Menyukai
seseorang dalam diam adalah spesialisku. Serius, selama hidupku—hingga detik
ini, aku selalu menyimpan perasaanku dalam-dalam tanpa menyebarluaskan meski
pada sahabatku. Kenapa? Tentu karena aku mempertimbangkan resikonya. Yang
paling menakutkan, apabila sahabat yang kupercayai itu ternyata diam-diam sudah
memberitakan ceritaku pada orang lain. Dan jika kau ingin tau, it’s like a shit and so damn. Makanya,
hingga napasku masih berembus detik ini, tak sekalipun kuceritakan kisah
cintaku pada siapapun.
“Heyya, dear! Sendirian?” tegur salah seorang
teman sekelasku, Elaine namanya. Dia gadis cantik berkulit putih—yang saking
putihnya seperti mayat hidup. Oh ya,
Mayat Hidup juga merupakan julukannya, haha. But, I never call her like that.
Rambut
gelapnya bergoyang-goyang ketika dengan gerakan cepat mengambil sikap duduk di
sampingku. Mengagumkan sekali. Sejujurnya, segala hal yang berkaitan dengan Elaine
membuatku terpesona dan terkadang iri. Berkat wajah cantik dan sifatnya yang
terbuka, ia menjadi mudah mendapatkan teman dari kelas berapapun di sekolah
ini. Bahkan beberapa waktu lalu, ada kakak kelas yang bela-belain mengejarnya
sampai gerbang karena ingin ngajak makan. Oh
shit, I’m so jealous.
“Why? Nothing to do?”
“Seperti
yang kamu lihat,” jawabnya sambil terkekeh manis. Aku membalasnya dengan uluman
senyum yang tak seberapa manis.
“And then, how about.. kakak kelas yang
itu?” godaku—yang terselip rasa iri—sambil
tertawa.
“Jangan
dibahas! Want to canteen?”
Oh yeah,
aku lupa memberi tahu satu hal. Meskipun memiliki tubuh ramping, sebenarnya Elaine
memiliki porsi makan yang besar. Ia selalu tak bisa berhenti makan ketika sudah
memulainya. Dan hal itu membuatku merasa lebih iri. Why? Cause if I ate a lot, tubuhku akan mudah melar and I’m so damn hate it!
“If you know, I really jealous with you.”
Elaine
menoleh dengan rasa herannya. “Why?”
“Eh? Nggak
kok, hehe.” Aku terkekeh canggung dan langsung menggandeng tangannya lantas
melangkah menuju kantin yang tak terlalu jauh dari kelasku.
Elaine
sibuk memilih makanan yang berkenan di hatinya, sedangkan aku hanya
mengamatinya dengan keinginan besar ingin membeli sesuatu juga.
“Remember, Rysh, diet!” Tak
henti-hentinya kugumamkan kalimat tersebut untuk mengingatkan diriku yang
kadang lost control dan akan memakan
banyak sekali makanan.
Elaine
tersenyum padaku dan akan menghampiriku, namun tertahan tatkala seorang pemuda
hadir. Mereka menyapa dan mengobrol sebentar, yang membuatku ingin bergabung.
Kulangkahkan kaki dan menghampirinya.
“Kak,
traktir dong!” pinta Elaine yang hanya didiamkan oleh pemuda berbadan besar,
kakak kelasku. Lantas menoleh padaku. “Rysh, bilang sesuatu kek.”
“He?” Aku
tak tahu harus berkata apa. Lagipula aku tak mengenal kakak kelas itu. Yah, walaupun
aku sempat tau bahwa ia mengurusi pramuka, hanya sebatas itu.
“Kak,
jangan pelit-pelit dong.” Elaine masih tak menyerah rupanya.
Dan entah
mengapa aku hanya tersenyum lalu sedikit mengangkat kepala untuk melihat wajah
kakak kelas yang lebih tinggi dariku itu. “Kalau aku cukup titip salam aja sih,
Kak.”
“Buat
siapa?”
“Eng..
pokoknya yang lagi main ping-pong di lobi.”
Wajah kakak
kelasku itu sedikit berkerut. “Who?
Johnny? Mark? Aldi?”
“Iya itu!
Yang terakhir!” celetuk Elaine yang membuatku sedikit terhenyak.
“Enggak,
Kak. Pokoknya yang main ping-pong.”
“Lha iya,
Aldi.” Elaine lagi-lagi menimpali.
“Laine..”
“Bilangin
ya, Kak. Buat Mas Aldi, dapet salam dari Nattasha Airysh kelas X IPS 4! Don’t forget it! Pokoknya harus sampe,
ya!”
“Ok, sip.”
“Eh,
enggak, Kak! Enggak…” Tiba-tiba Elaine langsung membekap mulutku dan menarik
lenganku keluar dari area kantin. Refleks aku meronta dan akhirnya Elaine
melepaskanku.
“Oh shit! What are you doing, ha? Are you
crazy?”
“Why? Am I do something false?”
Bibirku
terkunci ketika melihat perubahan garis mukanya.
“Aku tau, Rysh.
You like him, right?”
Tatapan
mata Elaine membuatku tak dapat berkutik, namun aku tak pula menjawabnya.
“Makanya,
aku bilang gitu ke Kak Ravin. Lebih cepat, lebih baik, Rysh. Aku nggak suka
kamu cuma ngelihatin dia dari jauh sambil senyum. Padahal hati kamu selalu
bertanya-tanya dan merasa sakit.”
Ragaku
terpaku mendengar ucapan Elaine. Sejak kapan dia tahu?
“Aku tahu
setiap ngeliat matamu, Rysh. Dwimanikmu selalu berbinar-binar ketika melihat
dia. And you always can’t control your
smile if you look him. Oh ya, and you
always see him… dengan berlebihan. Aku tahu gerak-gerikmu, Honey. I’m your best friend—if you
think so.” Kemudian ia mengangkat bahu.
“Tap—“
Hendak aku membantah, namun dari arah depan, aku melihat sesosok pemuda
berjalan. Diaku. Kakak kelas yang dua tahun lebih tua dariku. Yang sejak
menginjakkan kaki di sini, aku sudah menyimpan perasaan untuknya.
Pandanganku
buyar ketika melihat Kak Ravin—kakak kelasku yang tadi—menghampiri Kak Aldi.
Sontak tubuhku jadi panas-dingin dan jantungku berdetak begitu cepat serta
darahku yang berdesir tak beraturan.
Mereka
berdua saling berhadapan. Mengobrol. Cukup lama. Kemudian Kak Aldi tersenyum
dan mengangguk. Lalu menolehkan kepalanya dan.. shit! Mata kami saling bertumbukan. Aku mematung sejenak kemudian
langsung mengalihkan pandangan menatap Elaine.
“Why?” tanya Elaine yang melihat gelagat
anehku.
Aku hanya
menggeleng. “Nggak ada, ayo ke kelas! Cepet!” Aku langsung menarik tangannya
dan berlari menuju kelas.
Jangan-jangan..
Kak Aldi malah ngetawain sikapku yang tiba-tiba lari setelah lihat dia? Ahh,
taulah. Masa bodoh! Untuk sekarang, just
run!!
—FIN
0 Response to "[Ori-fic] Titip Salam"
Post a Comment