[NCT127 - Yuta] Uncontrollably Feeling


OC’s Watanabe Mayu and NCT’s Nakamoto Yuta | G | Ficlet
Thejibooty@PosterChannel | Vxiebell,2016

Duduk manis di bangku sambil santai-santai itu semacam hal mustahil yang bisa dilakukan di dalam bus ketika berangkat dan pulang sekolah. Kenapa? Karena, kondekturnya terlalu memaksakan kapasitas bus. Padahal udah jelas-jelas bus yang tengah kunaiki ini penuh dan padat, sampai untuk bernapas aja ada bau asem-asemnya. Tapi, buat ngakalin dapet duit banyak, masnya malah nyuruh penumpang lain ke belakang dan penumpang baru masuk. Yang nggak habis pikir, kok mereka nurut banget, ya? Kan bisa tuh nunggu sepuluh menitan untuk dapat bus yang agak lengang. Lah, ini, malah rela berdesak-desakan.

Jelas bibirku manyun karena jengkel. Tiga menit lalu yang dudukku masih bisa santai karena penumpangnya nggak banyak-banyak amat, sekarang bisa apa? Badan kecil, pendek, sampe dikira anak SMP pula sama mbak-mbak yang duduk di sebelahku. Saking ramainya, ada penumpang yang berdiri. Lah, kalau berdirinya bener sih nggapapa. Lha ini? Udah badannya besar, tasnya juga gede, seenak jidatnya pula. Ya kali, kepalaku yang segede gini disambar tasnya yang super keras, beberapa kali pula. Heran deh, isinya tuh apaan sampe sakit banget pas kena jidatku.

Kuputuskan memakai earphone dan menyalakan lagu lewat smartphone bututku—keluaran 2012. Karena masih dalam mood yang buruk, aku nge-play lagu yang gaya musiknya teriak-teriak. Seterusnya, aku sibuk dengan duniaku sendiri sampai nggamau tau lagi sama bau asam yang menyengat hidung ataupun kakiku yang diinjak-injak.

Beberapa halte sudah dilewati dan aku masih sibuk dengan ponselku yang kini mengalunkan lagu baru dari boy band favoritku. Kepalaku mengikuti lagu itu sampai manggut-manggut dan kadang menggeleng kecil. Pas lagi asik-asiknya, eh, pak sopirnya nge-rem mendadak. Jadilah aku ikut terdorong dan berdesakan dengan sebelah-sebelahku. Asli, aku pengen ngumpat ke pak sopir itu, tapi urung karena teringat kata mama yang pernah bilang, hati-hati sama ucapanmu, mulutmu harimaumu.

Setelah mepet-mepet sama penumpang di sebelah, segera kulukiskan ekspresi marah di wajah sambil memelototi pak sopir lewat spion dengan posisi yang masih berdempetan dengan sebelah kananku. Sumpah, aku berharap banget sopir itu ngeliat gimana muka beteku biar dia sadar sama kesalahannya.

Ekhm, geser dikit dong,” ujar seorang cowok yang duduk di kananku. Dia memakai hoodie warna merah dengan tulisan ‘just do it’ di tengah, serta masker yang menyembunyikan rahangnya dari mataku. Menurut indra pendengaranku, ada nada sedikit jenaka dari ucapannya tadi. So, aku nggak terlalu ambil pusing dan segera memberi sedikit jarak antara kita berdua.

“Harusnya kan kalau nggak bisa nyopir, di rumah aja sana, bantuin ibu nyuci piring,” gerutuku sambil melepas earphone yang masih menyumpal telinga.

“Masih untung ada sopirnya. Kalau seumpama nggak ada, emangnya kamu nggak takut? Busnya jalan sendiri?”

Apaan sih nih. Sumpah deh, mas-mas yang duduk di sebelahku ini, garing banget omongannya. Super duper jayus. Alhasil, aku memilih kembali mengutak-atik ponsel layar sentuhku yang paling antik ini, dan membiarkan mas-mas itu menggeluti pikirannya sendiri.

Kubuka lockscreen, masuk ke BBM. Jariku bergerak ke atas-bawah beberapa kali, cuma ngecek RU aja, siapa tau si doi update sesuatu. Tapi kok ngga ada sama sekali, ya? Huhuhu, syedihnya. Bibirku langsung manyun pas ngebuka isi chat sama doi. Isi pesannya cuma membahas tentang ekskul doang.

Ku buka profilnya, dan ngeliatin fotonya lama banget, biar sampe puas, kalo bisa sampe eneg sekalian. Tanpa sadar, aku menghela napas seolah tengah dilanda masalah yang amat berat.

“Kenapa sih, Kak? Kenapa Kak Yut tuh ngga peka banget? Kemaren pas aku ngga masuk latihan aja, dicuekin. Harusnya, paling ngga tuh, tanya kenapa ngga masuk. Lah, ini? Sama sekali ngga peduli sama adek-adeknya,” gerutuku seraya menunjuk-nunjuk foto seorang cowok yang ada di layar ponselku.

Dwimanik gelapku memelototi wajah itu, menuntut sebuah jawaban yang nggak mungkin bisa kudengar. “Aku tau, waktu itu Kak Yut sok-sok perhatian supaya aku gabung sama ekskul taekwondo kan? Supaya ekskul itu bisa segera dilaksanain, iya kan?”

Aku memberengut seraya memukul-mukul wajahnya, “Pokoknya, minggu ini aku ngga akan berangkat latihan kalo Kak Yut nggak nanyain alesan aku nggak masuk kemarin!” Kemudian kuhela napas dan bersender di punggung kursi.

“Kemarin nggak latihan, kenapa?”

Sontak kepalaku menoleh ke samping tatkala merasakan bisikan gaib. Serius, demi apa, aku tercengang-ngang-ngang.
.
.
.
.
.
.
“Aku udah tanya, May. Besok Kamis latihan, ya.”


—FIN

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "[NCT127 - Yuta] Uncontrollably Feeling"

Post a Comment