Avila. Dengan nama itu orang-orang memanggilku. Aku anak pertama dari dua bersaudara. Yang artinya aku mempunyai satu adik dan tidak mempunyai kakak. Adikku laki-laki berumur 6 tahun. Ah, tunggu. Bukan ini bagian terpentingnya. Oke, akan ku ulangi. Aku Avila. Avila Yoana lebih lengkapnya. Banyak orang bilang aku ini cewek yang cantik. Aku berasal dari keluarga berada, tapi aku gadis tak bahagia. Kau tahu? Sejak orang tuaku bercerai, aku harus tinggal bersama papaku yang super sibuk dan hampir saja melupakan nama anak gadisnya ini. Oke, sebenarnya tidak separah itu. Sedangkan adikku? Ya, kau tahu. Aku iri dengannya! Tapi, bukan itu bagian terburuknya. Setelah aku meninggalkan rumah dan sekolah lamaku di Balikpapan lalu pindah menetap di Jakarta, hidupku semakin berantakan. Aku tersesat di sebuah tempat bernama sekolah yang lebih tampak seperti bangunan antah-berantah. Disinilah Aku sekarang. SMA Tunas Bangsa.
“Pak, bener ini tempatnya?” tanyaku sesampainya di sebuah perkampungan kumuh pelosok kota Jakarta.
“Nggatau, Non. Tapi alamatnya bener, kok. Ini alamat yang pak Yoda kasih ke saya,” jawab Pak Irsyad, supir pribadiku. Buru-buru aku meraih ponsel di sampingku dan menyentuh option call di nomor Papa.
“Ya, tapi ini aneh. Masa ada sekolah elit yang letaknya di kampung gini. Liat aja, bahkan mobil juga ngga bisa masuk karena gang sempit,” gerutuku sambil menunggu panggilanku terjawab. Kemudian sampai berkali-kali, tapi tak di jawab juga. Aku kesal dan menyerah, berhenti untuk menelepon.
***
“Papa, sih, pake nyuruh-nyuruh pak Yoda segala. Lagian, kok bisa sampe salah, sih? Tunas Bangsa sama Tunas Bakti kan beda jauh,” omelku di meja makan setelah mendengar penjelasan papa pagi itu.
“Papa juga baru tau kejadian ini tadi malem. Waktu itu Papa sibuk, jadi Papa nyuruh pak VVernon daftarin kamu di Tunas Bakti. SMA Elit dekat sini. Tapi Papa belum sempet ngecek.”
“Ah. Terus sekarang gimana? Masa Avila harus sekolah di tempat sekumuh itu?” tanyaku penuh penekanan.
“Yaudah kamu berangkat dulu hari ini. Untuk beberapa minggu ke depan Ayah sibuk. Besok lusa juga harus terbang ke Kalimantan lagi. Jadi kita bisa ngurus kepindahan sekolahmu bulan depan,” tukas papa seraya memberanrkan letak dasi.
“Hah? Satu bulan?” aku memasang ekspresi tak suka, dan papa menyadari itu.
“Ya, bisa aja, Sayang, Papa nyuruh orang lagi buat urus kepindahanmu besok lusa. Kalo anak kesayangan Papa pengennya gitu.” Papa tersenyum lembut sembari mengusap puncak kepalaku. Namun aku hanya diam.
Lagi-lagi nyuruh orang. Yaudah, deh, biarin aku tahan sekolah di tempat kumuh itu selama sebulan. Yang penting kali ini harus Papa sendiri yang turun tangan, batinku.
“Oke, Avila bakal nunggu satu bulan, ya. Tapi Papa harus janji kalo Papa yang bakal urus kepindahan Avila,” tukasku sambil menatap tajam ke arah Papa.
“Iya, Sayang. Yaudah, sekarang Papa mau berangkat. Tuh, pak Irsyad juga udah nunggu kamu di depan,” ujar Papa.
***
Hari pertama aku datang ke sekolah. Aku harus turun dari mobil tepat di depan gang dan berjalan kaki sekitar 200 meter. Bayangkan! Aku tidak pernah melakukan ini sebelumnya. Mana di sepanjang gang banyak orang yang menatapku aneh.
Hey! Apa kalian tidak pernah melihat orang cantik? batinku. Tetapi tidak kuucapkan. Ya, hemat tenaga!
Fiuh!
Aku menghela napas lega. Akhirnya aku sudah sampai di depan gerbang sekolah.
“Ini sekolah?” desisku sambil mengernyitkan dahi. Aku melihat sebuah bangunan tidak terlalu besar berlantai satu dengan cat tembok berwarna hijau. Warna hijau yang menurutku 'ngga niat banget jadi warna'. Maksudku seperti hijau pucat yang dan terlihat sangat kusam. Belum lagi coretan tangan-tangan jahil di beberapa sisi tembok. Tampak juga satu tiang bendera dengan bendera Merah-Putih berkibar di ujungnya.
“SMA TUNAS BANGSA”
Dalam hati aku membaca sebuah tulisan berukuran cukup besar yang terpampang di papan dan terpaku di dua buah tiang kayu tepat di salah satu sisi pagar. Aku melangkah memasuki gerbang sekolah yang tampak sudah karatan. Parah! Tak ada pos satpam di 'sekolah' ini. Yang ada hanya semacam bangku panjang dengan seng memanjang sebagai atapnya. Juga pohon mangga yang menjulang tepat di atasnya.
***
“Hai. Nama saya Avila. Saya pindahan dari SMA di Balikpapan. Terimakasih,” kataku di depan beberapa murid di kelas setelah salah satu guru baruku mempersilakanku memperkenalkan diri.
“Baik, Avila. Silakan duduk di bangku yang masih kosong,” kata bu Yona. Banyak bangku kosong di kelas itu. Yang ku lihat hanya ada kira-kira 20 anak di dalam ruangan.
Ini banyak yang ngga berangkat atau memang segini muridnya? Batinku heran. Aku menebar pandangan ke segala arah. Semua penghuni kelas menatapku dengan tatapan aneh. Beberapa berbisik sambil melihat ke arahku. Tanpa berdiri lebih lama, aku melangkah menuju salah satu meja dengan dua bangku yang masih kosong dan duduk di salah satu bangkunya. Semua penghuni kelas menatap seolah aku telah melakukan kesalahan.
***
'Teng-teng-teng'
Bel manual berbunyi tanda istirahat.
Yaampun, masih ada yaa sekolah yang pake bel model ginian, batinku.
Setelah guru berjalan keluar kelas, suasana yang tadinya sunyi berubah 180 derajat menjadi ekstra gaduh. Apalagi cowok-cowoknya. Beberapa anak di kelas menghampiriku untuk berkenalan. Aku menyambut baik.
“Hey, anak baru!” seru salah satu cowok yang tiba-tiba muncul di depanku.
“Iya?” tanyaku.
“Ini meja Bos. Lo bisa kali pindah dari sini. Itu banyak bangku kosong,” katanya dengan nada santai.
Apa katanya? Bos? batinku.
“Oke. Besok aku pindah,” jawabku singkat, tak mau cari masalah.
Bel pulang telah berbunyi. Semua murid cowok telah meninggalkan kelas. Aku hampir saja selesai mengemasi barang-barangku yang masih berserakan di meja.
Brakk!!
Tiba-tiba muncul empat cewek dengan dandanan super norak secara tidak sopan. Salah satu dari mereka menggebrak pintu kelasku tanpa rasa malu. Segelintir murid yang masih berada di dalam kelas sontak menatap ke arahku secara kompak dan mengisyaratkan semacam lo dalam bahaya!
Tuk-tuk-tuk.
Suara sepatu terdengar jelas mendekat ke arahku. Aku melihatnya sekilas.
Ish, sepatu KW murahan, batinku.
Aku melihat keempat cewek yang berjalan mendekat ke arahku. Satu diantaranya berada paling depan. Tiga yang lain mengikuti di belakangnya. Tatanan rambut, tas, sepatu. Bahkan aku malas mendeskripsikannya. Intinya mereka terlihat sangat norak.
“Ohh.. jadi ini murid barunya..” kata salah satu diantara mereka. Sinetron banget! Aku bisa menebak kalau dia adalah ketua gengnya.
“Iya,” jawabku singkat. Aku tersenyum paksa, memalingkan wajah lalu bangkit berdiri berniat untuk pulang saja.
“Heh! Kalo diajak ngomong itu yang bener! Lo ngga tau siapa kita?” bentaknya. Aku tak menjawab. Malas. “Oh, ya, lupa. Lo kan murid baru,” lanjutnya.
Nah loh. Tuh pinter, batinku.
“Kita punya peraturan disini,” sambungnya lagi kemudian sikunya mendarat di salah satu pinggang temannya. Memberi tanda supaya temannya itu melanjutkan kalimatnya.
“Pertama. Semua cewek Tunas Bangsa ngga boleh ada yang lebih cantik dari Risti, dan gengnya,” kata salah satu yang lain.
“Kedua. Risti selalu benar,” ujar yang lainnya lagi.
“Ketiga. Kalo Risti salah, lihat peraturan kedua,” lanjutnya.
Risti? Oh pasti ketua gengnya nih, batinku.
“Kampungan,” desisku lirih, tapi sepertinya terdengar oleh mereka.
'Brakk!'
“Apa lo bilang?” Tanya cewek yang ku tebak sebagai ketua geng sambil menggebrak meja dan menatap tajam ke arahku. Aku sama sekali tak terkesiap, justru membalas tatapannya.
“Heh! Lo itu anak baru tapi belagu, ya! Kalo lo mau aman di sini, ngga usah macem-macem!” bentaknya. Aku mulai naik darah. Walaupun Aku tak akan lama sekolah di tempat ini, tapi aku tak suka diancam-ancam. Hey! Siapa dia? Bahkan aku bisa membeli sekolah ini! Aku terkekeh kecil.
“Heh!” Balasku tak kalah dengan suara yang ku tinggikan. “Kamu itu siapa? Kamu kira ini sinetron dengan gaya sok cantik ala-ala geng penguasa sekolah bisa seenaknya menindas murid baru? Asal kamu tau, ya! Aku ngga suka diancam-ancam,” lanjutku. Kurasa kalimatku membuat ketua geng mereka meradang. Dia mendekat selangkah ke arahku seperti mau menerkamku.
“Oke. Aku ngga mau buang-buang waktu disini,” ujarku yang sudah semakin malas menghadapi cabe-cabean semacam mereka.
Hampir saja ketua geng melayangkan tangannya ke arahku dan sepertinya berniat untuk menjambakku, tapi seseorang berteriak dari arah luar.
“Ada guru BK!!” sontak empat cewek norak itu buru-buru meninggalkan kelas dengan tatapan sinis ke arahku.
“Kamu berani juga sama mereka,” tegur seorang murid cewek yang tadi berteriak sambil berjalan ke arahku. Cewek dengan wajah manis, dan berkaca-mata. Aku tersenyum.
“Tadi beneran ada guru BK?” tanyaku.
“Ngga ada. Aku sengaja aja nakutin mereka.”
“Ohh.. thanks anyway.”
“Oh, ya, namaku Yuvia,” katanya sambil mengulurkan tangan ke arahku.
“Aku Avila.”
“Kita sekelas. Aku duduk di samping mejamu. Kalo mau, kamu duduk aja di sebelahku. Kosong kok.” Katanya seraya tersenyum ramah. Nah, ini nih yang aku suka, daripada keempat cabe-cabean tadi.
***
Dari rumah aku memutuskan untuk membawa sepeda lipatku dan ku taruh di bagasi mobil. Ide bagus bukan? Jadi aku tak perlu berjalan kaki sepanjang gang.
Plak!
Hampir saja lemparan kulit pisang mengenai kepalaku kalau aku sedikit saja lebih cepat. Ku rem sepedaku dan kulirik kulit pisang tadi yang ternyata mendarat tepat di pinggir pohon.
“Ck.. ck.. ck..” Aku berdecak.
Udik. Buang sampah sembarangan, batinku. Tiba-tiba ku lihat pemandangan menarik dari kejauhan. Yang suaranya masih bisa ku dengar.
“Woy!” seorang cowok bersama dua yang lain menghampiri cowok pembuang kulit pisang yang hampir mengenaiku tadi.
“Lo ngga punya otak? Tong sampah gede, deket pula, tapi lo malah lempar-lempar sembarangan!” bentak cowok itu sambil memegangi kerah si pelaku.
“Ma-maaf Bos,” jawab si pelaku terbata yang terlihat sangat ketakutan.
“Lo cari sampah tadi dan buang ke tempatnya! Kalo ngga, lo mati,” ancam cowok itu kemudian berlalu bersama kedua anteknya. Keduanya, sepertinya aku pernah bertemu mereka.
***
Jadilah hari itu aku pindah tempat duduk. Tak masalah. Lagipula, sekitar 28 hari lagi aku pindah.
Suasana kelas yang tadinya sempat gaduh mendadak sunyi setelah tiga cowok memasuki kelas. Entah siapa mereka. Dan satu menit kemudian seorang guru pria memasuki kelas. Beliau mengajar Bahasa Indonesia. Ya, hanya itu yang ku tahu. Dwimanikku tertarik ke arah samping kiri. Disitulah kemarin aku duduk sebelum akhirnya aku duduk di sini.
“Dia Joshua. Tapi banyak orang manggil dia Bos. Satu kata yang bisa mewakili semuanya. Sadis,” bisik Yuvia kepadaku seolah tau apa yang ingin aku tahu.
“Ohh.. sadis? Maksudmu?” tanyaku. Aku masih belum mengerti. Detik selanjutnya ketika aku ingin melihat ke arahnya, tak sengaja mata kita bertumbukan. Sial! Aku tertangkap basah sedang memperhatikannya.
“Terakhir, sih, Joshua habis botakin rambut cowok kelas sebelah. Kira-kira seminggu sebelum kamu masuk sini. Alasannya sih ngga jelas. Yang jelas, sebelumnya dia dengan sengaja nendang tong sampah sampei isinya berserakan, dan dengan santainya tu cowok malah pergi gitu aja, terus pagi-paginya udah botak. Itu dia lakukan bukan cuma sekali.” jelas Gita. Aku mengamati penjelasannya yang setengah berbisik.
“Dan, oh, dia juga bikin peraturan lain. Ngga boleh ada yang berisik kalo ada guru nerangin pelajaran di depan. Terakhir ada yang ngelanggar, Deva dan Talitha. Mereka habis dibentaknya sepulang sekolah. Gimana ada yang berani ngelanggar peraturan lagi?” lanjutnya.
Aku semakin tidak mengerti jalan pikiran cowok itu. Cowok yang kalau ku lihat-lihat tidak jelek juga. Malah bisa dikategorikan ganteng. Matanya, hidungnya, bentuk rahangnya, bibirnya, rambutnya. Semuanya terlihat dalam porsi yang tepat. Aku menghela napas perlahan dan mengalihkan pandanganku lagi ke arah Gita.
“Tapi memang ada benernya, sih. Bahkan kalo dipikir-pikir larangannya itu demi kebaikan bersama. Ya, ngga, sih?” Yuvia mengangguk dan membenarkan statementku.
***
Aku semakin tidak mengerti. Satu-satunya cara untuk tahu, ya, dengan mencari tahu. Jadi, sepertinya hari itu aku harus menemuinya dan bertanya semuanya. Aku tak suka banyak basa-basi!
“Hei, kamu,” panggilku datar pada seseorang yang berjalan di dekatku. Ya, seperti biasa cowok itu bersama kedua antek-anteknya. Aku buru-buru memarkirkan sepeda di bawah pohon dan menghampirinya. Joshua menatapku heran lalu hampir saja melangkah pergi sebelum aku menghalangi jalannya.
“Aku mau ngomong sama kamu.”
“Heh, Anak Baru. Mau apa sih lo?” kata seseorang yang akhir-akhir ini kutahu dia bernama Juna. Anteknya Joshua. Kalau yang satunya, Wonu. Sama. Tapi dia lebih pasif dan lebih hanya ikut-ikut saja. Aku menatap Juna tajam.
“Aku ngga ada urusan sama kamu,” jawabku ketus. Kemudian mengalihkan lagi pandanganku ke arah Joshua. Kenapa dia terkekeh melihatku? Aku menelan ludah. Semoga aku tidak mengambil langkah yang salah.
***
“Mau ngomong apa?” tanyanya dengan nada normal. Aku membenarkan posisi dudukku di bangku panjang dekat gerbang sekolah.
“Aku liat kamu waktu itu. Waktu kamu bentak-bentak cowok yang buang sampah sembarangan.”
“Trus?”
“Ya, aku pengen tau aja. Kenapa kamu pake cara kasar buat menegakkan kebenaran?” lanjutku.
“Kamu orang pertama yang berani tanya.”
Hey! Itu bukan jawaban dari pertanyaanku! Lalu Aku memutuskan untuk bangkit dari dudukku dan melangkah menuju tempat di mana sepedaku terparkir. Dengan malas menebar pandanganku ke arah antek-antek Joshua yang sedari tadi berada tak jauh dari kami. Apa-apaan coba? Kurang kerjaan sekali mereka.
***
Ulangan matematika mendadak! Mati. Aku belum sempat belajar tadi malam.
Alhasil sepulang sekolah tadi saat hasil ulangan dibagikan, aku terpaksa mengikhlaskan nilaiku yang biasanya 90 ke atas menjadi 82. Sebenarnya tidak begitu menjadi masalah. Toh, aku masih berada di atas rata-rata. Masalahnya, aku masih tidak percaya siapa yang berhasil meraih nilai tertinggi. Joshua! Yang memakai baju saja tidak pernah rapi, kasar, tukang pukul, sok berkuasa kayak ketuab geng berandalan. Coba bayangkan? Apa pantas orang seperti itu mendapat nilai 'Almost perfect' dan tertinggi bahkan seantero sekolah ini. Kalau si Vernon yang keliatannya culun+kutu buku sih aku bakal lebih gampang percaya! Lha ini? Joshua ?
***
“Kamu anak baru disini, jadi mungkin kaget. Kalo aku sih udah biasa. Otaknya memang encer. Dari kelas satu nilainya selalu di puncak. Aku juga heran,” respon Yuvia setelah mendengar kalimat-penyangkalan-kenyataanku yang membabi buta.
“Tapi tetep aja. Aneh gitu,” cangkalku lagi. Yuvia hanya terkekeh kecil.
“Heh!” panggil seorang cewek yang menghampiriku. Risti. Kali ini dia sendirian.
“Mau dia apa lagi sih? Heran deh,” desisku. Aku bangkit dari bangku cokelat yang kududuki.
“Lo bener-bener ngga tau diri, ya?” sungutnya tiba-tiba.
“Apa lagi? Aku ngga pernah cari gara-gara apapun sama kamu. Mau kamu apa, sih?” tantangku. Yuvia berbisik dan menyuruhku tidak usah cari masalah. Enak saja! Dia duluan kok yang cari masalah.
“Maksud lo apa deketin Joshua? Mau sok kecantikan? Tampang aja pas-pasan. Gue liat lo waktu di gerbang!” sungutnya lagi dengan nada tinggi.
Hah? Pedekate'in Joshua ? Sakit nih orang, batinku.
“Heh! Asal kamu tau, ya. Aku ngga takut sama kamu. Dan.. oh, apa? Deketin Joshua? Sama sekali engga!” jawabku. Dia makin membara begitu pula denganku.
“Ngga usah ngeles! Gue liat semuanya. Dasar kecentilan! Siapa sih lo? Lo ngga tau gue? Anak kepala sekolah di sekolah ini. Jadi, kalo lo macem-macem..” katanya. Buru-buru aku menyela.
“Apa? Lo mau apa? Baru anak kepsek sekolah jelek aja belagu! Aku bahkan bisa beli sekolah ini! Kamu bisa ngandelin apa lagi? Asal kamu tau aja. Aku sekolah di sini itu terpaksa! Lagian punya bapak jadi kepsek sekolah kayak gini aja di banggain. Sekolah antah-berantah. Isinya, ya, orang berandalan macam kamu,” jawabku refleks. Mulutku memang terlalu jujur dan mudah tersulut. Dia duluan yang mulai!
“Lo! Apa lo bilang?” nadanya mulai lebih rendah.
“Kamu ngga denger? Aku bisa aja beli sekolah jelek ini! Jadi ngga usah belagu! Dan, oh, ya. Jangan sok cantik juga. Itu barang-barang yang kamu pake juga KW semua, kan? Kampungan. Nih liat! Ini baru yang asli!” kataku sambil menyodorkannya tas branded yang aku beli di Singapore.
Pipinya tiba-tiba memerah menahan malu. Dan aku menarik tangan Yuvia. Mengajak Yuvia meninggalkan cewek itu sendirian di sana. Kantin, sepulang sekolah.
***
“Kamu liat ngga tadi gimana ekspresinya?” tanyaku kepada Yuvia yang saat ini berjalan beriringan denganku di jalan koridor sekolah menuju ke halaman kosong samping sekolah yang digunakan sebagai lahan parkir sepeda. Aku melirik ke arah Yuvia yang masih menunduk. Entah kenapa.
“Kenapa Yuv?” tanyaku, tapi lagi-lagi dia tak merespon.
“Eh-hm Avila, aku harus buru-buru. Aku duluan, ya.” katanya, bahkan sorot matanya tak menatap ke arahku. Kemudian berlari pergi. Aneh.
***
Aku yang melanjutkan langkah ke area parkir dikejutkan oleh sesuatu setelah sampai di sana. Joshua! Sedang apa dia disana? Nangkring di atas sepedaku sembarangan.
“Eh, bos. Yang ditunggu dateng juga,” kata Juna. Samar-samar kudengar dari kejauhan.
“Lo semua boleh pergi sekarang,” tukas Joshua. Aku yang sekarang mendekatkan langkahku ke arah mereka mencoba tidak terlihat gugup.
***
“Maksud kamu apa, ngajak aku ke tempat ini?” tanyaku setelah sampai di tempat yang aku sendiri tidak tahu tempat apa. Yang jelas, kita sekarang berada di lantai paling atas sebuah bangunan yang sepertinya tidak lagi terpakai. Bangunan yang tidak jauh dari sekolah.
“Aku mau jawab pertanyaanmu kemarin.” Aku masih belum paham.
“Tapi kenapa harus di sini?” tanyaku lagi. Dia masih terlihat santai. Menuntunku mendekat ke arah jendela yang berukuran cukup besar tanpa kaca.
“Kamu mau apa? Kamu ngga pengen bunuh aku pakek cara dorong aku dari sini kan?” jawabku spontan. Dia malah terkekeh kecil sambil menebar pandangan keluar jendela.
“Aku ngga sekonyol itu,” katanya. Aku menghela napas lega.
“Kamu bisa liat alasanku dari atas sini. Coba kamu liat keluar,” katanya lagi. Aku menautkan kedua alisku dan masih mengamatinya.
“Dari sini kita bisa liat dua dunia yang berbeda. Mereka yang berjuang cuma untuk bertahan hidup setiap harinya, dan mereka yang hidup serba berkecukupan. Disini Aku ngga akan bahas dua-duanya,” ujarnya masih menebar pandangan keluar jendela.
Aku pun mulai mengikuti jejaknya. Tampak sebuah perumahan kumuh di dekat sebuah sungai yang penuh dengan sampah. Di sisi sungai yang lain tampak beberapa gedung pencakar langit, dan perumahan elit. Aku semakin tidak paham.
Apa hubungannya ini dengan pertanyaanku kemarin?
“Aku hanya akan membahas golongan yang pertama. Di mana mereka melakukan segala cara untuk bertahan hidup setiap harinya. Walaupun beberapa berusaha keras untuk mendapat kehidupan yang lebih layak. Ya, salah satunya aku,” jelasnya panjang. Aku masih mengamati mimik wajahnya yang teduh dan setiap kata yang keluar dari bibir itu.
“Sayangnya, beberapa dari mereka ngga tau diri. Mereka tau sewaktu-waktu sungai di dekat pemukiman bisa meluap karna sampah-sampah yang menyumbat. Tapi mereka malah buang sampah sembarangan. Apa itu namanya tau diri? Udah tau hidup mereka udah susah, kesannya malah pengen nambahin beban di hidupnya sendiri dengan kejadian yang mungkin bisa kejadian itu. Atau bahkan setiap musim hujan, pemukiman itu udah jadi langganan banjir. Dan aku tau rasanya sengsara di dalamnya, karna aku bagian dari mereka.” katanya.
“Jadi karna itu kamu selalu naik darah kalo liat orang buang sampah sembarangan?” tanyaku. Aku mulai mendekati garis pikirannya.
Joshua tersenyum.
“Tapi ngga harus pake kekerasan juga kan?” tanyaku lagi.
“Udah. Aku udah pernah dengan cara baik-baik. Tapi apa hasilnya? Omonganku cuma dianggap angin lalu! Sama sekali ngga didenger. Dan Aku tau rasanya saat kita berniat baik, capek-capek ngomong dengan baik-baik tapi ngga di denger.”
“Oh.. itu alasan kenapa kamu memarahi murid yang ngga ndengerin pas guru lagi ngejelasin pelajaran di depan kelas?” tebakku.
“Ternyata kamu tau banyak tentang peraturan yang aku buat,” katanya masih menatap ke arahku. Aku tertegun. Tiba-tiba aku mengagumi jalan pikirannya. Walaupun aku masih tidak setuju dia menggunakan kekerasan.
“Tapi aku masih ngga setuju kamu pake kekerasan,” tukasku dengan nada mantap. Dia terdiam.
“Tadi aku liat Yuvia lari sambil nangis waktu pulang,” katanya tiba-tiba. Yuvia?
“Yuvia aneh. Tiba-tiba aja lari. Aku juga nggatau kenapa.”
“Aku liat waktu kamu adu mulut sama Risti di kantin. Coba inget-inget. Sejak itu kan sikap Yuvia berubah?” katanya.
Aku berpikir.
“Hmm, iya sih..” jawabku.
“Yuvia itu sama kayak aku. Dia bukan anak orang kaya. Tunas Bangsa adalah satu-satunya sekolah di sini yang mau nerima golongan kami. Jadi ngga heran kalo dia tersinggung sama kalimatmu ke Risti tadi siang.”
Tubuhku seketika melemas menyadari kesalahanku. Aku menyakiti hati satu-satunya temanku di sekolah.
***
Aku berangkat lebih awal. Aku melangkah masuk ke dalam kelas yang ternyata sudah ada Yuvia terduduk di bangkunya sedang sibuk menulis sesuatu. Sangat serius. Bahkan sampai dia tak menyadari langkahku.
“Yuv?” sapaku.
“Eh, Avila.” Buru-buru dia membereskan lembaran-lembaran kertas di meja. Seperti tak mau aku melihatnya, tapi dia gagal. Aku berhasil membacanya.
“Kamu yang nulis semua ini? Gila. Ini bagus banget. Tulisan tangan kamu juga rapi banget kayak ketikan. Apa ini cerpen?” tanyaku.
“Aku suka nulis, dan ini novel keduaku,” jawabnya.
“Hah? Kamu nulis sebanyak ini? Kenapa ngga di ke—” kalimatku terputus. Hampir saja aku berkata 'kenapa ngga di ketik aja? Jaman sekarang kan udah ada alat bantu yang canggih' Tapi Aku sadar. Itu akan melukainya sekali lagi.
“Yuv?” Dia menatapku.
“Aku minta maaf, ya? Soal kemarin. Aku bener-bener ngga bermaksud,” kataku dengan manatapnya tulus. Aku benar-benar menyesal.
“Iya. Nggapapa. Lagian kamu bener, kok. Akunya aja yang ngga sadar diri. Aku ngga marah kok. Sungguh.” Aku menghela napas lega. Yuvia benar-benar gadis yang baik.
“Makasih yaa. Ohya Yuv, aku boleh kan pinjem karyamu buat dibawa pulang trus dibaca?” tanyaku. Dia mengangguk dan melempar senyum.
***
Aku tidak tahu kenapa akhir-akhir ini aku merasa banyak berubah. Ya, jalan pikiranku berubah. Aku tidak lagi menganggap sekolah ini sebagai sekolah antah-berantah tempat berkumpulnya orang-orang kampungan. Aku justru merasa aku banyak belajar dari mereka. Dari Joshua, Yuvia, dan masih banyak lagi orang dengan kejadian yang membuatku sadar kalau aku sangat beruntung. Aku sangat bahagia di atas semua ketidak-bersyukur-anku selama ini. Tapi saat aku mulai kerasan di sekolah ini. Aku teringat satu hal. Waktuku disana hanya 29 hari. Ya, 29 hari yang berlalu sangat cepat itu telah benar-benar selesai. Dan itu berarti hari ini aku harus pindah. Aku harus meninggalkan dua orang yang akan sangat ku rindukan di sana. Tapi aku janji, suatu saat nanti kita akan bertemu lagi. Ah! Sampai lupa. 4 bulan lagi Ujian Nasional. Dan artinya 4 bulan lagi aku akan meninggalkan masa putih abu-abu.
***
Menyebalkan. Hari ini aku harus memakai topi caping yang dihias menggunaan daun-daun kering. Juga jengkol yang ku rangkai menjadi sebuah kalung yang sekarang ku kenakan. Aku tampak seperti orang gila. Ya, inilah tujuan para senior di kampus baruku. Universitas Negeri yang terkemuka di tempat tinggalku. Hey! Aku sedang menjalani ospek! Jadi walaupun Aku merasa sengsara, tetap saja ada sesuatu yang berdesir. Aku bahagia bisa menjadi bagian dari Universitas ini.
“Hey bebek!” kata seorang dari arah belakangku. Aku terkesiap sambil berdiri dan membenarkan papan nama bertuliskan 'BEBEK' yang ku kenakan. Bahkan gunting yang sedang ku pakai untuk menggunting rumput saat itu ku jatuhkan begitu saja.
Duh. Apalagi sih kesalahanku, Kak Senior? batinku. Aku tak berani untuk menengok ke arah belakang.
Puk!
Seseorang menepuk pundakku dan berdeham pelan. Ku beranikan diri memutar badan ke arah sumber suara. Namun dalam posisi menunduk.
“Iya, kak? Saya minta maaf.” Aku bahkan meminta maaf sebelum tahu apa kesalahanku. Ketika mendongakkan kepala, aku mendapati seorang cowok mengenakan atribut yang sama sepertiku. Hanya saja dia mengenakan papan nama bertuliskan KEBO. Aku terperangah melihat sosok itu. Joshua! Ya, benar. Dia Joshua .
“Joshua!” teriakku kegirangan. Sampai-sampai refleks memeluknya selama—mungkin tiga detik. Lalu aku jatuh salting.
“Kamu.. di sini juga?” kataku setengah terbata.
“Iya, Avila. Pengajuan beasiswaku diterima disini. Dulu Aku pernah bilang kan? Aku bakal kejar mimpiku. Dan ini sebuah langkah awal.” Aku berdecak kagum.
Kita terlalu asyik mengobrol sampai-sampai tak menyadari beberapa senior memperhatikan kita. Alhasil kita langsung salah tingkah melihat tatapan mata mereka yang seperti harimau ingin menerkam mangsanya. Kita buru-buru melanjutkan tugas memotong rumput yang sempat tertahan.
***
Aku teramat bersyukur dengan hidupku sekarang. Hidup yang sama seperti dulu. Tapi kini dengan mata hati dan pikiranku yang telah terbuka. Aku bukan gadis tak bahagia. Aku mempunyai papa yang meskipun sibuk tapi sangat mencintaiku. Juga mama dan adik yang menjadi bagian hidupku—walaupun kini berjauhan setidaknya kami masih berhubungan via telepon. Aku merasa lengkap. Dan, oh, lalu tentang sekolah yang pernah ku singgahi selama 29 hari. Takdir atau kebetulankah aku terdampar di tempat itu? Tempat yang dulu sering ku sebut antah-berantah itu justru melengkapi tujuh warna dalam pelangi hidupku yang tadinya mungkin hanya berjumlah empat warna saja. Joshua . Aku bahagia dia sudah membuat satu langkah mendekat ke impiannya untuk menjadi sukses. Dan Yuvia. Suatu kehormatan bisa menjadi pembaca pertama karyanya yang kini telah diterbitkan oleh penerbit besar lalu bahkan menjadi salah satu novel Best Seller. Ku dengar karya keduanya juga akan diterbitkan lagi. Senyumku lagi-lagi mengembang. Aku juga harus membuat langkah besar mendekat ke arah impianku. Ya, sekarang giliranku.
0 Response to "29 Days With a New Story"
Post a Comment