki kananku tertekuk ke bawah dan terasa nyeri. Rasanya
sakit sekali sampai membuatku hampir menangis. Hanya hampir karena segera
setelah eranganku, Kak Aldi langsung menghampiri.
“Kenapa,
Dek?”
“Sakit,
Kak,” ujarku jujur. Berbohong pun tak terpikirkan olehku.
“Duduk situ
dulu aja,” titahnya seraya memapah langkahku. “Yang lain, lanjut latihan sama
Anne dulu,” ujarnya pada yang lain.
“Coba
kakimu dilurusin dulu.” Akupun langsung menuruti. Pelan-pelan kuluruskan kakiku
meski terasa sakit. Lantas tangan Kak Aldi meletakkan kakiku di atas pahanya.
Ia memijit beberapa bagian dan aku pun mengerang kesakitan.
“Lain kali,
hati-hati, Dek,” ujarnya di sela memijat kakiku.
“Iya, Kak,”
jawabku tanpa bisa mengalihkan pandangan dari wajah seriusnya.
“Masih
sakit?”
“Masih,
Kak.”
“Nggapapa,
latihan taekwondo emang bisa aja cidera, tapi lebih baik kalau kamu bisa
hati-hati. Dulu, aku juga pernah cidera kaki, lumayan parah sih.”
“Terus
gimana?”
Kak Aldi
terkekeh, “Ya gitu, harus digips dan
akhirnya nggak bisa ikut pertandingan. Makanya, kamu harus hati-hati supaya
nggak cidera. Aku nggamau kamu sampe cidera.”
“Hm? Kak Al
bilang apa?” tanyaku refleks, ingin memastikan.
Kak Aldi
menurunkan kakiku pelan-pelan lalu memandang wajahku, lebih tepatnya menyelami
obsidianku. “Tapi, kalau kamu sampe cidera, bahkan digips dan butuh waktu berbulan-bulan untuk sembuh—”
.
.
.
.
.
.
“—aku siap kok jagain kamu tiap
waktu.”
—FIN
0 Response to "[Cerpen Romantis] Cidera"
Post a Comment