On Going to Create the Smile | 3
--- Please give me a smile on your lips. Just a little smile. ---
Starring : EXO’s Baekhyun — OC’s Shani | Rate : PG |
Genre : AU, Comfort | Length : Chapter (3/unknown) | Written by Deev
| Poster by Cha13 | ©2016
Poros
roda itu berputar dinamis. Arahnya meliuk ke sebuah simpangan, menyentuh
permukaan halus dari keramik bermotif. Disusul dengan ketukan sepatu dibelakang
roda-roda itu. Suara helaan napas terdengar lega, Baekhyun menatap
langit-langit rumah. Disampingnya sudah berdiri seorang wanita paruh baya yang
siap membantunya kapan saja.
“Selamat datang
lagi di rumah, Shan.” Ungkap Baekhyun ceria yang hanya dibalas dengan tatapan
kosong dari gadis yang duduk di kursi roda.
Baekhyun
mengangkat tubuh Shani dan menaiki satu persatu anak tangga, sedangkan kursi
roda itu segera dilipat dan dibawa oleh ibu Baekhyun yang berjalan di belakang.
Baekhyun
memutar knop pintu. Memasuki ruangan bernuansa putih yang sudah agak lama tak
dihuni. Sebelum ini Baekhyun sudah meminta kunci rumah pada ayah Shani dan
tanpa banyak bicara langsung memberikan kunci cadangan pada Baekhyun.
Baekhyun
tersenyum kecil seraya mengusap puncak kepala Shani yang telah didudukkan
diatas ranjang, “Lusa kamu sudah bisa masuk sekolah.”
Shani
menggerakkan tangannya menyentuh permukaan tangan Baekhyun yang masih bernaung
diatas kepalanya kemudian menurunkannya, “Aku tidak akan datang ke sekolah.”
“Jangan
seperti itu. Meskipun kamu tidak ingin kesana, kamu tetap harus datang. Masa
depanmu tergantung dengan ilmu yang didapat di sekolah.”
“Masa
depanku sudah hancur. Aku tak perlu ke sekolah lagi. Semua itu tidak akan
merubah hidupku di masa depan.”
Baekhyun
tetap menampilkan senyumnya yang terlewat manis dan memilih berjongkok di bawah
Shani hanya sekedar untuk melihat kecantikan gadis itu dari sudut pandang yang
lain, “Kamu tetap mempunyai masa depan, Shan. Baik atau buruknya nanti
tergantung bagaimana sikapmu sekarang. Kalau Tuhan menggariskan kamu akan
sukses di masa depan, tetapi kamu tidak berusaha dari sekarang, takdir itu akan
sia-sia dan berubah menjadi kebalikannya.”
Shani tak
bergeming. Dwinetranya menatap wajah Baekhyun, tetapi kosong dalam atensinya.
Baekhyun
mengulum senyum getir di bibirnya. Hidupnya pun terasa hancur; sama seperti apa
yang dirasakan oleh Shani. Baekhyun ingin mengeluh tapi ia tidak bisa
melakukannya karena memiliki tanggungan, yaitu Shani. Bagaimana pun juga ia
akan membuat gadis itu bangkit dari dunianya yang hampir hancur sepenuhnya. Baekhyun
berjanji pada dirinya sendiri.
***
Entah
kedatangannya itu diharapkan atau sama sekali tak diharapkan, Baekhyun tak
peduli. Yang akan ia lakukan hanya akan datang ke rumah Shani dan menjemput
gadis itu dalam keadaan siap atau belum siap; Baekhyun akan menunggu sampai
gadis itu siap. Dan sekarang keduanya berada di lorong sekolah; berjalan
beriringan.
Baekhyun menarik
bangku Shani, berniat untuk memperlakukan gadis itu laksana seorang putri
istana. Tetapi justru Shani malah memilih bangku di belakang, mengabaikan Baekhyun
yang merasa kecewa dengan wajah kusutnya.
“Halo Shan,
sudah lama kamu tidak masuk, ada beberapa hal yang ingin aku ceritakan padamu.
Dengarkan ya..” cerocos seorang siswi yang langsung menghampiri Shani. Bola
matanya berbinar bahagia. Salah satu teman Shani yang tak terlalu dekat sih,
tetapi beberapa kali pernah melakukan hal bersama-sama.
Shani
memalingkan wajahnya. Memilih keluar dari kelas ketimbang meladeni gadis dengan
name tag Cindy D. Yuvia.
“Shani! Mau
kemana?” serunya kecewa yang hanya diabaikan oleh Shani.
Dwinetra
Yuvia beralih menatap Baekhyun tajam, “Hei! Apa yang kamu lakukan pada Shani
sampai membuatnya seperti ini huh?”
Baekhyun
langsung menyumpal kedua lubang telinganya menggunakan jari telunjuk; meringis
kesakitan saat suara nyaring sekaligus lantang menerjang gendang telinganya.
***
Shani
berjalan di lorong sekolah menuju ke atap; tempat yang biasanya ia datangi
dengan Baekhyun dulu. Pintu berkarat itu terdorong seirama dengan decit
nyaringnya yang mengudara. Sama seperti biasanya, atap selalu kosong dengan
bangku panjang yang lusuh.
Shani
melangkah, menutup pintu pelan lalu berjalan mendekati bangku panjang yang
menganggur tanpa tuannya. Helaan napas berat terhembus begitu saja. Bersamaan
dengan angin yang mengejar anak rambut Shani, bulir air bening merembes dari
mata bagian kirinya. Tak butuh berapa lama kemudian gadis itu sudah sesenggukan
karena menangis.
Bukankah pelangi akan hadir setelah
redanya hujan?
Tapi kenapa kebahagiaan belum juga
hadir mewarnai hidupku setelah peristiwa menyakitkan itu?
Bukankah sudah banyak tetesan air
mata yang jatuh selama ini?
Seberapa banyak lagi air mata ini
akan tumpah?
Seberapa lama lagi aku harus menahan
sakit ini?
Bahkan waktu tak bisa menyembuhkan
luka ini, justru waktu membuat luka ini kian bertambah sakit.
Kaki Shani
menapak pada tepi atap. Bola matanya menatap pemandangan di bawahnya, ternyata
gedung ini sangat tinggi bila dilihat dari atas. Likuid dari matanya bergulir
manis kemudian jatuh ke bawah membentur permukaan tanah—mungkin. Napasnya
menderu-deru, ia merapatkan kedua alas kakinya. Shani mengangkat sebelah kaki,
membuatnya mengambang di udara. Air matanya menetes lagi.
“Sha-ni?”
Gadis
berseragam itu menolehkan kepala; seorang siswi berdiri di ambang pintu
menatapnya terkejut. Siswi itu berjalan seenaknya, kemudian merebahkan tubuhnya
diatas bangku panjang.
“Kalau
memang takut kenapa ingin terjun? Dasar.”
Shani
kembali memutar kepalanya, sekilas ia menatap siswi yang tengah berbaring itu
lalu kembali memandang dunia di bawahnya.
“Yang
menderita, bukan cuma kamu saja tahu. Masih banyak orang di muka bumi ini yang
bernasib bahkan lebih parah dari yang kamu alami, tapi mereka tetap bisa
bersikap seolah tidak ada yang buruk di hidup mereka.” Cerocos siswi itu yang
secara tidak langsung sedang menasehati bahkan membujuk Shani supaya tidak
terjun dari lantai dua gedung sekolah.
“Kamu
membujukku?”
Siswi itu
mengangkat tangannya seraya melambai di udara sebagai jawaban tidak, “Aku hanya
bercerita. Memangnya kamu siapa sampai aku harus membujukmu supaya tidak jadi
bunuh diri? Lagipula hidupmu, ya, hidupmu jadi bukan urusanku untuk ikut
campur.”
Shani
mematung. Baru kali ini ada yang berani bicara seperti itu disaat ada orang
yang akan bunuh diri. Padahal biasanya Baekhyun akan menahannya mungkin jika
pemuda itu ada disini, dia sudah menasehati panjang lebar pada Shani.
“Kamu..
Avila kan?”
Siswi itu
membuka matanya menatap Shani. Sejak kapan dia duduk di bangku ini?
“Aku
mengenalmu, kita pernah satu SD dulunya. Masih ingat tidak?”
Siswi itu
mengubah posisinya dengan menyamping.
“Dasar,
padahal dulu kamu adalah anak yang rajin tapi.. aku pikir pasti sekarang kamu
sangat malas dan—”
“Bisa diam
tidak sih? Aku ingin tidur. Aku sudah berubah dengan yang dulu jadi jangan
pernah membandingkanku dengan masa kecilku. Urusi saja hidup ayahmu itu.”
Shani
tertegun.
Avila yang
melihat peubahan rinai muka Shani menjadi merasa bersalah. Meskipun ia termasuk
dalam jenis manusia yang cuek, tapi berhadapan dengan Shani itu berbeda karena
Shani pernah menjadi temannya sejak
berusia balita sampai SD.
“Aku bisa
menghilangkan rasa sedihmu itu.”
“Serius,
aku punya cara supaya kamu tidak merasa tertekan seperti ini,” lanjut Avila
ketika tak mendapat respon selain tatap mata tak percaya.
0 Response to "On Going to Create The Smile | Chapter 3"
Post a Comment