OC’s Watanabe Mayu and NCT’s Nakamoto Yuta | G | Ficlet
Thejibooty@PosterChannel | Vxiebell,2016
Thejibooty@PosterChannel | Vxiebell,2016
Duduk manis di bangku
sambil santai-santai itu semacam hal mustahil yang bisa dilakukan di dalam bus
ketika berangkat dan pulang sekolah. Kenapa? Karena, kondekturnya terlalu
memaksakan kapasitas bus. Padahal udah jelas-jelas bus yang tengah kunaiki ini
penuh dan padat, sampai untuk bernapas aja ada bau asem-asemnya. Tapi, buat
ngakalin dapet duit banyak, masnya malah nyuruh penumpang lain ke belakang dan
penumpang baru masuk. Yang nggak habis pikir, kok mereka nurut banget, ya? Kan
bisa tuh nunggu sepuluh menitan untuk dapat bus yang agak lengang. Lah, ini,
malah rela berdesak-desakan.
Jelas bibirku manyun karena jengkel. Tiga menit lalu
yang dudukku masih bisa santai karena penumpangnya nggak banyak-banyak amat,
sekarang bisa apa? Badan kecil, pendek, sampe dikira anak SMP pula sama
mbak-mbak yang duduk di sebelahku. Saking ramainya, ada penumpang yang berdiri.
Lah, kalau berdirinya bener sih nggapapa. Lha ini? Udah badannya besar, tasnya
juga gede, seenak jidatnya pula. Ya kali, kepalaku yang segede gini disambar
tasnya yang super keras, beberapa kali pula. Heran deh, isinya tuh apaan sampe
sakit banget pas kena jidatku.
Kuputuskan memakai earphone
dan menyalakan lagu lewat smartphone
bututku—keluaran 2012. Karena masih
dalam mood yang buruk, aku nge-play lagu yang gaya musiknya
teriak-teriak. Seterusnya, aku sibuk dengan duniaku sendiri sampai nggamau tau
lagi sama bau asam yang menyengat hidung ataupun kakiku yang diinjak-injak.
Beberapa halte sudah dilewati dan aku masih sibuk
dengan ponselku yang kini mengalunkan lagu baru dari boy band favoritku. Kepalaku mengikuti lagu itu sampai
manggut-manggut dan kadang menggeleng kecil. Pas lagi asik-asiknya, eh, pak
sopirnya nge-rem mendadak. Jadilah aku ikut terdorong dan berdesakan dengan
sebelah-sebelahku. Asli, aku pengen ngumpat ke pak sopir itu, tapi urung karena
teringat kata mama yang pernah bilang, hati-hati
sama ucapanmu, mulutmu harimaumu.
Setelah mepet-mepet sama penumpang di sebelah, segera
kulukiskan ekspresi marah di wajah sambil memelototi pak sopir lewat spion
dengan posisi yang masih berdempetan dengan sebelah kananku. Sumpah, aku
berharap banget sopir itu ngeliat gimana muka beteku biar dia sadar sama
kesalahannya.
“Ekhm, geser
dikit dong,” ujar seorang cowok yang duduk di kananku. Dia memakai hoodie warna merah dengan tulisan ‘just do it’ di tengah, serta masker
yang menyembunyikan rahangnya dari mataku. Menurut indra pendengaranku, ada
nada sedikit jenaka dari ucapannya tadi. So,
aku nggak terlalu ambil pusing dan segera memberi sedikit jarak antara kita
berdua.
“Harusnya kan kalau nggak bisa nyopir, di rumah aja sana,
bantuin ibu nyuci piring,” gerutuku sambil melepas earphone yang masih menyumpal telinga.
“Masih untung ada sopirnya. Kalau seumpama nggak ada,
emangnya kamu nggak takut? Busnya jalan sendiri?”
Apaan sih nih. Sumpah deh, mas-mas yang duduk di
sebelahku ini, garing banget
omongannya. Super duper jayus.
Alhasil, aku memilih kembali mengutak-atik ponsel layar sentuhku yang paling
antik ini, dan membiarkan mas-mas itu menggeluti pikirannya sendiri.
Kubuka lockscreen,
masuk ke BBM. Jariku bergerak ke atas-bawah beberapa kali, cuma ngecek RU aja,
siapa tau si doi update sesuatu. Tapi
kok ngga ada sama sekali, ya? Huhuhu, syedihnya. Bibirku langsung manyun pas
ngebuka isi chat sama doi. Isi pesannya cuma membahas tentang ekskul doang.
Ku buka profilnya, dan ngeliatin fotonya lama banget,
biar sampe puas, kalo bisa sampe eneg
sekalian. Tanpa sadar, aku menghela napas seolah tengah dilanda masalah yang
amat berat.
“Kenapa sih, Kak? Kenapa Kak Yut tuh ngga peka banget?
Kemaren pas aku ngga masuk latihan aja, dicuekin. Harusnya, paling ngga tuh,
tanya kenapa ngga masuk. Lah, ini? Sama sekali ngga peduli sama adek-adeknya,”
gerutuku seraya menunjuk-nunjuk foto seorang cowok yang ada di layar ponselku.
Dwimanik gelapku memelototi wajah itu, menuntut sebuah
jawaban yang nggak mungkin bisa kudengar. “Aku tau, waktu itu Kak Yut sok-sok
perhatian supaya aku gabung sama ekskul taekwondo kan? Supaya ekskul itu bisa
segera dilaksanain, iya kan?”
Aku memberengut seraya memukul-mukul wajahnya,
“Pokoknya, minggu ini aku ngga akan berangkat latihan kalo Kak Yut nggak
nanyain alesan aku nggak masuk kemarin!” Kemudian kuhela napas dan bersender di
punggung kursi.
“Kemarin nggak latihan, kenapa?”
Sontak kepalaku menoleh ke samping tatkala merasakan
bisikan gaib. Serius, demi apa,
aku tercengang-ngang-ngang.
.
.
.
.
.
.
“Aku
udah tanya, May. Besok Kamis latihan, ya.”
—FIN
0 Response to "[NCT127 - Yuta] Uncontrollably Feeling"
Post a Comment